I. Zakat Uang Simpanan


A. Pengertian
1. Uang di Masa Rasulullah SAW
2. Pengganti Dinar dan Dirham
3. Tragedi Uang Fiat

B. Masyru'iyah
1. Tidak Ada Zakat Uang
2. Adanya Kewajiban Zakat Uang

C. Nishab
1. Ikut Nishab Emas
2. Ikut Nishab Perak
3. Ikut Yang Terendah

Di masa Nabi SAW dan para shahabat belum dikenal zakat uang, karena uang kertas seperti yang kita kenal sekarang ini belum ada saat itu. Yang digunakan sebagai uang pada saat itu tidak lain adalah koin emas dan koin perak. Sehingga kajian tentang zakat uang merupakan salah satu bentuk zakat kontemporer, dimana pasti akan menimbulkan beberapa perbedaan pendapat yang agak tajam di antara para ulama.

Uang termasuk dalam keumuman harta benda yang terkena kewajiban zakat, karena uang dengan berbagai jenis mata uang yang ada pada masa ini dan mendominasi muamalah kaum muslimin, menggantikan posisi emas (dinar) dan perak (dirham) yang dipungut zakatnya pada masa Rasulullah SAW. Uang sebagai pengganti emas (dinar) dan perak (dirham) menjadi tolok ukur dalam menilai harga suatu barang sebagaimana halnya dinar dan dirham pada masa itu.

A. Pengertian
Uang dalam ilmu ekonomi tradisional didefinisikan sebagai setiap alat tukar yang dapat diterima secara umum. Alat tukar itu dapat berupa benda apapun yang dapat diterima oleh setiap orang di masyarakat dalam proses pertukaran barang dan jasa. Dalam ilmu ekonomi modern, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang tersedia dan secara umum diterima sebagai alat pembayaran bagi pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta kekayaan berharga lainnya serta untuk pembayaran utang. Beberapa ahli juga menyebutkan fungsi uang sebagai alat penunda pembayaran.

1. Uang di Masa Rasulullah SAW
Di masa Rasulullah SAW dan berabad-abad kemudian, emas dan perak masih berlaku sebagai alat tukar yang sah dan diakui di semua negara dan berbagai peradaban dunia, tanpa harus menunggu keputusan dan nilai kurs yang berlaku. Sebab emas dan perak adalah alat tukar yang bersifat universal, tidak terikat dengan keadaan politik, sentimen pasar dan masalah lainnya.

2. Pengganti Dinar dan Dirham
Mula-mula uang kertas yang beredar merupakan buktibukti pemilikan emas dan perak sebagai alat atau perantara untuk melakukan transaksi. Dengan kata lain, uang kertas yang beredar pada saat itu merupakan uang yang dijamin 100% dengan emas atau perak yang disimpan di pandai emas atau perak dan sewaktuwaktu dapat ditukarkan penuh dengan jaminannya.

3. Tragedi Uang Fiat
Pada perkembangan selanjutnya, masyarakat tidak lagi menggunakan emas (secara langsung) sebagai alat pertukaran. Sebagai gantinya, mereka menjadikan 'kertasbukti' tersebut sebagai alat tukar. Pada zaman koin emas masih digunakan, terdapat kesulitan yang ditimbulkan yaitu kebutuhan atas tempat penyimpanan emas yang cukup besar. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, bermunculan jasa titipan koin emas (gudang uang) yang dilakukan oleh tukang emas. Masyarakat menitipkan koin mereka ke gudang uang, dan pemilik gudang uang menerbitkan "kuitansi titipan (nota)" yang menyatakan bahwa mereka menyimpan sekian koin emas dan koin tersebut dapat diambil sewaktu-waktu. Tentu saja jasa tersebut ada biayanya.

Dengan berlalunya waktu dan semakin banyak nota titipan beredar, masyarakat menyadari bahwa mereka dapat melakukan transaksi jual beli hanya dengan menggunakan nota tersebut. Hal ini disebabkan karena mereka, para pemilik nota dan pedagang percaya bahwa mereka dapat mengambil koin emas di gudang uang sesuai jumlah yang tertera di nota titipan. Mereka percaya bahwa nota tersebut dijamin oleh koin emas yang benar. Sampai titik ini, mungkin bisa dianggap "tidak ada masalah" karena jumlah nota beredar, dibackup sesuai dengan jumlah koin emas yang ada di gudang uang.

Ketamakan
Tapi, semua mulai berubah saat ketamakan itu datang. Seiring berjalannya waktu, pemilik gudang uang menyadari secara empiris bahwa, tidak semua orang akan mengambil seluruh simpanannya dalam jangka waktu yang sama. Katakanlah, dalam suatu waktu, hanya 10% dari total koin yang diambil oleh pemiliknya. Sisanya 90%, menumpuk, menganggur, menunggu bisikan untuk dipergunakan. Berdasarkan kondisi tersebut, pemilik gudang uang mulai -secara diam-diam meminjamkan koin emas yang menumpuk tersebut kepada orang-orang yang membutuhkan modal dengan cara menerbitkan nota kosong, seolah-olah dijamin oleh emas, padahal tidak sama sekali, karena yang digunakan adalah koin emas para nasabah yang menitipkan emasnya. Inilah awal dari istilah "menciptakan uang dari udara kosong". Selain meminjamkan, tentu mereka menarik bunga atas pinjaman tersebut.

Bank Fractional
Nota kosong pun beredar layaknya nota asli. Karena pemilik gudang mengatur sedemikian rupa supaya jumlah total nota kosong yang beredar tidak melebihi jumlah koin emas yang diambil oleh pemilik koin emas dari cadangan emas di gudang, sistem ini berlangsung terus menerus tanpa disadari. Inilah cikal bakal Bank Fractional. Namun, karena jumlah total nota, baik yang asli ditambah yang palsu beredar sebenarnya melebihi jumlah emas sesungguhnya yang tersimpan di gudang uang, efek inflasi terjadi dan harga-harga merangkak naik secara tidak wajar. Masyarakat mulai resah dan ada yang mulai menyadari sesuatu yang tidak beres sedang terjadi. Mereka pun mulai mengambil simpanan emas mereka dari gudang berdasarkan nota yang mereka miliki. Namun apa yang terjadi? Karena nota asli dan palsu sama sekali tidak dapat dibedakan, hanya mereka yang datang di awal-awal saja yang dapat mengklaim emasnya. Sementara mereka yang datang terlambat, sama sekali tidak dapat mengklaim emasnya karena memang sudah tidak ada atau sudahhabis.

Inilah contoh awal dari kolapsnya Bank.
Sampai tahun 1971, seluruh negara di dunia sebenarnya masih menggunakan sistem uang kertas berbasis emas (atau dolar, karena dolar menjadi mata uang kunci yang dikaitkan kepada emas). Tetapi setelah tahun 1971, hal yang jauh lebih buruk terjadi. Sistem uang kertas dilepas dari emas sehingga menjadi benar-benar uang kertas dalam arti kertas sesungguhnya, yaitu kertas yang dicetak begitu saja lalu dianggap sebagai uang dan tidak dijaminkan dengan emas apapun. Inilah yang disebut dengan uang fiat (fiat money). Semua bermula dari dibatalkannya perjanjian Bretton Wood oleh Amerika. Perjanjian Bretton Wood dimulai tahun 1945. Perjanjian ekonomi ini dilakukan setelah Perang Dunia kedua. Pada masa itu, akibat perang, negara-negara di Eropa mengalami kebangkrutan (defisit) finansial akibat pembiayaan perang. Sebaliknya Amerika Serikat (AS) memiliki cadangan emas yang luar biasa melimpah, senilai $25 Milyar.

Karena kekayaan melimpah tersebut, Amerika dengan leluasa membuat perjanjian Bretton Wood yang pada intinya adalah mengkaitkan nilai dolar senilai $1=1/35 ons emas, serta menjadikan dollar sebagai mata uang kunci di dunia, sehingga semua negara wajib menggunakan dollar atau emas sebagai devisa. Sebagai tambahan, dalam masa ini, rakyat Amerika dilarang mengklaim (menukarkan) dolarnya dengan emas. Emas dari klaim dolar hanya boleh beredar antara bank central dan pemerintah negara. Emas kini menjadi uang antar pemerintahan.

Selama beberapa waktu sistem ini bertahan dan berjalan lancar. Amerika yang kaya raya memiliki ruang untuk melakukan kebijakan yang inflatif, mulai mencetak dolar melebihi jumlah cadangan emasnya. Selama beberapa waktu, hal ini terjadi, efek inflasi yang dihasilkannya membuat beberapa negara Eropa khawatir apakah Amerika dapat membayar emas-nya. Dimulai oleh Perancis yang mulai mengklaim emas atas cadangan dollar yang dimilikinya, negara-negara lain pun mulai ikut mengklaim emas mereka sehingga emas pun mengalir dari Amerika ke negara-negara lain. Selama beberapa tahun, kejadian ini membuat stok emas AS menipis hingga tersisa sekitar $ 9 Milyar. Dengan cadangan yang berkurang jauh tersebut, Amerika khawatir mereka tidak dapat lagi memenuhi janjinya untuk membayar 1 ons emas dengan harga $35, karena banyaknya jumlah dollar yang beredar. Apalagi negara-negara lain terus mengklaim emas mereka.

Akhirnya, pada tahun 1971 AS secara sepihak membatalkan perjanjian Bretton Wood dan mulai menetapkan kebijakan uang fiat. Uang fiat ini, karena sejatinya tidak bernilai dan tidak ada yang mau
menggunakannya, maka dibuatlah undang-undang yang disebut Legal Tender. Sebuah undang-unang yang memaksa rakyat suatu negara untuk menerima penggunaan uang fiat. Kebijakan uang fiat tersebut akhirnya diikuti pula oleh seluruh negara di dunia. Seluruh mata uang resmi negara di dunia sekarang ini adalah uang fiat yang sama sekali tidak dibackup berdasarkan apa pun, kecuali kekuatan politik dan militer negara tersebut.

B. Masyru'iyah
Tidak ada nash yang secara eksplisit menyebutkan kewajiban zakat uang, baik di dalam Al-Quran maupun di dalam hadits nabawi. Yang ada adalah ijtihad para ulama di masa modern ini, dengan mengaitkan kesamaan illat yang ada pada fungsi koin emas dan koin perak di masa lalu dengan fungsi uang di zaman sekarang. Sehingga ada sebagian pendapat dari ulama yang tidak menganggap adanya kewajiban menzakatkan uang kertas di masa sekarang ini, dengan alasan tidak ada dalil yang bersifat eksplisit dari Al-Quran dan Sunnah.

1. Tidak Ada Zakat Uang
Mazdhab Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah menegaskan bahwa zakat yang berlaku hanyalah zakat koin emas dan koin perak, sedangkan selain keduanya, tidak ada zakatnya. Dan uang kertas di masa sekarang ini, termasuk dalam kategori yang tidak wajib atasnya zakat.43 Menurut keduanya, zakat atas uang hanya berlaku bila terkait untuk diperjual-belikan, bukan dalam arti disimpan. Pada bab berikutnya nanti akan dijelaskan tentang zakat urudh at-tijarah, atau zakat barang-barang yang dimiliki bukan untuk disimpan melainkan untuk diperjual-belikan. Sehingga ketentuan zakatnya sesuai dengan zakat tersebut.

2. Adanya Kewajiban Zakat Uang
Sedangan mazhab Al-Hanafiyah dan satu qaul dari mazhab Al-Malikiyah menetapkan bahwa uang yang disimpan sebagaimana dahulu orang menyimpan emas dan perak, pada hakikatnya punya kesamaan. Sehingga ada kewajiban untuk mengeluarkan zakat atas uang tersebut, bila telah memenuhi syarat seperti nishab dan haul. Apalagi realitas di masa sekarang ini menunjukkan bahwa manusia sudah tidak lagi menggunakan koin-koin emas dan perak sebagai alat tukar. Fungsinya sudah digantikan oleh lembaran-lembaran kertas, bahkan dengan mata uang elekronik. Namun prinsipnya tetap sama, uanguang itu dengan berbagai jenisnya berfungsi sebagai alat tukar. Sehingga ketentuan syariah atasnya tetap berlaku, yaitu wajib dikeluarkan zakatnya. Kajian tentang zakat uang ini didasarkan kepada pendapat kedua, yaitu yang mengakui adanya zakat atas uang.

C. Nishab
Karena pada hakikatnya ada kesamaan fungsi antara uang di masa sekarang dengan emas atau perak di masa lalu, maka dalam beberapa halnya, prinsip zakat uang merujuk kepada zakat emas dan perak. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat, apakah nishab zakat uang mengikuti nishab zakat emas ataukah nishab zakat perak. Sebab baik emas atau perak adalah dua alat tukar yang resmi dan sah dalam syariat Islam di masa lalu. Nishab emas (dinar) adalah 20 dinar yang beratnya 20 mitsqal, yaitu 85 gram emas murni. Nishab perak (dirham) adalah 200 dirham yang beratnya 140 mitsqal, yaitu 595 gram perak murni. Namun yang pasti keduanya punya nilai yang berbeda, terkadang lebih tinggi nilai nishab emas, tetapi kadang boleh jadi lebih tinggi dari nilai nishab perak.

1. Ikut Nishab Emas
Sebagian ulama mengatakan bahwa nishab zakat uang sebaiknya mengikuti nishab emas, dengan beberapa alasan antara lain :

a. Harga Emas Stabil
Emas adalam mulia yang bersifat universal. Setiap peradaban manusia menghargai emas dan menjadikannya alat tukar yang berlaku di seluruh dunia. Nilai emas sejak zaman dahulu hingga hari ini terus stabil dan pasti. Sehingga emas lebih banyak digunakan di berbagai peradaban dunia, dibandingkan dengan perak, sebagai alat tukar.

b. Harga Perak Berubah
Semenjak wafatnya Rasulullah SAW, ternyata harga perak berubah nilainya dan mengalami perubahan terus. Para sejarawan membuktikan bahwa yang tadinya nilai dinar emas itu setara dengan 10 dirham perak, di pertengahan masa khilafah Bani Umayah berubah menjadi 12 dirham. Dan di masa pemerintahan Bani Abasiyah, nilainya melorot lagi menjadi 15 dirham. Bahkan di masa pemerintahan Daulah Fatimiyah di Mesir, nilai dirham perak melorot terus, sehingga nilai 1 dinar emas setara dengan 34 dinar perak.

2. Ikut Nishab Perak
Sedangkan mereka yang mendukung nishab zakat uang mengikuti nishab zakat perak, mendasarkan pandangannya kepada beberapa alasan, antara lain :

a. Nishab Perak Lebih Kuat Dalilnya
Dibandingkan dengan nishab emas, hadits yang mendasari nishab perak jauh lebih qath'i (kuat), karena haditsnya sampai derajat shahih, diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Ash-Shahih yang telah beliau jamin semuanya shahih.

لَيسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ مِنَ الْوَرِقِ صَدَقَةٌ
Dari Abi Said Al-Khudri radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Perak yang kurang dari 5 awaq tidak ada kewajiban zakatnya". (HR. Bukhari)

Sedangkan hadits-hadits yang menyebutkan nishab emas tidak sampai derajat shahih, kecuali melalui jalur pendapat para shahabat nabi SAW.

b. Nishab Perak Lebih Mengasihi Fakir Miskin
Alasan kedua, karena secara umum nilai perak jauh lebih rendah dari nilai emas, sehingga nishab perak kalau dirupiahkan akan jauh lebih rendah dari nishab emas. Hal ini berarti kalau kita menggunakan standar nishab perak, akan lebih banyak lagi orang yang membayar zakat, karena strandar nishabnya lebih rendah. Berbeda bila kita menggunakan standar nishab emas yang 85 gram, secara nominal nilai itu jauh lebih tinggi, sehingga yang akan bayar zakat pun juga akan lebih sedikit.

3. Ikut Yang Terendah
Jika seseorang memiliki sejumlah uang dengan mata uang yang sama atau sejumlah uang dengan mata uang yang berbeda yang nilainya mencapai harga salah satu dari dua nishab tersebut, berarti uang yang dimilikinya mencapai nishab. Seandainya harga emas lebih rendah dari harga perak sehingga nilai uang yang dimilikinya mencapai harga 85 gram emas murni dan tidak senilai dengan harga 595 gram perak murni, maka nishabnya adalah nishab emas. Bila harga perak lebih rendah sehingga nilai uang yang dimilikinya mencapai harga 595 gram perak murni dan tidak senilai dengan harga 85 gram emas murni, maka nishabnya adalah nishab perak. Ketika seseorang memiliki uang yang jumlahnya senilai dengan salah satu dari dua nishab tersebut, maka sejak itu dia mulai menghitung haul yang harus dilewati oleh nishab tersebut sampai akhir tahun yang merupakan waktu wajibnya zakat.

Al-Lajnah Ad-Da’imah berfatwa dalam Fatawa Al-Lajnah (9/254, 257) bahwa uang yang terkena kewajiban zakat adalah uang yang nilainya mencapai nishab emas (senilai dengan harga 20 mitsqal emas) atau nilainya mencapai nishab perak (senilai dengan140 mitsqal perak) hingga akhir haul. Yang diperhitungkan dari dua nishab tersebut adalah yang terbaik bagi kalangan fakir miskin. Perhitungan nishab ini mengacu adanya perbedaan harga antara satu waktu dengan waktu yang lain dan antara satu negeri dengan negeri yang lain. Jika seseorang memiliki uang senilai dengan harga 595 gram perak berarti uangnya mencapai nishab. Uang yang dimiliki terkena kewajiban zakat di akhir haulnya dengan syarat jumlah uang yang merupakan nishab di awal haul tetap utuh jumlahnya dan tidak pernah berkurang dari nishab sampai akhir haul.

Namun perlu diketahui bahwa penetapan nishab uang yang mengikuti harga nishab perak bukan sesuatu yang bersifat pasti dan baku, karena harga perak sendiri bukan sesuatu yang sifatnya baku. Terjadi perbedaan harga perak di pasaran dan terdapat jenis perak berkualitas tinggi, ada yang berkualitas sedang dan ada yang berkualitas rendah. Jadi tidak ada harga nishab perak yang disepakati bersama oleh kaum muslimin untuk dijadikan sebagai standar yang baku. Dengan demikian penetapan harga nishab perak sebagai nishab uang sifatnya pendekatan dan bukan sesuatu yang pasti.

Setelah seseorang melakukan penjajakan harga perak dengan memperhitungkan berbagai kualitas yang ada hendaklah dia berijtihad (berusaha semaksimal mungkin untuk mendekati kebenaran) dalam menetapkan nishab uang yang dimilikinya. Mungkin Fulan menyatakan bahwa nishabnya sekian, yang lain menyatakan sekian dan yang lain menyatakan sekian, sesuai dengan hasil ijtihad masing-masing. Maka ada harga yang sifatnya di atas rata-rata, jika harga itu tercapai tidak diragukan lagi bahwa itu merupakan nishab. Ada pula harga di bawahnya yang diragukan apakah mencapai nishab atau tidak, maka menganggap harga itu mencapai nishab lebih hati-hati bagi agama seseorang. Kemudian harga yang lebih rendah dari itu tidak dianggap mencapai nishab.

Dengan demikian apabila terjadi kenaikan harga di tengah perputaran haul (tahun berjalan) yang terpaut jauh dengan harga di awal haul sehingga menjatuhkan nilai uang tersebut sampai pada batas yang tidak diragukan lagi bahwa tidak mencapai nishab, maka haulnya terputus. Adapun jika kenaikannya tidak terpaut jauh sehingga kemerosotan nilainya tidak begitu besar dan masih pada batas yang meragukan apakah mencapai nishab atau tidak, maka semestinya hal itu diabaikan dan tetap dianggap mencapai nishab dalam rangka berhati-hati. Kemudian di akhir haul yang merupakan waktu wajibnya zakat, nilai uang tersebut dihitung kembali menurut harga saat itu (hari sempurnanya haul), apakah nilainya tetap mencapai nishab atau tidak. Apabila harga perak di akhir haul mengalami kenaikan yang terpaut jauh dengan harga di awal haul sehingga menjatuhkan nilai uang tersebut sampai pada batas yang tidak diragukan lagi bahwa tidak mencapai nishab, maka berarti tidak terkena zakat.

Adapun jika kenaikannya tidak terpaut jauh sehingga nilai uang tersebut masih pada batas yang meragukan apakah mencapai nishab atau tidak, maka untuk kehati-hatian semestinya tetap dianggap mencapai nishab untuk kemudian dikeluarkan zakatnya. Apabila uang tersebut mencapai nishab dan telah sempurna haulnya, maka di akhir tahun wajib dikeluarkan zakatnya. Jika jumlah uang tersebut nilainya melebihi nishab, maka kelebihannya juga terkena zakat, berapapun jumlahnya. Besar zakat yang harus dikeluarkan dari uang yang jumlahnya mencapai nishab atau melebihi nishab dan telah sempurna haulnya adalah 1/40 (seperempat puluh) atau 2,5% (dua setengah persen) darinya, sebagaimana halnya pada zakat emas dan perak9. Jika uang tersebut mengalami pertambahan jumlah di tengah perputaran haul maka hendaklah dia mencatat setiap tambahannya beserta waktunya secara tersendiri agar dapat mengeluarkan zakat setiap tambahan itu di akhir haulnya masing-masing. Namun jika seseorang memilih untuk mengeluarkan zakat dari total uang yang ada di akhir haul nishab yang pertama kali dimilikinya, dengan alasan bahwa dia kesulitan dan merasa berat untuk menghitung jumlah setiap tambahan tersebut dan haulnya masing-masing, berarti dia telah memajukan waktu pengeluaran zakatnya setahun sebelum waktunya tiba. Dan hal itu boleh menurut jumhur (mayoritas) ulama. Hal ini boleh berdasarkan hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu:

أَنَّ الْعَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ سَأَلَ النَّبِيَّ صلى اللّه عليه وَسلم فِى تَعْجِيْلِ صَدَقَتِهِ قَبْلَ أَنْ تَحِلَّ، فَرَ خَّصَ لَهُ فِى ذَلِكَ
Bahwasanya Al-’Abbas bin Abdil Muththalib bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang maksudnya untuk menyegerakan pengeluaran zakatnya sebelum waktunya tiba. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kelonggaran kepadanya untuk melakukan hal itu.
(HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ad-Daraquthni, Al-Baihaqi dan yang lainnya)

Abu Dawud, Ad-Daraquthni, Al-Baihaqi, dan Al-Albani merajihkan bahwa hadits ini mursal. Namun Al-Albani menghasankannya dalam Irwa’ Al-Ghalil (no. 857) dengan syawahid (penguat-penguat) yang ada. Demikianlah terus berulang setiap tahun. Setiap kali pada uang yang dimiliki terpenuhi persyaratan nishab dan haul, ketika itu pula wajib dikeluarkan zakatnya di akhir tahunnya. Al-Lajnah berfatwa bahwa nilai/harga harta perdagangan ikut digabung dengan uang yang dimiliki dalam perhitungan nishab, karena maksud yang diinginkan dari barang perdagangan bukan barang itu sendiri, melainkan untuk menghasilkan uang (yang merupakan pengganti emas (dinar) dan perak (dirham) pada masa ini sehingga memiliki makna yang sama dengannya. Oleh karena itu zakat harta perdagangan wajib pada nilai/harganya dan dikeluarkan zakatnya dalam bentuk uang.

Sistem perhitungan nishab dan haul serta kadar yang wajib dikeluarkan pada zakat harta perdagangan sama dengan sistem perhitungan zakat uang. Perhitungan haul dimulai dari hari seseorang memiliki harta yang diniatkan untuk perdagangan yang nilainya/harganya mencapai salah satu dari nishab emas atau perak. Kemudian di akhir tahun saat sempurna haulnya nilai/harganya dihitung kembali menurut harga saat itu (hari sempurnanya haul), karena itulah saat wajibnya zakat. Jika nilai/harganya mencapai nishab menurut harga saat itu berarti terkena zakat sebesar 1/40 atau 2,5% dari nilai/harga tersebut dan dikeluarkan dalam bentuk uang. Namun apakah sepanjang perputaran haul hingga akhir tahun dipersyaratkan bahwa nishab tersebut tetap bertahan dan tidak pernah berkurang? Ada dua pendapat di kalangan ulama:

1. Hal itu dipersyaratkan, sebagaimana halnya pada zakat harta lainnya yang dipersyaratkan padanya nishab dan haul. Jika nilainya berkurang dari nishab di tengah perputaran haul maka haulnya terputus. Ini adalah mazhab Al-Imam Ahmad.

2. Hal itu tidak dipersyaratkan mengingat bahwa yang diperhitungkan pada zakat harta perdagangan adalah nilai/harganya, sedangkan untuk menghitung nilai/harganya setiap waktu sepanjang haul berjalan adalah sesuatu yang memberatkan. Ini adalah mazhab Al-Imam Abu Hanifah dan Al-Imam Asy-Syafi’i.

Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata dalam Al-Mughni membantah pendapat yang kedua: “Alasan mereka bahwa hal itu memberatkan tidak benar. Karena harta perdagangan yang kadarnya memang jauh dari nishab tidak perlu dihitung nilai/harganya, karena jelas-jelas tidak mencapai nishab. Adapun yang kadarnya mendekati nishab, jika mudah baginya untuk menghitung nilai/harganya (untuk mengetahui apakah tetap mencapai nishab atau tidak) hendaklah dia melakukannya. Jika sulit dan berat baginya untuk melakukan hal itu hendaklah dia berhati-hati, yaitu menganggapnya tetap mencapai nishab dan menunaikan zakatnya di akhir tahun."

Perlu diingat bahwa haul uang atau barang yang merupakan hasil keuntungan perdagangan mengikuti haul modalnya yang merupakan nishab. Adapun harta lain yang ditambahkan pada modal awal memiliki perhitungan haul tersendiri. Namun jika dia mengeluarkan zakatnya pada akhir haul modal pertama yang merupakan nishab berarti dia menyegerakan pengeluaran harta zakat yang belum sempurna haulnya setahun sebelumnya dan hal itu boleh menurut jumhur ulama.

Apabila seseorang memiliki uang yang jumlahnya tidak senilai dengan nishab perak dan harta perdagangan yang nilai/harganya tidak senilai dengan nishab tersebut, namun jika jumlah keduanya digabungkan akan senilai dengan nishab tersebut, maka wajib atasnya untuk mengeluarkan zakatnya sebesar 1/40 atau 2,5% dari keseluruhan hartanya tersebut yang telah sempurna haulnya dalam bentuk uang.



Related Posts:

0 Response to "I. Zakat Uang Simpanan"

Posting Komentar