B. Al-Masalih Al-Mursalah
C. Al-Istidlal
D. Al-Istish-hab
E. Saddu Adz-Dzari’ah
F. Al-Istihsan
1. Pengertian
G. Al-'Urf
1. Pengertian
2. Jenis ‘Urf & Hukumnya
3. Contoh Implementasi Al-Urf
H. Syar'u Man Qablana
I. Amalu Ahlil Madinah
J. Qaul Shahabi
A. Pengertian
Yang dimaksud dengan sumber-sumber fiqih yang mukhtalaf adalah sumber-sumber fiqih selain Al-Quran, Assunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Disebut mukhtalaf (diperselisihkan) karena tidak semua mujtahid menjadikan sumber-sumber ini sebagai rujukan dalam berijtihad. Sebagain mujtahid menggunakannya namun sebagian yang lain tidak menggunakannya.
Selain disebut sumber yang mukhtalaf, sumber-sumber ini juga sering disebut sumber-sumber sekunder, atau sumber tambahan. Karena posisinya jauh di bawah sumber yang empat dan utama.
Masing-masing sumber itu adalah Al-Mashalih Al-Mursalah, atau juga sering disebut Al-Istishlah, Al-Istish-hab, Saddu Adz-Dzariah’, Al-Istihsan, Al-‘Urf, Say’u Man Qablana, dan Amalu Ahlil Madinah.
B. Al-Masalih Al-Mursalah
Al-Masalih Al-Mursalah المصالح المرسلة dikenal juga sebagai al-istishlah الإستصلاح , artinya mengambil hukum suatu masalah berdasarkan kemasalahatan (kebaikan) umum, yaitu kemasalahatan yang oleh syariat tidak ditetapkan atau ditiadakan. Masuk dalam masalah adalah menghindarkan kerusakan baik terhadap indifidu atau masyarakat dalam banyak bidang.
Contoh maslahah mursalah adalah Umar bin Khatab dimasa kekhilafahannya membuat sebuah instansi untuk menangani gaji para pasukan kaum muslimin. Kemudian muncul instansi lainnya untuk menangani masalah-masalah lainnya.
Menurut sebagian ulama Mashlahatul Mursalah adalah, memelihara maksud Syara’ dengan jalan menolak segala yang merusakan makhluk. Contohnya, menaiki bis atau pesawat ketika melaksanakan ibadah haji walau itu tidak ada di zaman Rasulallah tidak tetapi boleh dilakkukan demi kemashlahatan ummat.
Contoh lain, mendirikan sekolah, madrasah untuk thalabul ilmi, tegasnya melakukan hal-hal yang berhubungan dengan agama walau tidak ada di zaman Nabi boleh kita lakukan demi kemashlahatn ummat yang merupakan tujuan di syaria’atkanya agama.
C. Al-Istidlal
Menurut Ibnu Hazm istidlal adalah, “Mencari dalil dari ketetapan-ketetapan akal dan natijah-natijah (kesimpulan) atau dari seorang yang lain yang mengetahuinya”.
Menurut ulama lain, Istidlal adalah, “Pertalian antara dua hukumtanpa menentukan illat (sebab)nya. Misalnya, menentukan batalnya shalat kalau tidak menutup aurat, karena menutup aurat merupakan syarat shahnya shalat.
Contoh lain, haramnya menjual daging babi karena termasuk membantu dalam kedurhakaan.
D. Al-Istish-hab
Al-Istish-hab adalah, menetapkan hukum yang berlaku sekarang atau yang akan datang berdasarkan ketetapan hukum sebelumnya karena tidak ada yang merubahnya. Misalnya, seseorang telah berwudlu, setelah beberapa saat ia ragu-ragu apakah ia sudah batal atau belum, maka ketetapan hukum seblumnya yaitu sudah berwudlu bisa dijadikan dalil bahwa ia masih punya wudlu. Sebagian ulama menamakan istishhab dengan istilah “baraatu adz-dzimmah” برأءة الذمة
E. Saddu Adz-Dzari’ah
Istilah Saddu Dzari’ah سدّ الذریعة maksudnya adalah mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan untuk menolak kerusakan atau menyumbat jalan yang menyampaikan seseorang kepada kerusakan.
Contoh, diharamkan menanam ganja atau opium untuk menutup kerusakan yang akan ditimbulkannya, yaitu orangorang menggunakannya untuk memabukkan.
Contoh lain, membuat diskotik karena biasanya sebgai tempat maksiat dan dosa.
F. Al-Istihsan
1. Pengertian
Al-Istihsan الإستحسان secara bahasa bermakna : عَدُّ الشَّيءِ حَسَنًا
Menghitung atau menganggap sesuatu itu baik
Sedangkan secara istilah di kalangan para ahli ushul, istihsan didefinisikan sebagai :
العُدُولُ عَنْ قِيَاسٍ جَلِيٍّ إِلَى قِيَاسٍ خَفِيٍّ
Meluruskan sesuatu dari qiyas jali kepada qiyas khafi
استثناء مسألة جزىٔية من أصل كلي
adalah berpindah dari suatu hukum dalam pandangannya kepada hukum yang berlawanan karena ada suatu yang dianggap lebih kuat, dengan pertimbangan hukum yang baru lebih baik karena kondisi dengan tanpa mengubah hukum asalnya, jika kondisi normal.Contohnya, orang yang mencuri di musim paceklik atau musim kelaparan tidak dipotong tangannya karena dimungkinkan ia mencurinya karena terpaksa.
G. Al-'Urf
1. Pengertian
Secara bahasa, kata al-'urf العُرْف bermakna al-khairu الخَیْر al-ihsanu الإحسان , dan ar-rifqu الرِّفْق , yang semuanya bermakna kebaikan.
Sedangkan secara istilah, al-urf bermakna :
مَا اعْتَادَ النَّاسُ وَسَارُاوا عَلَيْهِ فِي أُمُورِ حَيَاتِهِمْ وَمُعَا مَلَاتِهِم مِنْ قَوْلٍ أَوْفِعْلٍ أَوْ تَرْكٍ
Apa yang menjadi kebiasaan manusia dan mereka melawati kehidupan dan muamalat mereka dengan hal itu, baik berupa perkataan, perbuatan atau hal yang ditinggalkan.Dan terkadang al-‘urf ini juga disebut al-‘adah ( العادة ), atau kebiasaan yang berlaku di suatu masyarakat tertentu. Ada juga definisi al-urf yang lain, misalnya :
مَا اسْتَقَرَّ فِي النُّفُوسِ مِنْ جِهَّةِ العُقُولِ وَتَلَقَّتْهُ الطِّبَاعُ السَّلِيْمَةُ بِالقَبُلِ
Apa-apa yang menempati jiwa dari segi logika dan diterima oleh tabiat yang sehat.2. Jenis ‘Urf & Hukumnya
Para ulama sepakat membagi ‘urf ini menjadi dua macam, yaitu ‘urf yang shahih dan yang fasid.
a. ‘Urf Yang Shahih
‘Urf yang shahih adalah yang tidak menyalahi ketentuan akidah dan syariah serta akhlaq yang islami. Contoh ‘urf yang sesuai dengan syariah Islam adalah kebiasaan masyarakat jahiliyah sebelum masa kenabian untuk menghormati tamu, dengan memberi mereka pelayanan makan, minum dan tempat tinggal. Semua itu ternyata juga dibenarkan dan dihargai di dalam syariat Islam.
Maka para ulama sepakat mengatakan bahwa ‘urf yang seperti itu dilestarikan dan tidak dihapus, karena sesuai dengan ajaran Islam.
b. ‘Urf Yang Fasid
Al-‘Urf yang fasid adalah lawan dari yang shahih, yaitu al-‘urf yang jelas-jelas menyalahi teks syariah dan kaidahkaidahnya.
Di masa Rasulullah SAW, ‘urf seperti ini misalnya kebiasaan buruk seperti berzina, berjudi, minum khamar, makan riba dan sejenisnya.
Para ulama sepakat untuk mengharamkan ‘urf seperti ini, dan mengenyahkannya dari kehidupan kita.
3. Contoh Implementasi Al-Urf
a. Fiqih Muamalat
Di dalam fiqih muamalat, ada beberapa urf yang diterima dalam syariat Islam, misalnya kebiasaan orang berjual beli tanpa mengucapkan ijab dan kabul secara lisan. Padahal di dalam hukum jual-beli, salah satu rukunnya adalah ijab dan qabul.
Namun para ulama sepakat bila di tengah masyarakat sudah lazim terjadi jual-beli yang halal, tanpa dicampuri dengan akad-akad yang melanggar ketentuan syariah, meski tidak dengan mengucapkan ijab kabul secara lisan, jual-beli itu dianggap sah. Contohnya pada jual-beli mu’athaah معاطاه dimana penjual dan pembeli tidak bertemu muka secara langsung.
b. Dalam Perceraian
Sebagaimana kita tahu bahwa lafadz talak itu ada dua macam, sharih dan kina’i. Lafadz sharih adalah lafadz yang secara tegas menyebutkan kata talak atau yang searti dan tidak bisa diterjemahkan selain talak. Selangkan lafadz kina’i adalah lafadz yang sifatnya sindiran, atau bahasa yang diperhalus sedemikian rupa, sehingga masih bisa ditafsirkan menjadi lain.
Misalnya ketika suami berkata kepada istrinya,”Pulanglah kamu ke rumah orang tuamu”. Kalimat ini masih bersayap, bisa bermakna cerai dan bisa bermakna bukan cerai.
Dalam hal ini, apakah kalimat ini bermakna cerai atau tidak, tergantung dari ‘urf yang lazim dikenal di suatu masyarakat. Bila masyarakat di suatu tempat sudah menganggapnya kalimat itu adalah cerai, maka jatuhlah talak kepada istri. Dan bila urf di masyarakat itu tidak bermakna cerai, maka belum jatuh talak.
H. Syar'u Man Qablana
Maksud istilah syar’u man qablana شرع من قبلنا adalah syariat umat sebelum nabi Muhammad diutus, namun syariat Muhammad tidak menghapusnya dengan jelas.
Selama tidak nash Al-Quran dan hadis yang menjelaskan bahwa syariat itu tidak dihapus maka ia termasuk syariat kita.
I. Amalu Ahlil Madinah
Asa
J. Qaul Shahabi
0 Response to "Bab 10 Sumber Fiqih Mukhtalaf"
Posting Komentar