O. Zakat Hasil Produksi


A. Pengertian
1. Hasil Produktif
2. Mustaghallat

B. Dua Wilayah Hasil Produktif
1. Sewa
2. Produksi

C. Perbedaan Pendapat
1. Penentang
2. Pendukung

E. Perbedaan Teknis Pendukung
1. Zakat Emas
2. Zakat Perdagangan
3. Zakat Pertanian

G. Teknis Yang Paling Sering Digunakan
1. Nishab
2. Tanpa Haul
3. Dikurangi Modal dan Biaya Produksi
4. Prosentase

Setelah pada bab lalu kita membahas zakat profesi, maka pada bab ini kita akan membahas zakat yang punya banyak kemiripan dengan zakat profesi, yaitu zakat hasil dari barang-barang yang bersifat produktif, atau mudahnya kita sebut zakat hasil produksi.

Persamaan zakat ini dengan zakat profesi adalah samasama zakat yang baru dicetuskan di zaman modern ini. Di masa lalu kita tidak menemukan zakat ini, baik di masa Rasulullah SAW, para shahabat bahkan sepanjang 14 abad lamanya. Dan di masa sekarang pun zakat barang produktif ini belum diterima secara bulat oleh para ulama, dan belum terlaksana secara utuh di dunia Islam.

Meski diakui memang cukup banyak yang mulai menganjurkan dan melaksanakan. Hal itu disebabkan karena zakat barang produktif ini memang tidak pernah dibahas di dalam kitab-kitab fiqih klasik selama ini. Satu hal yang menyebabkan di masa sekarang pun zakat jenis ini masih dianggap agak kontroversial, sebagaimana zakat profesi.

A. Pengertian
Berbeda dengan zakat profesi yang menarik zakat dari penghasilan orang per-orang, zakat atas hasil yang didapat dari barang-barang produktif ini berprinsip menarik zakat dari pemasukan ekonomis dari barang-barang yang punya daya produksi.

1. Barang Produktif
Yang dimaksud dengan hasil dari barang produktif itu adalah barang-barang yang bisa memberikan pemasukan nilai ekonomis bagi pemiliknya, baik dengan cara disewakan kepada pihak lain, atau pun barang itu bisa memproduksi barang lain yang baru dan bisa dijual untuk mendapatkan pemasukan ekonomisnya.

2. Mustaghallat
Di dalam literatur fiqih, istilah barang-barang yang bisa memberikan nilai pemasukan ekonomis, tanpa harus menjualnya, sering disebut dengan mustaghallat ( المستغلات ).
Namun karena istilah mustaghallat ini masih terdengar asing di telinga kita, Penulis cenderung untuk memberi judul bab ini dengan zakat harta produktif.

Istilah mustaghallat sendiri adalah bentuk jama’ muannats salim dari bentuk tunggalnya, mustaghal ( مُستَغْل ). Dan kata ini merupakan isim maf’ul yang terbentuk dari kata dasarnya berupa fi’il madhi, istaghalla ( اِسْتَغْلَّ ). Dan istaghalla sendiri adalah bentuk mazid (tambahan) dengan huruf alif, siin dan ta’ dari akar kata ghullah ( غُلَّة ) Makna ghullah sendiri secara bahasa adalah pemasukan atau penghasilan dari menyewakan rumah, atau upah kerja dari budak yang disewakan, atau atas manfaat dari suatu lahan.53

Dr. Yusuf Al-Qaradawi menyebutkan bahwa harta mustaghallat ini bermakna harta yang tidak ada kewajiban zakat atas nilainya, juga bukan karena mau diperjual-belikan, melainkan zakat yang diwajibkan atas adanya manfaat yang memberikan pemasukan harta bagi pemiliknya, baik dengan jalan disewakan maupun dijual hasilnya.54

Dr. Abdu As-Sattar Abu Ghuddah mendefinisikan zakat mustghallat ini sebagai setiap harta yang manfaatnya bisa diperbaharui sedangkan ain-nya tetap, sehingga dapat memberikan pemasukan harta bagi pemiliknya, misalnya dengan cara penyewaan.55

Dr. Muhammad Abdu Al-Maqshud mendefinisikan almustahgallat adalah harta yang berupa modal yang tidak diperjual-belikan dan tidak dipergunakan untuk kepentingan pribadi, namun diambil manfaatnya.56

Dr. Muhammad Aqlah mendefinisikannya sebagai harta yang tidak diperjual-belikan, juga tidak digunakan untuk perdagangan, pemiliknya mengambil manfaatnya dan bukan ain-nya, dengan cara menyewakannya atau cara-cara lainnya.57
53 Lisanul Arab, jilid 11 hal. 504
54 Al-Qaradawi, Fiqh Az-Zakat, jilid 1 hal. 462
55 Abu Ghuddah Abdu As-Sattar, Qiyas wa Hisab Zakat Irad Al-Mustghallat, Majalah Al-Iqtishad Al-Islami, Ramadhan 1420 H – Desember 1999, vol. 222 hal.51
56 Daud, Muhammad Abdul Maqshud, Al-Ahkam Al-Jaliyyah fi Zakah Al-Amwal Al-
Ashriyah, hal. 119, Dar Al-Jami’ah Al-Jadidah li An-Nasyr – Al-Iskandariyah, 2004.


B. Dua Nilai Hasil Barang Produktif Produktif
Setidaknya ada dua jenis nilai hasil dari barang-barang yang bersifat produktif.

Pertama, ketika suatu barang punya manfaat bagi orang lain, lalu barang itu disewakan untuk diambil manfaatnya, dan untuk itu ada pemasukan secara ekonomis yang masuk ke kantung pemiliknya. Mudahnya kita sebut saja penyewaan barang.

Kedua, ketika suatu barang mampu memproduksi barang baru, lalu barang baru itu punya nilai ekonomis, dengan cara dijual dan memberikan pemasukan ekonomis bagi pemiliknya. Mudahnya kita sebut saja produksi barang.

1. Penyewaan
Zakat hasil dari barang produtif yang pertama adalah zakat yang dikenakan atas penyewaan barang yang bisa diambil manfaatnya, dan untuk itu ada pemasukan secara ekonomis yang masuk ke kantung pemiliknya. Ada banyak barang di masa sekarang yang bisa disewakan manfaatnya kepada pihak lain, dan dari situ bisa didapat pemasukan secara nilai ekonomis. Seperti penyewaan lahan, kendaraan, bangunan, dan lainnya.

a. Tanah
Seseorang yang memiliki sebidang tanah tapi dibiarkan tanah itu tidak produktif atau tidak memberikan pemasukan, meski nilai tanah itu milyaran, tidak ada kewajiban zakatnya. Namun manakala tanah itu disewakan, atau dikontrak pihak lain, entah untuk kepentingan apa, yang penting ada pemasukan dari penyewaan lahan itu, maka tanah itu dianggap sebagai harta mustaghallat yang wajib dikeluarkan zakatnya dari uang sewa.
57 Aqlah, Muhammad, Ahkam Az-Zakah wa Ash-Shadaqah, hal. 148

pihak lain, entah untuk kepentingan apa, yang penting ada pemasukan dari penyewaan lahan itu, maka tanah itu dianggap sebagai harta mustaghallat yang wajib dikeluarkan zakatnya dari uang sewa.

b. Kendaraan
Seseorang yang memiliki sepeda motor atau mobil, tentu tidak ada kewajiban untuk mengeluarkan zakatnya, lantaran keduanya tidak memberikan pemasukan bagi pemiliknya. Namun tatkala sepeda motor itu disewa oleh tukang ojek misalnya, lalu tiap hari si tukang ojek itu menyerahkan uang setoran, maka disitulah kemudian sepeda motor itu dikatakan telah memberikan pemasukan. Dan oleh karena itu, sepeda motor itu berubah menjadi harta jenis mustaghallat, yang ada kewajiban bagi pemiliknya untuk mengeluarkan zakat atas uang setoran itu. Mobil pribadi yang kemudian disewakan sebagai taksi gelap, juga termasuk harta mustaghallat yang ada kewajiban zakatnya.

Dan hal yang sama juga berlaku pada bus, truk, taxi, Bajaj, helicak, becak, delman, perahu, kapal laut, pesawat terbang, dan seterusnya. Pendeknya, manakala kendaraan itu disewakan dan memberikan pemasukan bagi pemiliknya, ada kewajiban untuk mengeluarkan zakat atas uang sewa itu.

c. Bangunan
Di antara contoh yang paling mudah dan paling banyak didapat untuk harta mustaghallat ini adalah bangunan, baik berupa rumah, rumah kontrakan, kantor, ruang pertemuan, kamar hotel, kamar kost, lapangan futsal dan seterusnya.

d. Peralatan
Di masa sekarang ini banyak sekali jasa penyewaan alat alat, mulai dari kebutuhan untuk menggelar sebuah perhelatan, pernikahan, sampai kebutuhan untuk pembuatan produksi film dan sebagainya. Sound system, kamera video, berbagai equipment untuk studio atau rumah produksi, baik untuk film atau musik, dan beribu alat-alat lainnya, semua bisa disewa tanpa harus memilikinya. Dan dari semua hasil penyewaan itu, jelas ada uang masuk yang dari situlah ada kewajiban zakat.

2. Produksi
Jenis yang kedua dari zakat atas hasil dari barang produktif adalah barang-barang atau alat-alat yang mampu berproduksi menghasilkan suatu produk baru. Lalu produkproduk baru yang dihasilkan itu bernilai ekonomis dan bisa dijual, sehingga memberikan pemasukan ekonomis. Maka dari pemasukan dari menjual hasil produksi itulah, ditetapkan kewajiban zakat. Dalam hal ini, ada dua jenis cara berproduksi dalam menghasilkan produk baru :

a. Produksi Secara Alami
Menurut para ulama yang mendukung zakat ini, di antara contoh benda atau barang yang bisa berproduksi secara alami adalah hewan dan tumbuhan yang dipelihara oleh peternak dan petani, di luar zakat pertanian dan peternakan yang sudah dikenal dalam zakat klasik. Dari jenis hewan misalnya hewan-hewan yang mampu menghasilkan benda-benda yang bernilai ekonomis, seperti sapi yang bisa menghasilkan susu, ayam yang bisa menghasilkan telur, lebah yang bisa menghasilkan madu, biri-biri yang bisa menghasilkan wol, walet yang bisa menghasilkan sarang, sampai semua jenis ternak hewan yang bisa menghasilkan daging.

Dan dari jenis tumbuhan misalnya perkebunan yang punya nilai jual dari hasil dengan cukup tinggi, seperti perkebunan kelapa sawit, tembakau, cengkeh, kayu jati, serta berbagai macam kebun buah-buahan, seperti mangga, durian, jeruk, apel, semangga, melon, buah pir, buah naga, dan seterusnya.

b. Produksi Secara Mekanis
Sedangkan hasil dari barang hasil produksi manual antara lain pabrik dan manufactur. Pabrik adalah suatu bangunan industri besar dimana para pekerja mengolah benda atau mengawasi pemrosesan mesin dari satu produk menjadi produk lain, sehingga mendapatkan nilai tambah.

Manufaktur adalah suatu cabang industri yang mengaplikasikan peralatan dan suatu medium proses untuk transformasi bahan mentah menjadi barang jadi untuk dijual. Upaya ini melibatkan semua proses antara yang dibutuhkan untuk produksi dan integrasi komponen-komponen suatu produk. Beberapa industri, seperti produsen semikonduktor dan baja, juga menggunakan istilah fabrikasi atau pabrikasi. Sektor manufaktur sangat erat terkait dengan rekayasa atau teknik.

Produksi secara mekanis ini bisa mencakup industri besar, seperti berbagai pabrik skala nasional dan internasional, namun juga industri tradisional atau home industry.

C. Perbedaan Pendapat
Sebagaimana sudah disinggung di muka, zakat atas hasil dari barang-barang produktif ini memang sejak tumbuhnya sudah menjadi masalah yang kontroversial di kalangan ulama.

1. Penentang
a. Tidak Ada Nash Sharih Dari Quran dan Sunnah
Mereka yang menentang keberadaan zakat ini berhujjah dengan hujjah yang sulit dibantah, yaitu tidak ada nash dari ayat-ayat Al-Quran atau pun dari sunnah Rasulullah SAW yang memerintahkan zakat ini.

Padahal zakat adalah bagian dari agama, dimana kita menjalankan agama ini berdasarkan petunjuk dari Allah. Apa yang menjadi perintah Allah SWT, itulah yang menjadi kewajiban kita untuk menjalankannya. Sebaliknya, apa yang tidak diperintahkan, tentu tidak ada keharusan untuk melaksanakannya.

b. Tidak Ada Contoh Nyata Di Masa Lalu
Selain zakat ini tidak ada perintahnya di dalam Al-Quran dan As-Sunnah, juga kita tidak menemukan contoh kongkrit yang bisa dijadikan acuan dalam melaksanakannya. Tidak ada satu pun contoh nyata yang bisa kita jadikan pedoman, setidaknya yang menginformasikan tentang kewajiban zakat ini.

Kita tidak menemukan contoh pelaksanaan zakat ini, baik di masa Rasulullah SAW, zaman para khulafa arrasyidun, zaman dinasti Bani Umayah, Bani Abbasiyah dan Babi Utsmaniyah. Artinya, sepanjang 14 abad berjalan, umat Islam tidak pernah melaksanakannya. Lalu bagaimana mungkin tiba-tiba di masa sekarang ini, muncul zakat ini begitu saja?

c. Tidak Terdapat di Dalam Literatur Kitab Fiqih
Kecuali kitab-kitab fiqih kontemporer dan makalahmakalah dari ulama di masa sekarang, kita tidak akan menemukan para ulama di zaman keemasan fiqih, tema zakat ini dibahas oleh para ulama.

Padahal warisan kitab fiqih umat ini sangat banyak, memenuhi berbagai perpustakaan di berbagai penjuru dunia Islam. Namun sepi dari pembahasan tentang zakat yang satu ini.

Para ulama tidak pernah membahas kajian tentang zakat in secara khusus dalam satu tertentu dalam kitab-kitab fiqih mereka. Padahal seringkali satu masalah kecil dalam urusan hukum fiqih, dibahas dengan menghabiskan berpuluh-puluh halaman, pembahasannya panjang dan detail sekali. Tetapi justru kita tidak temukan kajian yang secara khusus membahasa zakat yang satu ini, kecuali sekedar informasi sekilas bahwa si fulan begini dan begitu. Tanpa menyebutkan lebih jauh bagaimana rincian ijtihad mereka.

d. Aturannya Rancu dan Penuh Kontradiksi
Para penentang zakat ini juga berhujjah dengan hujjah yang cukup sulit dijawab, yaitu katakanlah kita menerima adanya zakat ini, lantas bagaimana aturan, ketentuan dan tata caranya?

Tentunya tidak ada yang baku. Dan semua terbukti dengan terjadinya perdebatan seru antara sesama pendukung zakat ini. Setidaknya, ketika mereka berbeda pendapat tentang mau dibawa kemana zakat ini, apakah akan mengacu kepada ketentuan dari zakat emas, atau zakat barang perdagangan, atau kah mau merujuk kepada zakat pertanian?

Kerancuan ini malah menjadi bukti bahwa pada dasarnya zakat ini kurang punya landasan syar’i, menurut para penentangnya.

2. Pendukung
Tentu saja para pendukung zakat ini tidak tinggal diam, ketika mereka dihantam dengan berbagai macam argumentasi yang cukup bikin tidak berkutik. Dengan segala daya dan upaya, mereka berusaha untuk menjawab dan mematahkan argumentasi lawan mereka.

a. Nash Tetap Namun Realitas Berubah
Argumentasi mereka dalam menjawab tuduhan zakat ini tidak punya landasan ayat Quran dan sunnah, dijawab dengan sebuah jawaban sederhaha. Jawabannya bahwa ayataayt Al-Quran dan sunnah nabawiyah tidak perlu menjelaskan secara detail ketentuan zakat. Cukup bisa garis besarnya saja, adapun detailnya, serahkan saja kepada itihad para ulama, yang lebih mengerti realitas masyarakat. Misalnya, ketika Rasulullah SAW mengeluarkan zakat fithr dengan kurma, para ulama sepakat bahwa kurma itu bukan syarat sah zakat. Di negeri selain Madinah atau di luar Arab, ketika suatu masyarakat punya makanan pokok yang bukan kurma, maka silahkan saja mereka mengeluarkan zakat fithr dengan makanan pokok masing-masing. Bangsa Indonesia, Malaysia, Brunai, Thailand dan lainnya, yang makanan pokoknya nasi, silahkan mengeluarkan zakat berupa beras. Bangsa Eropa yang makanan pokoknya roti, silahkan mengeluarkan zakat fithr dengan gandum. Bangsa Amerika yang makanan pokoknya jagung atau kentang, silahkan berzakat dengan jagung atau kentang.

Walau pun tidak ada satu pun perintah dalam Al-Quran atau pun As-Sunnah yang membolehkan berzakat dengan beras, jagung, kentang, tetapi para ulama melihat realitas itu dan membolehkan kita berzakat dengan makanan yang tidak pernah disebutkan Al-Quran atau pun As-Sunnah.

b. Fleksibilitas Fiqih dan Pintu Ijtihad Yang Terbuka
Selain itu, para ulama pendukung zakat ini juga berhujjah dengan prinsip bahwa hukum Islam itu fleksible, luwes dan mudah menyesuaikan diri dengan realitas zaman yang terus berubah dari masa ke masa. Justru karena fleksible itulah maka hukum-hukum syariah tetap bisa diterapkan di segala peradaban dan era. Di sisi lain, para ulama sepakat bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup, khususnya untuk zaman yang terus berubah. Menutup pintu ijtihad sama saja meruntuhkan bangunan Islam seluruhnya.

c. Asas Keseimbangan
Salah satu pemikiran yang mendasari ijtihad para ulama hari ini untuk menetapkan zakat ini adalah azas keadilan. Namun dengan tidak keluar dari mainframe zakat itu sendiri yang filosofinya adalah menyisihkan harta orang kaya untuk orang miskin.

Ketentuan zakat pertanian yang terdapat dalam fiqih klasik, sangat terbatas, misalnya hanya pada jenis makanan pokok, seperti petani padi. Sebagai ilustrasi, bila seorang petani menanam jenis tanaman selain padi, sudah tidak terkena zakat, meski pun hasil panennya secara nominal jauh lebih besar dari bila dia menanam padi. Misalnya lahannya itu ditanami kelapa sawit, apel, durian, salak dan sebagainya, tentu dia akan lebih besar mendapatkan penghasilan. Oleh karena itu para ulama dengan pertimbangan rasa keadilan, maka menetapkan adanya zakat ini. Sehingga meski bukan termasuk jenis tanaman yang wajib dizakati, namun bila hasil panennya itu bernilai jual secara ekonomis, tetap terkena zakat, meski bukan lewat jalur zakat pertanian, tetap zakat barang yang bernilai produktif.

Demikian juga dalam kasus hewan ternak, kalau hanya mengacu kepada zakat klasif dalam mawasyi, yang terkena zakat hanya terbatas pada tiga jenis hewan saja, yaitu kambing, sapi dan unta. Sementara peternak ayam, baik pedaging atau petelur, meski jumlahnya ribuan ekor, sama sekali tidak terkena zakat. Peternak burung walet pun tidak terkena zakat, sebagaimana peternak lebah madu, perikanan dan seterusnya. Demikian juga dengan orang-orang kaya yang punya aset berlimpah, seperti mobil, rumah dan lainnya. Secara hukum fiqih klasik, semua jenis harta itu tidak ada kewajiban zakatnya.

adalah orang yang memiliki banyak aset yang disewakan, seperti pemilik hotel, resort, peternak ayam,. Zaman berubah namun prinsip zakat tidak berubah. Yang berubah adalah realitas di masyarakat. Tapi intinya orang kaya menyisihkan uangnya untuk orang miskin. Dan itu adalah intisari zakat.

E. Perbedaan Ketentuan
Sejak awal sudah disampaikan bahwa zakat ini bersifat kontemporer dan sekaligus juga kontroversi. Artinya, bukan hanya ada sebagian ulama yang tidak setuju dengan keberadaan zakat ini, namun sesama ulama yang setuju dengan zakat ini di dalamnya masih terjadi perbedaan dalam menetapkan ketentuan dan tata cara aturan pengeluaran zakatnya.

Sebagian ulama ada yang menyandarkannya kepada zakat emas, sebagian lagi menyandarkan kepada zakat perdagangan, serta yang lainnya lagi menyandarkan kepada zakat pertanian. Dan masing-masing punya sisi kesamaan sekaligus perbedaan.

1. Berdasarkan Zakat Emas
Sebagian ulama yang mendukung zakat ini berpendapat bahwa aturan penghitungan zakatnya disesuaikan dengan zakat emas.

Zakat atas kepemilikan emas dikeluarkan tiap tahun, terhitung sejak setahun atau satu haul ketika jumlah emas yang dimiliki melebihi 85 gram. Maka ketentuan dalam zakat ini adalah bila jumlah pemasukan atau keuntungan dari hasil penyewaan atau penjualan hasil produksi telah mencapai nilai seharga 85 gram emas.

Kelemahan pendapat ini terdapat pada syarat haul, yang harus dilewati terlebih dahulu dalam zakat emas. Sedangkan zakat dari hasil menyewakan atau menjual hasil produk barang, tidak perlu disimpan terlebih dahulu selama satu tahun. Karena bila demikian, tidak ada bedanya dengan zakat uang tunai atau zakat emas.

2. Berdasarkan Zakat Perdagangan
Sebagian ulama lain yang juga mendukukng zakat ini berpendapat bahwa zakat ini lebih dekat dengan zakat barang-barang perdagangan, atau zakat ‘urudhut-tijarah. Zakat barang perdagangan dikeluarkan setiap tahun, apabila nilai barang yang diperdagangkan itu telah melebihi nilai emas 85 gram.

Kelemahan pendapat ini dalam masalah syarat haul. Zaakt perdagangan tidak dikeluarkan kecuali setelah dimiliki selama satu haul. Sedangkan zakat dari sewa atau jual hasil produksi ini tidak mungkin menunggu satu haul. Sebab kalau menunggu satu haul terlebih dahulu, lantas apa bedanya dengan zakat uang tunai atau zakat emas.

3. Berdasarkan Zakat Pertanian
Namun umumnya ulama menyebutkan bahwa yang paling mendekati adalah bila zakat ini dinisbatkan kepada zakat pertanian. Sebab ada begitu banyak kesamaannya dibandingkan perbedaannya.

Di antara kesamaan zakat ini dengan zakat pertanian adalah sama-sama tidak perlu menunggu waktu satu tahun (satu haul) ketika mengeluarkan zakat. Dalam zakat hasil pertanian, begitu petani memetik hasil panen, langsung dikeluarkan zakatnya. Maka demikian juga dengan zakat barang produktif ini, begitu menerima hasil uang sewa atau uang penjualan, segera dikeluarkan zakatnya. Namun kelemahan zakat ini adalah dalam masalah besaran yang harus dikeluarkan. Seharusnya kalau mengacu kepada zakat pertanian, prosentase harta yang dizakatnya adalah 5% atau 10%. Namun para ulama umumnya lebih cenderung untuk menggunakan zakat emas atau zakat barang perdagangan, dalam menetapkan besaran kewajiban yang harus dibayarkan.

G. Teknis Yang Paling Sering Digunakan
Maka kalau kita cermati secara lebih jauh, teknis dan bentuk zakat atas penghasilan dri harta produktif ini adalah pencampuran antara ketiga zakat di atas. Sehingga hasilnya kurang lebih demikian :

1. Nishab
Nishab zakat ini umumnya oleh para ulama disebutkan mengikuti nishab zakat pertanian, yaitu seharga 520 kg beras tiap panen. Bila harga 1 kg besar Rp. 2.500, maka 520 kg x Rp. 2.500,-. Hasilnya adalah Rp. 1.300.000,-. Para ulama berpendapat bahwa nishab zakat ini adalah jumlah penghasilan bersih selama setahun, meski pemasukan itu terjadi tiap waktu. Bila nilai total memasukan bersih setelah dikurangi dengan biaya operasional melebihi Rp. 1.300.000,-, wajib dikeluarkan zakatnya.

2. Tanpa Haul
Berdasarkan perbedaan penghitungan nishab oleh para ulama, maka waktu pembayarannnya pun dibedakan. Bila menganut pendapat pertama, maka zakatnya dikeluarkan saat menerima setoran. Dan bila menganut pendapat kedua, maka memayar zakatnya tiap satu tahun atau haul, yaitu hitungan tahun dalam sistem hijriyah.

3. Dikurangi Modal dan Biaya Produksi
Yang dikeluarkan zakatnya adalah hasil pemasukan dari hasil barang produktif, setelah dikurangi dengan kebutuhan pokok. Ini adalah salah satu pendapat yang cocok diterapkan kepada mereka yang pemasukannya relatif kecil. Jadi pengeluaran zakatnya bukan pemasukan kotor, tetapi setelah dikurangi dengan pengeluaran kebutuhan pokoknya.

Namun ada juga pendapat yang mengatakan bahwa yang harus dikeluarkan zakatnya adalah pemasukan kotornya. Pendapat ini agaknya lebih cocok bagi pemilik barang bernilai produktif yang besar dan mendatangkan keuntungan berlimpah sehingga pemiliknya hidup berkecukupan.

4. Yang Dizakati Adalah Hasil Bukan Modal
Yang wajib dikeluarkan zakatnya bukan dari nilai investasi itu, tetapi pemasukan hasil dari investasi itu. Bila berbentuk rumah kontrakan, maka uang sewa kontrakan. Bila kendaraan yang disewakan, maka uang sewanya. Bila pabrik dan industri, maka nilai produknya. Bila saham, maka nilai pertambahannya atau keuntungannya.

Karena itu pengeluaran zakatnya bukan dihitung berdasarkan perputaran tahun, tetapi berdasarkan pemasukan hasil. Kapan menerima uang masuk, maka dikeluarkan zakatnya.

5. Besaran Yang Harus Dizakatkan
Para ulama berbeda pendapat tentang besaran zakat ini. Sebagian menyebutkan 2,5 %, namun juga ada yang mengatakan 5% hingga 10 %, dari nilai total pemasukan.

H. Contoh
Untuk memudahkan pembaca dalam menangkap pesan dari tulisan ini, berikut penulis buatkan beberapa contoh kasus yang terkait dengan zakat ini :

1. Sewa Lahan Parkir
Tanah yang kosong menganggur, meski luas dan bernilai jual yang tinggi, tidak ada kewajiban zakatnya. Namun bila dari tanah itu bisa disewakan atau dihasilkan suatu pemasukan yang bernilai ekonomis, maka barulah ada kewajiban zakat atasnya.

Contohnya adalah tanah kosong yang disewa pihak lain untuk dimanfaatkan sebagai lahan parkir. Kurangnya lahan parkir di kota besar seperti Jakarta, menyebabkan orang banyak mencarinya untuk dimanfaatkan sekedar menitipkan kendaraan, alias parkir. Maka bila ada penghasilan dari sewa lahan untuk parkir ini, ada kewajiban untuk membayar zakat.

2. Usaha Taksi
PT. Alam Prima memiliki 1000 armada taxi. Uang setoran bersih tiap taxi setelah dipotong biaya perawatan dan lainlain adalah Rp. 100.000,- perhari. Separo dari armadanya masih berstatus hutang kredit. Sehingga uang setoran untuk ke-500 armada itu digunakan untuk mencicil pembayaran. Maka dalam sehari pemasukan bersihnya adalah Rp. 100.000.000,- dikurangi Rp. 50.000.000 = Rp. 50.000.000,-.
Zakat yang harus dikeluarkan adalah 5 % x Rp. 50.000.000,- = Rp. 2.500.000,- perhari. Dalam setahun akan terkumpul dana zakat dari PT Alam Prima uang zakat sebesar 365 x Rp. 2.500.000,- = Rp. 912.500.000,-.
Jumlah yang lumayan besar ini tentu sangat berarti untuk mengentaskan kemiskinan umat Islam. Seandainya semua perusahaan taxi milik umat Islam menerapkan zakat dalam perusahaannya, banyak hal yang bisa dikerjakan.

3. Kontrakan Petak
Pak Haji Qodir punya rumah kontrakan petak 8 pintu di daerah Ciganjur. Harga kontrakan tiap pintu adalah Rp. 150.000,-. Jadi setiap bulan beliau menerima total uang kontrakan sebesar 8 x Rp. 150.000 = Rp. 1.200.000,-.
Namun ini adalah pemasukan kotor. Sedangkan kehidupan Pak Haji Qodir ini semata-mata menggantungkan dari hasil kontrakan. Beliau punya tanggungan nafkah keluarga yang kebutuhan pokoknya rata-rata tiap bulan Rp. 1.000.000,-. Jadi yang tersisa dari pemasukan hanya Rp. 200.000,-. Bila dikumpulkan dalam setahun, maka akan didapat Rp. Rp. 2.400.000,- dari pemasukan bersihnya. Angka ini sudah melewati nishab zakat investasi yang besarnya Rp. 1.300.000,-.

Karena itu zakat yang harus dikeluarkan adalah 5 % dari pemasukan bersih. Jadi besarnya zakat yang dikeluarkannya adalah dari setiap pemasukan bersih tiap bulan 5 % x Rp. 200.000 = Rp. 20.000,-.
Angka ini tidak terasa memberatkan bagi seorang Haji Qodir yang bukan termasuk investor kaya.

4. Sewa Tenda Kursi

5. Ternak Ayam
Hewan ternak yang kena zakat secara ketentuan ilmu fiqih yang baku hanya terbatas pada tiga jenis hewan, yaitu kambing, sapi dan unta. Selebihnya, tidak terkena kewajiban zakat. Maka lewat jenis zakat yang satu ini, pemasukan seseorang dari beternak hewan lain, tetap bisa terkena kewajiban membayar zakat.

Misalnya seseorang memelihara 1000-an ekor ayam petelur. Bila dalam sehari bisa mendapatkan 800 butir telur ayam, maka

6. Kebun Kelapa Sawit
Simulasi contoh A:
Bapak Adi memanen kelapa sawit seluas 4 hektar sekitar 25.000 kg. Dalam hal ini berarti panennya lebih dari nishab. Asumsi harga kelapa sawit sebesar Rp 2.000per kg. Maka 25.000 kg x Rp 2.000 = Rp 50.000.000. Adapun zakat yang mesti dikeluarkannya ialah Rp 50.000.000 x 5% = Rp 2.500.000.

7. Pabrik Tempe


Related Posts:

0 Response to "O. Zakat Hasil Produksi"

Posting Komentar