M. Zakat Al-Fithr


Ikhtishar

A. Masyru'iyah
B. Hikmah dan Hukum
C. Ukuran dan Waktu Pemberian
D. Haruskah Lewat Amil Zakat?
E. Mengganti Zakat Fithr Dengan Uang
F. Kewajiban Siapa?
G. Bayi

H. Pahala Puasa Menggantung?
a. Kritik Sanad Hadits
b. Kritik Matan Hadits

A. Masyru'iyah
Zakat fitrah atau disebut dengan shadaqah al-fithr adalah salah satu bentuk zakat yang diwajibkan Allah buat laki-laki, wanita, besar, kecil, anak-anak, dewasa dari umat
ini. Dasar pensyariatannya adalah dalil berikut ini :

فَرَضَ رَسُولُ اللّٰهِ صلى اللّٰه عليه وسلم زَكَاةَ الْفِطرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْصَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ الْمُسلِمِيْنَ
Rasulullah SAW memfardhukan zakat fithr bulan Ramadhan kepada manusia sebesar satu shaa' kurma atau sya'ir, yaitu kepada setiap orang merdeka, budak, laki-laki dan
perempuan dari orang-orang muslim. (HR. Jamaah kecuali Ibnu Majah dari hadits Ibnu Umar)

Disyariatkan pertama kali pada bulan Sya'ban tahun kedua semenjak peristiwa hijrahnya nabi SAW dari Mekkah ke Madinah. Tepat pada tahun dimana diwajibkannya syariat
puasa bulan Ramadhan.

Dari Abi Said Al-Khudhri ra,"Kami mengeluarkan zakat fithr ketika dahulu Rasulullah bersama kami sebanyak satu shaa' tha'aam (hinthah), atau satu shaa' kurma, atau satu shaa' sya'ir, atau satu shaa' zabib, atau satu shaa' aqith. Dan aku terus mengeluarkan zakat fithr sedemikian itu selama hidupku". (HR. Jamaah - Nailul Authar)

B. Hikmah dan Hukum
Hikmah diwajibkannya zakat fithr adalah untuk menambal kekurangan pahala puasa kita. Serta tentu saja mencukupkan kekurangan orang-orang faqir pada hari raya Fithr.

Waqi' ibnul Jarrah berkata,"Zakat fithr di bulan Ramadhan seperti sujud sahwi dalam shalat, yaitu melengkapi kekurangan pahala puasa, sebagaimana sujud sahwi melengkapi shalat".

Zakat fithr ini hukumnya wajib atas setiap manusia yang muslim, baik dia sudah dewasa maupun ketika masih kanakkanak. Bahkan janin yang masih ada di dalam perut ibunya dan sudah bernyawa, termasuk yang terkena kewajiban untuk dikeluarkan zakatnya. Zakat ini juga tetap wajib atas laki-laki dan wanita, termasuk khuntsa. Juga wajib atas orang yang berakal atau pun yang tidak berakal (gila).

C. Ukuran dan Waktu Pemberian

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللّٰهِ صلى اللّٰه عليه وسلم زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ : عَلَى اَلْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّعِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ اَالْمُسلِمِيْنَ وَأَمَر بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاةِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Ibnu Umar ra berkata bahwa Rasulullah SAW mewajibkan zakat fithr sebesar 1 sha' kurma atau 1 sha' tepung (syair), atas setiap hamba atau tuan, laki atau perempuan, kecil atau besar yang beragama Islam. Dan memerintahkan agar ditunaikan sebelum keluarnya orangorang untuk shalat. (HR. Muttafaq 'alaihi)

Besar harta yang harus dikeluarkan adalah satu sha‘ gandung, kurma atau makanan sehari-hari. Bila dikonversikan ke bentuk beras menjadi 2, 176 kg. Dalam mazhab Hanafi, pembayarannya boleh dikonversikan dalam bentuk uang seharga 1 sha‘ itu sesuai dengan jenis makanan di negeri masing-masing.

D. Waktu Membayar Zakat
Sesuai dengan namanya, zakat Al-Fithr diberikan pada hari Fithr, yaitu Hari Lebaran atau Hari Raya Idul Fithr, pada tanggal 1 Syawwal. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah SAW :

اغْنُوهُمْ فِى هَذَا الْيَوْمِ
Cukupkan bagi mereka di hari ini (HR. Ad-Daruquthny)

Waktu yang utama adalah sejak matahari terbit di ufuk timur, dan berakhir ketika dilaksanakan shalat Iedul Fitri.

1. Batas Akhir
Jumhur ulama di antaranya mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menyebutkan bahwa batas akhir untuk menyerahkan zakat fithr ini sempit dan ketat, seperti halnya hewan adhiyah. Sehingga bila ada orang baru membayarkan zakat fithr-nya setelah selesai shalat Idul Fithr tanpa ada udzur syar’i yang benar, maka dia berdosa. Namun meski sudah telat dan berdosa, kewajiban untuk membayarkan zakat itu tetap ada, bukannya malah dibatalkan. Dan meski dilakukan setelah waktunya lewat, namun menurut para ulama tidak disebut sebagai qadha’. Jadi kewajiban mengeluarkan zakat fithr ini ibarat orang yang berhutang kepada orang lain. Bila telah jatuh tempo belum dibayar tanpa alasan yang benar, dia jelas berdosa. Namun bukan berarti hutang-hutang itu hangus. Hutangnya tetap ada dan tetap harus ditunaikan. Para ulama sepakat apabila batas akhir waktunya telah lewat, maka zakat itu kehilangan makna, dan berubah menjadi sedekah sunnah biasa. Namun bila dimajukan waktunya, dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. dan boleh dimajukan pembayarannya dua tiga hari sebelum itu. Bahkan ada juga yang membolehkan sejak awal Ramadhan.

2. Batas Awal
Sebagian ulama seperti mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah memperbolehkan zakat fithr ini dibayarkan sebelum waktunya, yaitu dua hari sebelum masuknya tanggal 1 Syawwal. Dasarnya adalah hadits berikut ini :

كَانُوا يُعْطُونَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ قَبْل الْعِيْدِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
Mereka menunaikan zakat fithr sehari atau dua hari sebelum Idul Fithr

Sedangkan sebagian dari ulama mazhab Al-Hanafiyah memperbolehkan zakat fithr itu dikeluarkan sejak awal bulan Ramadhan. Namun yang cukup aneh adalah pendapat Al-Hasan bin Ziyad, salah satu ulama dari mazhab Al-Hanafiyah juga. Fatwanya adalah diperbolehkan zakat Fithr ini dibayarkan setahun atau dua tahun sebelum Ramadhan.

3. Bila Penetapan 1 Syawwal Berbeda, Kapan Berzakat?
Seseorang harus melaksanakan ibadah sesuai apa yang diyakininya. Dan pada dasarnya, semua hal yang berkaitan dengan keyakinan itu harus sejalan.

Misalnya, bila seseorang berketetapan bahwa hari Raya Idul Fithri adalah tanggal 5 Desember, maka seharusnya dia shalat Idul Fithri pada tanggal itu dan bukan pada tanggal 2 Syawwal. Juga pada hari itu dia tidak boleh puasa karena haram berpuasa di hari Ied. Termasuk juga zakat fithrah.

D. Haruskah Lewat Amil Zakat?
Bila tidak ada amil zakat, ada punya pilihan. Pertama, yaitu dengan mencari sendiri fakir miskin di lingkungan kita. Dengan ini diharapkan terbentuk jalinan kasih sayang antara kaya dan miskin. Dan harta zakat itu diutamakan untuk fakir miskin yang lebih dekat.

Alterntif kedua, boleh disalurkan lewat amil yang profesional agar bisa dikelola dengan baik. Keduanya pada dasrnya merupakan pilihan yang memiliki kelebihan dan kekurangannya.

E. Mengganti Zakat Fithr Dengan Uang
Kalau ada uang, belum tentu segera bisa dibelikan makanan. Bayangkan di zaman itu tidak ada restoran, rumah makan, mall, super market 24 jam dan sebagainya. Padahal waktu membayar zakat fitrah itu pada malam lebaran. Bisabisa di hari raya, orang miskin itu punya uang tapi tidak bisa makan. Ini hanya sebuah analisa.

Namun Imam Abu Hanifah membolehkan mengganti makanan itu sesuai dengan harganya. Pendapat beliau nampaknya lebih sesuai dengan kondisi sekarang ini. Uang di masa kita ini telah menjadi alat tukar yang sangat praktis. Karena itu para ulama di masa kini melihat bahwa dengan membayar zakat fitrah menggunakan uang, lebih banyak mashlahatnya ketimbang dengan beras atau bentuk makanan yang lainnya.

F. Kewajiban Siapa?
Pada dasrnya yang berkewajiban untuk membayarkan zakat fitrah adalah orang yang menanggung nafkah seseorang. Umumnya adalah ayah atau suami yang menjadi pimpinan dalam sebuah keluarga.

Namun dalam pelaksanaannya, bila ada di antara anggota keluarga ada yang ingin membayarkannya dengan sepengetahuan atau izin dari ayah atau suami, maka syah hukumnya. Meski pun kalau merujuk kepada siapa yang seharusnya menanggung zakat itu, tentunya adalah yang berkewajiban untuk menafkahi.

Kecuali bila ayah atau suami itu memang sudah tidak mampu lagi untuk menafkahi seperti karena sudah tua atau sakit, sehingga jangankan untuk menafkahi keluarganya, untuk sekedar menafkahi dirinya pun dia tidak mampu. Untuk itu, maka nafkahnya itu ditanggung oleh ahli warisnya atau anaknya. Dan pada kondisi demikikian, maka si anak yang sudah menanggung nafkah inilah yang berkewajiban untuk membayarkan zakat fitrah sang ayah.

G. Bayi
Jumhur ulama menyepakati bahwa bayi yang masih dalam kandungan tidaklah diwajibkan untuk dikeluarkan zakat fitrahnya. Karena meski dia seorang calon manusia, tapi belumlah dianggap sebagai manusia yang utuh. Sehingga kalau belum lahir pada saat hari raya Iedul Fithri, maka tidak perlu dizakatkan.

Bagaimana kalau pada malam hari raya lahir ? Jumhur ulama selain Imam Abu Hanifah ra mengatakan bahwa bayi yang lahir setelah terbenamnya matahari pada malam 1 syawal, sudah wajib dizakatkan. Karena titik dimulainya kewajiban zakat itu ada pada saat terbenamnya matahari pada malam 1 syawwal.

Sedangkan Imam Abu Hanifah ra mengatakan bahwa titik awal wajibnya zakat fitrah adalah saat terbit fajar keesokan harinya. Jadi bila bayi lahir pada tanggal 1 syawwal pagi hari setelah matahari terbit, harus dikeluarkan zakat fithrahnya.

Di luar jumhur ulama, ada pendapat dari kalangan mazhab zahiri yaitu Ibnu Hazm yang beranggapan bahwa seorang bayi itu sudah dianggap manusia sempurna sejak dia berusia 120 di dalam kandungan. Jadi bila pada saat terbit matahari 1 syawwal seorang bayi genap berusia 120 hari di dalam kandungan, sudah wajib zakat.

Namun pendapat ini agak menyendiri sifatnya dan bertentangan dengan pendapat jumhur ulama. Bahkan Dr. Yusuf Al-Qaradawi yang terkenal moderat dalam masalah zakat pun tidak mendukung pendapat Ibnu Hazm ini dan beliau mengatakan tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu. Demikian keterangan yang kami dapat dalam Fiqhuz Zakatnya.

H. Pahala Puasa Menggantung?
Berikut ini adalah ungkapan yang amat populer disampaikan oleh para penceramah di berbagai macam jenis event dan pengajian. Teksnya sebagai berikut :

أَنَّ شَهْرَ رَمَضَانَ مُتَعَلِّقٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَا يَرْفَعُ إِلَّا بِزَكَاةِ الْفِطْرِ
(Pahala) bulan Ramadhan itu menggantung di antara langit dan bumi. Tidak terangkat kepada Allah SWT kecuali dengan ditunaikannya zakat fithr.

Meski lafadz dalil telah disebutkan, namun yang menjadi permasalahan adalah siapakah yang meriwayatkan hadits ini? Dan apa sebenarnya status hadits ini? Namun sayangnya, banyak penceramah tersebut tidak menyebutkan perawi hadits tersebut. Sehingga justru kedudukan hadits itulah yang menggantung. Tidak jelas apakah hadits itu shahih, hasan, dhaif atau malah palsu. Kebiasaaan tidak menyebutkan status suatu hadits terkadang agak merepotkan para pendengar ceramah yang semakin hari semakin kritis dan pintar. Seharusnyahal ini merupakan tantangan tersendiri bagi para penceramah untuk lebih sering membolak-balik kitab rujukan dari pada sering bolak-balik naik podium.

Kami coba melakukan penelusuran ke sana kemari untuk menjawab pertanyaan ini. Dan alhamdulilah, akhirnya atas izin Allah kami menemukan beberapa penjelasan tentang status hadits ini, baik dari segi kritik sanad hadits mapun dari segi kritik matan hadits.

a. Kritik Sanad Hadits
Yang pertama, kita dapat keterangan dari Al-Imam As-Suyuthi, seorang muhaddits besar. Dalam kitabnya, Al-Jami’ Ash-Shaghir, beliau menuturkan bahwa hadits ini adalah hadits yang dhaif meski tanpa menyebutkan alasannya. Lafadz hadits menurut beliau telah diriwayatkan oleh Imam Ibnu Syahin dalam kitabnya, At-Targhib. Juga diriwayatkan oleh Imam Al-Dhiya’. Kedua orang ini meriwayatkan dari Jabir.

Yang kedua, keterangan kita dapat dari Ibnul Jauzi. Beliau dalam kitabnya Al-Wahiyat mengatakan bahwa di dalam sanad hadits itu adalah seorang perawi yang bernama Muhammad bin Ubaid Al-Bishri. Orang ini termasuk orang yang tidak dikenal identitasnya. (Lihat Al-Minawi dalam Faidhul Qadir jilid 4 halaman 166).

Yang ketiga, pengukuhan dari Ibnu Hajar Al-Asqalani, seorang muhaddits besar. Beliau juga menguatkan penjelasan dari Ibnul Jauzi bahwa hadits itu tidak memiliki muttabi’. Maksudnya, tidak ada hadits lain yang senada dengan hadits itu secara esensi namun dengan sanad yang berbeda. Yang keempat, ada kisah menarik dari Syeikh Nasiruddin Al-Albani rahimahullah tentang pengalaman beliau dalam mencari keterangan tentang hadits ini. Di perpustakaan Azh-Zhahiriyah Damaskus Syria, beliau melacak lafadz yang konon dikatakan sebagai hadits di dalam kitab Fadhailul Quran karya Imam Ibnu Syahin (w.385 H).

Kitab itu ternyata masih berbentuk manuskrip tulisan tangan, belum dicetak menjadi buku seperti di zaman sekarang. Pencarian di kitab itu lantaran menurut keterangan dari Al-Mundziri (w. 656 H), hadits itu terdapat di dalam kitab tersebut dan konon katanya sanadnya bagus. Namun ternyata Syeikh Al-Albani kecewa, sebab hadits yang disebutkan itu tidak terdapat di dalam kitab yang dimaksud. Bahkan Imam Ibnu Syahin sebagai penulisnya sama sekali tidak memberikan penjelasan apapun tentang hadits itu.

Rupanya Al-Munziri telah silap dalam memberikan keterangan tentang hadits tersebut. Dan bukan hanya beliau, karena Ahmad bin Isa Al-Maqdisi juga terjebak dalam kesalahan yang sama. Kesimpulannya, hadits itu tidak ada kejelasannya.

Yang kelima, ada informasi bahwa konon hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Asakir. Namun sayang sekali, di dalam daftar para perawinya terdapat seorang yang bernama Abdurrahman bin Utsman bin Umar. Status perawi itu juga tidak jelas. Syeikh Al-Bani telah melakukan pelacakan atas dirinya dan beliau tidak menemukan keterangan apapun tentang orang tersebut.

Termasuk juga ahli hadits di negeri kita, Prof. Ali Mustafa Ya’qub, MA. Di dalam buku karya beliau, Haditshadits Bermasalah, beliau menyebutkan bahwa dirinya juga tidak menemukan penjelasan tentang orang ini. Jadi kesimpulan hadits ini tidak dapat dinilai karena ada perawi yang tidak dikenal alias majhul.

b. Kritik Matan Hadits
Selain lewat kritik sanad hadits, kita bisa melakukan kritik suatu hadits lewat matannya. Bila matannya bertentangan dengan ushul dan aqidah atau dengan dalildalil qoth’i yang lain secara berseberangan dan tajam, maka kritik dari segi matan bisa dilakukan.

Dalam hal ini Syeikh Al-Albani mengatakan bahwa secara matan hadits ini bertentangan dengan pendapat para ulama. Beliau mengatakan belum pernah mendengar ada ulama yang mengatakan bahwa amal-amal di bulan Ramadhan menjadi sia-sia selama belum mengeluarkan zakat fithr. Di luar pendapat beliau, nalar kita pun dapat merasakan betapa esensi hadits ini bertentangan dengan prinsip dasar suatu ibadah. Hubungan antara zakat dengan puasa tidak terkait sebagaimana hubungan antara wudhu’ dengan shalat. Kalau dalam masalah shalat, kita memang mengakui bahwa salah satu syarat sah-nya adalah suci dari hadats. Sehingga bila seseorang shalat dalam keadaan hadats kecil tanpa berwudhu’, para ulama sepakat bahwa shalat itu tidak sah.

Namun hubungan antara zakat dengan puasa tidak terjalin sebagai hubungan syarat dan masyrut. Masingmasing berdiri sendiri dan tidak saling menjadi syarat atas sah-nya ibadah yang lain.

Artinya, seorang yang melakukan berbagai aktifitas ibadah di bulan Ramadhan, asalkan dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukunnya, insya Allah SWT telah sah secara hukum di sisi Allah SWT. Tidak ada kaitannya apakah dirinya sudah menunaikan zakat atau belum.


Related Posts:

0 Response to "M. Zakat Al-Fithr"

Posting Komentar