S. Amil Zakat



Ikhtishar
A. Pengertian
1. Bahasa
2. Istilah

B. Syarat Amil
1. Muslim
2. Akil Baligh
3. Jujur
4. Punya Ilmu Fiqih Zakat
5. Kekuatan

C. Tugas Utama Amil

D. Kewenangan

E. Kompensasi

A. Pengertian
Amil zakat disebutkan di dalam Al-Quran sebagai pihak yang berhak menerima harta zakat dalam urutan nomor tiga, setelah fakir dan miskin.

وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا
Dan para penguruss zakat(QS. At-Taubah : 60)

1. Bahasa
Secara bahasa, istilah amil berasal dari kata 'amila ya'malu ( عمل - يعمل ), yang bermakna mengerjakan atau melakukan sesuatu. Kata amil (عامل ) adalah ism fail yang bermakna pelaku dari suatu pekerjaan. Maka kata amil bermakna orang yang mengerjakan sesuatu.

2. Istilah
Dan istilah amil zakat dalam disiplin ilmu fiqih zakat bermakna :

المُتَوَلِّي عَلَى الصَّدَقَةِ وَالسَّاعِي لِجَمْعِهَا مِنْ أَرْبَابِ الْمَال وَالْمُفَرِّقُ عَلَى أَصْنَافِهَا إِذَا فَوَّضَهُ الْإِمْمَامُ بِذَلِكَ
Orang yang diberi kewenangan untuk mengurus shadaqah (zakat) dan bertugas untuk berjalan dalam rangka mengumpulkannya dari para pemilik harta, dan yang mendistribusikannya kepada pihak yang berhak bila diberi kuasa oleh penguasa.

Istilah amil zakat ini punya beberapa istilah lain yang sama, diantaranya :
. su'aat lli jibayatizzakah ( سعاة لجباية الزكاة ), yang artinya adalah orang yang berkeliling untuk mengumpulkan zakat.

. al-jihaz al-idari wal mali liz-zakah, yaitu perangkat administratif dan finansial atas harta zakat (الجهاز الإداري والمالي للزكاة ), sebagaimana yang dipakai oleh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam disertasi beliau.72

71 Al-Mufradat fi Gharibil Quran lil Ashfahani jilid 1 halaman 138 dan Hasyiaytu Ibnu Abidin jilid 2 halaman 59
72 Fiquzzakah oleh Dr. Yusuf Al-Qaradawi, halaman 579


B. Syarat Amil
Tidak sembarang orang boleh menjadi amil. Selain bisa membuat zakat menjadi rusak, menunjuk amil yang tidak memenuhi syarat justru akan meruntuhkan sendi-sendi zakat itu sendiri. Ibarat menyerahkan kunci-kunci gudang penyimpanan harta kekayaan kepada kepala maling, alih-alih menjaga dan mengamankan, yang terjadi justru semua harta habis disikat. Karena itu maka syariat Islam memberikan beberapa persyaratan standar bagi orang yang akan diberikan kepercayaan sebagai amil zakat, di antaranya adalah harus beragama Islam, akil, baligh, jujur, punya ilmu dalam hukum zakat dan tentu harus orang yang kuat, baik jiwa maupun raga.

1. Muslim
Hanya muslim saja yang boleh menjadi amil zakat, sedangkan non muslim tidak dibenarkan menjadi amil. Alasannya karena tugas amil zakat itu merupakan amanah agama, sehingga hanya mereka yang hatinya sudah tunduk kepada Allah SWT saja yang dibebankan dan dipercaya untuk menegakkan zakat. Selain itu, posisi amil sederajat dengan posisi penguasa, yang berhak untuk mengambil harta kaum muslimin. Setidaknya, amil adalah petugas negara yang diberi wewenang untuk mengambil paksa apabila seseorang menolak menyerahkan harta zakat yang memang sudah wajib. Bahkan amil itu pula yang nantinya akan menetapkan vonis kafir kepada pembangkang zakat.

Lalu apa jadinya bila tugas yang seberat dan semulia itu, justru dibebankan kepada orang kafir? Padahal perintah untuk memungut zakat itu merupakan kewajiban yang Allah SWT perintahkan kepada Rasulullah SAW dan juga siapa pun yang berposisi sebagai wali, sultan atau penguasa, sebagaimana firman Allah :

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka (QS. At-Taubah : 103).

Dan tidak boleh orang yang menjadi wali, sultan atau penguasa di tengah umat Islam sendiri justru seorang yang bukan muslim.

2. Akil Baligh
Syarat berikutnya selain muslim adalah akil, yaitu berakal, bukan orang gila atau tidak waras. Tidak bisa dibayangkan bagaimana zakat dikelola dan didistribusikan pembagiannya oleh sekelompok orang gila yang kabur dari rumah sakit jiwa. Begitu juga zakat tidak mungkin dilakukan oleh mereka yang bermasalah dari segi akalnya, seperti orang yang mabuk, ayan, kesurupan jin dan lainnya.

Baligh secara ketentuan syariah berarti perempuan yang sudah mengalami haidh dan laki-laki yang sudah keluar mani. Anak-anak yang belum cukup umur tidak boleh menjadi amil zakat, karena mereka belum dibebani sebagai mukallaf. Syarat akil baligh ini sesungguhnya representasi dari status seseorang untuk menjadi mukallaf, yaitu seorang yang sudah dianggap mampu untuk menanggung beban syariah.

3. Jujur
Kejujuran dalam bahasa arab disebut dengan amanah. Orang yang jujur disebut amin. Dan sifat ini menjadi syarat utama untuk menjadi amil zakat. Orang yang punya pribadi tidak jujur, suka bermain

dengan wilayah halal haram dari harta orang lain, atau bahkan terbiasa mengambil hak orang lain dengan cara yang tidak halal, tidak boleh menjadi amil zakat. Sebab kejujuran adalah modal utama kepercayaan masyarakat untuk menitipkan harta mereka kepada suatu badan yang mengurus zakat.

a. PNS
Meski tidak semua, namun tidak bisa dibilang sedikit dari pegawai negeri sipil (PNS) yang sudah terbiasa memainkan uang negara dan melakukan 'penilepan' disanasini. Rakyat jelata sudah paham sekali bagaiman instansi pemerintahan itu dengan berbagai trik yang canggih sudah menciptakan sistem jahiliyah berjamaah, untuk memakan harta yang bukan hak mereka. PNS seperti ini jelas-jelas tidak boleh menjadi amil zakat. Sebab pekerjaan yang mereka lakukan tanpa malu-malu memang sengaja menyunat uang negara, memark-upnya, memotong sekian persen untuk biaya ini dan itu, menyuap, menyogok, memberi pelayanan buat para pejabatan yang tidak berhak, dan seribu satu jenis kejahatan keuangan yang sayangnya sudah dianggap lazim.

Maka Penulis yakin sekali bahwa mental-mental PNS yang seperti itu harus dijauhkan dari urusan zakat, agar jangan sampai kebiasaan buruknya dalam mengelola uang negara ditularkan dalam mengelola zakat. Kalau pun ada dari kalangan PNS mau dijadikan sebagai amil zakat, maka harus dilihat dulu selama ini track recordnya, pernahkah seumur hidupnya, minimal semenjak terhitung menjadi PNS, memakan harta yang tidak halal? Harus ada masa percobaan panjang selama satu semester untuk memastikan apakah tidak pernah ada komplain dari masyarakat tentang kejujurannya. Kalau ternyata 100% bersih, tentu dia berhak menjadi amil zakat. Sebaliknya, kalau ada cacat sedikit saja, maka sebaiknya mengundurkan diri dari daftar calon amil zakat, karena penyelenggaraan zakat tidak membutuhkan orang yang cacat dari segi kejujuran.

b. Penggelapan Jamaah
Termasuk praktek amil zakat yang tidak jujur adalah pengelolaan zakat yang tidak transparan, tertutup, tidak mau diaudit, tidak pernah mengumumkan pemasukan dan pengeluaran kepada publik, berlindung di balik kewajiban orang untuk berzakat sementara diri amil zakat sendiri tidak pernah dievaluasi.

Yang sering melakukan pelanggaran seperti ini adalah badan amil yang ada di dalam organisasi internal, dimana para anggota dan simpatisannya diwajibkan membayar zakat ke badan amil zakat internal, padahal pengelolaannya tidak pernah diaudit. Bahkan tidak pernah jelas kemana harta zakat yang sudah masuk itu dialokasikan. Banyak sekali jamaah, kelompok, institusi dan pergerakan di tengah umat Islam yang aktif memungut zakat dari anggotanya dengan nama resmi sebagai zakat, lalu tidak jelas bagaimana dan kemana harta itu dialokasikan. Mungkin bila yang dipungut itu hanyalah iuran anggota, lalu pengurus tidak mau transparan, kita bisa maklum karena itu urusan internal suatu kelompok.

Tetapi ketika pungutan itu diatas-namakan zakat, maka apapun nama jamaah itu, tidak boleh bermain api untuk 'menggelapkan' pembukuannya, sebab ketidak-jelasan urusan harta zakat ini akan meluruskan dan memudahkan jalan menuju ke api neraka. Mengambil harta orang lain dengan jalan mencuri itu dosa besar, bahkan sampai wajib dipotong tangan bagi pelakunya. Apalagi mengambil harta zakat yang dilakukan oleh amilnya sendiri, padahal di luar haknya, maka dosanya jauh berkali lipat. Kasusnya bukan hanya pengambilan hak harta orang lain, tetapi juga merupakan pengkhianatan atas nama agama.

إِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤدُّوا الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (QS. An-Nisa' : 58)

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا لَا تَخُونُوا اللّٰهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (QS. Al-Anfal : 27)

4. Punya Ilmu Fiqih Zakat
Syarat yang juga mutlak harus dimiliki oleh amil zakat adalah punya ilmu tentang fiqih zakat yang bukan sekedar formalitas, tetapi sampai ke titik paham, mengerti dan berilmu. Mengapa demikian? Sebab dewasa ini zakat adalah bagian dari syariah Islam yang tergolong asing dan tidak dipahami umat Islam. Tidak seperti shalat atau puasa, yang tanpa ada komando, umat Islam sudah menjalankannya. Sedangkan zakat adalah 'barang baru' yang masih belum dikenal dengan benar dan proposional bagi umat Islam. Di kurikulum pendidikan nasional tidak pernah diajarkan masalah zakat secara spesifik bagi peserta didik yang beragama Islam, baik di level sekolah dasar, menengah atau pun di perguruan tinggi. Maka kalau bangsa muslim terbesar di dunia ini buta, jahil, bodoh, dan gelap atas ilmu fiqih zakat, jangan salahkan bunda mengandung.

Bahkan, tidak sedikit kalangan penceramah yang sering tampil di publik, baik secara langsung mau pun lewat media, yang juga belum mengerti betul seluk-beluk ilmu fiqih zakat ini. Dari begitu banyak majelis yang digelar, nyaris tak satu pun yang menjelaskan secara detail ilmu fiqih zakat ini. Lalu di tengah umat tiba-tiba bermunculan semangat berzakat dan diikuti lahirnya berbagai lembaga yang mengumpulkan dan menyalurkan zakat. Tentu kita bersyukur dengan fenomena ini. Sayangnya, semua terjadi tanpa diiringi ilmu dan pemahaman syariah yang jelas, lengkap, dan membuat orang paham. Maka pertanyaannya, siapa yang bertanggung-jawab untuk mengajarkan ilmu fiqih zakat? Jawabnya tentu saja para amil zakat. Ya, para amil zakat adalah orang-orang yang berada pada lini terdepan untuk menjelaskan sedetail-detailnya ilmu fiqih zakat ini. Dan mereka punya dana, fasilitas serta amanah yang ditujukan untuk digunakan dalam hal kepentingan zakat.

Di pundak mereka ada amanat besar dan tanggungjawab yang tinggi untuk mencerdaskan umat agar
memahami ilmu fiqih zakat. Sebab seseorang tidak akan menyerahkan harta zakatnya manakala dia belum sadar tentang arti penting zakat. Dan kesadaran itu harus diiringi dengan ilmu, bukan kesadaran yang membabi buta.

Tetapi bagaimana mungkin semua itu bisa berjalan, manakala para amil zakat ini justru orang yang tidak paham tentang ilmu fiqih zakat, atau ilmunya cuma setengahsetengah. Kalau kebetulan bertemu dengan muzakki yang bertanya ini dan itu, tentu saja akan kewalahan menjelaskannya.

Padahal, ilmu fiqih zakat juga bukan masalah yang sederhana, di dalamnya ada banyak ikhtilaf dan perbedaan tajam di antara para ulama. Contoh sederhananya, ada dua kubu utama di antara para ulama tentang zakat profesi, yaitu mereka yang mewajibkan dan tidak mewajibkan. Maka seorang amil harus bisa menjelaskan dengan ilmu syairah tentang berbagai pendapat itu dengan sepenuhnya, agar masyarakat menjadi cerdas dan paham masalah.

Seorang amil tidak boleh menutupi ilmu fiqih zakat ini pada sebagiannya dan hanya memberikan penjelasan yang sekiranya sesuai dengan kepentingannya. Cara seperti ini kurang bersifat amanah, setidaknya amanah ilmiyah.

Dan untuk melahirkan amil zakat yang berilmu secara mumpuni, harus ada perkuliahan yang mengandung sekian SKS lewat para dosen yang ahli di bidang ilmu syariah. Tentunya standar nilainya pun harus baik. Penulis membayangkan bahwa level para amil ini haruslah minimal sarjana S-1 pada Fakultas Syariah jurusan Hukum Zakat. Mungkin belum pernah ada di negeri kita jurusan itu.

Tetapi sesuai dengan perkembangan waktu, hukum zakat sudah berkembang menjadi sebuah cabang ilmu tersendiri dari induknya, ilmu fiqih dan syariah.

5. Kekuatan
Menjadi amil zakat membutuhkan kekuatan tersendiri, di luar kejujuran dan ilmu. Di dalam Al-Quran, ada isyarat tentang masalah kekuatan, yaitu :

إنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الأَمِيْنُ
Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya" (QS. AL-Qashash : 26)

Kekuatan yang dimaksud disini mulai dari kekuatan fisik, hingga kekuatan hukum.

a. Kekuatan fisik
Kekuatan fisik sangat dibutuhkan sebagai amil, mengingat gambaran amil zakat adalah bukan orang yang hanya kerja di belakang meja kantor yang berpendingin. Tetapi kerja amil adalah turun ke lapangan. Karena itulah istilah amil zakat sering disebut dengan su'at ( سعاة ), yaitu orang yang berjalan berkeliling dari satu tempat ke tempat lain.

Tugas berkeliling ini bukan hanya mendatangi orang kaya, tetapi juga orang miskin, dimana pun mereka berada. Karena amil zakat bukan didatangi tetapi mendatangi. Mendatangi orang kaya berarti mendatangi kekayaannya untuk dicek secara langsung. Kalau kekayaannya berupa perkebunan, maka amil zakat memang wajib mendatangi perkebunan itu, walau pun adanya di pulau terpencil atau di tengah hutan belantara. Amil zakat tidak cukup hanya menerima laporan di atas kertas saja, sebab laporan di atas kertas itu bisa saja palsu atau sudah direkayasa. Amil zakat harus datang langsung dan memeriksa keadaan yang sesungguhnya.

Kalau harta yang wajib dizakati berupa peternakan yang luas di suatu wilayah terpencil, maka amil zakat wajib mendatangi peternakan itu, agar tahu persis berapa sebenarnya harta milik seorang wajib zakat. Begitu juga amil zakat harus turun ke pasar untuk mengetahui keadaan pasar yang sesungguhnya. Bukan hanya pasar modern tetapi juga pasar tradisional yang barangkali becek tanpa ojek. Amil zakat harus tahu berapakah harga pasaran emas per tiap harinya yang memang selalu fluktuatif naik dan turun.

Selain mendatangi orang kaya dengan kekayaannya, amil zakat juga wajib mendatangi para calon penerima zakat. Sebab dalam prinsip fiqih zakat, harta zakat itu tidak diberikan dengan cara antrian panjang bak pengungsi atau rebutan massal yang sering merenggut nyawa sia-sia. Pemandangan seperti itu tidak mencirikan syariah zakat yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para khalifahnya.

Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu adalah contoh mudah buat menggambarkan betapa amil zakat itu berkewajiban untuk mengantarkan harta zakat itu kepada mereka yang berhak. Beliau dikenal tidak bisa tidur di malam hari kalau belum merasa pasti bahwa semua rakyat di Madinah sudah kenyang. Beliau terbiasa berkeliling memeriksa tiap rumah untuk mencari tahu adakah orang yang lapar di dalamnya. Dan beliau dengan pundaknya sendiri yang memanggul karung gandum itu untuk diberikan kepada mereka yang kelaparan, bahkan beliau sendiri yang memasakkan untuk mereka.

Bandingkan dengan pembagian zakat di negeri ini yang sudah seringkali meminta korban akibat berdesakan dan berebutan tanpa kendali. Tidak pernah ada yang tahu pasti apakah mereka yang ikutan rebutan itu sesungguhnya mustahik zakat atau bukan. Karena mereka tidak pernah terdata, tiba-tiba saja datang masa dalam jumlah ribuan. Pada tahun 2008 setidaknya tercatat tidak kurang dari 21 orang tewas sia-sia akibat rebutan zakat yang dibagikan dengan cara yang kurang baik. Korban tewas akibat berdesak-desakan untuk menerima zakat di Jl Wahidin Pasuruan kemudian diotopsi RSUD dr Soedarsono, Pasuruan. Sungguh memilukan tragedi seperti ini terjadi di negeri muslim terbesar, dan dalam suasana Ramadhan pula.

Maka amil zakat harus punya kekuatan fisik tersendiri untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang tidak terprediksi sebelumnya. Bahkan di masa Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahuanhu, amil zakat harus juga pandai berperang, karena salah satu konsekuensi mereka yang membangkang atas syariat zakat adalah diperangi. Siapa yang memerangi kalau bukan amil zakat? Sebab yang tahu siapa yang jadi pembangkang adalah ami zakat, tentu amil zakat harus juga dilatih secara militer, agar bisa perang melawan para pembangkang zakat.

b. Kekuatan Hukum
Idealnya amil zakat dibentuk oleh negara, dalam hal ini khalifah, sultan atau amir yang resmi. Mereka adalah representasi dari para penguasa yang sah, dimana memang salah satu kewajiban penguasa adalah menegakkan syariat zakat.

Di masa Rasulullah SAW dan para khalifahnya, para amil zakat ini punya kekuatan hukum yang penuh untuk bertindak, bahkan sampai bisa memaksa para muzakki untuk menyerahkan harta zakat yang memang sudah wajib untuk diserahkan. Dimana bila terjadi pembangkangan, harta itu bisa disita plus dengan dendanya, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini :

مَنْ أَعْطَاهَا مُؤْتَجِرًا فَلَهُ أَجْرُهَا وَمَنْ مَنَعَهَا فَإِنَّا اٰخِذُوهَا وَشَطْرَ إِبِلِهِ عَزْمَةً مِنْ عَزَمَاتِ رَبِّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى
Siapa yang menyerahkan zakatnya untuk mendapatkan pahala, maka dia akan mendapatkan pahala. Tetapi siapa yang menolak, maka kami akan menyitanya dan separuh untanya sebagai hukuman dari hukuman tuhan kami tabaraka wata'al. (HR. Ahmad dan An-Nasai)74

Bahkan di masa itu, seorang yang nyata-nyata menolak kewajiban membayar zakat menjadi halal darahnya.

وَاللّٰهِ لَأُقَاتِلَنَّ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ فَإِنَّ الزَّكَاةَ حَقُّ الْمَالِ وَاللّٰهِ لَوْ مَنَعُونِى عَنَاقًا كَانُوا يُؤَدُّونَهَا إِلَى رَسُولِ اللّٰهِ صلى اللّٰه عليه وسلم لَقَاتَلْتُهُمْ عَلَى مَنْعِهَا
Demi Allah, aku pasti memerangi mereka yang membedakan antara shalat dan zakat. Sebab zakat adalah hak harta. Demi Allah, seandainya mereka menolak membayar seekor kambing muda yang dahulu pernah dibayarkannya kepada Rasulullah SAW, pastilah aku perangi”. (HR. Bukhari Muslim Abu Daud Tirmizi Nasai Ahmad)

Dalam lafadz yang diriwayatkan Imam Muslim disebutkan walau pun yang tidak mau ditunaikan dari harta zakat itu hanya sebuah tali pengikat hewan, tetap akan diperangi.

لَوْ مَنَعُونِى عِقَالًا كَانُوا يُؤَدُّونَهُ
Seandainya mereka menolak membayar zakat walaupun berupa tali pengikat hewan (pastilah aku perangi). (HR. Muslim Abu Daud Tirmizi)

Untuk itu dalam prakteknya para amil zakat harus dibekali dengan kekuatan hukum yang pasti, dimana mereka memang diberi wewenang penuh untuk beroperasi secara sah.

Di Indonesia memang kita bersyukur bahwa setelah merdeka lebih dari 50 tahun, akhirnya pada tahun 1999 umat Islam punya Undang-undang tentang pengelolaan zakat, yang menjadi dasar hukum. Itu perlu kita syukuri sebagai buah dari perjuangan panjang sekian banyak pihak. Namun terus terang saja kalau kita membaca Undangundang RI nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, nyata sekali bahwa amil zakat itu sangat lemah posisinya. Betapa tidak, Bab IV Pasal 14 ayat 1 dari undang-undang itu menyebutkan bahwa muzzaki (orang yang berzakat) melakukan penghitungan sendiri hartanya dan kewajiban zakatnya berdasarkan hukum agama. Pada ayat kedua baru disebutkan bahwa dalam hal tidak dapat menghitung sendiri hartanya dan kewajiban zakatnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), muzzaki dapat meminta bantuan kepada badan amil zakat atau badan amil zakat memberikan bantuan kepada muzzaki untuk menghitungnya.

Dua pasal ini sangat bermasalah dalam menjamin berjalannya syariat zakat, karena dengan demikian amil zakat jadi tidak punya wewenang untuk menghitung zakat dari para wajib zakat ini, kecuali kalau diminta. Dalam hal ini wajib zakat yang akan menghitung sendiri, tentu seusai dengan selera dan keinginan masing-masing. Logikanya, mana ada orang yang mau bayar lebih kalau ternyata bisa membayar kurang, termasuk dalam masalah zakat.

Artinya, kalau mereka bilang bahwa menurut hitungannya zakat yang mau diberikan hanya sekian, pihak amil zakat tidak bisa menolak. Bahkan kalau bilang kewajibannya nihil, maka amil zakat pulang dengan tangan hampa dan tidak bisa berbuat apa-apa.

C. Amil Zakat di Masa Nabi
Nabi Muhammad SAW telah mengangkat beberapa shahabat yang cakap dan mumpuni, untuk diserahkan tanggung-jawab memanage zakat secara profesional. Ibnu Sa’ad menerangkan nama-nama petugas zakat itu dan juga nama-nama suku-suku yang diatanginya, yaitu :

. Uyayinah bin Hisn di utus ke Banu Tamim
. Buraidah bin Hasib, ada juga yang menyatakan Ka’ab bin Malik, di utus ke Banu Aslam dan Banu Ghifar,
. Abbad Ibnu Bisyr Asyhali diutus ke banu Sulaim dan Banu Muzainah
. Rafi’ bin Makis diutus ke Bani Juhainah
. Amr bin Ash diutus ke Banu Fazarah
. Dhahhak bin Syufyan al kilabi diutus ke Banu Kilab
. Burs bin Sufyan al Ka’bi diutus ka Banu Ka’ab
. Ibnu Lutibah Azdi Azdi di utus ke Banu Zibyan
. Seorang laki-laki dari Banu Sa’ad Huzaim diutus untuk mengambil zakat banu Sa’ad Huzaim.

Ibnu Ishaq mengemukakan tentang adanya golongan lain yang diutus Nabi SAW ke daerah dan suku lain di Jazirah Arabia, seperti :

. Muhajir bin Umayyah yang diutus ke Sana’,
. Zaid bin Labid ke Hadramaut,
. ‘Adi bin Hatim ke Banu Thay dan Banu As’ad,
. Malik bin Nuwairah ke Banu Hanzalah, Zabraqan bin Nadr dan
. Qais bin Ashim ke Banu Sa’ad,
. Ala’ bin Hadrami ke Bahrain dan Ali di utus ke Najran.

Beberapa hadits dan periwayatan diatas menunjukkan bahwa pengelolaan zakat oleh Negara sudah dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW dan diikuti oleh pemerintahpemerintah Islam sesudahnya dan masih banyak lagi hadits dan periwayatan yang menunjukkan akan hal itu.

D. Tugas Amil Zakat
Tugas utama amil zakat sebenarnya sederhana untuk disebutkan, dan hanya seputar dua wilayah besar. Pertama, memungut atau menarik harta zakat dari orang-orang kaya. Kedua, membagikan harta zakat kepada fakir miskin dan orang-orang yang termasuk ke dalam daftar mustahik. Tetapi yang sulit adalah justru ketika masuk ke tahap implementasinya. Menarik zakat dan mendistribusikan itu ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan. Apalagi di tengah-tengah masyarakat yang masih terlalu awam dengan syariat zakat.

Padahal ada begitu banyak jenis kekayaan yang satu dengan yang lain saling bertumpang tindih, dan agak membingungkan bagaimana cara memungut zakatnya.

1. Tugas Dasar
Tugas yang paling dasar dari amil zakat ada dua hal utama, yaitu memungut harta zakat dari orang kaya atau yang sudah memenuhi kewajiban zakat, dan mendistribusikan harta zakat itu kepada para mustahik.

a. Memungut Zakat
Tugas amil adalah berkeliling menelusuri rumah-rumah orang kaya, lalu membantu mereka untuk menghitungkan harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Intinya menjemput zakat, bukan duduk manis di sekretariat sambil kipas-kipas. Kalau ada orang kaya sampai tidak didatangi atau terlewat, tentu saja amil zakat berdosa, lantaran mereka tidak teliti dalam tugasnya, dan membiarkan adanya kebatilan di depan mata.

Setidaknya, amil zakat berkewajiban mengingatkan si orang kaya satu persatu bahwa dalam harta mereka ada hak yang wajib ditunaikan. Kalau orang kaya itu menampik, ingkar dan enggan bayar zakat, maka menjadi tanggungjawab para amil untuk menyadarkannya.

b. Mencari Orang Miskin
Tugas amil yang kedua adalah menelusuri rumah-rumah penduduk untuk melakukan penelitian yang mendalam tentang data-data orang fakir dan miskin. Agar jangan sampai harta zakat jatuh ke tangan pihak-pihak yang justru tidak berhak. Dan kalau hal itu terjadi karena para amil ini lalai, maka ada hukuman berat di akhirat sebagai orang yang tidak amanah.

Jangan sampai harta zakat hanya disebar dalam antrian panjang yang sekilas terlihat semarak, padahal jutaan masa itu ternyata bukan orang yang berhak atas harta zakat. Maka dosanya harus ditanggung para amil yang kurang profesional itu. Apalagi kalau sampai ada yang mati berjejalan karena rebutan, tentu harus ada pertanggungjawaban hukum secara profesional.

Maka tugas amil adalah berkeliling mengantarkan harta zakat ke rumah-rumah para fuqara dan orang-orang miskin yang telah mereka teliti dengan cermat dan dipastikan mereka memang berhak menerimanya.

Dengan tugas yang berat itu serta resiko dunia akhirat yang tidak main-main, maka para amil zakat ini berhak atas kerja keras yang mereka lakukan. Ada pun kerja amil zakat fitrah yang cuma setahun sekali, itu pun hanya duduk-duduk di sekretariat masjid sambil kipas-kipas, lantas tiba-tiba dapat bagian besar sekali dari harta zakat, melewati batas maksimal yang 1/8 itu, tentu ini sangat tidak bisa diterima.

2. Tugas Edukasi
Kelemahan paling mendasar dari umat Islam terhadap kewajiban mereka dalam berzakat berangkat dari lemahnya pemahaman, kurangnya wawasan, serta kosongnya ilmu mereka dari syariat zakat. Padahal zakat punya kedudukan sangat strategis dalam syariat Islam. Tidak kurang 30 ayat yang berbeda mensejajarkan kewajiban zakat dengan shalat. Bagaimana mungkin umat Islam sampai tidak paham perkara zakat? Dan betapa tidak bermoralnya amil zakat kalau sampai membiarkan umat ini bodoh dari ilmu tentang zakat.

a. Mengedukasi Umat
Tugas edukasi untuk zaman sekarang ini adalah tugas ini nyaris tidak bisa dilepaskan dari tugas utama. Di tengah keengganan sekaligus kejahilan umat Islam atas kewajiban zakat harta mereka, serta di tengah kancah keawaman mereka dalam memilah harta yang terkena zakat dan cara menghitungnya, maka keberadaan amil zakat untuk mengedukasi umat Islam menjadi mutlak wajib hukumnya. Barangkali tugas ini tidak begitu berat di masa Rasulullah SAW, meski bukan tidak pernah dilaksanakan.

Kenapa tugas mengedukasi umat tidak begitu berat dijalankan di masa Rasulullah SAW? Salah satu sebabnya karena beliau SAW memang guru teladan yang mengajar dengan sangat runtut. Mulai dari yang lebih prinsip dan lebih prioritas, yang lebih ditekankan, kemudian baru berpindah kepada yang skala prioritasnya semakin rendah.

Sementara umat Islam di masa sekarang ini, sudah terlanjur dibebani dengan keharusan-keharusan yang justru tidak wajib menurut syariah Islam, seperti keharusan turun temurun untuk menggelar berbagai acara yang butuh dana finansial, seperti acara selametan, tahlilan, syukuran, ratiban, sunatan, lebaran, maulidan, nikahan, hajatan, dan masih sederet lagi. Semua butuh dana yang tidak sedikit, maka ketika tiba-tiba diceramahi bahwa ada kewajiban bayar zakat ini dan itu, tidak sedikit yang reaksinya malah resisten, menolak dan menentang, atau sekedar berlagak tidak tahu.

Inilah tantangan terbesar dari umat Islam, sudah terlanjur otaknya diisi dengan berbagai hal yang tidak prioritas, ketika dituntut mengerjakan kewajiban yang paling mendasar, mereka pun sudah terlalu letih untuk mengerjakannya.

Maka setiap amil zakat, baik secara individu atau pun institusi, berkewajiban menggelar berbagai program edukasi yang menjamin kecerdasan setiap anak bangsa dalam memahami segala ketentuan yang terkait dengan zakat. Program itu bisa berbentuk khutbah jumat, ceramah lepas, pengajian, halaqah, mabit, diskusi, seminar, dialog, bedah buku, pelatihan, kursus reguler, perkuliahan, sampai membeli slot siaran televisi swasta nasional, yang dilengkapi dengan memproduksi berbagai program, baik talkshow, sinetron, news, dan seterusnya, yang tujuannya untuk mengedukasi umat secara lebih masif, kontiniu, profesional dan realistis.

b. Diedukasi
Kalau umat ini harus diedukasi oleh para amil zakat, maka tentu saja para amil adalah orang-orang yang berada pada barisan paling depan yang harus mendapatkan edukasi itu secara lebih intensif. Dalam pandangan penulis, edukasi buat para amil zakat akan sangat lemah dan kurang banyak berguna, kalau hanya lewat kursus atau pelatihan singkat. Untuk kapasitas para amil, minimal pendidikan mereka adalah S-1 Fakultas Baitul-Mal, dengan masing-masing jurusan seperti jurusan zakat, jurusan wakaf, dan sebagainya.

Selama masa minimal 4 tahun kuliah, mereka harus dimasak sampai matang dengan semua ilmu syariah, khususnya yang terkait dengan urusan fiqih zakat dan yang berhubungan. Tetapi untuk level para pejabat, manager dan direksi dari masing-masing institusi zakat, maka kebutuhan edukasinya tidak cukup hanya sampai batas S1 khusus bidang zakat. Sebab kebutuhan atas ahli fiqih dan mujtahid di bidang ini adalah sebuah realitas yang mutlak tidak bisa ditampik. Mereka harus punya kapasitas sebagai mujtahid yang menguasai semua ilmu dan cabang-cabang proses berijtihad dengan metode yang benar dan muktamad. Maka kira-kira level pendidikan mereka sekurangkurangnya S-2, dan idealnya S-3 khusus konsentrasi di bidang zakat dan sejenisnya.

E. Kompensasi
Atas semua usaha dan kerja kerasnya itu, maka secara resmi dan sah Allah SWT memberikan kompensasi finansial buat para amil zakat, berupa hak mendapatkan harta zakat, maksimal 1/8 dari total harta yang mereka kumpulkan. Tentu kompensasi ini selain juga janji pahala yang besar di hari akhir nanti.

Ketentuan ini berangkat dari pembagian harta zakat yang ditetapkan untuk 8 asnaf. Masing-masing mendapat 1/8 bagian dari total harta zakat. Namun karena syariat zakat itu punya esensi utama memberi harta kepada fakir miskin, maka hak yang diberikan kepada fakir miskin memang istimewa. Kalau harta itu masih belum mencukupi hak-hak fakir miskin, maka asnaf yang lain harus dikalahkan demi kepentingan fakir miskin. Hal ini berangkat dari sabda Nabi SAW kepada Muadz bin Jabal ketika diutus kepada bangsa Yaman :

Harta zakat itu diambil dari orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang faqir di antara mereka. Maka bila asnaf tertentu tidak terdapat, hak mereka dikembalikan kepada pihak faqir dan miskin. Sehinnga para akhirnya, faqir dan miskin akan mendapatkan porsi paling besar. Sedangkan asnaf lainnya bila memang ada, haknya tetap 1/8 dan tidak boleh melebihi jatahnya itu. Sehingga hasil akhirnya, meski beberapa asnaf yang lain tidak terdapat, bukan berarti yang ada itu dibagi rata sama besar sesama asnaf yang ada.


Related Posts:

0 Response to "S. Amil Zakat"

Posting Komentar