A. Dimiliki Oleh Pihak Tertentu
B. Dimiliki Secara Mutlak atau Sempurna
1. Harta Yang Hilang
2. Harta Yang Dipinjam Pihak Lain
3. Harta Untuk Pihak Tertentu Secara Massal
4. Harta Negara
5. Harta Pinjaman
C. Produktif
1. Harta Yang Produktif
2. Harta Yang Tidak Produktif
D. Nishab
E. Haul
F. Melebihi Kebutuhan Dasar
a. Hajat Hidup Bukan Gaya Hidup
b. Hajat Hidup Tiap Orang Sama
G. Selamat Dari Hutang
Pada bab sebelumnya sedikit sudah diulas bahwa diantara syarat sah zakat adalah harta yang dizakati itu memenuhi ketentuan dan kriteria. Maka dalam bab ini, kriteria itu akan kita bahas secara lebih dalam dan lebih tuntas lagi. Inti dari bab ini adalah bahwa tidak semua jenis harta diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya.
Berdasarkan nash-nash Al-Quran dan Sunnah, para ulama telah menyusun kriteria jenis harta yang wajib dizakati. Bila harta seseorang tidak memiliki kriteria yang telah ditetapkan, maka tidak ada kewajiban zakat. Meski pun secara nominal nilai harta itu cukup tinggi. Namun yang menjadi ukuran apakah harta itu memenuhi kriteria wajib zakat atau tidak, bukan sekedar nilainya (nishab), tetapi masih ada sisi-sisi lainnya serta kriteria-kriteria tertentu yang harus dipenuhi. Paling tidak ada 5 kriteria utama yang telah disepakati oleh para ulama, yaitu :
A. Dimiliki Oleh Pihak Tertentu
Para ulama sepakat bahwa hanya harta yang dimiliki oleh perorangan saja yang wajib dikeluarkan zakatnya. Sedangkan harta yang bukan milik perorangan tidak ada kewajiban untuk dizakati. Salah satu contoh yang mudah tentang syarat ini adalah harta yang sudah diwaqafkan. Harta yang sudah diwaqafkan tidak wajib dikeluarkan zakatnya, karena harta waqaf itu sudah berpindah kepemilikan, dari milik seseorang menjadi milik Allah. Namun dalam masalah waqaf ini, ada juga jenis waqaf yang lebih spesifik dan berbeda dengan yang biasa kita kenal. Ada pihak tertentu yang mendapatkan harta waqaf yang bersifat pribadi, dimana pihak pemberi waqaf memberikan harta kepada seseorang sebagai harta waqaf yang dimiliki secara sempurna. Misalnya, seorang kaya mewaqafkan rumah untuk seorang ustadz agar dijadikan tempat tinggal khusus untuk ustadz itu saja. Maka status rumah itu bukan waqaf untuk umat, melainkan waqaf untuk seseorang. Dalam hal ini, rumah itu dikatakan masih tetap dimiliki secara sempurna. Al-Hanafiyah mengatakan bahwa hewan-hewan ternak yang telah diwaqafkan di jalan Allah SWT tidak wajib dizakati, karena sudah bukan milik perorangan lagi. Demikian juga masjid, sekolah, madrasah, dan asset lainnya, kalau sudah menjadi waqaf, tidak ada kewajiban untuk dikeluarkan zakatnya. Sebab secara status, pemiliknya adalah Allah SWT. Sedangkan status para nadzir yang mengurus aset waqaf itu hanya orang yang diberi amanah, dan bukan sebagai pemilik dari aset tersebut. Sehingga tidak ada pewarisan, dan juga tidak boleh dijual-beli, karena pada hakikatnya bukan harta yang dimiliki oleh pihak tertentu.
Tetapi aset dan harta yang dimiliki oleh pihak tertentu, meski dimiliki secara bersama-sama tidak termasuk dalam kategori ini, artinya tetap wajib dikeluarkan zakatnya. Contoh mudahnya adalah perusahaan komersial, sebab yang namanya perusahaan itu tetap ada orang yang memilikinya, meski secara bersama-sama dalam bentuk saham kepemilikan. Koperasi pun tetap ada pemiliknya, yaitu tidak lain adalah para anggota koperasi itu sendiri. Maka aset dalam bentuk koperasi tidak bebas zakat. Demikian juga sekolah swasta yang status hartanya bukan waqaf, tetap ada kewajiban zakatnya. Karena sekolah swasta itu ada pemiliknya. Lain halnya dengan sekolah milik pemerintah, atau sekolah negeri. Pemiliknya adalah negara. Dan dalam hal ini negara tidak dianggap sebagai pihak tertentu yang punya hak kepemilikan.
B. Dimiliki Secara Mutlak atau Sempurna
Yang dimaksud dengan harta yang dimiliki secara mutlak atau sempurna adalah seseorang memiliki harta secara sepenuhnya dan dia mampu untuk membelanjakannya atau memakainya, kapan pun dia mau melakukannya. Hal ini berbeda dengan seorang yang memiliki harta dengan tidak secara sempurna. Yaitu dimana seseorang secara status memang menjadi pemilik, namun dalam kenyataannya, harta itu tidak sepenuhnya dikuasainya. Ketidak-sempurnaan kepemilikan bisa juga berbentuk harta yang tidak dimiliki oleh orang tertentu, melainkan dimiliki secara kolektif oleh sekumpulan orang yang tidak bisa ditentukan jati dirinya satu per satu. Kepemilikan atas suatu harta secara kolektif tanpa diketahui secara pasti hak masing-masing, telah menggugurkan pengertian kepemilikan secara sempurna.
Contoh-contoh lebih detail dari harta yang dimiliki secara tidak sempurna antara lain :
1. Harta Yang Hilang
Seorang yang kehilangan hartanya tidak wajib mengeluarkan zakat atas harta itu. Sebab meski statusnya masih berhak atas harta itu, namun nyatanya harta itu tidak bisa dipakainya, karena tidak ada di tangannya. Dan tidak ada kepastian apakah hartanya itu akan kembali atau tidak. Sehingga secara prinsip, tidak ada kewajiban zakat atas harta itu. Al-Malikiyah mengatakan bahwa bila seseorang kehilangan hartanya, untuk tahun pertama dia masih wajib mengeluarkan zakat. Tetapi untuk tahun-tahun berikutnya,
sudah tidak perlu lagi mengeluarkan zakat. Asy-Syafi'iyah mengatakan bahwa bila seseorang sedang dalam keadaan kehilangan hartanya, maka dia tidak wajib mengeluarkan zakat atas hartanya itu. Tetapi seandainya harta itu ditemukan kembali, wajiblah atasnya mengeluarkan zakat selama masa kehilangan. Sedangkan bila untuk seterusnya harta itu tidak pernah kembali, maka prinsipnya tidak ada kewajiban zakat atas harta itu. Harta warisan yang belum dibagikan dan diserahkan kepada ahli waris yang berhak, belum ada kewajiban atasnya zakat. Walau pun mungkin saja calon ahli waris itu sudah tahu kira-kira dia akan mendapat nilai tertentu dari harta itu. Tetapi prinsipnya, selama harta itu masih belum diserahkan di tangannya, maka tidak ada kewajiban zakat atasnya.
2. Harta Yang Dipinjam Pihak Lain
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum zakat atas harta yang dipinjam pihak lain. Secara status kepemilikan memang masih jadi milik yang empunya, tetapi karena kenyataanya harta itu tidak berada dalam genggamannya, maka keadaan ini membuat suara ulama pecah. Ibnu Umar, Aisyah, Ikrimah maula Ibnu Abbas, radhiyallahuanhum berpendapat bahwa harta yang berada dipinjam pihak lain tidak ada kewajiban zakat atas. Alasannya, karena harta itu tidak bisa tumbuh (ghairu naamin) selama di tangan orang lain.
Namun jumhur ulama tentang harta yang dipinjam pihak lain membedakan antara yang ada harapan kembali dengan yang tidak ada harapan kembali. 17 Hasyiyatu Ad-Dasuki jilid 1 halaman 457-458 18 Al-Mughni jilid 3 halaman 48
Harta yang dipinjam dan tidak jelas statusnya, akan kembali atau tidak, termasuk jenis harta yang tidak dimiliki secara penuh. Sebagai contoh misalnya A memiliki uang bermilyar, tetapi uangnya dipinjam pihak lain (B). Namun ternyata B kemudian menghabiskan uang itu, tanpa pernah tahu apakah dia bisa membayarkannya suatu hari atau tidak. Secara hukum, uang yang dipinjam itu milik A, namun karena tidak jelas lagi apakah uangnya itu akan kembali atau tidak, maka kepemilikian uang itu oleh A disebut kepemilikan yang tidai sempurna. Maka dalam hal ini, A tidak diwajibkan membayar zakat atas uang yang tidak lagi dimilikinya secara sempurna itu. Sebaliknya, para ulama mengatakan bila uang atau harta itu masih mungkin kembali, meski statusnya dipinjam, hukumnya tetap wajib bagi pemiliknya untuk mengeluarkan zakatnya.
Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah mengatakan selama harta itu masih di tangan orang, memang tidak perlu dikeluarkan zakatnya. Zakatnya dibayarkan setelah harta itu kembali, untuk selama masa sedang dipinjam pihak lain. Sedangkan mazhab Asy-Syafi'iyah mengatakan bahwa setiap tahun harta yang dipinjam dan memang bisa diambil kapan saja itu tetap wajib dizakati, dengan alasan pada dasarnya pemiliknya bisa mengambilnya kapan saja dia mau.
3. Harta Untuk Pihak Tertentu Secara Massal
Misalnya harta yang dikumpulkan untuk korban bencara alam, fakir miskin atau anak yatim. Harta seperti ini bukan lagi milik perorangan atau pihak tertentu, melainkan telah 19 Syarah AL-Minhaj jilid 2 halaman 40 menjadi hak mereka secara umum. Harta yang seperti ini pun termasuk yang tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Sebab dalam hal ini, belum ditetapkan jati diri tiap orang dan berapa nilai yang mereka miliki. Namun bila harta itu telah dibagikan per-individu, dimana masing-masing orang telah menerima secara sepenuhnya harta untuk mereka, maka barulah harta itu dikatakan telah dimiliki secara sempurna.
4. Harta Negara
Termasuk dalam kriteria ini adalah harta yang dimiliki oleh negara. Harta itu berarti tidak dimiliki oleh perorangan, melainkan menjadi harta bersama milik rakyat. Sehingga tidak ada kewajiban untuk mengeluarkan zakat atas harta milik negara. Dalam hal ini, harta milik negara tidak bisa dikatakan milik orang per orang atau milik jati diri tertentu, melainkan dimiliki secara kolektif oleh rakyat suatu negara.
5. Harta Pinjaman
Dan yang paling jelas dari semua hal di atas, harta pinjaman dari pihak lain termasuk dalam kriteria ini. Bila seseorang dipinjami harta oleh pihak lain, jelas sekali bahwa dia bukanlah pemilik harta pinjaman itu. Maka si peminjam sama sekali tidak punya kewajiban untuk mengeluarkan zakatnya. Sebab si peminjam bukanlah pemilik harta itu.
C. Produktif
Syarat ketiga agar harta menjadi wajib dikeluarkan zakatnya adalah harta yang tumbuh atau bisa ditumbuhkan, tidak mati atau diam. Dalam bahasa Arab disebut Dalam bahasa kita sekarang ini, harta itu dimiliki pokoknya namun bersama dengan itu, harta itu bisa memberikan pemasukan atau keuntungan bagi pemiliknya.
1. Harta Yang Produktif
Di antara contoh harta yang produktif atau harta tumbuh adalah :
a. Pertanian
Tanah yang luas tapi kosong tanpa tanaman atau penghasilan tidak ada kewajiban zakatnya. Sebab harta itu meski berharga milyaran, namun sifatnya tidak tumbuh, tidak produktif dan tidak memberikan pemasukan kepada pemiliknya. Tentu logika zakat 180 derajat berbeda dengan logika petugas pajak. Dalam dunia pajak, bila seseorang punya tanah, produktif atau tidak produktif, tidak mau tahu, pokoknya kena pajak. Sedangkan dalam logika syariat, tanah kosong yang hanya ditumbuhi semak belukar, tanpa pemasukan yang pasti, tidak ada kewajiban untuk dizakati. Namun bila di atas tanah itu ditanami tumbuhan yang menghasilkan, barulah tanah itu dianggap tumbuh atau produktif.
Harta berbentuk usaha pertanian, dimana seiring dengan berjalannya waktu, para petani akan memanen hasil dari bibit yang ditanamnya. Pertumbuhan ini akan melahirkan konsekuensi kewajiban zakat. Sedangkan bila bibit tumbuhan itu tidak ditanam, maka tidak akan ada pertumbuhan, maka tidak ada kewajiban zakat. Maka dikatakan bahwa tanah pertanian adalah tanah yang hidup, tumbuh dan produktif, karena itu ada kewajiban zakat atasnya, ketika panen itu didapat.
b. Ternak
Yang dimaksud dengan hewan ternak adalah hewan yang menghasilkan pemasukan ekonomis bagi pemiliknya. Berbeda dengan hewan peliharaan dalam rumah, yang hanya menghabiskan makanan saja, tanpa memberikan pemasukan ekonomis. Maka hewan peliharaan rumah yang tidak produktif, tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Kucing, ikan pajangan dalam aquarium, dan berbagai jenis hewan kesayangan lainnya, tidak ada zakatnya, karena dianggap tidak produktif. Sedangkan kambing, sapi, unta dan hewan-hewan ternak lainnya memang dipellihara untuk diambil hasilnya, baik berupa daging, susu, kulit, bulu, tenaga dan manfaat ekonomis lainnya. Maka hewan ternak itu wajib dikeluarkan zakatnya, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam syariah Islam.
c. Perniagaan
Di antara jenis harta yang sifatnya produktif adalah harta perniagaan dan perdagangan. Seorang yang punya warung kebutuhan sehari-hari, bila aset modal berputarnya telah memenuhi nishab dan haul, tentu wajib untuk mengeluarkan zakat atas warungnya itu. Sebaliknya, meski seseorang melakukan aktifitas menjual atau membeli suatu aset, selama niat dan tujuannya bukan untuk mengambil keuntungan, apalagi tidak ada kepemilikan selama satu haul, tentu tidak wajib mengeluarkan zakat. Sebagai ilustrasi sederhana, seseorang membeli mobil yang diniatkan untuk dijadikan kendaraan yang dipakai setiap hari. Setelah beberapa lama dipakai, ternyata ada tetangga yang tertarik untuk membelinya. Kebetulan harga yang ditawarkan cukup menarik, setidaknya ada selisih yang lumayan. Kalau mobil itu dijualnya kepada tetangga, meski dapat selisih uang yang lumayan, tidak bisa dikatakan bahwa aktifitas itu sebagai perdagangan mobil. Sehingga tidak ada kewajiban untuk membayar zakat perdangan dari jual beli mobil itu.
Lain halnya bila seseorang berprofesi sebagai makelar mobil, ketika membeli mobil sejak awal niatnya memang untuk dijual lagi dan selalu berharap untuk mendapatkan selisih harga sebagai keuntungan. Maka untuk mereka yang melakukan jual-beli mobil ini, tentu ada hitung-hitungan zakat tersendiri. Lagi-lagi, logika pajak 180 derajat berbeda dengan logika hukum zakat. Dalam dunia pajak, setiap orang membeli mobil, pasti kena pajak, bahkan untuk mobil impor baru buitup, pajaknya bisa berlipat-lipat. Dalam atmosfir zakat, seseorang tidak wajib membayar zakat kalau niatnya hanya membeli mobil saja. Dan juga tidak kena zakat bila melakukan aktifitas menjual mobilnya.
d. Alat Tukar
Alat tukar di masa Rasulullah SAW adalah emas dan perak. Sebenarnya emas dan perak bukan hanya dipakai di zaman Nabi SAW saja, jauh sebelum itu emas adalah alat tukar yang lazim digunakan di Romawi, sedangkan perak adalah alat tukar yang banyak digunakan orang-orang di Persia. Oleh karena letak negeri Arab ada di tengah-tengah, maka bangsa Arab mengenal dua jenis alat tukar itu, sebagai alat pembayaran.
Uang logam emas dan perak juga disebut sebagai uang penuh (full bodied money). Artinya, nilai intrinsik (nilai bahan) uang sama dengan nilai nominalnya (nilai yang tercantum pada mata uang tersebut). Pada saat itu, setiap orang berhak menempa uang, melebur, menjual atau memakainya, dan mempunyai hak tidak terbatas dalam menyim-pan uang logam.
Sebagai alat pembayaran yang memutar roba ekonomi, emas dan perak dianggap sebagai harta yang tumbuh, meski hanya disimpan di dalam peti. Bila telah mencapai nishab dan haulnya, maka emas dan perak itu wajib dizakatkan. Memang emas dan perak terkadang juga berfungsi sebagai perhiasan, dan dalam dalam fungsi sebagai perhiasan, emas dan perak tidak terkena zakat. Sehingga bila seseorang memiliki emas atau perak yang dikenakan untuk hiasan, meski telah melebihi nishab dan haul, tidak ada kewajiban zakat.
Ada pun yang lazim di masa Rasulullah SAW, emas dan perak memang berfungsi seperti lazimnya uang di zaman sekarang, yaitu sebagai alat pembayaran. Sehingga Allah SWT mewajibkan zakat atas emas dan perak walau pun ditimbun.
وَالَّذِيْنَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيْلِ اللّٰهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيْمٍ
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, siksa yang pedih,(QS. At-Taubah : 34)Sejalan dengan perkembangan perekonomian, timbul kesulitan ketika perkembangan tukar-menukar yang harus dilayani dengan uang logam bertambah sementara jumlah emas dan perak sangat terbatas.
Penggunaan uang logam juga sulit dilakukan untuk transaksi dalam jumlah besar sehingga diciptakanlah uang kertas. Mula-mula uang kertas yang beredar merupakan buktibukti pemilikan emas dan perak sebagai alat atau perantara untuk melakukan transaksi. Dengan kata lain, uang kertas yang beredar pada saat itu merupakan uang yang dijamin 100% dengan emas atau perak yang disimpan di pandai emas atau perak dan sewaktu-waktu dapat ditukarkan penuh dengan jaminannya. Pada perkembangan selanjutnya, masyarakat tidak lagi menggunakan emas secara langsung sebagai alat pertukaran. Sebagai gantinya, mereka menjadikan 'kertas-bukti' tersebut sebagai alat tukar. Kalau di masa lalu emas dan perak menjadi alat tukar, maka di masa sekarang alat tukar tidak lagi menggunakan keduanya. Sekarang ini yang dijadikan alat tukar adalah mata uang, baik berbentuk kertas, koin atau elektronik. Maka para ulama sepakat mengatakan bahwa uang tunai di zaman sekarang ini dianggap sebagai harta yang tumbuh sebagaimana emas dan perak, sehingga ada kewajiban untuk mengeluarkan zakat bila telah mencapai nishab dan haul, meskipun pemiliknya mendiamkannya saja atau menyimpannya di dalam lemari.
Sebab uang tunai itu sudah berbentuk harta yang siap langsung diinvestasikan dan diputar sebagai modal, kapan saja dan dimana saja. Berbeda dengan harta dalam bentuk tanah atau rumah yang bukan dana segar. Benda-benda itu tidak bisa secara langsung dianggap tumbuh, kecuali bila disewakan. Karena itulah para ulama mewajibkan zakat atas uang tunai, meski disimpan oleh pemiliknya. Sedangkan rumah atau tanah kosong yang dimiliki namun tidak memberikan pemasukan apapun kepada pemiliknya, tidaklah diwajibkan zakat.
2. Harta Yang Tidak Produktif
Ada begitu banyak harta yang tidak produktif meski secara nominal nilainya mungkin sangat besar. Namun karena harta itu tidak produktif, maka tidak ada beban untuk zakat atas kepemilikan harta itu. Tentu logika dirjen pajak yang selalu mengaitkan kewajiban bayar pajak dengan nilai yang terkandung pada suatu harta sangat berbeda dengan logika zakat dalam syariat Islam. Logika fiqih zakat sangat unik dan spesifik, semua berdasarkan wahyu dan dasar masyru'iyah yang ketat. Tentunay tidak boleh dipaksa-paksa untuk mengikuti logika pajak dan cukai, karena keduanya lahir dari latar belakang ideologi dan idealisme yang jauh berbeda.
a. Mobil Pribadi
Mobil mewah yang harganya milyaran dalam pandangan syariat Islam bukan harta yang bersifat produktif, selama bila tidak ada pemasukan yang bisa didapat dari mobil itu. Meski seseorang memiliki sedan mewah seperti Jaguar, Lamborghini, Maybach, Ferrari, Bugatti, hingga Aston Martin, dia tidak wajib membayar zakat. Padahal harga mobil itu setidaknya kalau sudah sampai Indonesia bisa menembus sepuluh bermilyar rupiah. Selama barang mahal itu tidak memberikan pemasukan secara ekonomis kepada pemiliknya. Sebaliknya, meski seseorang hanya punya Bajaj yang harganya hanya berkisar 15 jutaan, tetapi bila Bajaj itu memberikan pemasukan secara ekonomis buat pemiliknya, maka dari pemasukan itu ada ketentuan zakat tersendiri.
b. Rumah Pribadi
Rumah pribadi, villa, apartemen, cottage, kondominium dan sejenisnya yang dimiliki secara pribadi, termasuk harta yang diam dan tidak produktif. Apakah aset itu ditempati setiap hari atau hanya sesekali saja, pada hakikatnya sama saja. Bahkan meski ditempati oleh orang lain, tetapi bukan dengan sewa atau kontrak, artinya tidak komersial, maka sama-sama dianggap bukan aset yang bersifat produktif. Maka meski nilainya milyaran rupiah, secara hukum syariah tidak ada kewajiban zakatnya. Lagi-lagi logika fiqih zakat 180 derajat berbeda dengan logika dirjen pajak, yang biasanya selalu mengaitkan nilai ekonomis suatu aset dengan besarnya pajak. Dalam hukum zakat, bila semua aset itu disewakan dan secara ekonomis memberikan pemasukan buat pemiliknya, barulah tentu ada hitungan zakatnya tersendiri.
c. Tanah Kosong
Demikian juga dengan aset berupa tanah, meski luasnya berhektar-hektar, dan harganya bermilyar-milyar, selama tanah itu kosong saja, tidak ada aktifitas ekonomi di atasnya, tidak disewakan, tidak dijadikan lahan pertanian, atau bentuk apa pun yang sifatnya ekonomis dan memberikan pemasukan secara nominal, maka tanah itu bukan aset yang produktif. Dengan demikian, si tuan tanah yang kemana pun melangkah punya tanah dimana-mana, tetap belum diwajibkan untuk membayar zakat, selama di atas tanah itu tidak ada aktifitas ekonomi. Tanah itu memang bisa berfungsi sebagai simpanan harta, tetapi karena tanah bukan alat tukar, maka tidak ada istilah penimbunan.
D. Nishab
Bila suatu harta belum memenuhi jumlah tertentu, maka belum ada kewajiban zakat atas harta itu. Namun sebaliknya, bila jumlahnya telah sampai pada batas tertentu atau lebih, barulah ada kewajiban zakat atasnya. Jumlah tertentu ini kemudian disebut dengan istilah nisab Nishab ditetapkan dalam syariah dan punya hikmah antara lain untuk memastikan bahwa hanya mereka yang kaya saja yang wajib membayar zakat. Jangan sampai orang miskin yang sesungguhnya tidak mampu diwajibkan untuk mengeluarkan zakat. Namun nisab masing-masing jenis harta sudah ditentukan langsung oleh Rasulullah SAW. Dan kalau dikomparasikan antara nisab jenis harta tertentu dengan nisab lainnya dari nilai nominalnya, maka sudah pasti tidak sama. Misalnya, nishab zakat emas adalah 85 gram. Sedangkan nisab zakat beras adalah 520 kg. Bila dinilai secara nominal, harga 85 gram emas itu berbeda dengan harga 520 kg beras. Kita tidak bilang bahwa ketentuan nisab ini tidak adil. Sebab yang menentukan semua itu tidak lain adalah Rasulullah SAW sendiri. Tentunya apa yang beliau SAW tentukan pasti datang dari Allah SWT, sebagai sebuah ketetapan dan hukum yang absolut dan mutlak. Jadi kita perlu sadar bahwa jenis harta itu memang berbeda-beda, maka wajar pula bila nilai nominal nisabnya pun berbeda pula. Sekedar untuk memudahkan, Penulis coba buatkan tabel yang berisi daftar jenis-jenis harta yang wajib dikeluarkan zakat, dilengkapi juga dengan masing-masing nisabnya secara ringkas. bisa kita buatkan tabel agar memudahkan dalam mengingatnya.
E. Haul
Istilah haul dalam bahasa Arab maknanya adalah as-sanah yang berarti tahun dan juga bermakna putaran, dikatakan ( حال الشيء حولا ), sesuatu berputar. Secara penggunaan istilah dalam masalah zakat, istilah haul berarti jangka waktu satu tahun qamariyah untuk kepemilikan atas harta yang wajib dizakatkan.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :
لَازَكَاةَ فِي مَالٍ حَتَّى يَحُول عَلَيْهِ الْحَول
Tidak ada kewajiban mengeluarkan zakat hingga harta itu berjalan padanya masa (dimiliki selama) satu tahun. (HR. Ibnu Majah)Para ulama telah menetapkan bahwa bila seseorang memiliki harta hanya dalam waktu singkat, maka dia tidak bisa dikatakan sebagai orang kaya. Sehingga ditetapkan harus ada masa kepemilikan minimal atas sejumlah harta, agar pemiliknya dikatakan sebagai orang yang wajib membayar zakat. Yang penting untuk diketahui, bahwa batas kepemilikan ini dihitung berdasarkan lama satu tahun hijriyah, dan bukan dengan hitungan tahun masehi. Dan sebagaimana diketahui, bahwa jumlah hari dalam setahun dalam kalender hijriyah lebih sedikit dibandingkan kalender masehi. Maka menghitung jatuh tempo pembayaran zakat tidak sama dengan menghitung tagihan pajak. Jatuh tempo zakat dihitung berdasarkan kalender qamariyah. Sebagai ilustrasi, bila seseorang pada tanggal 15 Rajab 1425 H mulai memiliki harta yang memenuhi syarat wajib zakat, maka setahun kemudian pada tanggal 15 rajab 1426 H dia wajib mengeluarkan zakat atas harta itu. Seluruh zakat menggunakan perhitungan haul ini, kecuali zakat rikaz, zakat tanaman dan turunannya, zakat profesi. Zakat-zakat itu dikeluarkan saat menerima harta, tanpa menunggu haul.
F. Melebihi Kebutuhan Dasar
Mazhab Al-Hanafiyah dalam kebanyakan kitab mereka menambahkan syarat zakat, yaitu bahwa sebuah harta baru diwajibkan untuk dizakatkan, manakala pemiliknya telah 20 Al-Bushiri mengatakan bahwa hadits ini dhaif, namun Al-Imam An-Nawawi dalam Nashburrayah mengatakan bahwa meski demikian hadits ini punya banyak syawahid yang menguatkannya sehingga naik derajatnya menjadi shahih atau hasan. Lihat Nashburrayah jilid 2 halaman 328 terpenuhi hajat dasarnya atas harta itu. Sedangkan mazhab lainnya tidak secara eksplisit menyebutkan syarat ini dalam kitab-kitab mereka. Sebab bila seseorang yang punya harta banyak, namun dia juga punya hajat dasar atau tanggungan yang lebih banyak lagi, maka pada hakikatnya dia justru orang yang kekurangan.
a. Hajat Hidup Bukan Gaya Hidup
Harus dibedakan antara hajat hidup dengan gaya hidup. Hajat hidup adalah hajat yang paling dasar yang dibutuhkan oleh seseorang untuk bertahan hidup. Semua manusia punya hajat hidup yang sama, baik dia kaya atau dia miskin. Sedangkan bila kita bicara tentang gaya hidup, tentu tiap orang berbeda-beda gaya hidupnya. Ada orang yang gaya hidupnya bermewah-mewah, meski sesungguhnya dia termasuk kategori miskin, sehingga untuk memenuhi gaya hidup itu dia harus memaksakan diri, termasuk dengan cara berhutang. Sebaliknya, ada orang yang gaya hidupnya sederhana meski sesungguhnya dia orang berpunya, kaya dengan harta berlimpah.
b. Hajat Hidup Tiap Orang Sama
Hajat hidup jelas berbeda dengan gaya hidup, dan yang dibahas disini adalah hajat hidup, bukan gaya hidup. Hajat hidup tiap orang sama, dan itulah yang dibicarakan oleh para ulama ketika menentukan batasan besarnya zakat fithrah dan juga fidyah. Orang kaya yang hartanya berlimpah mengeluarkan zakat fithrah yang besarnya sama dengan orang biasa, tidak lebih dan tidak kurang, yaitu 3,5 Kg beras. Kalau pun ada 21 Addur Al-Muktar wa Raddul Muhtar jilid 7 halaman 2-8 sedikit perbedaan, hanya pada kualitas berasnya saja. Memang dihimbau agar orang kaya kalau mengeluarkan zakat fithrah dengan beras, mengukurnya dengan harga besar yang biasanya dimakannya. Tetapi semahal-mahalnya beras yang dimakan, tentu harganya tidak akan terpaut terlalu jauh. Beras dengan kualitas menengah saat ini katakanlah Rp. 10.000,- per liter. Dan beras yang paling mahal katakanlah beras kualitas terbaik yang diimpor dari Pakistan, harganya Rp. 25.000,- per liter.
Seorang milyuner terkaya di negeri kita, kalau pun dia mengeluarkan zakat fithrah dengan nilai beras yang paling mahal, maka harganya tidak sampai Rp. 100.000,-. Dan orang biasa kalau mengeluarkan zakat fithrah, nilainya tidak terlalu terpaut jauh dari nilai orang kaya. Semua karena yang dizakati itu hanyalah hajat hidup manusia, dimana standarnya tidak akan terlalu terpaut jauh antara satu orang dengan orang lain. Ibnu Malik menyebutkan bahwa yang termasuk dalam kategori hajat hidup adalah kebutuhan yang bisa menolak alhalak (kebinasaan) dari hidup seseorang, seperti makanan, tempat tinggal, pakaian yang menjaga dari suhu ekstrim, bahkan temasuk alat perang untuk mempertahankan diri dari serangan musuh, buat kaum tertentu menjadi penting. Anehnya, Ibnu Malik juga menuliskan hal-hal yang kurang standar, misalnya bahwa kitab-kitab bagi seorang ahli ilmu merupakan hal yang menjadi hajat hidup yang paling mendasar. Mengingat bagi seorang ilmuwan, kebodohan itu sama saja dengan kebinasaan. Syarat seperti yang diajukan oleh mazhab Al-Hanafiyah ini memang masuk akal, yaitu zakat baru diwajibkan manakala seseorang memang telah dapat memenuhi hajat hidupnya yang mendasar untuk bisa menyambung hidupnya. Bila seseorang telah mampu memenuhi kebutuhan untuk makan dan mengisi perutnya, kebutuhan untuk bisa tertutup auratnya dengan sehelai pakaian, kebutuhan untuk bisa berlindung di bawah sebuah atap rumah, meskipun seadanya atau mengontrak murah, sekedar dirinya bisa terlindungi dari terik matahari, curah hujan atau tusukan dingin angin musim dingin, maka bila ada kelebihan, dia telah wajib berzakat.
G. Selamat Dari Hutang
Sebagian ulama menambahkan syarat terakhir, yaitu bila seseorang memiliki harta yang memenuhi kriteria di atas, namun dirinya sendiri punya hutang kepada pihak lain, maka dia tidak lagi punya kewajiban membayar zakat. Namun yang dimaksud dengan hutang disini bukan sembarang hutang. Apalagi di masa sekarang ini, roda perekonomian di bangun di atas hutang. Perusahaanperusahaan besar itu dimodali oleh bank. Dan bank itu mendapat uang dari para nasabahnya. Maka boleh dibilang bahwa berhutang itu justru malah menjadi ciri khas orang kaya. Semakin kaya seseorang, pastilah semakin banyak hutangnya. Lalu apakah orang-orang kaya ini menjadi bebas dari kewajiban membayar zakat, dengan alasan dia punya hutang?
Tentu jawabnya tidak demikian. Hutang yang dimaksud sebagai penghalang dari seseorang membayar zakat bukan hutang bisnis, melainkan hutang yang sifatnya untuk memenuhi hajat hidup yang paling dasar. Maka yang dimaksud dengan hutang disini adalah kondisi dimana seseorang mengalami tekanan kemiskinan yang akut, sehingga sekedar untuk makan dan memenuhi hajat hidup yang paling dasar pun tidak ada. Padahal boleh jadi dirinya menjadi tulang punggung keluarga, dimana sekian banyak orang bergantung hidup pada dirinya. Dan untuk itu dengan sangat terpaksa harus berhutang kepada orang lain.
Ketika si miskin ini suatu ketika mendapat rejeki, ada dua pilihan, pilihan pertama bayar hutang, dan pilihan kedua bayar zakat. Maka pilihan yang benar adalah membayar hutang. Dia tidak perlu bayar zakat, karena hartanya itu lebih diutamakan untuk membayar hutang.
0 Response to "E. Kriteria Harta Zakat"
Posting Komentar