P. Masharif Zakat


Ikhtishar
A. Pengertian
1. Bahasa

b. Istilah

B. Pembatasan

C. Tidak Harus Merata

D. Memindahkan Zakat

Zakat adalah bentuk ibadah yang unik dan spesifik. Meski pada hakikatnya merupakan ibadah sosial yang intinya memberikan bantuan dari harta di kaya kepada si miskin, namun di dalam Al-Quran Allah SWT telah menetapkan siapa saja orang yang mendapatkan hak dari harta zakat. Rincian tentang masalah siapa saja akan dibahas pada baba berikutnya.

Dalam bab ini kita akan bicara dulu tentang syarat-syarat utama seorang penerima zakat. Itu artinya, belum tentu semua orang yang Allah SWT sebutkan di dalam surat At-Taubah ayat 60 itu pasti menerima harta zakat. Keluarga Nabi SAW (ahlul bait) meski pun miskin namun diharamkan menerima zakat. Itu adalah contoh sederhana. Dan memang ada beberapa persyaratan paling mendasar akan hal itu. Disni kita akan bahas secara lebih mendalam.

Kemana saja harta zakat ini didistribusikan, dalam syariah Islam disebut dengan istilah masharif ( مصارف ).

A. Pengertian
1. Bahasa
Kata ini merupakan bentuk jama’ dari kata mashraf ( مصارف ), yang artinya pengalokasian harta. Dikatakan sharafalmal artinya membelanjakan harta. Di dalam Al-Quran, kata mashraf ini juga digunakan :

وَلَمْ يَجِدُوا عَنْهَا مَصْرِفًا
Dan mereka tidak menemukan tempat berpaling dari padanya. (QS. Al-Kahfi : 53)

b. Istilah
Sedangkan makna secara istilah dari kata mashraf atau masharif adalah orang-orang atau pihak-pihak yang berhak menerima alokasi harta zakat. Dengan bahasa mudah, orang yang berhak atas harta zakat.

Di Indonesia, umumnya istilah masharif zakat ini lebih dikenal dengan istilah mustahiq, yang artinya orang-orang yang berhak. Tentunya yang dimaksud adalah harta zakat.

B. Pembatasan
Berbeda dengan ragam ibadah maliyah lainnya, syariat Islam membatasi alokasi harta zakat hanya untuk kalangan tertentu saja.

Disitulah letak keunikan syariat zakat, bahwa dalam hal alokasinya, ada ketentuan yang harus dipatuhi. Sayangnya, banyak kalangan kurang memahami ketentuan ini, sehingga banyak terjadi zakat dialokasikan untuk hal-hal yang kurang pada tempatnya. Pembatasan ini bukan hasil ijtihad dari para ulama, dan juga bukan kemauan dari Nabi SAW sendiri. Pembatasan ini langsung datang dari Allah SWT yang difirmankannya lewat ayat Al-Quran.

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغَارِمِيْنَ وَفِى سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ فَرِيضَةً مِنَ اللّٰهِ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS. At-Taubah : 60)

Dari ayat ini kita bisa merinci bahwa mustahiq zakat itu ada 8 kelompok (asnaf). Mereka adalah :
. Orang-orang fakir
. Orang-orang miskin
. Pengurus-pengurus zakat
. Para mu'allaf (orang yang dibujuk hatinya masuk Islam)
. Untuk budak
. Orang-orang yang berhutang
. Untuk jalan Allah
. Mereka yang sedang dalam perjalanan

C. Tidak Harus Merata
Para ulama sepakat bahwa meski Allah SWT telah menetapkan delapan kelompon mustahiq zakat di dalam Al- Quran, namun dalam prakteknya, tidak berarti semuanya harus menerima.

Ada prioritas-prioritas yang menempati posisi yang lebih diutamakan dan ada pihak yang boleh dinomor-duakan. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW tatkala mengutus Muadz bin Jabal dan Abu Musa Al-asy’ari ke negeri Yaman, dimana beliau hanya menetapkan harta zakat hanya untuk orang-orang yang faqir :

فَأَعْلِمْهُم أَنَّ اللّٰهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِييَائِهِمْ فَتُرَدُّ فِى فُقَرَائِهِمْ
Beritahukan kepada mereka bahwa Allah SWT telah mewajibkan zakat yang diambil dari orang-orang kaya dan dikembalikan kepada orang-orang faqir di antara mereka (HR. Bukhari Muslim)

Jadi intinya, harta zakat ini dibatasi hanya untuk delapan asnaf saja, tidak boleh diperlebar lagi, bahkan bila tidak sampai delapan itu pun tidak mengapa, sebab tidak ada kewajiban yang mengharuskan untuk meratakan harta zakat bagi kedelapan kelompok mustahiq zakat itu.

D. Memindahkan Zakat
Yang dimaksud dengan memindahkan zakat ( نقل الزكاة ) adalah menyerahkan harta zakat kepada orang-orang yang tinggal berjauhan dari tempat dimana orang-orang yang 58 Al-Kafi libni Qudamah jilid 2 halaman 193-194 membayar zakat tinggal. Hukumnya menjadi khilaf di tengah para ulama, antara mereka yang membolehkan dan yang melarangnya.

E. Mereka Diharamkan Terima Zakat
Meski termasuk salah satu di antara kriteria penerima zakat, namun tidak berarti seseorang lantas berhak begitu saja untuk menerimanya. Sebab ada hal-hal yang lain yang membuat seorang yang termasuk di dalam daftar penerima zakat yang menggugurkannya.

Dan inilah salah satu di antara sekian banyak keunikan dalam syariat zakat. Ternyata ada kriteria tertentu yang membuat seseorang menjadi haram untuk menerima harta yang bersumber dari harta zakat. Bahkan meski sesungguhnya dia adalah termasuk kriteria delapan asnaf, namun lantaran bersamaan dengan itu seseorang juga memenuhi kriteria orang yang diharamkan untuk menerima harta dari zakat, maka hukmnya ikut yang haram dan bukan yang halal. Artinya, orang itu haram menerima harta zakat. Di antara hal-hal yang menggugurkan hak atas harta zakat adalah :

1. Orang Kafir
Orang yang tidak beragama Islam alias orang kafir tidak berhak untuk menerima harta zakat. Ada syarat keislaman yang menjadi dasar penentu, apakah seseorang berhak menerima zakat atau tidak.

Dasar itu adalah agama atau keyakinan orang tersebut. Kalau dia seorang muslim dan termasuk ke dalam kriteria orang yang berhak menerima zakat, tentu dia berhak mendapatkannya. Sebaliknya, meski dia termasuk ke dalam daftar mustahik, namun bila dia bukan muslim, haknya akan gugur dengan sendirinya.

Tegasnya, hanya orang yang beragama Islam saja yang berhak untuk menerima harta zakat. Dasarnya kembali lagi sabda Nabi SAW kepada Muadz dimana zakat itu diambil dari orang kaya mereka dan dibagikan kepada orang miskinnya.

أَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللّٰهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ
Beritahu mereka bahwa Allah mewajibkan mereka mengeluarkan shadaqah (zakat) dari sebagian harta mereka. (HR. Bukhari)

1. Orang Kafir Dahulu Pernah Diberi
Dahulu di masa Rasulullah SAW, saat keadaan umat Islam masih dalam keadaan lemah dan teraniaya, memang pernah harta zakat itu dibolehkan untuk diberikan kepada orang kafir. Targetnya untuk melunakkan sikap keras dan permusuhan dari mereka.

Setidaknya ada dua harapannya yang ingin dicapai. Pertama, tentu saja agar orang kafir itu tertarik masuk Islam. Kedua, agar orang kafir itu tidak lagi memusuhi umat Islam.

a. Agar Masuk Islam
Rasulullah SAW pernah memberi unta dalam jumlah banyak kepada Shafwan bin ‘Uyainah, padahal saat dia masih kafir belum masuk Islam. Di dalam hadits Muslim, Shafwan kemudian mengaku :

وَاللّٰهِ لَقَدْ أَعْطَانِى النَّبِيِّ صلى اللّٰه عليه وسلم وَإِنَّهُ لَأَبْغَضُ النَّاسِ إِلَيَّ فَمَا زَالَ يُعْطِيْنِي حَتَّى إِنَّهُ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَيَّ
Demi Allah, Nabi SAW telah memberi aku (harta zakat), padahal beliau saat itu adalah orang yang paling aku benci. Dan beliau terus memberi harta itu sampai akhirnya beliau menjadi orang yang paling aku cintai (HR. Muslim).

Ketika perang Hunain usai, dikabarkan bahwa Rasullah SAW memberi harta zakat kepada orang kafir musyrikin.

b. Agar Tidak Memusuhi
Di kala itu Rasulullah SAW dan para shahabat seringkali menerima tekanan dan kejahatan yang dilancarkan oleh musuh-musuhnya. Sebagian karena mereka memang resisten terhadap risalah tauhid yang dibawa beliau SAW, namun sebagian lagi hanya sekedar ikut-ikutan dan demi kepentingan perut saja.

Motivasi inilah yang kemudian diamati secara jeli oleh beliau SAW. Maka beliau SAW pun memberikan sebagian dari harta zakat, ternyata ancaman dan kezaliman yang seringkali mereka lancarkan akan berkurang bahkan berhenti. Seperti dalam kasus yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas.

إِنَّ قَوْمًا كَانُوا يَأْتُونَ النَّبِيَّ صلى اللّٰه عليه وسلم فَإِنْ أَعْطَاهُمْ مِنَ الصَّدَقَاتِ مَدَحُوا الْإِسْلَامَ وَقَالَ هَذَا دِيْنٌ حَسَنٌ وَإِنْ مَنَعُوا ذَمُّوا وَعَابُوا
Ada suatu kaum yang datang kepada Rasulullah SAW. Kalau mereka diberi harta zakat, mereka pun memuji Islam dan berkata,”Ini agama yang baik”. Namun bila tidak diberi harta zakat, mereka pun mencaci dan mencela.

Namun ketika Islam sudah mendapatkan kemenangan 59 At-Thabari, jilid 14 hal. 313

2. Setelah Islam Kuat Tidak Lagi Diberi Zakat
dimana-mana, serta sudah mendapatkan kekuatan yang amat signifikan, maka pemberian zakat buat orang kafir itu sudah tidak lagi dilakukan. Misalnya apa yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhuma, beliau berdua termasuk kepala negara yang mempelopori untuk menolak untuk memberikan harta zakat kepada orang-orang kafir, meski dahulu Rasulullah SAW pernah memberikannya. Kalau pun dikatakan bahwa Rasulullah SAW pernah memberi harta zakat kepada kafir musyrikin pada perang Hunain, menurut Asy-Syafi’i harta itu bukan harta zakat, melainkan harta dari hasil rampasan perang atau fa’i. Ibnul Mundzir mengatakan bahwa para ahli ilmu telah sampai kepada ijma’, bahwa seorang kafir dzimmi tidak diberi zakat maal sedikitpun.

2. Keluarga Nabi SAW
Yang dimaksud dengan keluarga Nabi SAW disini adalah Bani Hasyim, yaitu keluarga Ali bin Abi Thalib, keluarga 'Aqil, keluarga Ja'far, keluarga Abbas serta keluarga Harits.

Dasarnya adalah hadits-hadits berikut :

إِنَّ الصَّدَقَةَ لَا تَنْبَغِي لٰاِل مُحَمَّدٍ إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ
Sesungguhnya shadaqah itu tidak pantas untuk keluarga Muhammad, karena itu adalah kotoran harta manusia. (HR. Muslim)

Selain itu juga ada hadits lain yang senada :

إِنَّا لَا تَحِل لَنَا الصَّدَقَةُ
Tidak halal bagi kami (keluarga Nabi SAW) harta zakat. (HR.Abu Daud)

Cucu Rasulullah SAW, Hasan bin Ali bin Abi Thalib radiallahuanhu mengambil kurma shadaqah, maka Nabi SAW berkata:

"Kuh, kuh (supaya Hasan membuangnya), Tidakkah kau tahu bahwa kita tidak memakan shadaqah." (HR. Bukhari Muslim)

3. Bapak dan Anak-anak Sendiri
Para ulama umumnya juga sepakat bahwa zakat tidak boleh diberikan oleh seorang anak kepada bapaknya sendiri, atau kepada kakeknya, ibunya, neneknya. Demikian juga seorang ayah tidak boleh memberikan harta zakat kepada anaknya sendiri, atau cucunya, karena orang yang berzakat itu memang wajib menafkahi bapaknya, anaknya, kalaupun mereka faqir mereka tetap kaya karena anaknya, bapaknya atau cucunya kaya. Maka jika zakat disalurkan kepada mereka berarti telah mengambil manfaat sendiri dan tidak mengeluarkan zakat.

4. Istri
Para ulama telah ijma' bahwa seseorang tidak boleh memberikan atau menyerahkan harta zakat kepada istrinya sendiri. Penyebabnya adalah karena istrinya itu adalah orang yang menjadi beban dirinya untuk diberi nafkah. Kewajiban suami kepada istri bukan memberikan harta zakat, melainkan memberi harta berupa nafkah.

وَاٰتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيْئًا مَّرِيْئًا
Berikanlah maskawin kepada wanita sebagai pemberian dengan penuh kerelaan . Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu yang sedap lagi baik akibatnya.(QS. An-Nisa: 4)

Di ayat lain Allah SWT juga berfirman :

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka (QS. An-Nisa’ : 34)

5. Orang-Orang Yang Nafkahnya Menjadi Tanggungan
Dan para ulama menyamakan keharaman istri dalam menerima harta zakat dari suaminya dengan pihak-pihak lain yang masih dalam tanggungan nafkah dari seseorang. Misalnya dalam kasus seorang ayah yang punya sekian banyak anak. Meski anak-anaknya itu termasuk mustahiq zakat, namun si ayah tidak dibenarkan untuk memberi zakat dari kekayaannya kepada anaknya sendiri.

Dalam hal ini, keharamannya bukan berarti si ayah harus memberikan harta zakat itu kepada orang lain. Tetapi yang harus dilakukan adalah bahwa si ayah itu harus memberi nafkah kepada anak-anaknya, meski pun dengan demikian si ayah menjadi tidak lagi bisa membayar zakat.

Jadi sesungguhnya si ayah tetap memberi harta kepada anaknya, tinggal namanya saja yang diganti, bukan bayar zakat tetapi memberi nafkah. Di sisi lain, anak-anak itu berhak menerima harta zakat asalkan bukan dari ayahnya sendiri.


Related Posts:

0 Response to "P. Masharif Zakat"

Posting Komentar