N. Zakat Profesi


Ikhtishar
A. Pengertian
B. Pensyariatan
C. Perbedaan Pendapat
D. Para Penentang Zakat Profesi
E. Pendukung Zakat Profesi dan Dalilnya

F. Al-Mal Al-Mustafad
1. Menurut Al-Qaradawi
2. Pembagian Jenis Al-Mal Al-Mustafad Menurut Ulama

G. Argumen Lainnya

H. Kelemahan Argumen
1. Kelemahan Pertama
2. Kelemahan Kedua
3. Kelemahan Ketiga
4. Kelemahan Keempat
5. Kelemahan Kelima

I. Aturan Dalam Zakat Profesi
1. Gaji Bersih Atau Kotor?
2. Jalan Tengah Qaradawi

J. Nisab Zakat Profesi
K. Waktu Pembayaran Zakat

A. Pengertian
Dalam bahasa Arab, zakat penghasilan dan profesi lebih populer disebut dengan istilah zakatu kasb al-amal wa, al-mihan, al- hurrah ( زكاةُ كَسْبِ العَمَلِ والمِھَنِ الحُرَّةِ ), atau zakat atas penghasilan kerja dan profesi bebas. Istilah itu digunakan oleh Dr. Yusuf Al-Qaradawi dalam kitab Fiqhuz-Zakah-nya dan juga oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu. Berbeda dengan zakat-zakat sebelumnya, zakat profesi ini terkait dengan harta yang didapat oleh seseorang karena dia mendapatkan harta penghasilan dari pekerjaan yang digelutinya, bukan dari hasil pertanian, peternakan, atau barang-barang perdagangan, emas atau perak yang disimpan, barang yang ditemukan dan sejenisnya. Zakat ini tidak terdapat secara eksplisit dalam kitab-kitab fiqih klasik, meski bukan berarti sama sekali tidak ada.

B. Pensyariatan
Sesungguhnya baik Al-Quran maupun Sunnah tidak secara tegas menyebutkan tentang masyru’iyah zakat profesi. Oleh karena itu kita tidak menemukan istilah zakat profesi di dalam kitab-kitab fiqih yang disusun oleh para ulama sepanjang zaman, hingga sampai di abad ke-20 ini. Kalau pun ada kajian tentang zakat profesi di dalam kitab-kitab klasik, tidak dalam bab khusus, kecuali hanya disebutkan secara sekilas.

Namun para ulama yang mendukung adanya zakat profesi menggunakan ayat dan hadits yang bersifat umum, di antaranya :

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا أَنْفِقُوا مِن طيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik. (QS. Al-Baqarah : 267)

Menurut mereka yang mendukung zakat ini, istilah alkasbu ( الكسب ) termasuk di dalamnya adalah gaji bulanan yang diterima oleh seorang karyawan, buruh atau pegawai.

C. Perbedaan Pendapat
Zakat profesi sebenarnya bukanlah zakat yang disepakati keberadaannya oleh semua ulama. Hal ini lantaran di masa lalu, para ulama tidak memandang profesi dan gaji seseorang sebagai bagian dari bentuk kekayaan yang mewajibkan zakat. Karena umumnya di masa lalu, belum ada sistem kepegawaian yang bergaji tinggi, kalau pun ada orang yang bekerja dan mendapat gaji, umumnya merupakan upah sebagai pembantu dan pekerjaan-pekerjaan sejenis yang rendah upahnya.

Di masa lalu, orang yang kaya identik dengan peternak, petani, pedagang, pemilik emas dan lainnya. Sedangkan seseorang yang bekerja pada orang lain dan menerima upah, umumnya hanyalah pembantu dengan gaji seadanya. Sehingga di masa itu tidak terbayangkan bila ada seorang pekerja yang menerima upah bisa menjadi seorang kaya. Namun zaman memang telah berubah. Orang kaya tidak lagi selalu identik dengan petani, peternak dan pedagang belaka. Di masa sekarang ini, profesi jenis tertentu akan memberikan nilai nominal pemasukan yang puluhan bahkan ratusan kali dari hasil yang diterima seorang petani kecil. Sebagai ilustrasi, profesi seperti lawyer (pengacara) kondang di masa kini bisa dengan sangat cepatnya memberikan pemasukan ratusan bahkan milyaran rupiah, cukup dengan sekali kontrak. Demikian juga dengan artis atau pemain film kelas atas, nilai kontraknya bisa untuk membeli tanah satu desa. Seorang pemain sepak bola di klubklub Eropa akan menerima bayaran sangat mahal dari klub yang mengontraknya, untuk satu masa waktu tertentu.

Bahkan seorang dokter spesialis dalam satu hari bisa menangani berpuluh pasien dengan nilai total pemasukan yang lumayan besar. Sulit untuk mengatakan bahwa orang-orang dengan pemasukan uang sebesar itu bebas tidak bayar zakat, sementara petani dan peternak di desa-desa miskin yang tertinggal justru wajib bayar zakat. Maka wajah keadilan syariat Islam tidak nampak.

D. Para Penentang Zakat Profesi
Dan harta penghasilan itu masuk ke dalam bagian al-mal al-mustafad (المال المستفاد ) Para penentang keberadaan zakat profesi bukan tidak punya argumen. Sebab mereka sesungguhnya juga para ulama bahkan dari segi jumlah, mereka amat banyak, karena merupakan representasi dari pendapat umumnya para ulama sepanjang zaman.

Selama nyaris 14 abad nyata mereka tidak pernah berupaya melakukan 'penciptaan' jenis zakat baru. Bukan karena tidak melihat perkembangan zaman, namun karena mereka memandang bahwa masalah zakat bukan sematamata mengacu kepada rasa keadilan.

Tetapi yang lebih penting dari itu, zakat adalah sebuah ibadah yang tidak terlepas dari ritual. Sehingga jenis kekayaaan apa saja yang wajib dizakatkan, harus mengacu kepada nash yang shahih dan kuat dari Rasulullah SAW. Dan tidak boleh hanya didasarkan pada sekedar sebuah ijtihad belaka.

Prinsipnya, selama tidak ada nash dari Rasulullah SAW, maka kita tidak punya wewenang untuk membuat jenis zakat baru. Meski demikian, para ulama ini bukan ingin menghalangi orang yang ingin bersedekah atau infaq. Hanya yang perlu dipahami, mereka menolak bila hal itu dimasukkan ke dalam bab zakat, sebab zakat itu punya banyak aturan dan konsekuensi. Sedangkan bila para artis, atlet, dokter, lawyer atau pegawai itu ingin menyisihkan gajinya sebesar 2,5 % per bulan, tentu bukan hal yang diharamkan, sebaliknya justru sangat dianjurkan. Namun janganlah ketentuan itu dijadikan sebagai aturan baku dalam bab zakat. Sebab bila tidak, maka semua orang yang bergaji akan berdosa karena meninggalkan kewajiban agama dan salah satu dari rukun Islam. Sedangkan bila hal itu hanya dimasukkan ke dalam bab infaq sunnah, tentu akan lebih ringan dan tidak menimbulkan konsekuensi hukum yang merepotkan.

E. Pendukung Zakat Profesi dan Dalilnya
Tidak bisa dipungkiri bahwa Dr. Yusuf Al-Qaradawi adalah salah satu icon yang paling mempopulerkan zakat profesi. Beliau membahas masalah ini dalam buku beliau Fiqh Zakat yang merupakan disertasi beliau di Universitas Al-Azhar, dalam bab “ كاة كسب العمل و المهن الحرة ” (zakat hasil pekerjaan dan profesi).

Sesungguhnya beliau bukan orang yang pertama kali membahas masalah ini. Jauh sebelumnya sudah ada tokohtokoh ulama seperti Abdurrahman Hasan, Syeikh Muhammad Abu Zahrah, dan juga ulama besar lainnya seperti Abdulwahhab Khalaf. Namun karena kitab Fiqhuz- Zakah itulah maka sosok Al-Qaradawi lebih dikenal sebagai rujukan utama dalam masalah zakat profesi.

Inti pemikiran beliau, bahwa penghasilan atau profesi wajib dikeluarkan zakatnya pada saat diterima, jika sampai pada nishab setelah dikurangi hutang. Dan zakat profesi bisa dikeluarkan harian, mingguan, atau bulanan. Dan sebenarnya disitulah letak titik masalahnya. Sebab sebagaimana kita ketahui, bahwa diantara syarat-syarat harta yang wajib dizakati, selain zakat pertanian dan barang tambang (rikaz), harus ada masa kepemilikan selama satu tahun, yang dikenal dengan istilah haul.

Sementara Al-Qaradawi dan juga para pendukung zakat profesi berkeinginan agar gaji dan pemasukan dari berbagai profesi itu wajib dibayarkan meski belum dimiliki selama satu haul.

F. Al-Mal Al-Mustafad
Keberadaan zakat profesi bertolak dari pandangan bahwa zakat profesi masuk dalam pembahasan yang dikenal dalam fiqh sebagai zakat mal mustafad (المال المستفاد ). Istilah ini sebenarnya agak sulit dicarikan padanan katanya secara tepat dalam Bahasa Indonesia, sehingga versi terjemahan Fiqhuz-Zakah menterjemahkan menjadi “harta pendapatan”.

1. Menurut Al-Qaradawi
Al-Qaradawi sendiri sesungguhnya memberikan definisi tentang makna al-mal al-mustafad sebagai :

مَا يَسْتَفِيْدُهُ الْمُسْلِم وَيَمْلِكُهُ مِلْكَا جَدِيْدًا بِأَيِّ وَسِيْلَةٍ مِنَ وَسَائِلِ التَّمَلُّكِ الْمَشْرُوعِ
Harta yang diperoleh seorang muslim dan baru ia miliki melaui jalan yang syar’i.

Di tempat lain Al-Qaradawi juga menyebutkan definisi lain dari al-mal al-mustafad sebagai :

الّذِى يَدْخُلُ فِى مِلْكِيَّةِ الشَّخْصِ قَبْلَ أَنْ لَمْ يَكُنْ
Harta yang masuk ke dalam pemilikan seseorang dari sebelumnya bukan miliknya.

2. Pembagian Jenis Al-Mal Al-Mustafad Menurut Ulama
Para ahli fiqih umumnya menyebutkan bahwa sesungguhnya al-mal al-mustafad itu ada tiga macam :

a. Pertama
Harta yang tumbuh dari harta wajib zakat yang dimiliki seseorang. Bila seseorang memiliki harta yang dijadikan barang dagangan, bila nishabnya telah terpenuhi, maka tepat pada hari jatuh tempo satu haul nanti, dia wajib mengeluarkan zakat atas kepemilikan barang dagangan itu. Lalu di tengahtengah tahun, ada barang yang terjual dan memberikan keuntungan dari barang dagangan, maka keuntungannya itu merupakan al-mal al-mustafad.

Demikian juga bila seseorang memiliki hewan ternak yang telah memenuhi nishab sehingga bila nanti tepat dimiliki satu haul, dia wajib mengeluarkan zakat atas ternak itu. Lalu ternyata di tengah-tengah tahun, ada dari ternakternaknya itu yang lahir, sehingga jumlah ternaknya bertambah, maka harta itu disebut al-mal al-mustafad.

b. Kedua
Harta yang sejenis dengan harta wajib zakat yang dimiliki seseorang, namun tidak tumbuh darinya. Misalnya harta yang diperoleh dari pembelian, hadiah, dan warisan.

c. Ketiga
Harta yang berbeda jenis dengan harta wajib zakat yang dimiliki seseorang. Sejumlah unta yang baru dibeli, atau diterima sebagai hadiah, atau didapat lewat warisan dari orang tua, dan harta itu sudah mencapai nishab, maka harta itu termasuk al-mal al-mustafad.

Al-Qaradawi mengatakan bahwa jenis yang ketiga itu di masa sekarang adalah penghasilan, upah, gaji dan fee. Menurut beliau semua jenis pemasukan itu wajib dikeluarkan zakatnya langsung ketika diterima, tanpa harus menunggu masa kepemilikan selama satu haul.

Namun beliau mensyaratkan harta itu harus memenuhi nishab dan telah melebihi kebutuhan pokok. Selain itu juga beliau memastikan bahwa harta itu harus dikeluarkan dulu untuk membayar hutang bila memang pemiliknya punya hutang.

Menurut beliau, pendapatnya ini merupakan pendapat Ibn ‘Abbas, Ibn Mas’ud, dan Mu’awiyyah dari kalangan sahabat, ‘Umar ibn ‘Abdul’aziz, az-Zuhri, Hasan, Makhul, Ja’far ash-Shadiq, dan Dawud azh-Zhahiri.

G. Hujjah
Kemudian beliau memberikan sepuluh catatan untuk mengokohkan pendapat beliau tersebut.

1. Hujjah Pertama
Tidak ada nash yang shahih atau hasan tentang syarat haul.

2. Hujjah Kedua
Perbedaan pendapat telah terjadi sejak masa sahabat dan tabi’in.

3. Hujjah Ketiga
Tidak adanya nash yang jelas atau ijma’ dalam syarat haul juga menjadi penyebab perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih di berbagai mazhab.

4. Hujjah Keempat
Pendapat yang tidak mensyaratkan haul lebih sejalan dengan keumuman dan kemutlakan ayat yang
memerintahkan zakat harta (al-Baqoroh: 267).

5. Hujjah Kelima
Pendapat ini juga sejalan dengan qiyas atas zakat hasil bumi.

6. Hujjah Keenam
Syarat haul pada masalah ini akan meloloskan para profesional bergaji besar untuk bersikap boros.

7. Hujjah Ketujuh
Syarat haul dalam masalah ini juga bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam. Al-Qaradawi berkata, “…petani yang mengelola tanah yang ia sewa diambil zakatnya 10% atau 5% atas dasar eksploitasi tanah, jika sudah mencapai 50 kailah mesir (5 wasaq = 653 kg), langsung ketika panen setelah bagi hasil. Tetapi pemilik tanah sendiri yang dengan menyewakan tanahnya bisa memperoleh ratusan atau bahkan ribuan dinar hanya dalam satu jam, tidak dipungut zakat sedikitpun, karena mereka mensyaratkan haul atas ratusan atau ribuan dinar tersebut.”

8. Hujjah Kedelapan
Tanpa syarat haul, zakat bisa ditarik melalui potongan gaji atau upah. Hal ini menguntungkan semua pihak.

9. Hujjah Kesembilan
Pendapat yang menyebutkan tidak disyaratkan haul sejalan dengan petunjuk Islam tentang solidaritas.

10. Hujjah Kesepuluh
Pendapat ini juga akan memudahkan muzakki dan H. Kritik Atas Hujjah Namun kesepuluh hujjah yang dijadikan dasar oleh para pendukung zakat profesi itu sesungguhnya tidak lepas dari kritik. Dan ini adalah bagian dari dinamika ilmu syariah, yang memang terbuka pintu untuk beradu Hujjahtasi.

1. Kelemahan Pertama
Al-Qaradawi menolak keabsahan hadits tentang syarat haul, padahal ketika beliau membahas syarat zakat beliau tidak menolaknya, juga ketika beliau membahas zakat uang, binatang ternak, dan barang dagangan. Mengapa demikian?!

2. Kelemahan Kedua
Sebenarnya pengistilahan mal mustafad sendiri tidak muncul kecuali dalam konteks pembahasan haul. Maka kajiannya ada di dalam pembahasan haul, bukan di luarnya. Yang menjadi perdebatan para ahli fiqh dalam masalah ini adalah: apakah mal mustafad digabungkan ke dalam nishab, sehingga haul-nya adalah haul dari nishab? Ataukah ia memiliki haul sendiri? Dengan demikian, bagaimana bisa beliau menggiringnya ke persoalan lain yang jauh dari haul, malah menolak syarat haul?

3. Kelemahan Ketiga
Pada asalnya semua harta, termasuk harta wajib zakat, merupakan mal mustafad. Maka berangkat dari pandangan Al-Qaradawi, ketika kita akan mengeluarkan zakat dari harta tersebut, landasannya ada dua kemungkinan.

52 Ibn Rusyd dalam Bidayat al-Mujtahid berkata bahwa syarat haul dalam zakat emasperak, dan binatang ternak merupakan ijma’ kecuali riwayat dari Ibn ‘Abbas dan Mu’awiyyah. Lihat; Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, (Beirut: Maktabah ‘Ashriyyah, 2006), vol. 1, hlm. 321.

Pertama, sebagai mal per-haul;
Kedua sebagai mal mustafad tanpa haul.

Hal ini akan menimbualkan dualisme. Misalkan zakat profesi yang berupa uang. Jika kita menzakati uang dari profesi sebagai mal mustafad tanpa haul, maka bagaimana dengan perintah zakat uang dengan haul yang sudah jelas dasarnya dalam Islam—yang juga diakui oleh Al-Qaradawi? Dalam kondisi seperti ini kita dipaksa memilih salah satu dari dua konsep tersebut. Apakah kita akan mengorbankan perkara yang jelas untuk perkara yang belum begitu jelas.

4. Kelemahan Keempat
Al-Qaradawi mempersoalkan syarat haul pada mal mustafad karena akan mengantarkan pada sikap boros. Pertanyaannya: lalu mengapa syarat haul tersebut tidak dipersoalkan pada kasus zakat uang (emas dan perak). Dan bukankah dalam dalam hasil pertanian dan buahbuahan yang tidak disyaratkan haul pun orang bisa bersikap boros, sebagaimana dilarang oleh Allah dalam surat al-An’am ayat 141.

“…dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”

5. Kelemahan Kelima
Al-Qaradawi berbicara masalah keadilan,
“…petani yang mengelola tanah yang ia sewa diambil zakatnya 10% atau 5% atas dasar eksploitasi tanah, jika sudah mencapai 50 kailah mesir (5 wasaq = 653 kg), langsung ketika panen dan tashfiyah kharij. Tetapi pemilik tanah sendiri yang dengan menyewakan tanahnya bisa memperoleh ratusan atau bahkan ribuan dinar hanya dalam satu jam, tidak dipungut zakat sedikitpun, karena mereka mensyaratkan haul atas ratusan atau ribuan dinar tersebut.”

Persoalannya, harta yang dimiliki oleh pemilik tanah tetap wajib dizakati jika memenuhi syarat seperti nishab dan haul. Selama ini para ulama telah membahasnya. Itu hukum syara’ yang sah. Apakah masih disebut tidak adil?! Bukankah hukum syara’ adalah keadilan itu sendiri, sehingga apa yang dijelaskan para ulama tentang zakat penghasilan sebagai zakat uang juga adil?!

I. Aturan Dalam Zakat Profesi
Yang dikeluarkan zakatnya adalah semua pemasukan dari hasil kerja dan usaha. Bentuknya bisa berbentuk gaji, upah, honor, insentif, fee dan sebagainya. Baik sifatnya tetap dan rutin atau bersifat temporal atau sesekali.

1. Gaji Bersih Atau Kotor?
Di kalangan ulama yang mendukung zakat profesi, berkembang dua pendapat yang berbeda. Pertama, kalangan yang memandang bahwa semua bentuk pemasukan harus langsung dikeluarkan 2,5%, tanpa memandang seberapa besar kebutuhan dasar seseorang. Angka 2,5 % dari total pemasukan kotor ini menjadi tidak berarti bila dilihat secara nilai nominal. Dan dalam prakteknya, metode seperti ini tidak beda dengan pajak penghasilan, dimana di beberapa negara maju, prosentasenya bisa sangat tinggi melebihi angka 2,5%. Maka penerapan metode pemotongan langsung dari pemasukan kotor menurut kalangan ini lebih tepat.

Kedua, kalangan yang masih memperhatikan masalah kebutuhan pokok seseorang. Sehingga zakat yang wajib dikeluarkan tidak dihitung berdasarkan pemaskan kotor, melainkan setelah dikurangi dengan kebutuhan pokok seseorang. Setelah itu, barulah dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 % dari pemasukan bersihnya.

Metode ini mengacu kepada ketetapan tentang harta yang wajib dizakatkan, yaitu bila telah melebihi al-hajah alashliyah, atau kebutuhan paling mendasar bagi seseorang.

2. Jalan Tengah Qaradawi
Ulama besar abad ini, Dr. Yusuf Al-Qaradawi dalam kitabnya, Fiqhuz-Zakah, menuliskan perbedaan pendapat ini dengan mengemukakan dalil dari kedua belah pihak. Ternyata kedua belah pihak sama-sama punya dalil dan argumen yang sulit dipatahkan, sehingga beliau memberikan jalan keluar dari sisi kasus per kasus.

Menurut beliau, bila pendapatan seseorang sangat besar dan kebutuhan dasarnya sudah sangat tercukupi, wajar bila dia mengeluarkan zakat 2,5 % langsung dari pemasukan kotornya.

Sebaliknya, bila pemasukan seseorang tidak terlalu besar, sementara kewajiban untuk memenuhi nafkah keluarganya lumayan besar, maka tidak mengapa bila dia menunaikan dulu segala kewajiban nafkahnya sesuai dengan standar kebutuhan dasar, setelah itu sisa pemasukannya dizakatkan sebesar 2,5 % kepada amil zakat.

Kedua pendapat ini memiliki kelebihan dan kekuarangan. Buat mereka yang pemasukannya kecil dan
sumber penghidupannya hanya tergantung dari situ, sedangkan tanggungannya lumayan besar, maka pendapat pertama lebih sesuai untuknya. Pendapat kedua lebih sesuai bagi mereka yang memiliki banyak sumber penghasilan dan rata-rata tingkat pendapatannya besar sedangkan tanggungan pokoknya tidak terlalu besar.

J. Nisab Zakat Profesi
Nishab zakat profesi mengacu pada zakat pertanian yaitu seharga dengan 520 kg beras. Kalau harga besar Rp. 2.500 per kilogram, maka 520 x Rp. 2.500 = Rp. 1.300.000,-. Nisab ini akan sangat bergantung kepada harga besar yang dimakan oleh seseorang.

Nishab ini adalah jumlah pemasukan dalam satu tahun. Artinya bila penghasilan seseorang dikumpulkan dalam satu tahun bersih setelah dipotong dengan kebutuhan pokok dan jumlahnya mencapai Rp. 1.300.000,- maka dia sudah wajib mengeluarkan zakat profesinya. Ini bila mengacu pada pendapat pertama.

Dan bila mengacu kepada pendapat kedua, maka penghasilannya itu dihitung secara kotor tanpa dikurangi dengan kebutuhan pokoknya. Bila jumlahnya dalam setahun mencapai Rp. 1.300.000,-, maka wajiblah mengeluarkan zakat.

K. Waktu Pembayaran Zakat
Zakat profesi dibayarkan saat menerima pemasukan karena diqiyaskan kepada zakat pertanian yaitu pada saat panen atau saat menerima hasil.


Related Posts:

0 Response to "N. Zakat Profesi"

Posting Komentar