Q. Fakir



Ikhtishar
A. Pengertian
1. Bahasa
2. Istilah
3. Perbedaan Faqir dan Miskin

B. Syarat
1. Muslim
2. Bukan Keluarga Nabi
3. Merdeka
4. Tidak Dibawah Tanggungan Kerabat

C. Nilai Hak

A. Pengertian
Sebenarnya antara fakir dan miskin ini memang saling berdekatan, sehingga bila istilah fakir disebutkan tanpa menyebut miskin, atau istilah miskin disebut sendirian tana menyebut istilah fakir, maka keduanya punya maknanya sama. Keduanya baru punya perbedaan yang berarti manakala disebutkan bersama-sama. Ada istilah dalam bahasa Arab :

إذا اجتمعا افترقا وإذا افترقا اجتمعا
Bila bersama menjadi berbeda, sebaliknya bila berpisah menjadi sama

1. Bahasa
Secara bahasa, kata fakir atau faqir ( فقير ) bermakna orang yang sedikit hartanya ( من قل ماله ). Dan lawan katanya adalah ghaniy ( غني ), yaitu orang yang banyak hartanya.

2. Istilah
Sedangkan secara istilah, para ulama punya definisi yang berbeda-beda :

a. Al-Hanafiyah
Mazhab Al-Hanafiyah mendefinisikan bahwa orang faqir itu adalah orang yang hartanya tidak mencapai nishab dari harta yang produktif. Atau bisa juga orang yang punya harta yang memenuhi nishab namun harta itu tidak produktif, dimana habis untuk hajatnya.

b. Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah
Keduanya mendefinisikan bahwa orang faqir adalah orang yang sama sekali tidak punya harta ( لا یملك شیئا البتة )

c. Al-Malikiyah
Sedangkan Al-Malikiyah mendefinisikan bahwa orang faqir itu adalah orang yang masih memiliki harta, namun belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan makanan pokoknya selama setahun.

3. Perbedaan Faqir dan Miskin
Faqir seringkali disamakan dengan miskin. Karena kedua memiliki kemiripan satu sama lain. Namun masingmasing tetap memiliki keunikan yang membedakannya dengan lainnya, sehingga Al-Quran pun tetap memerlukan untuk menyebutkan masing-masing secara terpisah. Lalu apa beda antara faqir dan miskin? Para ulama memang berbeda pendapat ketika mencoba memberikan batasan antara keduanya.

Mazhab Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah memandang bahwa yang dimaksud dengan faqir adalah orang yang tidak punya harta serta tidak punya penghasilan yang mencukupi kebutuhan dasarnya, atau hanya mencukupi hajat paling asasinya. Termasuk diantaranya adalah seorang wanita tidak punya suami yang bisa menafkahinya.

Hajat dasar itu sendiri berupa kebutuhan untuk makan yang bisa meneruskan hidupnya, pakaian yang bisa menutupi sekedar auratnya atau melindungi dirinya dari udara panas dan dingin, serta sekedar tempat tinggal untuk berteduh dari panas dan hujan atau cuaca yang tidak mendukung.

Ketika Rasulullah SAW mengirim Muadz bin Jabal dan Abu Musa Al-Anshari ke negeri Yaman, beliau menegaskan tentang kewajibkan untuk memberkan harta zakat kepada orang-orang fakir tanpa menyebutkan orang-orang miskin.

B. Syarat
Tidak semua orang faqir mendapat harta zakat dari baitulmal. Untuk itu ada beberapa persyaratan yang telah ditetapkan para ulama, yang didasarkan pada nash-nash yang muktamad, di antaranya :

1. Muslim
Hanya faqir yang muslim saja yang berhak menerima hak harta zakat, sedangkan mereka yang masih kafir, meski pun faqir statusnya, tidak mendapat hak atas harta zakat. Dalilnya adalah hadits Muadz yang terkenal itu, dimana Rasulullah SAW memberi arahan bahwa zakat itu diambil dari orang kaya yang muslim, lalu didistribusikan kepada orang-orang faqir yang juga muslim.

خُذْهَا مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَرُدَّهَا فِى فُقَرَائِهِمْ
Ambillah harta zakat itu dari orang-orang kaya diantara mereka (muslim) dan kembalikan kepada orang-orang faqir di antara mereka juga (muslim). (HR. Bukhari)

Memang benar diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan 100 ekor kambing kepada kepala suku kafir dari harta baitulmal, padahal dia belum atau tidak beragama Islam. Hal itu karena Allah SWT mengizinkan harta zakat diberikan kepada orang yang hatinya sedang ditundukkan, atau istilahnya al-muallafati qulubuhum. Namun hal itu terjawab dengan sikap yang diambil oleh Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu ketika menjabat sebagai khalifah dengan pernyataannya, bahwa dahulu Rasulullah SAW memberikannya lantaran agama Islam masih sangat lemah dan butuh dukungan dari banyak pihak termasuk orang kafir.

Namun setelah agama Islam dikuatkan oleh Allah, dukungan dari orang kafir sudah tidak diperlulakan lagi. Sehingga kebijakannya diubah oleh Umar sang Khalifah, bahwa orang-orang yang muallaf itu sudah tidak berhak lagi menerima harta zakat, selama dia belum lagi menyatakan beragama Islam.

2. Bukan Keluarga Nabi
Rasulullah SAW dan keluarganya tidak boleh menerima harta zakat, meski pun barangkali mereka termasuk faqir. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW sendiri :

إِنَّ الصَّدَقَةَ لَا تَنْبَغِى لال مُحَمَّدٍ إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ
Harta zakat itu tidak boleh buat keluarga Muhammad, karena merupakan kotoran-kotoran manusia. (HR. Muslim)

3. Merdeka
Seorang budak tidak berhak mendapatkan harta zakat, meski secara fisik memang termasuk orang faqir. Sebabnya karena sebagai budak, dia memang tidak punya hak untuk memiliki harta, kalau pun diberikan harta kepadanya, maka secara hukum, harta itu milik tuannya. Sebab di masa lalu, status budak dalam masalah ekonomi sejajar dengan hewan, yang tidak punya hak untuk memiliki harta.

Kita bisa ilustrasikan seperti hewan-hewan yang ada pada sebuah sirkus. Meski hewan-hewan itu berjasa menghibur orang banyak, lalu orang-orang membayar tiket pertunjukan, pada dasarnya yang diberi uang bukan hewanhewan itu, melainkan tuannya yang berhak atas upah itu. Kewajiban tuannya hanya memelihara, memberi makan, minum, perawatan dan kebutuhan dasar. Sedangkan harta tidak pernah menjadi milik hewan-hewan itu.

4. Tidak Dibawah Tanggungan Kerabat
Seorang yang faqir baru mendapatkan haknya dari harta zakat dengan syarat bila belum ada yang menanggung nafkahnya. Seorang wanita yang tidak bekerja dan tanpa penghasilan, sesungguhnya termasuk kategori faqir. Namun kalau dia menjadi istri dari seorang laki-laki yang menanggung kebutuhannya, maka otomatis dia tidak lagi menjadi faqir. Demikian pula seorang pengangguran yang nafkahnya

masih ditanggung oleh orang tuanya, meski barangkali sudah berkeluarga, dia tidak berhak atas harta zakat, karena masih ada yang mau menanggung kebutuhannya. Tetapi bila orang tuanya sudah tidak mau lagi memenuhi kebutuhan nafkahnya, barulah dia berhak atas harta zakat.

C. Nilai Hak
Kalau seorang dengan kategori faqir berhak atas harta zakat, lalu berapakah nilai harta yang menjadi haknya? Al-Hanafiyah mengatakan bahwa nilai yang berhak diterima oleh seorang faqir sekarang 200 dirham. Ukuran satu dirham di masa Rasulullah SAW cukup untuk membeli seekor ayam. Kalau harga ayam itu misalnya Rp. 30.000,-, maka nilai 200 dirham itu kira-kira 6 juta rupiah. Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa seorang faqir berhak mendapatkan apa yang menjadi cukup dari hajat yang paling dasarnya untuk hidup selama satu tahun.

Sedangkan Asy-Syafi’iyah menyebutkan bahwa haknya terus berlangsung seumur hidupnya tanpa dibatasi waktu.


Related Posts:

0 Response to "Q. Fakir"

Posting Komentar