G. Puasa Sunnah
57. Puasa Hari Kelahiran
Assalamualaikum ...
Saya mau menanyakan perihal puasa hari kelahiran dan puasa lepas tali pusar. Bagamana hukumnya dalam islam. Apakah ada dalam tuntunan islam/ajaran rosulullah
Assalamualaikum ....
Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh
Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa ba`du,
Puasa adalah termasuk ibadah mahdloh, oleh karena itu dalam pensyariatannya harus berdasarkan dalil yang shohih dari Rasulullah SAW yang memerintahkan adanya ibadah tersebut. Sebab dalam suatu qaidah dijelaskan bahwa asal dalam setiap ibadah adalah batal alias tidak sah sampai ada dalil yang memerintahkannya.
Dengan demikian, berkaitan dengan ibadah puasa yang saudara tanyakan, kami belum mendapatkan dalil yang memerintahkan pelaksanaan puasa tersebut.
Sedangkan shaum senin yang biasa dilakukan oleh Rasulullah SAW dan disunahkan bagi kita untuk melaksankaannya tidak dapat kita jadikan dalil adanya pensyariatan shaum pada hari kelahiharan dengan alasan Rasulullah SAW pun melaksankan shaum pada hari senin, yang sebagaimana dijelaskan dalam sejumlah hadis itu merupakan hari kelahiran beliau. Karena boleh jadi hal tersebut merupakan kekhususan bagi beliau di sampng itu, tidak ada satu keterangan pun baik dari para sahabat atau para salafus-sholih yang menjelaskan bahwa mereka biasa melakukan shaum pada hari kelahiran mereka. Jadi kalau Anda ingin melaksanakan shaum sunnah, maka laksanakanlah shaum yang dicontohkan dan diperintahkan oleh Rasulullah SAW seperti shaum senin kamis, shaum Daud dan lain-lain. Wallahu a`lam bishshowab.
Wassalamu `alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
58. Mengenai Shaum Ayyamul Bidh Yang Bentrok
Assalamu‘alaikum.wr.wb.
Saya ingin tanya tentang ayyamul bidh. Jika hari terakhir ayyamul bidh adalah hari Ahad apakah besoknya (Senin) boleh untuk shaum senin-kamis? Mengingat shaum sunnah yang diperbolehkan Rasulullah yang terberat hanya sampai shaum Nabi Daud. Terima kasih.
Wassalamu‘alaikum.wr.wb.
Sebanarnya bila sampai terjadi secara kebetulan kita puasa sunnah lalu hasilnya malah jadi berturut-turut tidak apa-apa. Karena memang niatnya pun berbeda-beda. Puasa Nabi Daud adalah alternatif yang Rasulullah SAW berikan pada salah seorang shahabat yang bertekan mau puasa seumur hidup setiap hari. Maka dianjurkan untuk puasa Daud yang berselang seling sehari puasa dan sehari tidak.
Tapi bila anda ingin puasa berturut-turut satu minggu atau sebulan, boleh–boleh saja. Selama tidak mengurangi kewajiban asasi anda sendiri. Karena itu bila ternyata hasil dari penggabungan dua jenis puasa sunnah itu menunjukkan puasa berturu-turut, maka secara umum tidak masalah. Wallahu a‘lam bis-shawab. Pusat Konsultasi Syariah
59. Nisfu Sya'ban, Syar'i-kah?
Assalamu'alaikum wr. wb
Ustadz yang dirahmati Allah, dalam ajaran Islam adakah yang disebut Nisfu Sya'ban? karena banyak orang di lingkungan saya yang melakukan ibadah-ibadah khusus (seperti shalat khusus nisfu sya'ban & membaca wirid2 tertentu) di malam nisfu sya'ban. benarkah malam nisfu sya'ban berarti pergantian "buku" (saya sendiri kurang mengerti maksud "buku" di sini). adakah dalili yang menunjang itu semua? atas bantuannya, saya ucapkan syukran katsir
Wassalamu'alaikum wr wb
Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d
Bulan Sya’ban adalah bulan dimana amal shalih diangkat ke langit. Hal tersebut didasrkan kepada hadits Rasulullah SAW : Dari Usamah bin Zaid berkata:
Saya bertanya: “Wahai Rasulullah saw, saya tidak melihat engkau puasa disuatu bulan lebih banyak melebihi bulan Sya’ban”. Rasul saw bersabda:” Bulan tersebut banyak dilalaikan manusia, antara Rajab dan Ramadhan, yaitu bulan diangkat amal-amal kepada Rabb alam semesta, maka saya suka amal saya diangkat sedang saya dalam kondisi puasa” (Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Huzaimah) Disamping itu bulan sya’ban yang letaknya persis sebelum ramadhan seolah menjadi starting point untuk menyambut ramadhan. Sehingga isyaratnya adalah kita perlu menyiapkan bekal ibadah untuk menyambut bulan Ramadhan. Dalam hal mempersiapkan hati atau ruhiyah, Rasulullah saw. mencontohkan kepada umatnya dengan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, sebagaimana yang diriwayatkan ‘Aisyah ra. berkata:
”Saya tidak melihat Rasulullah SAW menyempurnakan puasanya, kecuali di bulan Ramadhan. Dan saya tidak melihat dalam satu bulan yang lebih banyak puasanya kecuali pada bulan Sya’ban” (HR Muslim).
Sedangkan khusus dalam keuatamaan malam pertengahan bulan sya’ban (nisfu sya’ban), memang ada dalil yang mendasarinya meski tidak terlalu kuat. Diantaranya hadits berikut :
Sesungguhnya Allah SWT bertajalli (menampakkan diri) pada malam nisfu sya’ban kepada hamba-hamba-Nya serta mengabulkan doa mreka, kecuali sebagian ahli maksiat. Sayangnya hadits ini tidak mencapai derajat shahih kecuali hanya dihasankan oleh sebagian orang dan didhaifkan oleh sebagian lainnya.
Bahkan Al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan bahwa tidak ada satu hadits shahih pun mengenai keutamaan malam nisfu sya’ban. Begitu juga Ibnu Katsir telah mendha’ifkan hadits yang menerangkan tentang bahwa pada malam nisfu sya’ban itu, ajal manusia ditentukan dari bulan pada tahun itu hingga bulan sya’ban tahun depan. Sedangkan amaliyah yang dilakukan secara khusus pada malam nisfu sya’ban itu seperti yang sering dikerjakan oleh sebagian umat Islam dengan serangkaian ritual, kami tidak mendapatkan satu petunjuk pun yang memiliki dasar yang kuat. Seperti membaca surat Yasin, shalat sunnah dua raka’at dengan niat minta dipanjangkan umur, shalat dua rakaat dengan niat agar menjadi kaya dan seterusnya. Memang praktek seperti ini ada di banyak negeri, bukan hanya di Indonesia, tetapi di Mesir, Yaman dan negeri lainnya. Bahkan mereka pun sering membaca lafaz doa khusus yang -entah bagaimana- telah tersebar di banyak negeri meski sama sekali bukan berasal dari hadits Rasulullah SAW.
Kritik Terhadap Lafaz Doa Malam Nisfu Sya’ban
Sering kita dapati bahwa sebagian umat Islam memanjatkan doa khusus pada malam nisfu sya’ban. Di dalam doa itu mereka meminta agar Allah SWT menghapuskan taqdir yang buruk yang telah tertulis di lauhil mahfuz. Seperti doa berikut ini :
Ya Allah, jika engkau mencatat aku di sisi-Mu dalam ummul kitab, sebagai orang yang celaka (sengsara), terhalang, terusir, atau sempit rizkiku, maka hapuskanlah Ya Allah dengan dengan karunia-Mu atas kesengsaraanku, keterhalanganku, keterusiranku dan kesempitan rizkiku. Dan tetapkanlah aku disisimu di dalam ummil kitab sebagai orang yang bahagia, diberi rizki, dan diberi pertolongan kepada kebaikan seluruhnya. Karean sesungguhnya Engkau telah berfirman dan firman-Mu adalah benar, di dalam kitab-Mu yang Engkau turunkan melalui lisan nabi-Mu yang Engkau utus : Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan , dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (lauhil Mahfuz) .
Hal itu karena mereka berhujah bahwa Allah SWT dengan kehendak-Nya bisa menghapus apa-apa yang pernah ditulisnya di lauhil mahfuz dan menggantinya dengan taqdir yang lain. Dasarnya adalah firman Allah SWT : Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan , dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (lauhil Mahfuz). (QS. Ar-Ra’d : 39).
Namun oleh sebagian ulama, lafaz doa seperti itu dianggap bertentangan, karena apa-apa yang sudah tertulis di lauil mahfuz tidak mungkin dihapus. Karena ada sabda Rasulullah SAW : Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Allah SWT menghapuskan apa yang dikehendakinya dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya, kecuali kebahagiaan, kesengsaran dan kematian.” Ibnu Abbas berkata,””Allah SWT menghapuskan apa yang dikehendakinya dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya, kecuali penciptaan, perilaku, ajal, rizqi, kebahagiaan dan kesengsaran.” Selain itu lafaz doa itu seolah-olah mengantungkan kepada Allah SWT apakah ingin mengabulkan atau tidak. Padahal salah satu adab berdoa adalah harus ber’azam atau bertekad kuat untuk dikabulkan. Sedangkan penggunaan lafaz {bila Engkau kehendaki}, seolah mengesankan tidak serius dalam meminta. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW : Bila kamu meminta kepada Allah SWT maka mantapkanlah permintaanmu itu.
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
1. 3067 Nisfu Sya`ban, Syar`i-kah?
60. Puasa Ruah
Assalamualaikum wr. wb.
Seorang teman menanyakan melalui milis tentang puasa ruah. Saya sendiri tidak mengerti apa yang dimaksud dengan itu. Mohon ustad jelaskan tentang kedudukannya dalam Islam.
Wassalamualaikum wr. wb
Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d
Ruah itu nama sebutan lain dari bulan Sya'ban. Jadi kalau disebut puasa ruah maka maknanya adalah puasa sunnah di bulan Sya'ban. Memang sebagian masyarakat kita sering menggunakan istilah sendiri untuk menamakan bulan-bulan hijriyah, seperti mulud yang sebenarnya berasal dari maulud atau maulid yang artinya adalah kelahiran Rasulullah SAW. Padahal nama sebenarnya adalah Rabi'ul Awwal. Sedangkan orang betawi sering menamakan bulan Zulqo'dah dengan istiah bulan APIT, maksudnya barangkali bulan yang kejepit diantara dua bulan yang ada hari rayanya, yaitu hari raya Iedul Fithri dan Iedul Adha.
Hukum Puasa Sya'ban
Kita memang harus menyiapkan bekal ibadah untuk menyambut bulan Ramadhan. Dalam hal mempersiapkan hati atau ruhiyah, Rasulullah saw. mencontohkan kepada umatnya dengan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, sebagaimana yang diriwayatkan ‘Aisyah ra. berkata: ”Saya tidak melihat Rasulullah SAW menyempurnakan puasanya, kecuali di bulan Ramadhan. Dan saya tidak melihat dalam satu bulan yang lebih banyak puasanya kecuali pada bulan Sya’ban” (HR Muslim).
Salah satu diantara hikmahnya adalah bahwa bulan Sya’ban adalah bulan dimana amal shalih diangkat ke langit. Rasulullah SAW bersabda: Dari Usamah bin Zaid berkata: Saya bertanya: “Wahai Rasulullah saw, saya tidak melihat engkau puasa disuatu bulan lebih banyak melebihi bulan Sya’ban”. Rasul saw bersabda:” Bulan tersebut banyak dilalaikan manusia, antara Rajab dan Ramadhan, yaitu bulan diangkat amal-amal kepada Rabb alam semesta, maka saya suka amal saya diangkat sedang saya dalam kondisi puasa” (Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Huzaimah) Dalam masalah puasa di bulan Sya`ban, kita hanya mendapatkan hadits-hadits shahih atau hasan yang menceritakan bahwa secara umum Rasulullah SAW memang banyak melakukan puasa di bulan tersebut dan juga bulan sebelumnya yaitu Rajab. Namun tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW melakukan puasa sebulan penuh di bulan Rajab atau ublan Sya`ban. Namun bukan berarti tidak boleh melakukan shalat dan beristighfar di bulan tersebut. Yang kami terangkan adalah bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan tentang hal itu umumnya hadits yang tertolak. Misalnya hadits yang bunyinya : “Rajab adalah bulan Allah, Sya`ban adalah bulanku (Rasulullah SAW ) dan Ramadhan adalah bulan ummatku” Hadits ini oleh para muhaddits disebutkan sebagai hadits palsu dan munkar.
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
61. Perbanyak Puasa Sunah Di Bln Rajab
Assalamu `Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Ustadz kalo keterangan hadits yang menyatakan rasul memperbanyak puasa sunnah di bulan rajab dan syaban apa juga palsu?
Assalamu `Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Al-hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Ala Sayyidil Mursalin, Wa ba`d
Dalam masalah puasa di Bulan Rajab dan Sya`ban, kita hanya mendapatkan hadits-hadits shahih atau hasan yang menceritakan bahwa secara umum Rasulullah SAW memang banyak melakukan puasa di kedua bulan tersebut. Karna bulan Rajab termasuk bulan haram, dan puasa di bulan-bulan haram itu maqbul (diterima) dan mustahab (disukai) dalam keadaan apapun. Namun tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW melakukan puasa sebulan penuh di bulan Rajab atau ublan Sya`ban.
Sedangkan hadits-hadits yang menceritakan bahwa kalau melakukan shalat ini dan itu di bulan Rajab maka mendapat ganjaran ini dan itu, atau siapa yang beristighfar akan mendapat ganjaran tertentu, umumnya bukanlah hadits yang kuat, bahkan kebanyakannya adalah hadits dhaif dan mungkar. Namun bukan berarti tidak boleh melakukan shalat dan beristighfar di bulan Rajab. Yang kami terangkan adalah bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan tentang hal itu umumnya hadits yang tertolak. Misalnya hadits yang bunyinya :
“Rajab adalah bulan Allah, Sya`ban adalah bulanku (Rasulullah SAW ) dan Ramadhan adalah bulan ummtku” Hadits ini oleh para muhaddits disebutkan sebagai hadits palsu dan munkar.
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
62. Benarkah Puasa Syawal Haditsnya Dha’if ?
Assalamu `Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Yth Pak Ustadz, Saya ingin menanyakan tentang hadits puasa sawal,sebab saya pernah dengar bahwa puasa sawal hadistnya lemah apa betul Pak Ustadz,mohon penjelasan.
Wasslam Wr Wb
Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d
Ketentuan tentang masyru`iyah puasa sebanyak 6 hari di bulan syawwal didasarkan pada Rasulullah SAW yang shahih riwayat Imam Muslim. Dari Abi Ayyub Al-Anshari ra bahwa orang yang puasa ramadhan lalu dilanjutkan dengan puasa 6 hari Syawwal, maka seperti orang yang berpuasa setahun(HR. Muslim). Juga ada hadits lainnya yang juga menguatkan masyru’iyah puasa syawwal, yaitu hadits Tsauban berikut ini :
Dari Tsauban ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Puasa ramadhan pahalanya seperti puasa 10 bulan. Dan puasa 6 hari setelahnya (syawwal) pahalanya sama degan puasa 2 bulan. Dan keudanya itu genap setahun). Sebagian kalangan Al-Hanafiyah tidak menganggapnya sunnah.
Kalau pun ada yang mengatakan tidak ada kesunnahan puasa 6 hari bulan syawwal, maka itu adalah pendapat menyendiri dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah. Diriwayatkan bahwa Al-Imam Abu Hanifah mengkarahahkan puasa 6 hari syawwal baik berturut-turut maupun tidak berturutan. Sedangkan Abu Yusuf, salah seorang ulama dari mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa karahahnya hanyalah bila puasa 6 hari syawwal itu dilakukan dengan cara berturut-turut. Sedangkan bila dilakukan dengan tidak berturut-turut, maka tidak makruh. Namun para ulama Al-Hanafiyah dari kalangan mutaakhirin tidak berpendapat sebagaimana pendapat Al-Imam Abu Hanifah. Mereka sebagaimana pendapat dari mazhab lainnya menyatakan bahwa puasa 6 hari di bulan syawwal itu memang hukumnya sunnah. Dan sebagaimana kami katakan, bahwa jumhurul fuqaha baik dari kalangan Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah mapun Al-Hanabilah semua sepakat mengatakan bahwa puasa 6 hari di bulan Sawwal itu hukumnya sunnah. Meskipun mereka berbeda pendapat tentang cara melakukannya. Haruskah dilakukan berturut-turut atau tidak ?
a. Asy-Syafi'iyah dan sebagian Al-Hanabilah
Al-Imam Asy-Syafi'i dan sebagian fuqaha Al-Hanabilah mengatakan bahwa afdhalnya puasa 6 hari Syawwal itu dilakukan secarar berturut-turut selepas hari raya ‘Iedul fithri. Yaitu tanggal 2 hingga tanggal 7 Syawwal. Dengan alasan agar jangan sampai timbul halangan bila ditunda-tunda.
b. Mazhab Al-Hanabilah
Tetapi kalangan resmi mazhab Al-Hanabilah tidak membedakan apakah harus berturut-turut atau tidak, sama sekali tidak berpengaruh dari segi keutamaan. Dan mereka mengatakan bahwa puasa 6 hari syawwal ini hukumnya tidak mustahab bila yang melakukannya adalah orang yang tidak puasa bulan ramadhan.
c. Mazhab Al-Hanafiyah
Sedangkan kalangan Al-Hanafiyah yang mendukung kesunnahan puasa 6 hari syawwal mengatakan bahwa lebih utama bila dilakukan dengan tidak berturut-turut. Mereka menyarankan agar dikerjakan 2 hari dalam satu minggu.
d. mazhab Al-Malikiyah
Adapun kalangan fuqaha Al-Malikiyah justru mengatakan bahwa puasa itu menjadi makruh bila dikerjakan bergandengan langsung dengan bulan ramadhan. Yaitu bila langsung dikerjakan mulai pada tanggal2 syawwal selepas hari ‘Iedul fithri. Bahkan mereka mengatakan bahwa puasa 6 hari itu juga disunnahkan di luar bulan syawwal, seperti 6 hari pada bulan Zulhijjah. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
63. Puasa Sunat Di Bulan Muharram
Assalaamu'alaikum
Ustd, Apakah ada ketentuan utk puasa sunat di bulan Muharram?
Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d
Yang disunnahkan secara tegas adalah berpuasa pada tanggal 10 Muharram dan sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya. Dan sering disebut juga juga dengan Shaum Asyuro. Pada asalnya Shaum Asyuro ini adalah wajib. Kemudian kewajibannya dinasakh dengan kewajiban shaum Ramadhan, maka shaum tersebut berubah hukumnya menjadi sunnah.
Oleh karena itu Rasulullah SAW menganjurkan kepada umat Islam untuk melaksanakan shaum assyuraa (shaum hari kesepuluh) dari bulan Muharram ditambah dengan shaum sehari sebelumnya atau sesudahnya. Hal ini berdasarkan hadits-hadits yang diriwayatkan para sahabat. Antara lain:
Dari Humaid bin Abdir Rahman, ia mendengar Muawiyah bin Abi Sufyan RA berkata: “Wahai penduduk Madinah, dimana ulama kalian? Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Ini hari Assyura, dan Alloh tidak mewajibkan shaum kepada kalian di hari itu, sedangkan saya shaum, maka siapa yang mau shaum hendaklah ia shaum dan siapa yang mau berbuka hendaklah ia berbuka” (HR Bukhori 2003)
Juga ada hadits lainnya berikut ini :
Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata: ketika Rasulullah SAW tiba di kota Madinah dan melihat orang-orang Yahudi sedang melaksanakan shaum assyuraa, beliau pun bertanya? Mereka menjawab: Ini hari baik, hari di mana Allah menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka lalu Musa shaum pada hari itu. Maka Rasulullah SAW menjawab: “Aku lebih berhak terhadap Musa dari kalian”, maka beliau shaum pada hari itu dan memerintahkan untuk melaksanakan shaum tersebut. (HR Bukhori 2004)
Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata: pada saat Rasulullah SAW melaksanakan shaum Assyura dan memerintah para sahabat untuk melaksanakannnya, mereka berkata: “Wahai Rasulullah hari tersebut (assyura) adalah hari yang diagung-agungkan oleh kaum Yahudi dan Nashrani”. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Insya Allah jika sampai tahun yang akan datang aku akan shaum pada hari kesembilannya”. Ibnu Abbas berkata: “Rasulullah SAW meninggal sebelum sampai tahun berikutnya” (HR Muslim 1134)
Rasulullah SAW bersabda: “Shaumlah kalian pada hari assyura dan berbedalah dengan orang Yahudi. Shaumlah kalian sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya” (HR Thohawy dan Baihaqy serta Ibnu Huzaimah 2095)
Adapun keutamaan shaum tersebut sebagaimana diriwayatkan dalam hadits dari Abu Qatadah, bahwa shaum tersebut bisa menghapus dosa-dosa kita selama setahun yang telah lalu (HR Muslim 2/819) Imam Nawawy ketika menjelaskan hadits di atas beliau berkata: “Yang dimaksud dengan kafaraoh dosa adalah penghapus dosa-dosa kecil, akan tetapi jika orang tersebut tidak memiliki dosa-dosa kecil diharapkan dengan shaum tersebut dosa-dosa besarnya diringankan, dan jika ia pun tidak memiliki dosa-dosa besar, Allah akan mengangkat derajat orang tersebut di sisi-Nya.
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
0 Response to "G. Puasa Sunnah"
Posting Komentar