C. Dalam Kondisi Seperti Ini, Wajibkah Berpuasa ?


14. Nifas Pada Bulan Romadhon
Assalamu`alaikum Wr. Wb. Pertanyaan Majelis ta`lim saya. Pertanyaan adalah : 1. Ada seorang ibu sedang nifas di bulan Romadhon, sehingga ia tidak shoum Romadhon dan hanya membayar fidyah. Padahal setahu saya ia harusnya mengqodho. Karena kejadiaan ini sudah beberapa tahun lalu, apa yang harus dilakukan si ibu ini, apakah ia wajib mengqodho puasa yang telah 3 tahun lalu atau bagaimana? 2. Ada seorang akhwat yang tidak sempat membayar qodho ramadhon tahun 1422 H karena malas puasa sebelum-sebelumnya, giliran mo puasa haidh dan sudah dekat Romadhon 1423 H. Jika kasusnya demikian, apa yang harus dilakukan ustadz? Syukron. Wassalamu`alaikum Wr. Wb.

Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d
1. Ketika seseorang meninggalkan kewajiban ibadah puasa, maka ada konsekuensi yang harus dikerjakan. Konskuensi itu merupakan resiko yang harus ditanggung karena meninggalkan kewajiban puasa yangtelah ditetapkan. Adapun bentuknya, ada beberapa bentuk, yaitu qada` (mengganti puasa di hari lain), membayar fidyah (memberi makan fakir miskin) dan membayar kaffarah (denda). Masing-masing bentuk itu harus dikerjakan sesuai dengan alasan tidak puasanya.

1. Qadha`
Qadha` adalah berpuasa di hari lain di luar bulan Ramadhan sebagai pengganti dari tidak berpuasa pada bulan itu.
Yang wajib mengganti (mengqadha`) puasa dihari lain adalah :
a. Wanita yang mendapatkan haidh dan nifas. Mereka diharamkan menjalankan puasa pada saat mendapat haidh dan nifas. Karena itu wajib menggantinya di hari lain

b. Orang sakit termasuk yang dibolehkan untuk tidak berpuasa Ramadhan. Karena itu apabila telah sehat kembali, maka wjaib menggantinya di hari lain setelah dia sehat.

c. Wanita yang menyusui dan hamil karena alasan kekhawatiran pada diri sendiri. Mereka dibolehkan tidak berpuasa karena dapat digolongkan sebagai orang sakit

d. Bepergian (musafir). Orang yang bepergian mendapat keringanan untuk tidak berpuasa, tetapi harus mengganti di hari lain ketika tidak dalam perjalanan.

e. Orang yang batal puasanya karena suatu sebab seperti muntah, keluar mani secara sengaja, makan minum tidak sengaja dan semua yangmembatalkan puasa. Tapi bila makan dan minum karena lupa, tidak membatalkan puasa sehingga tidak wajib mengqadha`nya.

2. Bagaimana hukumnya bila Ramadhan telah tiba sementara masih punya hutang qadha` puasa Ramadhan tahun lalu ?
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian fuqoha seperi Imam Malik, Imam as-Syafi`i dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa harus mengqadha` setelah Ramadhan dan membayar kaffarah (denda). Perlu diperhatikan meski disebut dengan lafal ‘kaffarah’, tapi pengertiannya adalah membayar fidyah, bukan kaffarah dalam bentuk membebaskan budak, puasa 2 bulan atau memberi 60 fakir miskin. Ini dijelaskan dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu karya Dr. Wahbah Az-Zuhaili.

Dasar pendapat mereka adalah qiyas, yaitu mengqiyaskan orang yang meinggalkan kewajiban mengqadha` puasa hingga Ramadhan berikutnya tanpa uzur syar`i seperti orang yang menyengaja tidak puasa di bulan Ramadhan. Karena itu wajib mengqadha` serta membayar kaffarah (bentuknya Fidyah). Sebagian lagi mengatakan bahwa cukup mengqadha` saja tanpa membayar kaffarah. Pendapat ini didukung oleh Mazhab Hanafi, Al-Hasan Al-Bashri dan Ibrahim An-Nakha`i. Menurut mereka tidak boleh mengqiyas seperti yang dilakukan oleh pendukung pendapat di atas. Jadi tidak perlu membayar kaffarah dan cukup mengqadha` saja. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

15. Puasa Untuk Lansia
Assalamualaikum,wr,wb. Ust,langsung saja : 1. Apa konsekuensi bagi lansia yang tidak kuat untuk saum ? 2. Gimana hukumnya seorang yang telah mengalami kecelakaan fisik dan ketika ia saum tidak kuat, kemungkinan ada organ tertentu yang terganggu.mohon penjelasannya. Terima kasih.

Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d
Orang yang sudah tua dan tidak mampu lagi untuk berpuasa, maka tidak ada kewajiban untuk berpuasa Ramadhan baginya. Cukup dengan membayar fidyah saja. Dalilnya adalah ayat Al-Quran Al-Karim : ... Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya membayar fidyah, : memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan , maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 184) Fidyah adalah memberi makan kepada satu orang fakir miskin sebagai ganti dari tidak berpuasa. Fidyah itu berbentuk memberi makan sebesar satu mud sesuai dengan mud nabi. Ukuran makan itu bila dikira-kira adalah sebanyak dua tapak tangan nabi SAW. Sedangkan kualitas jenis makanannya sesuai dengan kebiasaan makannya sendiri. Yang diwajibkan membayar fidyah adalah :

1. Orang yang sakit dan secara umum ditetapkan sulit untuk sembuh lagi.

2. Orang tua atau lemah yang sudah tidak kuat lagi berpuasa.

3. Wanita yang hamil dan menyusui apabila ketika tidak puasa mengakhawatirkan anak yang dikandung atau disusuinya itu. Mereka itu wajib membayar fidyah saja menurut sebagian ulama, namu menurut Imam Syafi`i selain wajib membayar fidyah juga wajib mengqadha` puasanya. Sedangkan menurut pendapat lain, tidak membayar fidyah tetapi cukup mengqadha`.

4. Orang yang meninggalkan kewajiban meng-qadha` puasa Ramadhan tanpa uzur syar`i hingga Ramadhan tahun berikutnya telah menjelang. Mereka wajib mengqadha`nya sekaligus membayar fidyah.
Berapa ukuran fidyah itu ?
Sebagian ulama seperti Imam As-Syafi`i dan Imam Malik menetapkan bahwa ukuran fidyah yang harus dibayarkan kepada setiap satu orang fakir miskin adalah satu mud gandum sesuai dengan ukuran mud Nabi SAW. Sebagian lagi seperti Abu Hanifah mengatakan dua mud gandum dengan ukuran mud Rasulullah SAW atau setara dengan setengah sha` kurma/tepung atau setara dengan memberi makan siang dan makan malam hingga kenyang. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

16. Puasa Wanita Menyusui
assalamu`alaikum wr.wb ba`da tahmid wa sholawat. 1. bagaimana yang terbaik ya ustadz shiyam untuk wanita menyusui ( ket: anak kami kembar usia 4 bln ) ? 2. mhn penjelasan dalil ponint 1. 3. ramadhan kmarin istri buka 2 hari karena ga kuat, kmudian bayar fidyah, komentar ustadz ? 4. mhn penjelasan sunnah menyambut ramadhan. jazakumullah khair, jawabannya di tunggu sekali

Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d
Wanita yang hamil atau menyusui di bulan Ramadhan boleh tidak berpuasa, namun wajib menggantinya di hari lain. Ada beberapa pendapat berkaitan dengan hukum wanita yang haidh dan menyusui dalam kewajiban mengganti puasa yang ditnggalkan.

Pertama : Mengganti dengan puasa
Mereka digolongkan kepada orang sakit. Sehingga boleh tidak puasa dengan kewajiban menggadha` (mengganti) di hari lain. ...Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka (gantilah dengan puasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS. Al-Baqarah : 184)

Kedua : Membayar Fidyah
Mereka digolongkan kepada orang yang tidak kuat/mampu. Sehingga mereka dibolehkan tidak puasa dengan kewajiban membayar fidyah. ... dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya membayar fidyah, : memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan , maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 184)

Ketiga : Menganti puasa dan bayar fidyah juga
Mereka digolongkan kepada keduanya sekaligus yaitu sebagai orang sakit dan orang yang tidak mampu, karena itu selain wajib mengqadha`, mereka wajib membayar fidyah. Pendapat terahir ini didukung oleh Imam As-Syafi`i ra. Namun ada juga para ulama yang memilah sesuai dengan motivasi berbukanya. Bila motivasi tidak puasanya karena khawatir akan kesehatan / kekuatan dirinya sendiri, bukan bayinya, maka cukup mengganti dengan puasa saja. Tetapi bila kekhawatirannya juga berkait dengan anak yang dikandungnya atau bayi yang disusuinya, maka selain mengganti dengan puasa, juga membayar fidyah. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

17. Kewajiban Puasa Ramadhan Utk Wanita Hamil
Ass. wr. wb Ustadz, ada beberapa pertanyaan dari saya mengenai puasa ramadhan; 1. Bagaimana kewajiban puasa ramadhan atas wanita yang sedang hamil ? 2. Apabila diperbolehkan untuk tidak berpuasa, apakah harus membayar fidyah dan tetap mengganti (membayar) kewajiban puasa di lain waktu? atau tidak perlu membayar fidyah ? 3. Bagaimana jika sedang menyusui, apakah akan membatalkan puasa? Jazzakullah khoiran katsiro Wassalam

Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Bismillahirrahmanirrahiem. Alhamdulillahi Rabbil `Alamin. Wash-shalatu Was-Salamu `alaa Sayyidil Mursalin. Wa ba`d,
Wanita yang hamil atau menyusui di bulan Ramadhan boleh tidak berpuasa, namun wajib menggantinya di hari lain. Ada beberapa pendapat berkaitan dengan hukum wanita yang haidh dan menyusui dalam kewajiban mengganti puasa yang ditnggalkan.

• Pertama, mereka digolongkan kepada orang sakit. Sehingga boleh tidak puasa dengan kewajiban menggadha` (mengganti) di hari lain. Orang yang sakit dan khawatir bila berpuasa akan menyebabkan bertambah sakit atau kesembuhannya akan terhambat, maka dibolehkan berbuka puasa. Bagi orang yang sakit dan masih punya harapan sembuh dan sehat, maka puasa yang hilang harus diganti setelah sembuhnya nanti. Sedangkan orang yang sakit tapi tidak sembuh-sembuh atau kecil kemungkinannya untuk sembuh, maka cukup dengan membayar fidyah, yaitu memberi makan fakir miskin sejumlah hari yang ditinggalkannya.

• Kedua, mereka digolongkan kepada orang yang tidak kuat/mampu. Sehingga mereka dibolehkan tidak puasa dengan kewajiban membayar fidyah. Orangyang lanjut usia dan tidak kuat lagi untuk berpuasa, maka tidak wajib lagi berpuasa. Hanya saja dia wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan fakir miskin sejumlah hari yang ditinggalkannya itu.
Firman Allah SWT :
Dan bagi orang yang tidak kuat/mampu, wajib bagi mereka membayar fidyah yaitu memberi makan orang miskin (QS Al-Baqarah)

• Ketiga, mereka digolongkan kepada keduanya sekaligus yaitu sebagai orang sakit dan orang yang tidak mampu, karena itu selain wajib mengqadha`, mereka wajib membayar fidyah. Pendapat terahir ini didukung oleh Imam As-Syafi`I RA. Namun ada juga para ulama yang memilah sesuai dengan motivasi berbukanya. Bila motivasi tidak puasanya karena khawatir akan kesehatan / kekuatan dirinya sendiri, bukan bayinya, maka cukup mengganti dengan puasa saja. Tetapi bila kekhawatirannya juga berkait dengan anak yang dikandungnya atau bayi yang disusuinya, maka selain mengganti dengan puasa, juga membayar fidyah.
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

18. Wanita Hamil Dengan Diabetes, Bolehkan Tidak Shaum?
Assalamu`alaikum, Ustadz yang dirahmati Alloh swt, saat ini saya sedang hamil anak pertama usia 7,5 bulan. Sejak kehamilan usia hampir 5 bulan, saya didiagnosis menderita diabetes karena kehamilan. Setelah melalui kontrol dokter dan pemeriksaan kadar gula darah, akhirnya diputuskan saya harus disuntik insulin setiap hari 3 kali sampai persalinan. Karena kebetulan saya tinggal di Jerman dan dokter saya bukan muslim, maka saya tidak berani bertanya, apakah saya diperbolehkan untuk shaum atau tidak, karena khawatir jawabannya tidak objektif, namun demikian saya mencari tahu dengan bertanya pada seorang dokter di Indonesia (melalui kerabat di tanah air). Jawaban yang saya dapat, sebaiknya saya tidak melakukan shaum Ramadhan, karena dikhawatirkan akan membahayakan bayi yang saya kandung (bisa terjadi kematian bayi mendadak). Pertanyaan saya, dalam situasi dan kondisi demikian, saya ingin mencari jawaban secara syariah, apakah dibolehkan saya tidak shaum Ramadhan selama sebulan penuh atau ada cara lain? Kalau memang saya mendapatkan rukhsah untuk tidak shaum sebulan penuh ini, selain membayar fidhyah apakah saya perlu mengqodho nya atau hanya salah satu diantaranya. Jazaka`Lloh khoiron ustadz jawabannya Wassalamu`alaikum, Nurul, Aachen-Jerman

Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d
Wanita yang sedang hamil tentu mendapatkan rukhshah atau keringanan dari Allah SWT untuk tidak berpuasa wajib di bulan ramadhan. Karena Allah SWT tidak akan membebani seseorang di luar kemampuan dan kesanggupannya. Kalau kita buka kitab-kitab fiqih, maka kita dapati bahwa wanita hamil ini selalu dibahas oleh para fuqaha tentang bagaimana seharusnya tindakan yang dilakukannya karena tidak berpuasa. Secara umum, mereka sepakat untuk mengatakan bahwa wanita hamil (dan juga menyusui) boleh tidak berpuasa. Diantara dalilnya adalah hadits berikut : Bahwa Rasulullah SAW membolehkan tidak puasa dan tidak shalat bagi musafir, begitu juga bagi wanita hamil dan menyusui(HR. Ahmad dan Ashhabussunan) Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang bagaimana menggantinya atau bagaimana konsekuensinya.

Pertama : Mengganti dengan puasa qadha’
Mereka digolongkan kepada orang sakit. Sehingga boleh tidak puasa dengan kewajiban menggadha` (mengganti) di hari lain. Ini merupakan pendapat kalangan Al-Hanafiyah. ...Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka (gantilah dengan puasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS. Al-Baqarah : 184)

Kedua : Membayar Fidyah
Mereka digolongkan kepada orang yang tidak kuat/mampu. Sehingga mereka dibolehkan tidak puasa dengan kewajiban membayar fidyah. Ini adalah pendapat kalangan ... dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya membayar fidyah, : memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan , maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 184)

Ketiga : Menganti puasa dan bayar fidyah juga
Mereka digolongkan kepada keduanya sekaligus yaitu sebagai orang sakit dan orang yang tidak mampu, karena itu selain wajib mengqadha`, mereka wajib membayar fidyah. Pendapat terahir ini didukung oleh Imam As-Syafi`i ra. Namun ada juga para ulama yang memilah sesuai dengan motivasi berbukanya. Bila motivasi tidak puasanya karena khawatir akan kesehatan / kekuatan dirinya sendiri, bukan bayinya, maka cukup mengganti dengan puasa saja. Tetapi bila kekhawatirannya juga berkait dengan anak yang dikandungnya atau bayi yang disusuinya, maka selain mengganti dengan puasa, juga membayar fidyah. Ini adalah pendapat jumhur ulama dan diantaranya ada Al-Imam Asy-Syafi`i. Dari Ibnu Abbas ra,”Laki-laki atau wanita yang sudah tua bila tidak mampu berpuasa maka dibolehkan berbuka. Dengan memberi makan (fidyah) atas setiap hari dari puasa yang ditinggalkannya itu satu orang miskin. Dan wanita hamil atau menyusui bila mengkhawatirkan bayi mereka boleh tidak puasa dengan memberi makan orang miskin (membayar fidyah).” (HR. Abu Daud – Nailul Authar 3/231) Namun Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak ada kewajiban untuk membayar fidyah berdasarkan hadits berikut : Dari Anas bin Malik AlKa’biy, ”Bahwa Allah SWT telah menetapkan kepada musafir dibolehkan menyingkat shalat. Dan wanita hamil atau menyusui boleh tidak puasa. Demi Allah, Rasulullah SAW mengatakan hal ini salah satunya atau keduanya. (HR. An-Nasai dan Tirmizy – hasan) Hadits yang digunakan oleh Al-Hanafiyah ini sama sekali tidak menyebutkan kewajiban untuk membayar fidyah. Karena tidak puasanya itu disebabkan uzur yang merupakan fithrah dari Allah SWT. Dengan logika itu maka Al-Hanafiyah menyamakan posisi wanita yang hamil atau menyusui seperti orang yang sakit. Dimana orang sakit itu sama sekali tidak diwajibkan membayar fidyah namun menggantinya dengan puasa qadha’.
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

19. Hukum Wanita Tak Berjilbab Tapi Puasa
Pak ustadz, wanita yang tidak memakai jilbab/kerudung bila di depan pria non mahram kan nggak boleh/dosa. Trus bagaimana hukumnya bila wanita tsb sedang berpuasa, tapi tidak berjilbab dan ada di depan pria non mahram, puasanya sah nggak ?

Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d
Berjilbab atau menutup aurat hukumnya wajib bagi para muslimah yang telah akil baligh. Dan secara syar`i, batasan dari aurat adalah seluruh tubuh terkecuali wajah dan tapak tangan. Aurat wanita tidak boleh terlihat oleh laki-laki lain atau laki-laki asing atau yang sering disebut juga ajnabi. Selain itu juga tidak boleh terlihat oleh sesama wanita yang bukan muslimah. Kedudukan wanita yang bukan muslimah ini sama dengan laki-laki asing. Sedangkan kepada ayah, paman, saudara, keponakan orang-orang yang punya hubungan kemahraman dengannya, maka dia boleh memperlihatkan sebagian auratnya seperti kepala, tangan dan kaki. Semua itu adalah ketentuan dari Allah SWT yang telah dijelaskannya di dalam Al-Quran Al-Karim : Katakanlah kepada wanita yang beriman: `Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. An-Nur : 31). Sedangkan perintah untuk berpuasa adalah perintah yang mencakup semua muslim baik laki-laki maupun perempuan yang telah akil baligh. Khusus di bulan ramadhan, Allah SWT telah mewajibkan umat Islam ini untuk berpuasa. Dan puasa wajib adalah bagian dari rukun Islam yang lima. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (QS. Al-Baqarah : 183). Antara menutup aurat dengan berpuasa sama-sama kewajiban yang dibebankan Allah SWT kepada hamba-Nya. Dan meninggalkannya dengan sengaja akan menghasilkan dosa dan ancaman siksa yang pedih. Namun dari sisi hukum dan aturan teknis pelaksanaannya, masing-masing berdiri sendiri. Syah atau tidaknya sebuah puasa tidaklah ditentukan apakah orang itu menutup aurat atau tidak. Begitu juga pemakaian jilbab tidak ada kaitannya dengan keharusan untuk puasa. Masing-masing punya aturan teknis sendiri-sendiri. Sehingga bila ada wanita muslimah yang menjalankan ibadah puasa ramadhan tapi keluar rumah tanpa menutup aurat, maka puasanya itu syah bila syarat dan rukunnya terpenuhi. Sedangkan urusan dosa tidak pakai jilbab, lain lagi urusannya. Secara teknis hukum, ketika wanita itu tidak pakai jilbab, tidak mempengaruhi syah tidaknya dia dalam berpuasa. Kalaulah ada kaitannya hanya pada masalah jenis dan besarnya pahala. Karena dalam berpuasa, seseorang diwajibkan untuk menahan nafsu syahwat, padahal ketika wanita itu tampil di muka umum dengan aurat yang terbuka, maka sedikit banyak dia telah mengakibatkan orang lain untuk melihat auratnya. Dan tentu saja karena dia yang menyebabkannya, pahalanya pun akan terkurangi dengan sendirinya.
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

20. Apakah Orang Kafir Diperintahkan Untuk Puasa Juga
puasa diwajibkan kpd semua umat islam yang sdh balig,namun sebenarnya perintah puasa itu bukan hanya untuk umat islam saja tapi umat non islam juga biasanya puasa. Yang ingin saya tanyakan mengapa demikian jelaskan dan apa saja sih dalil yang terdapat dalam masalah ini.

Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d
Puasa merupakan bentuk ibadah yang sudah lama Allah SWT syariatkan kepada manusia, jauh sebelum Rasulullah SAW diutus ke muka bumi. Bersama dengan shalat dan zakat, ibadah puasa adalah ibadah yang menjadi pondasi dari setiap agama yang Allah SWT turunkan. Karena itu ketika Allah SWT menurunkan perintah wajibnya puasa kepada umat Islam, terselip informasi bahwa sebenarnya ibadah puasa ini sudah pernah diwajibkan pula kepada umat terdahulu. Meski dengan beberapa perbedaan dalam detail aturannya. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,(QS. Al-Baqarah : 183). Kita bisa melihat bahwa dahulu Nabi Daud as mendapat perintah puasa yang wajib dijalankan sebagai ibadah pokok selain shalat. Namun aturannya adalah dengan sehari puasa dan sehari tidak. Sedangkan Mayam, ibunda Nabi Isa kita dapati puasanya adalah tidak makan, tidak minum dan tidak berbicara. Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: `Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini`.(QS. Maryam : 26). Sedangkan khusus untuk umat Nabi Muhammad SAW, maka aturan puasa wajibnya adalah para bulan Ramadhan mulai terbit fajar hingga matahari terbenam. Selam itu mereka tidak boleh makan, minum atau hubungan badan dengan istri. Tapi boleh bicara namun disunnahkan untuk menjaga lisan. Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda . Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan , maka , sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.(QS. Al-Baqarah : 185). Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma`af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.(QS. Al-Baqarah : 187). Dari sini kita tahu bahwa hampir setiap agama memiliki ibadah puasa yang beraneka ragam. Bahkan agama bumi pun juga mengenal jenis-jenis puasa. Namun buat kita umat Islam, hanya yang sesuai dengan aturan nabi saja yang dibolehkan bagi kita untuk mengerjakannya. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

21. Istihadhah : Boleh Puasa ?
bolehkah seorang yang istihadhoh melakukan puasa sunah seperti puasa senin dan kamis

Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d
Darah istihadhah yang keluar adalah darah penyakit, bukan darah haidh. Sedangkan yang mengahlangi seorang wanita dari menjalankan ibadah shalat dan puasa adalah bila dia mengalami haidh atau nifas. Sedangkan isithadhah tidak termasuk yang menghalanginya untuk menjalankan ibadah shalat atau puasa. Antara darah haidh dan darah istihadhah (karena penyakit) sebenarnya dapat dengan mudah dibedakan. Para wanita biasanya lebih mengerti hal tersebut. Namun sebagai acuan dalam pembedaannya, baiklah kami kutipkan uraian para ulama tentang ciri khas masing-masng darah itu.

1. Sumber
Darah haid itu sumbernya berasal dari bagian dalam rahim wanita, sedangkan darah istihadhah bisa dari kemaluan atau bagian rahim namun bukan dari bagian dalamnya.

2. Kekentalan
Darah haid itu biasanya kental dan agak kehitaman, sedangkan darah istihadhah tidak demikian.

3. Warna Darah haid itu berwarna kehitaman dan kadang berubah menjadi kuning atau merah , sedangkan darah istihadhah berwarna merah darah. Rasulullah SAW bersabda,”Darah haidh itu warnanya hitam dan dikenali oleh wanita”.

4. Menggumpal
Darah haid itu keluar dalam tidak dalam bentuk menggumpal atau membeku dan bisa dalam keadaan seperti itu dalam waktu yang lama tanpa membeku, sedangkan darah istihadhah sering menggumpal dan membeku. Sehingga bila setelah masa haidh yang biasanya itu masih ada darah yang terus keluar namun dia menggumpal atau membeku, dengan mudah bisa dikenali sebagai darah istihadhah.

5. Bau
Darah haid itu umunya memiliki aroma khas dan bau, sedangkan darah istihadhah tidak berbau.

6. Waktu
Darah haid itu biasanya punya siklus waktu teratur sehingga para ulama biasa membuat jadwal waktu tertentu untuk menentukan apakah darah itu termasuk hadih atau istihadah. Sedangkan darah istihadhah adalah darah penyakit yang keluar kapan saja tanpa waktu tertentu.
Jadi bila Anda mendapatkan ciri-ciri seperti di atas, ketahuilah bahwa itu darah isitihadhah dan Anda tetap wajib menjalankan shalat dan puasa wajib. Dan agar tidak menjadi najis, maka sebelum melakukan shalat, hendaklah dibersihkan dan ditutup dengan pembalut.
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.


Related Posts:

0 Response to "C. Dalam Kondisi Seperti Ini, Wajibkah Berpuasa ?"

Posting Komentar