A. Kapan Kita Harus Puasa ?


1. Batas Mulai Puasa
Ada sebagian orang berpendapat bahawa puasa dimulai ketika waktu imsak.Ada yang berpendapat ketika subuh.Menurut para aktivis harakah puasa dimulai ketika terbit.
Saya membaca di terjemah Shahih Bukhari maksud daripada benang hitam dan benang putih adalah hitamnya(gelapnya) malam dan putihnya(terangnya) siang. Menurut analisis pak Ustadz manakah pendapat yang paling shahih?
Jawaban :
Sebenarnya yang paling tepat sesuai dengan keterangan dari sunnah Rasulullah SAW adalah sejak masuknya waktu shubuh. Saat itulah sesungguhnya puasa dimulai dan bukan waktu imsak atau terbitnya fajar.
Dalam Al-Quran disebutkan:

وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ
Makan dan minumlah kamu semua, hingga terang bagi kamu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam". (QS. Al-Baqarah: 187)

Fajar yang dimaksud bukan terbitnya matahari tapi fajar masuknya waktu subuh. Adapun imsak sekedar tanda untuk bersiap-siap mulai menahan dari makan dan minum. Imsak bukanlah titik start untuk mulai berpuasa.
Biasanya imsak ini dimulai kira-kira 10 menit sebelum waktu subuh menjelang. Gunanya agar kita punya persiapan ketika waktu subuh masuk dan tidak dalam keadaan makan atau minum saat masuk waktu untuk berpuasa. Sedangkan terbitnya matahari adalah menandakan bahwa waktu subuh telah selasai.
Wallahu a‘lam bis-shawab.

2. Jadwal Shalat/Puasa Bila Tidak Ada Matahari(Sinar)

Assalamua`laikum wr.wb
1. Ada pertanyaan menarik dari rekan non-muslim .. `Ada bagian bumi, dimana pada saat-saat tertentu, matahari tidak pernah terbenam, puasanya bagaimana ya?`, apa yang jadi patokan , kapan saur dan berbukanya .... ?

2. Sepertinya sama saja dengan hal shalat, kan waktu sholat diliat dari matahari.....terus bila ada bagian bumi yang kebagian siangnya/malamnya lebih lama, atau matahari tidak bersinar/terbenam bagaimana patokan untuk sholat ya pak .... ? Ada dasar-dasarnya juga(Al-quran dan sunnah), ya.... pak Thank`s sir Wassalamua`laikum wr.wb

Jawaban :
Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Keduanya berketapan bahwa bila ada wilayah yang mengalami siang selama 24 jam dalam sehari pada waktu tertentu dan sebaliknya mengalami malam selama 24 jam dalam sehari, maka dalam hal ini masalah jadwal puasa dan juga shalatnya memang menjadi titik perbedaan. Secara umum, kita bisa membaginya menjadi tiga pendapat.

1. Pendapat Pertama : Ikut Wilayah Terdekat
Waktu shalat dan puasanya disesuaikan dengan jadwal puasa dan shalat wilayah yang terdekat dengannya dimana masih ada pergantian siang dan malam setiap harinya.
Pendapat ini didukung oleh Majelis Majma` Al-Fiqh Al-Islami pada jalsah ketiga hari Kamis 10 Rabiul Akhir 1402 H betepatan dengan tanggal 4 Pebruari 1982 M.
Selain itu juga merupakan ketetapan dari Hai`ah Kibarul Ulama di Mekkah al-Mukarramah Saudi Arabia nomor 61 pada tanggal 12 Rabiul Akhir 1398 H.

2. Pendapat Kedua : Ikut Waktu HIJAZ
Jadwal puasa dan shalatnya mengikuti jadwal yang ada di hijaz (Mekkah, Madinah dan sekitarnya). Karena wilayah ini dianggap tempat terbit dan muncul Islam sejak pertama kali.
Lalu diambil waktu siang yang paling lama di wilayah itu untuk dijadikan patokan mereka yang ada di qutub utara dan selatan.

3. Pendapat Ketiga : Ikut Waktu Negara Islam terdekat
Pendapat lain mengatakan bahwa jadwal puasa dan shalat orang-orang di kutub mengikuti waktu di wilayah negara Islam yang terdekat. Dimana di negeri ini bertahta Sultan / Khalifah muslim.
Pendapat kedua dan ketiga adalah pendapat ulama lainnya diantaranya adalah Dr. Mustafa Az-Zarqa’.

3. Rasulullah Menggunakan Hisab Atau Ru‘yat?
Apakah hisab ru‘yat itu? Manakah yang paling sering digunakan Nabi Muhammad SAW?

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Hisab artinya hitungan sedangkan ru‘yat adalah pandangan/penglihatan. Istilah ilmu hisab maknanya adalah disiplin ilmu untuk menetukan penanggalan berdasrkan hitungan matematis. Sedangkan ru‘yat adalah penetuan jatuhnya awal bulan qamariyah berdasarkan penghilatan mata atau pengamatan ada tidaknya bulan sabit (hilal) tanggal satu pada hari terakhir (tanggal 29) bulan qamariyah. Pengamatan dilakukan pada sore hari menjelang matahari terbenam. Bila di hari itu nampak hilal, maka dipastikan bahwa esok telah masuk kepada bulan baru atau tanggal satu. Dan hari itu (tanggal 29) menjadi hari terakhir dari bulan sebelumnya. Rasulullah SAW dalam beribadah selalu menjalankannya sesuai dengan kehendak Allah. Dan apa yang dikerjakannya itu menjadi dasar hukum Islam yang harus diikuti oleh umat Islam seluruhnya hingga akhir masa. Dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fithri dan Idul Ahda tidak pernah Rasulullah SAW menentukannya berdasarkan hisab. Bukan karena di zaman itu tidak ada ilmu hisab, tapi karena memang itulah yang dijadikan ajaran Islam. Pada abad ke-7 dimana Rasulullah SAW hidup, ilmu hisab sebenarnya sudah ada dan cukup maju. Dan bila memang mau, tidak ada kesulitan sedikitpun untuk menggunakan ilmu hisab di zaman itu. Apalagi bangsa arab terkenal sebagai pedangan yang sering melakukan perjalanan ke berbagai peradaban besar dunia seperti Syam dan Yaman. Namun belum pernah didapat sekalipun keterangan dimana Rasulullah SAW memerintahkan untuk mempelajari ilmu hisab ini terutama untuk penentuan awal bulan. Karena itu alasan yang pasti mengapa Rasulullah SAW tidak menggunakan hisab dalam penetuan tanggal adalah karena memang ajaran Islam tidak merekomendir penggunaan hisab untuk dijadikan penentu penanggalan. Sebaliknya Rasulullah SAW sejak awal telah mengunakan ru‘yatul hilal dan ada sekian banyak hadits menyebutkan hal itu. Dari Abi Hurairah ra. Bahwa Rasulullah SAW telah bersabda”Puasalah kamu dengan melihat hilal dan berbukalah kamu (lebaran) dengan melihatnya. Apabila tertutup awan, maka genapkanlah bulan sya‘ban menjadi 30 hari”. (HR. Bukhari dan Muslim). Rasulullah SAW bersabda,”Satu bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kamu puasa kecuali melihat hilal. Namun bila hilal tertutup awan, maka genapkanlah menjadi 30 hari”. (HR. Bukhari) Karena itu wajar bila semua ulama baik di zakan dahulu maupun di zaman sekarang semuanya sepakat bahwa dalam menentukan pergantian kalender hijriyah yang berkaitan dengan masalah jadwal ibadah seperti awal ramadhan, jatuh hari Raya Idul Fithri dan Idul Adha serta yang lainnya adalah dengan menggunakan ru‘yatul hilal. Hikmah di balik penggunaan ru‘yatul hilal tidak lain adalah bahwa agama Islam itu mudah. Tidak memerlukan teknologi canggih untuk bisa menerapkannya. Juga tidak membutuhkan perhitungan (hisab) yang njelimet untuk menentukannya. Bahkan seorang arab badui yang tinggal di tengah padang pasir dan jauh dari pusat peradaban bisa sekalipun bisa melakukannya. Sebaliknya, meski sering dikatakan lebih ilmiyah, namun metode hisab itu sendiri juga penuh dengan perbedaan. Karena ada banyak cara atau metode penghitungan yang dikenal. Selain itu juga ada sekian banyak ketentuan dan sistem yang dipakai oleh masing-masing pelaku hisab. Walhasil, meski menggunakan ilmu hitung yang paling modern sekalipun, hasilnya tidak selalu sama. Sehingga bila kita menelusuri leteratur fiqih baik klasik maupun modern, maka kita hampir tidak mendapati metode hisab dalam penentuan tanggal hijriyah. Kalaupun hisab itu akan digunakan, maka sifatnya hanya sebagai pengiring atau pemberi informasi umum tentang dugaan posisi hilal, namun bukan sebagai eksekutor dimana hanya dengan hisab lalu belum apa-apa sudah dipastikan jatuh awal Ramadhan. Ini jelas tidak bisa diterima dalam Fiqih Islam. Sema orang yang pernah belajar fiqih apalagi di universitas Islam, pasti tahu hal itu. Karena itu aneh kiranya bila jabatan Menteri Agama dipegang oleh seorang doktor syariah dari Universitas Ummul Quro Mekkah, tapi kebijakannya dalam masalah penetapan awal Ramadhan masih lebih bertumpu kepada hisab dan bukan ru‘yatul hilal. Karena pendapat tentang keabsahan hisab dalam penetuan awal Ramadhan dan sebagainya adalah pendapat yang asing dan tidak dikenal dalam wilayah fiqih Islam. Wallahu A‘lam Bish-Showab, Wassalamu ‘Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

4. Penentuan Awal Dan Akhir Ramadhan
Assalamu`alaikum wr. wb. 1. Bagaimana menurut dalil dalam penentuan awal dan akhir ramadhan ? 2. Benarkan Mekah sebagai ummul quro harus dijadikan panutan dalam menentukan awal dan akhir ramadhan ? 3. Kenapa sering terjadi perbedaan antara penentuan awal dan akhir ramadhan ? Terima kasih atas penjelasannya.

Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d
Untuk menentukan awal Ramadhan, ada dua cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW yaitu :

1. Dengan melihat bulan (ru`yatul hilal).
Yaitu dengan cara memperhatikan terbitnya bulan di hari ke 29 bulan Sya`ban. Pada sore hari saat matahari terbenam di ufuk barat. Apabila saat itu nampak bulan sabit meski sangat kecil dan hanya dalam waktu yang singkat, maka ditetapkan bahwa mulai malam itu, umat Islam sudah memasuki tanggal 1 bulan Ramadhan. Jadi bulan Sya`ban umurnya hanya 29 hari bukan 30 hari. Maka ditetapkan untuk melakukan ibadah Ramadhan seperti shalat tarawih, makan sahur dan mulai berpuasa.

2. (Ikmal) Menggenapkan umur bulan Sya`ban menjadi 30 hari
Tetapi bila bulan sabit awal Ramadhan sama sekali tidak terlihat, maka umur bulan Sya`ban ditetapkan menjadi 30 hari (ikmal) dan puasa Ramadhan baru dilaksanakan lusanya. Perintah untuk melakukan ru`yatul hilal dan ikmal ini didasari atas perintah Rasulullah SAW dalam hadits riwayat Abu Hurairah ra. : Puasalah dengan melihat bulan dan berfithr (berlebaran) dengan melihat bulan, bila tidak nampak olehmu, maka sempurnakan hitungan Sya`ban menjadi 30 hari.(HR. Bukhari dan Muslim).

Sedangkan metode penghitungan berdasarkan ilmu hisab dalam menentukan awal Ramadhan tidak termasyuk cara yang masyru` karena tidak ada dalil serta isyarat dari Rasulullah SAW untuk menggunakannya. Ini berbeda dengan penentuan waktu shalat dimana Rasulullah SAW tidak memberi perintah secara khusus untuk melihat bayangan matahari atau terbenamnya atau terbitnya atau ada tidaknya mega merah dan seterusnya. Karena tidak ada perintah khusus untuk melakukan rukyat, sehingga penggunaan hisab khusus untuk menetapkan waktu-waktu shalat tidak terlarang dan bisa dibenarkan.

Ikhtilaful Matholi`
Ada perbedaan pendapat tentang ru`yatul hilal, yaitu apakah bila ada orang yang melihat bulan, maka seluruh dunia wajib mengikutinya atau tidak ? Atau hanya berlaku bagi negeri dimana dia tinggal ? Dalam hal ini para ulama memang berbeda pendapat :

• Pendapat pertama adalah pendapat jumhur ulama
Mereka (jumhur) menetapkan bahwa bila ada satu orang saja yang melihat bulan, maka semua wilayah negeri Islam di dunia ini wajib mengikutinya.
Hal ini berdasarkan prinsip wihdatul matholi`, yaitu bahwa mathla` (tempat terbitnya bulan) itu merupakan satu kesatuan di seluruh dunia. Jadi bila ada satu tempat yang melihat bulan, maka seluruh dunia wajib mengikutinya.
Pendapat ini didukung oleh Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal.

• Pendapat Kedua adalah pendapat Imam Syafi`i RA.
Beliau berpendapat bahwa bila ada seorang melihat bulan, maka hukumnya hanya mengikat pada negeri yang dekat saja, sedangkan negeri yang jauh memeliki hukum sendiri. Ini didasarkan pada prinsip ihktilaful matholi` atau beragamnya tempat terbitnya bulan.
Ukuran jauh dekatnya adalah 24 farsakh atau 133,057 km. Jadi hukumnya hanya mengikat pada wilayah sekitar jarak itu. Sedangkan diluar jarak tersebut, tidak terikat hukum ruk`yatul hilal.
Dasar pendapat ini adalah hadits Kuraib dan hadits Umar, juga qiyas perbedaan waktu shalat pada tiap wilayah dan juga pendekatan logika. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

5. Penentuan Awal Ramadhan & Idulfitri
Assalamu‘alaikum Bagaimana menurut tim PKS penentuan Awal Ramadhan dan Idul Fitri. Apakah cukup dengan Hisab apa harus Rukyat Hilal. Tolong dijelaskan dengan gamblang Wassalamu‘alaikum

Allah memerintahkan dalam menentukan mulai dan habisnya bulan Ramadhan dengan melihat bulan sabit bulan Ramadhan untuk memulai puasa, dan dengan melihat hilal bulan Syawal untuk berhari raya ‘Iedul Fitri. Allah telah menjadikan sebagai tanda-tanda mengetahui waktu untuk manusia dan untuk untuk (menentukan) bulan haji. Maka tidak diperbolehkan bagi orang Islam untuk menentukan waktu dengan selain ketentuan ibadah; baik bulan Ramadhan, hari raya dan bulan haji dan lain-lain, hal itu berdasarkan dalill-dalil berikut:

فمن شهد منكم الشهر فليصمه
"Maka barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu". (QS. Al-Baqarah: 185).

يسألونك عن الأهلة قل هي مواقيت لناس والحج
"Meraka beratanya kepadamu tentang bulan sabit. Katalanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji". (QS. Al-Baqarah: 189).

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غم عليكم فأكملوا شعبان ثلاثين يوما
"Berpuasalah setelah melihat bulan dan berhari rayalah sesudah melihat bulan; Kalau bulan didindingi oleh awan maka sempurnakanlah bulan Sya‘ban tiga puluh hari".

Oleh karena itu wajib bagi orang yang belum melihat hilal dari tempat tinggalnya baik dalam keadaan terang maupun terhalangi oleh awan hendaknya ia menyempurnakan hitungan bulan Sya‘ban 30 hari jika di tempat lain juga belum melihatnya, jika di tempat lain telah terlihat maka dalam puasa atau hari raya ia harus mengikuti keputusan pemerintah setempat. Sedangkan hisab bisa digunakan untuk membantu untuk rukyat itu sendiri seperti untuk mengetahui perkiraan posisi bulan dan data-datanya. Jadi hisab ini bersifat membantu namun yang menentukan adalah rukyat. Wallahu a‘lam bis-shawab

6. Apakah Dasar Hukum Penggunaan Hisab (ied)?
Dalil apakah yang menunjukkan bolehnya menggunakan hisab untuk menentukan sholat ied?

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Para ulama sepakat bahwa dalam menentukan pergantian kalender hijriyah yang berkaitan dengan masalah jadwal ibadah seperti awal ramadhan, jatuh hari Raya Idul Fithri dan Idul Adha serta yang lainnya adalah dengan menggunakan ru‘yatul hilal. Hal itu memang telah ditegaskan langsung oleh Rasulullah SAW sejak 15 abad yang lampau. Dari Abi Hurairah ra. Bahwa Rasulullah SAW telah bersabda”Puasalah kamu dengan melihat hilal dan berbukalah kamu (lebaran) dengan melihatnya. Apabila tertutup awan, maka genapkanlah bulan sya‘ban menjadi 30 hari”. (HR. Bukhari dan Muslim). Rasulullah SAW bersabda,”Satu bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kamu puasa kecuali melihat hilal. Namun bila hilal tertutup awan, maka genapkanlah menjadi 30 hari”. (HR. Bukhari) Hikmah di balik penggunaan ru‘yatul hilal tidak lain adalah bahwa agama Islam itu mudah. Tidak memerlukan teknologi canggih untuk bisa menerapkannya. Juga tidak membutuhkan perhitungan (hisab) yang njelimet untuk menentukannya. Bahkan seorang arab badui yang tinggal di tengah padang pasir dan jauh dari pusat peradaban bisa sekalipun bisa melakukannya. Sebaliknya, meski sering dikatakan lebih ilmiyah, namun metode hisab itu sendiri juga penuh dengan perbedaan. Karena ada banyak cara atau metode penghitungan yang dikenal. Selain itu juga ada sekian banyak ketentuan dan sistem yang dipakai oleh masing-masing pelaku hisab. Walhasil, meski menggunakan ilmu hitung yang paling modern sekalipun, hasilnya tidak selalu sama. Sehingga bila kita menelusuri leteratur fiqih baik klasik maupun modern, maka kita hampir tidak mendapati metode hisab dalam penentuan tanggal hijriyah. Kalaupun hisab itu akan digunakan, maka sifatnya hanya sebagai pengiring atau pemberi informasi umum tentang dugaan posisi hilal, namun bukan sebagai eksekutor dimana hanya dengan hisab lalu belum apa-apa sudah dipastikan jatuh awal Ramadhan. Ini jelas tidak bisa diterima dalam Fiqih Islam. Sema orang yang pernah belajar fiqih apalagi di universitas Islam, pasti tahu hal itu. Karena itu aneh kiranya bila jabatan Menteri Agama dipegang oleh seorang doktor syariah dari Universitas Ummul Quro Mekkah, tapi kebijakannya dalam masalah penetapan awal Ramadhan masih lebih bertumpu kepada hisab dan bukan ru‘yatul hilal. Karena pendapat tentang keabsahan hisab dalam penetuan awal Ramadhan dan sebagainya adalah pendapat yang asing dan tidak dikenal dalam wilayah fiqih Islam. Wallahu A‘lam Bish-Showab, Wassalamu ‘Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

7. Perbedaan Awal Puasa : Beda Pendapat Adalah Rahmat ?

Assalaamu`alaikum pak Ustazd ,
Semoga pak ustazd selalu dalam rahmat & ridloNya aamiin. Pak Ustazd saya mau nanya , sering kita dengar & baca bahwa perbedaan itu adalah rahmat. Dalam hal ini biasanya terjadi penentuan awal puasa & idhul fitri. Yang saya tanyakan bagaimana dengan sering terjadi perbedaan hari raya ,yang satu masih puasa yang lain sudah lebaran.Bagaimana jika yang betul itu adalah orang yang sudah berlebaran ,sedangkan puasa pada hari lebaran hukumnya haram ?Lantas yang mana harus diikuti ? Mohon penjelasan terimakasih .Wassalaam.

Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d
Kejadian perbedaan penetuan awal Ramadhan atau Iedul Fithri bukan hanya terjadi pada masa sekarang ini saja. Juga bukan semata-mata karean perbedaan metode penentuan dimana yang satu menggunakan rukyat dan yang lain menggunakan hisab. Tetapi meski keduanya menggunakan rukyatul hilal sebagaimana disyariatkan oleh Rasulullah SAW, namun hasil akhirnya masih mungkin untuk terjadi perbedaan. Dalam hal ini, kita mengenal istilah Ikhtilaful Matholi` Ada perbedaan pendapat tentang ru`yatul hilal, yaitu apakah bila ada orang yang melihat bulan, maka seluruh dunia wajib mengikutinya atau tidak ? Atau hanya berlaku bagi negeri dimana dia tinggal ? Dalam hal ini para ulama memang berbeda pendapat :

Pendapat pertama adalah pendapat jumhur ulama
Mereka (jumhur) menetapkan bahwa bila ada satu orang saja yang melihat bulan, maka semua wilayah negeri Islam di dunia ini wajib mengikutinya. Hal ini berdasarkan prinsip wihdatul matholi`, yaitu bahwa mathla` (tempat terbitnya bulan) itu merupakan satu kesatuan di seluruh dunia. Jadi bila ada satu tempat yang melihat bulan, maka seluruh dunia wajib mengikutinya. Pendapat ini didukung oleh Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal.

Pendapat Kedua adalah pendapat Imam Syafi`i RA.
Beliau berpendapat bahwa bila ada seorang melihat bulan, maka hukumnya hanya mengikat pada negeri yang dekat saja, sedangkan negeri yang jauh memiliki hukum sendiri. Ini didasarkan pada prinsip ihktilaful matholi` atau beragamnya tempat terbitnya bulan. Ukuran jauh dekatnya adalah 24 farsakh atau 133,057 km. Jadi hukumnya hanya mengikat pada wilayah sekitar jarak itu. Sedangkan diluar jarak tersebut, tidak terikat hukum ruk`yatul hilal. Dasar pendapat ini adalah hadits Kuraib dan hadits Umar, juga qiyas perbedaan waktu shalat pada tiap wilayah dan juga pendekatan logika.

Kesimpulan
Perbedaan hasil ijtihad tentang awal mulainya puasa bila memang berdasarkan ijtihad yang mu`tabar dan dengan menggunakan metode yang masyru`, mungkin terjadi. Dan bila sampai terjadi, maka masing-masing pihak tidak bisa disalahkan atau dituduh telah melakukan pelanggaran atau berpuasa pada hari yang diharamkan. Karena setiap pendapat itu bisa memiliki hujjah dan dasar yang kuat. Kalaulah misalnya, salah satunya bisa dianggap lebih mendekati ke arah kebenaran, maka isya Allah pelakunya akan mendapat 2 pahala. Dan sebaliknya, yang pendapatnya kurang mendekati kebenaran, maka dia tetap akan mendapat satu pahala. Kita tidak bisa menyalahkan salah satunya atau mengatakannny berdosa. Demikianlah syariah telah mengajarkan kita untuk bisa tetap bersaudara dalam beribadah.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in,
Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.


Related Posts:

0 Response to "A. Kapan Kita Harus Puasa ?"

Posting Komentar