Pengantar Fiqih Zakat


Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah, Tuhan Yang Maha Agung. Tuhan yang telah menetapkan kewajiban zakat bagi orang-orang kaya dan memberikan hak kepada orang-orang miskin untuk menerimanya. Shalawat serta salam tercurah kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Nabi yang telah membawa risalah suci dari atas langit untuk kepentingan makhlu di kolong langit. Semoga salam ini juga tercurah kepada para shahabat, pengikut dan orang-orang yang berada di jalannya hingga akhir zaman.

Dan semoga kita yang hidup bagian akhir dari zaman, tetap diberi rizki untuk bisa senantiasa hidup bersama risalah yang telah dibawanya, dan tetap kita pertahankan sampai tetes darah yang penghabisan, hingga detik-detik menjelang datangnya kematian. Pembaca yang budiman, Zakat adalah salah satu tulang sendi agama tauhid yang telah disyariatkan sejak jauh sebelum masa kenabian Muhammad SAW, dan tetap terus berlaku hingga hari kiamat datang. Zakat adalah pilar utama agama Islam, yang dengan itu terbukti bahwa agama Islam bukan agama yang hanya untuk orang kaya saja secara terbatas, melainkan juga sekalian buat orang miskin untuk dapat hidup nyaman.

Zakat adalah tembok pemisah antara Islam dengan kufur, yang dengan hal itu Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahuanhu memaklumatkan perang kepada para pengingkar kewajiban zakat, dan memvonis mereka sebagai kafir serta menghalalkan darah mereka. Zakat adalah mata rantai yang menghubungkan antara langit dengan bumi. Dengan zakat itu terbukti Islam tidak hanya melulu berkutat pada urusan langit saja, tetapi Islam menjadi ajaran yang turun meresap ke dalam bumi dan
mengasihi sesama umat manusia.

Zakat adalah lambang keadilan umat manusia, yang dengan itu Islam dapat terus bertahan dalam pergantian peradaban manusia, sementara agama lain bertumbangan silih berganti, kehilangan orginalitas dan validitasnya.

Lemahnya Pelaksanaan Zakat
Namun dalam kenyataannya di tengah bangsa muslim Indonesia, implementasi ibadah zakat memang masih belum seideal pada zaman Nabi SAW dan masa-masa kejayaan Islam setelahnya. Salah satu bukti kongkritnya yang dengan mudah bisa kita rasakan adalah kecenderungan semarak berzakat hanya kita temui pada bulan Ramadhan saja.

Barangkali umat ini hanya mengenal zakat Al-Fithr saja, yang memang dikeluarkannya pada menjelang datangnya hari Raya Iedul Fithr. Padahal di luar zakat Al-Fithr, justru ada begitu banyak jenis zakat lainnya, yang tentu saja dibayarkannya tidak harus di bulan Ramadhan. Sebab setiap jenis harta yang dimiliki oleh seseorang, ada ketentuan zakatnya tersendiri. Sayangnya, entah karena awam, atau karena tidak mau tahu, justru hanya di bulan Ramadhan saja ada semarak bayar zakat.

Selama Ramadhan memang harus diakui banyak orang ramai membayar zakat, bahkan di hampir setiap masjid, kantor, mal dan area publik lainnya, banyak kita temui outlet tempat membayar zakat. Bahkan sampai bisa beriklan di TV yang tentunya cukup besar biayanya. Sayangnya, begitu Ramadhan berlalu, outlet-oulet zakat itu kemudian lenyap tidak tentu rimbanya. Iklan di TV pun yang selama Ramadhan cukup ramai, tiba-tiba menghilang.

Panitia zakat di masjid-masjid lebih aneh lagi, selesai Ramadhan mereka malah mengadakan rapat pembubaran panitia. Artinya, tidak ada ada lagi akitifitas penerimaan dan penyaluran harta zakat selepas Ramadhan. Semua fenomena ini seolah-olah memberi kesan bahwa zakat hanya terkait datangnya Hari Raya Idul Fithr saja. Sulit menghilangkan kesan bahwa zakat hanyalah bagian dari aktifitas Ramadhan, seperti puasa dan shalat tarawih. Selesai Ramadhan berarti tidak ada lagi puasa, tarawih dan tentunya tidak ada lagi zakat.

Inilah masalah besar umat Islam di negeri muslim terbesar di dunia ini. Zakat hanya dijadikan bagian dari ritual Ramadhan. Padahal bila kita jujur kembali kepada ashalah (originalitas) syariat Islam, kewajiban membayar zakat tidak hanya terkait dengan bulan Ramadhan, mengingat zakat di bulan Ramadhan itu hanya sekedar zakat fithr, sementara perintah Allah SWT bukan terbatas pada zakat fithr saja, melainkan pada harta-harta yang dimiliki oleh orang kaya. Harta-harta yang dimiliki oleh orang-orang kaya bila telah memenuhi ketentuan, seharusnya wajib dikeluarkan zakatnya pada waktunya, dan waktunya tentu saja tidak hanya pada bulan Ramadhan, tetapi bergantung kapan jatuh tempo kekayaan itu.

Zakat emas, perak, uang atau tabungan misalnya, juga bukan dibayarkan hanya pada bulan Ramadhan, tetapi dibayarkan pada saat harta itu telah dimiliki selama setahun terhitung sejak mencapai nishab. Kalau seseorang memiliki emas lebih dari 85 gram sejak tanggal 10 Dzulhijjah misalnya, maka dia tidak membayar zakatnya pada bulan Ramadhan, tetapi bulan Dzulhijjah tahun berikutnya pada tanggal yang sama.

Seorang petani yang berbahagia atas panen yang lebih dari 523 Kg, tidak perlu menunggu satu tahun memiliki hasil panen, juga tidak perlu menunggu datangnya bulan Ramadhan. Petani wajib mengeluarkan zakat atas hasil panennya pada saat panen terjadi, sebagaimana firman Allah SWT:

ووَاَتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ
Dan tunaikanlah haknya pada hari memetik hasilnya (QS. Al-An'am : 141)

Zakat perniagaan pun demikian pula, wajib dikeluarkan pada waktu yang sesungguhnya tidak terkait dengan bulan Ramadhan. Zakat perniagaan wajib dikeluarkan tiap tahun terhitung sejak mulai mencapai nishabnya. Pada sisi ini, umat Islam masih membutuhkan banyak penjelasan yang lebih dalam. Dan menjadi tugas para ulama dan ahli syariah menguak salah satu bentuk keawaman ini. Buku ini setidaknya, ingin ikut berperan membantu memberikan salah satu rujukan buat umat Islam, khususnya tentang teknis membayar zakat.

Dan yang agak memprihatinkan justru banyak petugas zakat, baik di tingkat manager, apalagi di level karyawan dan pelaksana, yang ternyata juga belum terlalu mendalam wawasan dan ilmunya tentang segala pernik ketentuan zakat. Hal itu bisa dengan mudah kita buktikan bila para pelaksana yang menyandang gelar amil zakat itu diminta untuk menghitung zakat yang harus dikeluarkan dari kekayaan seseorang. Rupanya yang lebih sering terjadi adalah mereka terbiasa hanya sekedar menerima bersih apa adanya harta yang diserahkan oleh orang yang bayar zakat.

Urusan bagaimana hitung-hitungannya, mana yang wajib dikeluarkan zakatnya dan mana yang tidak, lalu bagaimana teknis pembayaran dan sebagainya, mereka angkat tangan. Belum lagi kalau mendapatkan ‘serangan’ pertanyaan dari berbagai kalangan yang minta dijelaskan dari mana datangnya aturan-aturan tentang hitungan zakat itu, mereka lebih suka untuk menelpon para ustadz untuk menghadapi pertanyaan seperti itu.

Penulis memandang amat perlu para amil zakat yang mulia ini untuk diberi bekal yang lebih meresap dan mendalam tentang berbagai ketentuan dan aturan zakat, agar jangan sampai terjadi yang tidak diharapkan. Sebab amil zakat itu pada dasarnya bukan sekedar menerima uang zakat, lebih dari itu, mereka justru diharapkan mampu menjelaskan dengan sejelas-jelasnya berbagai syariat Islam terkait dengan zakat. Di tangan mereka itulah seharusnya syariat zakat ditegakkan.

Zakat Bukan Pajak
Ketika negeri kita sudah kurang mampu bersaing dengan sistem perdagangan di pasar dunia, maka mazhab pemerintah negeri ini berganti haluan dalam hal mendapatkan dana. Kini pemerintah tidak lagi mengandalkan ekpor dan devisa, tetapi menggalakkan pajak dari rakyat untuk membiayai pengelenggaraan negara. Target pendapatan negara kini didominasi dengan penerimaan sektor pajak yang mencapai sekitar 70% dari total pendapatan negara. Namun penarikan harta zakat tidak boleh disamakan dengan semangat menggencarkan penarikan pajak di berbagai sektor. Sebab harta yang wajib dizakati sudah ditetapkan di dalam Al-Quran dan Sunnah. Adalah menjadi kezaliman manakala semangat menarik pajak dari berbagai sektor kemudian ditularkan ke dunia zakat. Sebab ideologi zakat dan pajak sangat bertentangan 180 derajat. Maka buku ini ditulis untuk menegaskan bahwa zakat tidak sama dengan pajak, karena itu tidak perlu kewajiban zakat itu mengikuti semangat mengorek-ngorek wajib pajak untuk bayar pajak.

Dalam dunia pajak, bila seseorang membeli mobil, maka dia terkena kewajiban membayar pajak. Kalau mobil itu dijual lagi, dia sekali lagi terkena kewajiban membayar pajak lagi. Tentu akan menjadi aneh kalau pola seperti itu dipaksakan dalam syariat zakat. Bagaimana mungkin orang membeli mobil tiba-tiba wajib membayar zakat, lalu ketika mobilnya dijual, harus bayar zakat lagi. Ini zakat atau pajak? Maka buku ini ingin menegaskan bahwa antara pajak dengan zakat itu adalah dua domain yang berbeda, semangat yang ada di dunia pajak bukanlah semangat yang ada di dunia zakat. Dan sebaliknya juga demikian, semangat yang ada di dalam dunia zakat bukanlah semangat yang ada di dunia pajak. Keduanya sangat berbeda sejak dari desain awalnya.

Banyak Ikhtilaf
Satu hal yang juga sangat perlu untuk dimaklumi, ilmu tentang zakat dewasa ini memang banyak menjadi perdebatan panjang di kalangan ulama. Kadang perbedaan itu tidak prinsipil dan hanya beda istilah, namun seringkali perbedaan itu amat mendasar dan sangat esensial. Zakat profesi adalah salah satu contoh dari zakat yang lumayan kontroversial di masa sekarang ini. Demikian juga zakat perusahaan, zakat investasi dan zakat-zakat lainnya. Perbedaan itu terjadi antara dua kutub, dimana kelompok ulama yang satu mengakui keberadaannya, sedangkan kelompok ulama yang lain justru sebaliknya, malah tidak mengakuinya.

Dan yang tambah menarik, dalam satu kelompok sekalipun, kadang tetap ada perbedaan pendapat. Misalnya kalangan yang setuju dengan zakat profesi, meski sependapat atas keberadaan zakat itu, namun dalam banyak ketentuannya, mereka pun saling berbeda pendapat. Semua perbedaan itu terjadi karena banyak faktor, diantaranya karena perbedaan dalam memahami maqashid syariah. Juga ada perbedaan dalam memandang keshahihan suatu dalil, yang satu bilang haditsnya shahih sementara yang lain mendhaifkan. Bahkan ada juga perbedaan karena perbedaan tempat dan waktu.

Dalam buku ini penulis berupaya untuk bisa memberikan keseimbangan antara berbagai pendapat itu dan mendekatkan jarak yang memisahkannya, semaksimal mungkin. Walau pun terkadang upaya itu tidak membuahkan hasil, lantaran perbedaannnya memang sangat mendasar. Dan Penulis juga berusaha untuk tidak terlalu jauh terpengaruh oleh perbedaan pendapat itu, lewat penjabaran yang proporsional atas masing-masing pendapat serta dalildalil yang melatar-belakanginya.

Namun biar bagaimana pun kalau tetap terjadi juga subjektifitas dalam mengambil pendapat, langsung atau tidak langsung, maka hal itu merupakan salah satu bentuk kelemahan penulis yang hanya manusia biasa dan tidak luput dari kesalahan dan kelemahan. Semoga buku ini bisa memberikan manfaat berlipat, bukan karena sekedar dimengerti isinya, tetapi yang lebih penting dari itu dapat diamalkan sebaik-baiknya ikhlas karena Allah SWT.

Tentunya buku ini pasti punya banyak kekurangan disana-sini, dan kekuarangan itu membuktikan bahwa Penulis hanyalah hamba yang papa dan lemah. Atas semua itu tentunya Penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga bisa menjadi salah satu pemberat dari timbangan amal di akhirat kelak, yaitu di hari dimana harta dan kekayaan serta anak-anak menjadi tidak lagi berharga, kecuali mereka yang datang dengan amal shalil yang nyata dan bermanfaat.

Semoga shalawat dan salam tercurah kepada junjugan kita Nabi Muhammad SAW, beserta para keluarga, shahabat dan juga para pengikutnya.

Hadanallah wa iyyakum ajmain Wassalamu ‘alaikum warhmatullahi wabarakatuh, Al-Faqir ilallah

Ahmad Sarwat, Lc


Related Posts:

0 Response to "Pengantar Fiqih Zakat"

Posting Komentar