F. Zakat Pertanian


A. Masyru'iyah
1. Al-Quran
2. Sunnah
3. Ijma

B. Kriteria Tanaman
1. Mazhab Ibnu Umar
2. Mazhab Al-Malikiyah dan As-Syafi'i
3. Mazhab Al-Hanabilah
4. Mazhab Al-Hanafiyah

C. Ketentuan Nisab

D. Waktu Pembayaran

E. Yang Harus Dibayarkan
1. Sepersepuluh.
2. Seperduapuluh

Kalau pada bab sebelumnya kita bicara tentang kriteria harta yang wajib dikeluarkan zakatnya secara umum, maka pada bab ini kita akan mulai merinci satu persatu jenis harta tersebut. Dan untuk kajian yang pertama, kita akan mulai dari harta pertanian, atau harta yang tumbuh dari bumi.

A. Masyru'iyah
1. Al-Quran
Dasar masyru'iyah zakat tanaman adalah firman Allah SWT di dalam Al-Quran Al-Kariem berikut ini :

وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَاتُوا حَقَّهُ يَومَ حَصَادِهِ وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسرِفِيْنَ
Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa dan tidak sama . Makanlah dari buahnya bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya ; Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-An'am : 141).

Yang dimaksud dengan kalimat : "tunaikan haknya" dalam ayat di atas adalah kewajiban untuk mengeluar zakat atas hasil panennya. Hal itu dikatakan oleh Anas bin Malik dan Ibnu Abbas radhiyallahuanhuma, serta Thawus, Al-Hasan, Ibnu Zaid, Adh-Dhahhak dan Said bin Al-Musayyib, sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam Al-Qurthubi. Selain itu juga ada firman Allah SWT lainnya :

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْض
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. (QS. At-Taubah : 34)

Ali bin Abi Thalib, Muawiyah dan Ibnu Abbas radhiyallahuanhum mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kalimat : "nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu", adalah kewajiban untuk mengeluarkan zakat dari harta. Hal itu juga dikatakan oleh Ubaidah as-Salmani dan Ibnu Sirin.

2. Sunnah
Sedangkan dari sunnah nabawiyah, ada ada beberapa hadits yang menjadi dasar masyru'iyah, di antaranya hadits berikut ini :

فِيْمَا سَقَتِ السَّمَاءُ أَوْ كَانَ عَثَرِيًّا الْعُشْرُ وَفِيْمَا سُقِيَ بِالنَضْحِ نِصْفُ العُشُر
Dari Ibnu Umar ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Tanaman yang disiram oleh langit atau mata air atau atsariyan, zakatnya adalah sepersepuluh. Dan tanaman yang disirami zakatnya setengah dari sepersepuluh". (HR. Jamaah kecuali Muslim - Nailul Authar 4/139)

Yang dimaksud dengan 'atsariyan' adalah jenis tanaman yang hidup dengan air dari hujan atau dari tanaman lain dan tidak membutuhkan penyiraman atau pemeliharaan oleh manusia.

فِيْمَا سَقَتِ الْأَنْهَارُ وَالغَيْمُ الْعُشُر وَفِيْمَا سُقِيَ بِالسَّانِيَةِ نِصْفُ الْعُشُر
Dari Jabir bin Abdilah ra dari Nabi SAW,"Tanaman yang disirami oleh sungai dan mendung (hujan) zakatnya sepersepuluh. Sedangkan yang disirami dengan ats-tsaniyah zakatnya setengah dari sepersepuluh (1/20). (HR. Ahmad, Muslim, An-Nasai dan Abu Daud - Nailul Athar)

Yang dimaksud dengan ats-tsaniyah adalah unta yang membawa air dari sumur dan digunakan untuk menyirami tanaman.

3. Ijma
Seluruh ulama sepanjang zaman telah sampai ke tingkat ijma bahwa diantara tanaman yang ditumbuhkan itu, sebagian dari hasil panennya wajib untuk dizakati.

B. Kriteria Tanaman
Meski ayat dan hadits di atas bicara tentang kewajiban menzakatkan hasil tanaman secara umum, namun para ulama sepakat bahwa tidak semua jenis tanaman wajib dikeluarkan zakatnya.
Kenapa demikian?

Karena ayat dan hadits tentang zakat tanaman tidak terbatas pada yang telah Penulis sampaikan di atas, masih ada begitu banyak lagi ayat dan hadits yang menerangkan dengan lebih rinci dan detail tentang kriteria tanaman yang wajib dizakati. Jadi kesimpulannya, hanya jenis tanaman tertentu dengan kriteria tertentu yang diwajibkan zakat dan menjadi kesepakatan para ulama. Sebagian lainnya tetap masih menjadi perselisihan. Di antara hal-hal yang mereka sepakati atas zakat tanamana ini adalah bahwa tanaman itu memang sengaja ditanam. Mensyaratkan bahwa tanaman yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah tanaman yang oleh petani memang sengaja ditanam, sebagai harta yang diusahakan untuk nafkah.

Sedangkan tanaman tanaman yang tumbuh dengan sendirinya di tanah seseorang, meski pun pada akhirnya kalau dijual bisa memberikan pemasukan bagi pemiliknya, tidaklah ada kewajiban untuk mengeluarkan zakatnya. Misalnya seperti kayu bakar, rumput atau pun tanaman liar lainnya yang tumbuh begitu saja, tanpa secara sengaja ditanami oleh pemiliknya untuk didapat hasilnya. Tanaman itu dimiliki oleh seseorang tertentu, maksudnya bahwa tanaman itu ada pemiliknya, bukan tanaman liar tidak bertuan. Maka tanaman yang dimiliki oleh negara dan tidak dimiliki oleh individu tertentu, tidak termasuk yang wajib dikeluarkan zakatnya. Demikian juga tanaman waqaf milik umat, tidak ada
kewajiban zakat atasnya. Ini pun merupakan pendapat kalangan mazhab Asy-syafi'iyah. Dan pendapat para ulama terpecah menjadi empat kelompok dalam menetapkan tanaman apa saja yang hasilnya wajib dikeluarkan zakat.

1. Mazhab Ibnu Umar
Pendapat pertama mengatakan bahwa yang wajib dizakati hanya empat macam tanaman saja, yaitu hinthah, syair, tamr dan dzabib. Di luar dari keempat macam tanaman itu tidak ada kewajiban untuk dizakati. Yang berpendapat seperti ini antara Ibnu Umar radhiyallahuanhu, Musa bin Thalhah, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Asya'bi, Ibnu Abi Laila, Ibnul Mubarak dan lainnya. Hinthah adalah gandum, Syair adalah jelai, Tamr adalah kurma dan Dzabib adalah kismis.

Dasar dari pendapat ini adalah hadits Rasulullah SAW :

إِنَّمَا سَنَّ رَسُولُ اللّٰهِ صلى اللّه عليه وسلام الزَّكَاةَ فِي الْحِنْطَةِ وَالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرِ وَالزَّبِيْبِ
Sesungguhnya Rasulullah SAW menetapkan zakat pada gandum, jelai, kurma dan kismis. (HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruquthny)

Dalam riwayat Ibnu Majah ada tambahan dan jagung. Selain hadits di atas, pendapat ini juga berhujjah dengan perintah Rasulullah SAW ketika mengirim Abi Musa Al-Asy'ari Muadz bin Jabal radhiyallahuanhuma ke negeri Yaman, dimana Beliau SAW menggariskan agar jangan dipungut zakat dari tanaman kecuali yang berupa gandum, jelai, kurma dan kismis.

عَنْ أَبِي مُوسَى الأَشْعَرِي وَمُعَاذٍ صلى اللّه عليه وسلام إِنَّهُمَا حِيْنَ بُعِثَا إِلَى اليَمَنِ لَمْ يَأْخُذْا إِلَّا مِنَ الحِنْطَةِ وَالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرِ وَالزَّبِيْبِ
Dari Abi Musa Al-Asy'ari dan Muadz bin Jabal bahwa ketika keduanya diutus ke negeri Yaman, tidak memungut zakat tanaman kecuali yang berupa gandum, jelai, kurma dan kismis. (HR. Al-Baihaqi)

2. Mazhab Al-Malikiyah dan As-Syafi'i
Mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah menetapkan bahwa bila hasil tanaman itu termasuk makanan pokok yang mengenyangkan dan bisa disimpan dalam waktu lama, Hadits ini di dalam kitab Nailul Authar disebutkan bahwa ada perawinya yang bernama Muhammad bin Abdillah Al-Ma yang statusnya matruk. Lihat Nailul Authar li Syaukani jilid 4 halaman 143 barulah ada kewajiban zakat atasnya. Alasannya adalah karena pada hakikatnya makanan yang mengenyangkan itu adalah makanan yang kita tidak bisa hidup tanpanya. Sehingga hanya pada jenis makanan pokok itu sajalah ada kewajiban untuk mengeluarkan zakat. Yang dimaksud dengan bahan makanan pokok adalah makanan yang lazimnya dijadikan bahan pangan yang utama dalam keadaan normal, bukan dalam keadaan yang darurat. Maka termasuk makanan pokok dari hubub seperti padi, gandum, kacang adas, kacang himsh, jagung, sagu dan lainnya. Sedangkan yang termasuk makanan pokok dari tsimar adalah kurma dan kismis.

Orang Indonesia bukan tidak kenal kurma dan kismis, keduanya tersedia di pasar dan dijual umum. Hanya saja barangkali agak terasa aneh buat logika orang Indonesia di masa kini, untuk membayangkan bahwa buah kurma dan kismis dijadikan makanan pokok oleh suatu masyarakat. Memang rasanya cukup aneh, tetapi itulah realitas sejarah. Sebab buat kebanyakan orang Indonesia, meski sudah memakan bermacam jenis makanan dan perutnya sudah buncit, tetapi kalau belum makan nasi, rasanya masih seperti orang yang belum makan. Begitu ditawarkan makan nasi, dengan senang hati tidak akan menolak. Perut seperti ini disebut juga perut melayu. Asy-Syarbini dari mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan dalam kitabnya, Mughni Al-Muhtaj, bahwa diantara hasil pertanian yang tidak termasuk wajib untuk dizakati antara lain : buah kelapa, buah persik, buah delima, buah tin, kacang almond, apel, dan aprikot.

Selain berupa makanan pokok, para ulama dari kedua mazhab ini juga menetapkan bahwa kriteria hasil tanaman adalah jenis bahan pangan yang bisa disimpan dalam waktu lama, atau diistilahkan dengan muddakhar. Tanaman yang seperti padi, gandum, jagung, kedelai dan sejenisnya termasuk kriteria in. Tanaman itu tahan untuk disimpan lama dan tidak mengalami pembusukan dengan cepat.
Sebaliknya yang bisa dengan cepat mengalami pembusukan seperti buah-buahan segar semisal anggur, semangka, pepaya jeruk dan lainnya, tidak ada kewajiban zakat atasnya.

3. Mazhab Al-Hanabilah
Mazhab Al-Hanabilah menetapkan bahwa hanya tanaman yang berbentuk hubub dan tsimar saja yang wajib dizakati. Dan yang dimaksud dengan istilah hubub adalah jenis tanaman yang berupa bulir seperti bulir padi, gandum dan sejenisnya. Sedangkan yang dimaksud dengan tsimar ثِمَار semacam kurma, zaitun dan zabib. Adapun buah-buahan segar seperti anggur, semangka, apel atau delima dan sejenisnya tidak termasuk yang wajib dizakati. Buah-buahan yang bukan makanan pokok, oleh para fuqaha tidak dimasukkan sebagai tanaman yang wajib dikeluarkan zakatnya. Demikian juga dengan sayuran, timun dan kubis juga tidak ada kewajiban zakatnya.

4. Mazhab Al-Hanafiyah
Satu-satunya mazhab yang tidak mensyaratkan ini dan itu dalam hal hasil bumi adalah mazhab Al-Hanafiyah. Dalam pandangan mazhab ini, pokoknya semua jenis dan bentuk tanaman itu wajib dikeluarkan zakatnya, baik makanan pokok atau bukan makanan pokok. Baik yang bisa disimpan lama atau yang cepat busuk. Baik yang termasuk buah-buahan atau pun bulir-bulir. Bahkan mazhab ini mewajibkan zakat atas hasil panen tebu, kapas, kunyit, linen, dan lainnya. Yang setuju dengan mazhab ini antara lain Umar bin Abdul Aziz, An-Nakha'ie, Mujahid, Daud Adz-Dzahiri, Hammad dan lainnya. Di zaman modern ini, Dr. Yusuf Al-Qaradawi dalam kitab Fiqhuz-Zakah nya juga merajihkan pendapat Al-Hanafiyah ini. Dasar dari pendapat ini adalah keumuman ayat-ayat tentang kewajiban mengeluarkan zakat dari tanaman, tanpa ada pengecualian.

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأَرض
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. (QS. At-Taubah : 34)

C. Ketentuan Nisab
Jumhur ulama diantaranya mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah sepakat mensyaratkan nishab atau batas minimal hasil panen untuk kewajiban zakat ini. Dan nisab hasil panen itu adalah seberat 5 wasaq, atau seberat 653 kg menurut ukuran timbangan zaman sekarang. Maka para petani yang pada saat melakukan panen, hasilnya di bawah dari 653 Kg, tidak wajib mengeluarkan zakat.

Dasar dari ketentuan nishab untuk kewajiban zakat tanaman adalah sabda Rasulullah SAW :

لَيْسَ فِيْمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسَاقٍ مِنْ تَمْرٍ وَلَا حَبٍّ صَدَقَةٌ
Hasil tanaman kurma dan habbah (gandum) yang kurang dari 5 wasaq tidak ada kewajiban shadaqahnya (zakat) (HR. Muslim dan Ahmad)

Mazhab Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa bahwa berat 5 wasaq (523 Kg) itu adalah berat bulir panenan yang sudah dikupas. Jadi 523 Kg itu bukan berat gabah melainkan berat padinya. Begitu juga bila bentuknya buah yang wajib dizakati seperti kurma, yang ditimbang adalah yang sudah kering, bukan yang masih basah. Sedangkan mazhab Al-Malikiyah mengatakan bahwa ukuran 5 wasaq itu ditimbang dengan kulit-kulitnya kalau bulir padi atau gandung, dan ditimbang ketika masih basah kalau buah-buahan. Tetapi mazhab Al-Hanafiyah mengatakan tidak ada syarat nishab dalam masalah zakat tanaman. Berapa pun yang dipanen, asal di atas dari setengah sha', maka ada 32 Istilah watsaq pada hari ini kurang dikenal, karena manusia telah menggunakan jenis ukuran yang berubah-ubah sepanjang masa. Di masa Rasululllah SAW, watsaq itu digunakan untuk mengukur berat suatu makanan. Jadi watsaq itu adalah satuan ukuran berat. Satu watsaq itu sama dengan 60 shaa'. Jadi 5 wasaq itu sama dengan 5 x 60 = 300 shaa'. Jumhur ulama kemudian menyebutkan bahwa 300 shaa' itu sama dengan 653 kg. Lihat Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Dr. Wahbah Az-Zuhaili jilid 3 halaman 238 kewajiban untuk mengeluarkan sebagian dari hasil panen itu. Dalam pandangan mazhab ini, karena zakat tanaman itu tidak harus terkait dengan haul, maka otomatis ketentuan nishab pun juga tidak berlaku.

D. Waktu Pembayaran
Berbeda dengan umumnya zakat yang lain, tanaman itu dikeluarkan zakatnya tidak setiap tahun, melainkan setiap kali dipanen atau diambil hasilnya. Di dalam al-Quran secara tegas telah disebutkan tentang hal itu.

وَاتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ
Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya. (QS. Al-An'am : 141).

Kalimat : "tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya" adalah lafadz yang secara tegas menyebutkan bahwa pada hari dimana seseorang memanen hasil tanamannya, maka di hari itu juga harus ditunaikan zakatnya. Jika tanaman biji-bijian dan buah-buahan sudah menampakkan hasil, yaitu sudah ada sebagian biji yang mengeras dan sudah ada sebagian buah yang matang yang ditandai dengan berwarna merah atau kuning, berarti hasil tanaman sudah terkena kewajiban zakat jika mencapai nishab. Hal ini merupakan waktu wajibnya zakat pada tanaman menurut pendapat yang rajih, artinya bahwa pada tanaman itu sudah ada bagian yang merupakan hak ahli zakat (yang berhak dapat zakat). Namun bukan berati zakatnya wajib dikeluarkan saat itu, karena hal itu bukan waktu wajibnya pembayaran zakat. Jika dia menjual tanahnya bersama tanamannya sebelum waktu wajibnya zakat, maka dia tidak terkena kewajiban zakat dan yang terkena kewajiban zakat adalah pembelinya. Apabila pemilik tanaman itu meninggal sebelum waktu wajibnya zakat, maka dia tidak terkena kewajiban zakat dan yang terkena kewajiban zakat adalah ahli warisnya yang mewarisi tanaman tersebut. Mungkin ada yang bertanya, bagaimana cara mengetahui bahwa hasil tanaman yang belum dipanen mencapai nishab?

Jawabannya, hal itu diketahui dengan cara kharsh (perkiraan) yang dilakukan oleh ahlinya. Ahlinya menaksir apakah hasil tanaman yang ada takarannya dalam bentuk kismis, tamr, biji yang telah bersih (dari jerami dan selainnya) mencapai nishab atau tidak. Jika hasil tanaman telah dipanen, lalu buah anggur mengering jadi kismis, buah kurma mengering jadi tamr, biji dibersihkan dari jerami dan selainnya, maka itulah waktu diwajibkannya pembayaran zakat. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT :

وَاٰتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ
Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya. (QS. Al-An'am : 141).

Perlu diketahui bahwa biaya pengurusan hasil tanaman hingga anggur menjadi kismis, kurma menjadi tamr, biji dibersihkan dari jerami, dan selainnya, seluruhnya merupakan tanggung jawab pemilik tanaman dan tidak ada kaitannya dengan ahli zakat.

E. Yang Harus Dibayarkan
Adapun tentang besarnya nilai zakat yang harus dikeluarkan dari tanaman telah disepakati oleh para ulama, yaitu usyur (1/10) dan nishful ushr (1/120). Dalam bentuk prosentase berarti 10% dan 5 %. Dasarnya adalah hadits berikut ini :

فِيْمَا سَقَتِ الْأَنْهَارُ وَالغَيْمُ الْعُشُر وَفِيْمَا سُقِيَ بِالسَّانِيَةِ نِصْفُ العُشُر
Dari Jabir bin Abdilah ra dari Nabi SAW,"Tanaman yang disirami oleh sungai dan mendung (hujan) zakatnya sepersepuluh. Sedangkan yang disirami dengan ats-tsaniyah zakatnya setengah dari sepersepuluh (1/20). (HR. Ahmad, Muslim, An-Nasai dan Abu Daud - Nailul Athar)

فِيمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُونُ أَوْ كَانَ عَثَرِيًّا الْعُشْرُ وَمَا سُقِيَ بِالنَّضْحِ نِصْفُ الْعُشْرِ
Tanaman yang disirami langit dan mata air atau atau mengisap air dengan akarnya, zakatnya sepersepuluh. Sedangkan tanaman yang disirami zakatnya adalah setengah dari sepersepuluh (1/20). (HR Bukhari)

Dari hadits-hadits tersebut, nampak Rasulullah SAW membagi dua kadar zakat yang wajib dikeluarkan sesuai dengan cara pengairannya sebagai berikut:

1. Sepersepuluh.
Yang termasuk zakatnya sepersepuluh adalah tanaman yang diairi tanpa alat pengangkut air dan beban biaya yang besar. Jenis ini meliputi tiga hal:
Tanaman yang diairi dengan air hujan (tadah hujan). Tanaman yang diairi dengan air sungai atau mata air secara langsung, tanpa butuh biaya dan alat untuk mengangkutnya. Meskipun pada awalnya seseorang butuh untuk membuat saluran di tanah sebagai tempat aliran air sungai itu ke areal tanamannya di mana hal ini butuh sedikit biaya, namun setelahnya air mengalir ke tanaman secara langsung dan tidak butuh untuk diangkut dengan alat dan biaya yang besar. Tanaman yang mengisap air dengan akar-akarnya, karena ditanam di tanah yang permukaannya dekat dari air atau ditanam di dekat sungai, sehingga akar-akarnya mencapai air dan mengisapnya.

2. Seperduapuluh
Tanaman yang wajib dikeluarkan zakatnya sebesar seperduapuluh dari seluruh hasil tanaman yang ada, yaitu tanaman yang diairi dengan bantuan alat pengangkut air dan beban biaya yang besar. Jenis ini meliputi beberapa hal:

Tanaman yang diairi dengan bantuan unta atau sapi atau kerbau untuk mengangkutnya, sebagaimana pada hadits Ibnu ‘Umar dalam Shahih Al-Bukhari dan hadits Jabir radhiyallahuanhuma dalam Shahih Muslim.

Tanaman yang diairi dengan bantuan alat timba, sebagaimana pada hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahuanhuma dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah dan Sunan Al-Baihaqi.

Tanaman yang diairi dengan bantuan alat kincir air atau mesin air.

Ibnu Qudamah berpendapat bahwa jika air sungai mengalir melalui saluran air menuju suatu tempat yang jaraknya dekat dari tanaman dan tertampung di tempat itu, kemudian air tersebut harus diangkut ke tanaman dengan bantuan timba atau kincir air, maka hal ini merupakan beban biaya yang menggugurkan setengah kadar zakat yang wajib dikeluarkan (dari sepersepuluh menjadi seperdua puluh). Karena perbedaan besar kecilnya biaya serta jauh dekatnya air yang diangkut tidak berpengaruh, kriterianya


Related Posts:

0 Response to "F. Zakat Pertanian"

Posting Komentar