Al Khaliq


Al Khaliq ( الخالق ) Maha Pencipta

Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

al-Khaliq secara bahasa berasal dari kata "khalq" atau "khalaqa" yang berarti mengukur atau memperhalus. Kemudian, makna ini berkembang dengan arti menciptakan tanpa contoh sebelumnya. Kata khalaqa dalam berbagai bentuknya memberikan penekanan tentang kehebatan dan kebesaran Allah dalam ciptaan-Nya. (Q.S. Ar-Rum: 20-25)

Allah al-Khaliq, artinya Allah pencipta semua makhluk dan segala sesuatu. Malaikat, jin, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, matahari, bulan, bintang, dan segala yang ada di alam ini diciptakan oleh Allah. Allah menciptakan setiap makhluk secara sempurna dan dalam bentuk yang sebaik-baiknya dengan ukuran yang paling tepat. al-Qur'an menegaskan, "Yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah." (Q.S. As-Sajdah : 7)

Dalam ayat lain ditegaskan, "sungguh, kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebik-baiknya." (Q.S. At-Tin: 4)

Menjadi 'Abdul khaliq' (Hamba Allah Yang Maha Pencipta)

Seorang hamba yang meneladani Allah Subhanahu Wata'ala, dalam sifat-Nya sebagai Sang Pencipta dianugerahi kemampuan untuk melahirkan kreasi-kreasi atau hal-hal baru dan bermanfaat untuk kemaslahatan atau kesejahteraan seluruh makhluk-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Orang yang pada dirinya bermanifestasi al-Khaliq dianugerahi pengetahuan, kemampuan (skill), dan juga restu Allah, sehingga Dia melihat alam semesta tercermin di dalam dirinya (mikrokosmos). Dari situ, dia dapat mengenal segala sesuatu yang ada di sekelilingnya (makrokosmos). Dia mengenal alam-alam yang telah diciptakan-Nya itu sebaik dia mengenal dirinya sendiri.


Related Posts:

Al Mutakabbir


Al Mutakabbir Maha Megah, Memiliki Kekuasaan

Secara bahasa Al-Mutakabbir (المتكبر) berarti kebesaran, angkuh, yang tidak tertundukkan. Allah Al-Mutakabbir artinya Allah pemilik segala kebesaran. Kebesaran itu hanya milik Allah. Hanya Allah yang pantas menyandangnya sebab Allah Maha Besar. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa ism dari Al-Mutakabbir adalah takabbur dan kibriya’ yaitu pemberitahuan tentang hak Allah SWT bagi sifat-sifat agung dan sempurna. Ism Al-Mutakabbir itu mengumpulkan segala makna tanzih (penyucian).

Jadi, barangsiapa mengenal ketinggian, keagungan dan kebesaran Allah, maka ia akan selalu membiasakan dirinya bersikap hina dan merendah. Rasulullah saw. bersabda: “Semoga Allah mengasihani hamba yang mengenal kekuasaannya sehingga ia tidak melanggar batasan-batasannya.” Imam Ghazaly berpendapat bahwa al-Mutakabbir adalah yang memandang selainnya hina dan rendah bagai pandangan raja kepada hamba sahayanya bahkan merasa bahwa keagungan dan kebesaran hanya miliknya. Sifat ini tidak mungkin disandang kecuali oleh Allah.

Karena hanya Dia Yang Berhak dan Wajar bersikap demikian. Setiap yang memandang keagungan dan kebesaran hanya miliknya secara khusus tanpa selainnya, maka pandangan tersebut salah! Kecuali Allah SWT. Tapi ingat! Bahwa sifat al Mutakabbir ini ditujukan oleh-Nya kepada mereka yang angkuh, yang memandang serta memperlakukan selainnya hina dan rendah. Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persekutukan. [Q.S. Hasyr: 23]

Akhirnya, marilah kita berdoa, "Ya Allah, Aku berlindung kepada-Mu dari setiap kejahatan yang sekarang dan yang akan datang, kejahatan yang telah aku ketahui dan yang belum aku ketahui. Ya Allah, sungguh aku memohon kepada-Mu sebaik-baik yang telah diminta kepada-Mu oleh hamba dan nabi-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari segala kejahatan, yang telah dimohonkan terhindarnya kepada-Mu oleh hamba dan nabi-Mu." (H.R. Ibnu Majah dan Ahmad)

Manfaat Zikir al-Mutakabbir

Jika kita memperbanyak Ya Mutakabbir setiap hari, insya Allah akan dikaruniai kemampuan untu menundukkan musuh yang berbuat zhalim.


Related Posts:

Al Jabbar


Al Jabbar Maha Agung

Salah satu Al-Asma`ul Husna adalah Al-Jabbar (الْجَبَّارُ). Makna Al Jabbar sebagaimana diriwayatkan dari tafsir Ibnu ‘Abbas c. Beliau mengatakan bahwa makna Al-Jabbar adalah Yang Maha Agung, dan sifat Jabarut artinya sifat keagungan. Demikian dinukilkan oleh Al-Qurthubi t dalam tafsirnya Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS Al Hasyr 59: 23)


Adapun makna Al-Jabbar secara ringkas seperti yang disampaikan oleh Asy-Syaikh As-Sa’di yaitu : “Yang Maha Tinggi dan Tertinggi, juga bermakna Yang Memaksa, dan bermakna Ar-Ra`uf Yang kasih sayang, Yang memperbaiki kalbu yang redam, memperbaiki yang lemah dan tidak mampu, serta yang berlindung kepada-Nya.” (Tafsir As-Sa’di hal. 946) Ibnu Jarir t mengatakan: “Yang memperbaiki urusan makhluk-Nya, Yang mengatur mereka dengan sesuatu yang maslahat bagi mereka.” (Dinukil dari Tafsir Ibnu Katsir, 4/367)

Salah satunya bahwa Dialah yang memperbaiki kelemahan hamba-hamba-Nya yang lemah, dan Yang memperbaiki kalbu yang merasa redam di hadapan-Nya, yang tunduk di hadapan kebesaran-Nya dan keagungan-Nya. Betapa banyak kalbu yang redam lalu Allah perbaiki, yang fakir lalu Allah berikan kecukupan, yang hina lalu Allah muliakan, yang kesusahan lalu Allah hilangkan kesusahannya, yang kesulitan lalu Allah berikan kemudahan. Dan betapa banyak orang yang terkena musibah lalu Allah perbaiki dengan memberinya taufiq untuk kokoh dan sabar, dan Allah ganti karena musibahnya dengan pahala yang besar. Maka hakikat makna Jabr adalah memperbaiki keadaan hamba dengan melepaskannya dari kesulitan, serta menghilangkan darinya kesusahan. Makna (kedua) bahwa Dia Yang Maha memaksa, yang segala sesuatu tunduk kepada kebesaran-Nya, yang semua makhluk tunduk kepada keagungan-Nya dan keperkasaan-Nya. Maka Dia memaksa hamba-hamba-Nya kepada apa yang Dia kehendaki berupa sesuatu yang sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya dan kehendak-Nya. Maka mereka tidak dapat lepas darinya.

Makna yang ketiga bahwa Dia yang Maha Tinggi dengan Dzat-Nya di atas seluruh makhluk-Nya, sehingga tidak seorangpun mendekat kepada-Nya. Al-’Allamah As-Sa’di t menyebutkan makna yang keempat, yaitu bahwa Dia yang Maha Besar tersucikan dari segala kekurangan dan keserupaan dengan siapapun, serta tersucikan dari sesuatu yang menyerupai-Nya, baik dalam kekhususan-kekhususan-Nya maupun hak-hak-Nya. (Syarh Nuniyyah, 2/103-104)

Al Jabbar secara lughoh bisa bermakna ketinggian, keagungan, atau istiqamah. Sedang al jabbar bila dinisbatkan kepada Allah bisa bermakna “ketinggian atau keagungan sifat yang tidak dapat dijangkau oleh siapapun”. Ada juga yang memaknai al jabbar sebagai yang maha tinggi yang memaksa semua yang rendah untuk tunduk patuh kepada-Nya. Dari sini kemudian muncul makna baru dari al jabbar yakni Yang Maha Pemaksa, Yang Kehendaknya Tidak Diingkari, atau Yang Maha Perkasa.

Allah Yang Maha Pemaksa ketika menciptakan langit dan bumi memerintahkan keduanya datang dengan patuh atau terpaksa. Mareka menjawab: “Kami datang dengan patuh.” (QS Al Fushilat 41: 11). Pada hakekatnya di dunia ini tidak ada makhluk yang mampu menentang kehendak Allah. Semua berjalan sesuai dengan sunnatullah. Seseorang bisa lari dari satu sunnatullah, tetapi dia pasti menuju sunnatullah yang lain. Orang yang mengikuti sunnatullah dan berjalan di atas syari’at-Nyalah yang dikatakan sebagai orang yang tunduk patuh kepada-Nya.

Di sisi lain jabbar juga bisa bermakna yang menumbuhkan dan memperbaiki sehingga keadaannya kembali seperti semula. Dalam konteks ini Allahlah yang dapat menumbuhkan kembali semangat manusia yang hancur karena mengalami goncangan batin yang disebabkan oleh kematian anggota keluarga, kebangkrutan bisnis, bencana alam dan sejenisnya. Kefahaman manusia akan kecilnya nilai dunia dibanding dengan akherat akan menumbuhkan kembali kesadaran bahwa apa yang hilang darinya tidaklah bermakna di hadapan Allah. Dunia ini hanya bersifat sementara, sedang kehidupan akheratlah yang kekal. Akan tumbuh semangat untuk mengejar akherat dan melupakan apa yang telah hilang. Allah juga yang dapat memperbaiki kehancuran akhlak manusia kembali kepada fitrahnya bertauhid seperti ketika berada di dalam kandungan ibunya (QS Al A’raf 7: 172).

Imam Ghazali sifat Allah Yang Maha Pemaksa ini dapat pula diteladani oleh manusia terpuji seperti Rasulullah saw. Karena kemuliaan akhlaknya Rasulullah saw, maka para sahabatnya mencintainya, menghormatinya, menempatkannya pada posisi yang amat tinggi, dan mengikuti pola hidupnya. Dengan sikap dan keteladanannya Rasulullah saw secara tidak langsung memaksa para sahabat untuk mengikuti perilakunya dalam kehidupan sehari-hari dan mengadopsi pola hidup Islam yang diajarkannya. Dalam hal ini Rasulullah tidak mengambil manfaat tetapi memberi manfaat, beliau mempengaruhi tidak dipengaruhi, dan beliau diikuti tidak mengikuti.

Kita dapat meneladai sifat jabbar dengan memperbaiki kualitas akhlak hingga ke tingkat akhlak mulia. Dengan akhlak mulia inilah kita memberi keteladanan hidup kepada keluarga kita, sehingga anak dan istri menghormati. Penghormatan anak istri karena kemuliaan akhlak kepada rumah tangga akan menjadi kunci sukses dalam membangun keluarga yang berhias sakinah, mawaddah, wa rahmah. Kamuliaan akhlak seorang kepala rumah tangga secara tidak langsung akan mengundang penghormatan anggota keluarga dan menggerakkan hati mereka untuk mengikuti kebijakan-kebijakan yang digariskannya untuk keluarganya. Begitu pula yang akan terjadi bila kepala kantor, kepala perusahaan, kepala daerah, dan kepala negara berakhlak mulia. Kemuliaan akhlak seorang pimpinan akan menumbuh-kan rasa cinta bawahannya, mengundang penghormatan mereka, dan mengikuti kebijakannya dengan penuh kesadaran. Yang perlu kita fahami adalah kemuliaan akhlak ini hanya dapat dicapai dengan Islam. Al Islamu ya’lu wala yu’la ‘alaihi.

Maka pantas sekali kalau Allah swt senantiasa mengutus para nabi dengan berbekal akhlak karimah yang senantiasa menyeru kepada umatnya u’budullaha wajtanibuththaghut (sembahlah Allah dan jauhilah thaghut). Seruan untuk menghambakan diri hanya kepada Allah dan menjauhi thaghut inilah yang menjadi fondasi dari bangunan akhlak karimah yang intinya adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalam hal ini mestinya bani Israil menjadi bangsa yang paling beruntung, karena sebagian besar nabi diutus dari golongan mereka. Tetapi karena keingkarannya maka mereka pula yang menjadi bangsa yang paling banyak dikutuk Allah di dalam Al Qur’an. Di antara mereka ada kelompok orang yang dimurkai Allah (Yahudi) dan ada pula kelompok orang yang tersesat (Nasrani). Mereka telah sesat dan menyesatkan banyak orang (QS Al Maidah 5: 77).

Mestinya kemuliaan akhlak para nabi menjadi teladan bagi para pemimpin bangsa. Manusia karena hawa nafsunya cenderung untuk berbuat jahat (QS Yusuf 12: 53). Maka para pemimpin dengan kemulian akhlaknya karena Al Qur’an diharapkan dapat membimbing mereka ke jalan keselamatan. Dengan pemimpin yang berakhlak karimah maka peraturan dan kebijakan yang digariskan akan sesuai dengan akhlaknya. Pelaksanaan kebijakan diharapkan tidak menyimpang dari akhlaknya. Pengawasan di lapanganpun diharapkan sesuai dengan tuntutan akhlaknya. Begitu besar pengaruh akhlak ini, maka tidak mengherankan kalau Rasulullah saw sebenarnya diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak karimah.


Related Posts:

J. Jayakarta Jajahan VOC Pertama


Bukti tertua mengenai eksistensi pemukiman penduduk yang sekarang bernama Jakarta adalah Prasasti Tugu yang tertanam di desa Batu Tumbuh, Jakarta Utara. Prasasti terebut berkaitan dengan 4 prasasti lain yang berasal dari zaman kerajaan Hindu, Tarumanegara ketika diperintah oleh Raja Purnawarman. Berdasarkan Prasasti Kebon Kopi, nama Sunda Kalapa (Sunda Kelapa) sendiri diperkirakan baru muncul abad sepuluh.

Pemukiman tersebut berkembang menjadi pelabuhan, yang kemudian juga dikunjungi oleh kapal-kapal dari mancanegara. Hingga kedatangan orang Portugis, Sunda Kalapa masih di bawah kekuasaan kerajaan Hindu lain, Pakuan Pajajaran. Sementara itu, Portugis telah berhasil menguasai Malakka, dan tahun 1522 Gubernur Portugis d’Albuquerque mengirim utusannya, Enrique Leme yang didampingi oleh Tome Pires untuk menemui Raja Sangiang Surawisesa. Pada 21 Agustus 1522 ditandatangani perjanjian persahabatan antara Pajajaran dan Portugis. Diperkirakan, langkah ini diambil oleh Raja Pakuan Pajajaran guna memperoleh bantuan dari Portugis dalam menghadapi ancaman kerajaan Islam Demak, yang telah menghancurkan beberapa kerajaan Hindu, termasuk Majapahit. Namun ternyata perjanjian ini sia-sia saja, karena ketika diserang oleh Kerajaan Islam Demak, Portugis tidak membantu mempertahankan Sunda Kalapa.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, pelabuhan Sunda Kalapa diserang oleh tentara Demak yang dipimpin oleh Fatahillah, dan jatuh pada 22 Juni 1527, dan setelah berhasil direbut, namanyapun diganti menjadi Jayakarta. Setelah Fatahillah berhasil mengalahkan dan mengislamkan Banten, Jayakarta berada di bawah kekuasaan Banten, yang kini menjadi kesultanan.

Ironisnya, kini tanggal 22 Juni ditetapkan sebagai hari “kelahiran” Jakarta. Jelas tanggal ini tidak mencerminkan berdirinya kota Jakarta, karena dari berbagai prasasti, telah terbukti bahwa Sunda Kalapa telah ada sejak abad 10. Ironis, karena hari penaklukkan Jakarta yang dipimpin oleh seorang asing, ditetapkan sebagai hari “kelahiran” Jakarta.
Pieter Both yang menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama, lebih memilih Jayakarta sebagai basis administrasi dan perdagangan VOC daripada pelabuhan Banten, karena pada waktu itu di Banten telah banyak kantor pusat perdagangan orang-orang Eropa lain seperti Portugis, Spanyol kemudian juga Inggris, sedangkan Jayakarta/Sunda Kalapa masih merupakan pelabuhan kecil.

Pada tahun 1611 VOC mendapat izin untuk membangun satu rumah kayu dengan fondasi batu di Jayakarta, sebagai kantor dagang. Kemudian mereka menyewa lahan sekitar 1,5 hektar di dekat muara di tepi bagian timur Sungai Ciliwung, yang menjadi kompleks perkantoran, gudang dan tempat tinggal orang Belanda, dan bangunan utamanya dinamakan Nassau Huis.

Ketika Jan Pieterszoon Coen menjadi Gubernur Jenderal (1618 – 1623), ia mendirikan lagi bangunan serupa Nassau Huis yang dinamakan Mauritius Huis, dan membangun tembok batu yang tinggi, di mana ditempatkan beberapa meriam. Tak lama kemudian, ia membangun lagi tembok setinggi 7 meter yang mengelilingi areal yang mereka sewa, sehingga kini benar-benar merupakan satu benteng yang kokoh, dan mulai mempersiapkan untuk menguasai Jayakarta. Dari basis benteng ini pada 30 Mei 1619 Belanda menyerang tuan rumah, yang memberi mereka izin untuk berdagang, dan membumihanguskan keraton serta hampir seluruh pemukiman penduduk. Berawal hanya dari bangunan separuh kayu, akhirnya Belanda menguasai seluruh kota, dan kemudian seluruh Nusantara. Semula Coen ingin menamakan kota ini sebagai Nieuwe Hollandia, namun de Heeren Seventien di Belanda memutuskan untuk menamakan kota ini menjadi Batavia, untuk mengenang bangsa Batavir, yaitu bangsa Germania yang bermukim di tepi Sungai Rhein yang kini dihuni oleh orang Belanda. Dan nama Batavia ini digunakan oleh Belanda selama lebih dari 300 tahun.

Dengan demikian, Batavia (Sunda Kalapa, Jayakarta, Jakarta) adalah jajahan Belanda pertama di Nusantara. Entah sejak kapan, penduduk di kota Batavia dinamakan –atau menamakan diri- orang Betawi, yang mengambil nama dari Batavia tersebut. Dilihat dari sejarah dan asal-usulnya, jelas penamaan ini keliru.

Tanggal 30 Mei 1619 dapat ditetapkan sebagai awal penjajahan Belanda di bumi Nusantara, yang berakhir tanggal 9 Maret 1942, yaitu dengan resmi menyerahnya Pemerintah India Belanda kepada Jepang di Kalijati, Subang, Jawa Barat.
(tentu bukan berarti, sejak saat itu Belanda yang diwakili oleh VOC telah menjajah seluruh kepulauan Nusantara.. 30 Mei 1619 adalah awal dari hasrat Belanda/VOC untuk menguasai Nusantara)

Legalisasi Perbudakan dimulai oleh VOC
Perbudakan memang telah ada sebelum orang-orang Eropa datang ke Asia Tenggara, namun di masa VOC, berdasarkan Bataviase Statuten (Undang-Undang Batavia) tahun 1642, perbudak diresmikan dengan adanya Undang-Undang Perbudakan.

Sebagian besar perbudakan terjadi di Jawa, namun budak-budak tersebut berasal dari luar Jawa, yaitu para tawanan dari daerah-daerah yang ditaklukkan Belanda, seperti dari pulau Banda tahun 1621, di mana 883 orang (176 orang mati dalam perjalanan) dibawa ke pulau Jawa dan dijual sebagai budak.

Perdagangan budak di seluruh dunia memang telah terjadi sejak ribuan tahun lalu, terutama di zaman Romawi. Yang diperdagangkan di pasar budak adalah rakyat, serdadu, perwira dan bahkan bangsawan dari negara-negara yang kalah perang dan kemudian dijual sebagai budak. Selama Perang Salib/Sabil yang berlangsung sekitar 200 tahun, ratusan ribu orang dari berbagai etnis yang ditawan, dijual sebagai budak sehingga membanjiri pasar budak, dan mengakibatkan anjloknya harga budak waktu itu.

Dari abad 15 sampai akhir abad 19, seiring dengan kolonialisme negara-negara Eropa terhadap negara-negara atau wilayah yang mereka duduki di Asia, Afrika dan Amerika, perdagangan budak menjadi sangat marak, juga terutama untuk benua Amerika, di mana para penjajah memerlukan tenaga kerja untuk menggarap lahan pertanian dan perkebunan. Di Amerika Serikat –negara yang mengklaim sebagai sokoguru demokrasi- perbudakan secara resmi baru dihapus tahun 1865, namun warga kulit hitam masih harus menunggu seratus tahun lagi, sampai mereka memperoleh hak memilih dan dipilih.

Di Afrika, Belanda memiliki 2 portal perdagangan budak. Satu di St. George d’Elmina, Gold Coast (sekarang Ghana) dan satu lagi di Pulau Goree, Senegal. Melalui kedua portal tersebut Belanda membawa budak-budak yang mereka beli dari orang-orang Arab pedagang budak. Pedagang-pedagang budak orang Arab bekerjasama dengan orang-orang Afrika menculik warga Afrika dari desa-desa di pedalaman Afrika -tak pandang bulu, laki-laki, perempuan dan anak-anak- dan kemudian menjual mereka sebagai budak.

Selama kurun waktu lebih dari 300 tahun, berjuta-juta orang Afrika diculik dan kemudian dijual sebagai budak. Sebelum dibawa dengan kapal ke negara-negara tujuan pembeli, mereka disekap secara tidak manusiawi dan berjejal-jejal –termasuk anak-anak dan perempuan- di penjara-penjara, tanpa adanya sinar matahari, udara dan air bersih. Biasanya sekitar 20% dari budak-budak tersebut mati di tengah jalan, karena penyakit, mogok makan, siksaan atau bunuh diri, namun yang dibawa ke benua Amerika, jumlah yang mati dalam perjalanan mencapai 40-50%.

Selain mengontrak orang-orang Eropa dan pribumi untuk menjadi serdadu di dinas ketentaraan India-Belanda, juga terdapat pasukan yang terdiri dari yang dinamakan Belanda Hitam (zwarte Nederlander), yaitu mantan budak yang dibeli dari Afrika.

Mulai tahun 1830, di Gold Coast (Ghana) Afrika Barat, Belanda membeli budak-budak, dan melalui St George d’Elmina dibawa ke India Belanda untuk dijadikan serdadu. Untuk setiap kepala, Belanda membayar f 100,- kepada Raja Ashanti. Sampai tahun 1872, jumlah mereka mencapai 3.000 orang dan dikontrak untuk 12 tahun atau lebih. Berdasarkan Nationaliteitsregelingen (Peraturan Kewarganegaraan), mereka masuk kategori berkebangsaan Belanda, sehingga mereka dinamakan Belanda Hitam (zwarte Nederlander). Karena mereka tidak mendapat kesulitan dengan iklim di Indonesia, mereka menjadi tentara yang tangguh dan berharga bagi Belanda, dan mereka menerima bayaran sama dengan tentara Belanda. Namun dari gaji yang diterima, mereka harus mencicil uang tebusan sebesar f 100,-. Memang orang Belanda tidak mau rugi, walaupun orang-orang ini telah berjasa bagi Belanda dalam mempertahankan kekuasaan mereka di India Belanda.

Sebagian besar dari mereka ditempatkan di Purworejo. Tahun 1950, tersisa sekitar 60 keluarga Indo-Afrika yang dibawa ke Belanda dalam rangka “repatriasi.”

Walaupun kekuasaan dari VOC berpindah kepada Pemerintah India-Belanda, perdagangan budak berlangsung terus, dan hanya terhenti selama beberapa tahun ketika Inggris berkuasa di India-Belanda (The British inter-regnum). Perang koalisi di Eropa juga berpengaruh terhadap masalah perbudakan di India-Belanda. Ketika Inggris menaklukkan Belanda dan mengambil alih kekuasaan di India Belanda tahun 1811, pada tahun 1813 Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles melarang perdagangan budak. Namun dengan adanya perjanjian perdamaian di Eropa, kembali membawa perubahan di India Belanda di mana Belanda “menerima kembali” India-Belanda dari tangan Inggris pada tahun 1816. Pada tahun itu juga Pemerintah India Belanda memberlakukan kembali perdagangan budak.

Tahun 1789 tercatat 36.942 budak di Batavia dan sekitarnya.
Tahun 1815 tercatat 23.239 budak, ketika di bawah kekuasaan Inggris.
Tahun 1828 tercatat 6.170 budak.
Tahun 1844 masih terdapat 1.365 budak di Batavia.
Dari data/tabel di bawah ini terlihat, bahwa antara tahun 1679 – 1699, lebih dari 50% penduduk Batavia adalah budak (!).

Tabel 1. Jumlah penduduk dan jumlah budak di berbagai pemukiman Belanda di Samudra India akhir abad 17.
(Tabel 1 & 2, lihat: http://www.historycoop.org/journals/jwh/14.2/vink.html)

Tabel 2. Jumlah budak VOC dan jumlah seluruh budak Belanda dengan rata-rata jumlah perdagangan budak per tahun oleh Belanda, sekitar tahun 1688.

Barulah pada 7 Mei 1859 dibuat Undang-Undang untuk menghapus perbudakan, yang mulai berlaku pada 1 Januari 1860. Namun ini tidak segera diberlakukan di seluruh wilayah India-Belanda. Di Bali pembebasan budak baru berlangsung tahun 1877, dan di beberapa daerah lain masih lebih belakang dari ini.

Di Belanda sendiri, perbudakan baru secara resmi dihapus pada 1 Juli 1863. Pada bulan Agustus 2001, dalam Konferensi internasional di Durban, Afrika Selatan, baru beberapa negara Eropa secara resmi menyampaikan permintaan maaf atas perbudakan tersebut, namun belum ada satupun negara bekas penjajah yang memberi kompensasi.

Pembantaian oleh Belanda di Pulau Banda. Hongi Tochten
Tidak lama setelah kedatangan mereka di Maluku, para pedagang Belanda melakukan cara-cara yang kejam untuk menguasai wilayah yang sangat banyak memberi kenguntung bagi mereka, seperti yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen terhadap pulau Banda pada tahun 1621 (lihat: Willard A. Hanna, “Indonesian Banda”, Colonialism and its Altermath in the Nutmeg Islands, Yayasan Warisan dan Budaya Banda Neira, Maluku, 1991, Reprint), Dari Batavia, dia membawa armada yang terdiri dari 13 kapal besar, tiga kapal pengangkut perlengkapan serta 36 kapal kecil. Pasukannya terdiri dari 1.655 orang Eropa (150 meninggal dalam perjalanan) dan diperkuat dengan 250 orang dari garnisun di Banda. Ini adalah kekuatan terbesar yang dikerahkan Belanda pada waktu itu ke wilayah Maluku, sehingga tidak diragukan lagi keberhasilannya. 286 orang Jawa dijadikan pengayuh kapal. Selain itu terdapat 80 – 100 pedagang Jepang; beberapa diantaranya adalah pendekar Samurai yang kemudian berfungsi sebagai algojo pemenggal kepala. Ini merupakan kerjasama pertama antara Belanda dan Jepang dalam penjajahan di Indonesia.

Dalam waktu singkat, perlawanan rakyat Banda dapat dipatahkan oleh tentara Belanda. Penduduk kepulauan Banda yang tidak tewas, ditangkap dan mereka yang tidak mau menyerah kepada Belanda, melompat dari tebing yang curam di pantai sehingga tewas.

Semua pimpinan rakyat Banda yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda dijatuhi hukuman mati yang segera dilaksanakan. Mengenai pelaksanaan eksekusi terhadap pimpinan rakyat Banda pada 8 Mei 1621, Letnan (Laut) Nicholas van Waert menulis antara lain:

“… Keempatpuluhempat tawanan dibawa ke Benteng Nassau, delapan Orang Kaya (pemuka adat di Banda) dipisahkan dari lainnya, yang dikumpulkan seperti domba. Dengan tangan terikat, mereka dimasukkan ke dalam kerangkeng dari bambu dan dijaga ketat. Mereka dituduh telah berkonspirasi melawan Tuan Jenderal dan telah melanggar perjanjian perdamaian.

Enam serdadu Jepang melaksanakan eksekusi dengan samurai mereka yang tajam. Para pemimpin Banda dipenggal kepalanya kemudian tubuh mereka dibelah empat. Setelah itu menyusul 36 orang lainnya, yang juga dipenggal kepalanya dan tubuhnya dibelah empat. Eksekusi ini sangat mengerikan untuk dilihat. Semua tewas tanpa mengeluarkan suara apa pun, kecuali satu orang yang berkata dalam bahasa Belanda “Tuan-tuan, apakah kalian tidak mengenal belas kasihan”, yang ternyata tidak ada gunanya.

Kejadian yang sangat menakutkan itu membuat kami menjadi bisu. Kepala dan bagian-bagian tubuh orang-orang Banda yang telah dipotong, ditancapkan di ujung bambu dan dipertontonkan. Demikianlah kejadiannya: Hanya Tuhan yang mengetahui siapa yang benar.

Kita semua, sebagai yang menyatakan beragama Kristen, dipenuhi rasa kecemasan melihat bagaimana peristiwa ini berakhir, dan kami merasa tidak sejahtera dengan hal ini ..”.

Laporan ini dikutip oleh Willard A. Hanna dari “De Verovering der Banda-Eilanden,” Bijdragen van het Koninklijke Institut voor de Taal-, Land-, en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, Vol. II (1854), hlm. 173. Laporan ini semula beredar secara anonim di Belanda, namun cendekiawan Belanda yang terkenal, H.T. Colenbrander menghubungkan ini dengan salah seorang perwira dari Gubernur Jenderal Coen, yaitu Nicholas van Waert tersebut.

Para pengikut tokoh-tokoh Banda beserta seluruh keluarga mereka dibawa dengan kapal ke Batavia untuk kemudian dijual sebagai budak. Jumlah seluruh warga Banda yang dibawa ke Batavia adalah 883 orang terdiri dari 287 pria, 356 perempuan dan 240 anak-anak. 176 orang meninggal dalam perjalanan. Banyak di antara mereka yang meninggal karena siksaan, kelaparan atau penyakit.

Demikianlah pembantaian massal pertama yang dilakukan oleh Belanda di Bumi Nusantara. Kekejaman Belanda tidak terbatas terhadap pribumi di Maluku, melainkan juga terhadap para pesaing mereka, dalam hal ini orang-orang Inggris. Persaingan antara Belanda dan Inggris untuk menguasai rempah-rempah di Maluku mencapai puncaknya pada tahun 1623, dua tahun setelah pembantaian rakyat Banda, di mana para pedagang Inggris juga dibantai oleh serdadu bayaran VOC. Para pedagang Inggris tersebut dibunuh secara kejam oleh Belanda; leher mereka disembelih seperti anjing, sebagaimana diungkapkan oleh Laurens van der Post (lihat: Laurens van der Post: “The Admiral’s Baby”, John Murray, London, 1996.):

“… It was on Ambon in 1623 that the Dutch slaughtered the English traders they found there, cutting their throats like dogs …”

Secara perlahan-lahan, Belanda menyingkirkan pesaing-pesaing perdagangan mereka dari Eropa, yaitu Portugis, Spanyol dan Inggris, dan dengan demikian berhasil memegang monopoli atas perdagangan rempah-rempah dari wilayah Maluku ke Eropa. Para penguasa setempat yang tidak bersedia memenuhi keinginan VOC disingkirkan dengan segala cara, dan kemudian diganti dengan Raja, Sultan atau penguasa lain yang patuh kepada Belanda. Dengan cara ini VOC dapat memaksa penguasa setempat untuk membuat kebijakan dan peraturan yang sangat menguntungkan VOC, namun merugikan rakyat setempat. Para penguasa boneka Belanda, disamping memperoleh “kekuasaan”, juga mendapat keuntungan materi. Dengan mereka, VOC membuat perjanjian yang dinamakan “kontrak extirpatie”, yaitu menebang dan memusnahkan semua pohon cengkeh dan pala di wilayahnya, dan tidak mengizinkan rakyat mereka untuk menanam kembali dan memelihara pohon rempah-rempah tersebut. Sebagai imbalannya, para penguasa memperoleh uang sebagai pengganti kerugian yang dinamakan recognitie-penningen.

Di bawah Gubernur Jenderal Mattheus de Haan (1725 – 1729) dan kemudian dilanjutkan oleh Diederik Durven (1729 – dipecat tahun 1732) dilakukan extirpartie secara besar-besaran, guna menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi. Untuk melaksanakan extirpatie tersebut, setiap tahun VOC melakukan pelayaran hongi atau “Hongi tochten”, yaitu armada yang terdiri dari sejumlah kora-kora, kapal tradisional Ternate-Tidore.

Menurut catatan statistik Kompeni, sebagai hasil extirpatie dari Hongi tochten yang hanya berlangsung satu tahun, yaitu dari 10 Desember 1728 sampai 17 Desember 1729 telah dimusnahkan lebih dari 96.000 pohon dan dari 14 Juli 1731 sampai 27 Juli 1732 telah habis dimusnahkan 117.000 pohon rempah-rempah di Pulau-Pulau Makian, Moti, Weda, Maba dan Ternate.

Pembantaian Etnis (Genocide) Tionghoa di Batavia
Kekejaman bangsa Belanda tidak hanya dirasakan oleh rakyat jajahannya atau pesaing-pesaing mereka dari Eropa saja, melainkan juga dirasakan oleh etnis Tionghoa yang ada di Batavia, sebagaimana dilakukan oleh Adriaen Valckenier, yang menjadi Gubernur Jenderal India Belanda dari tahun 1737 – 1741. Selain melanjutkan budaya korupsi dan penindasan serta eksploitasi rakyat jajahannya, Valckenier juga menilai, peningkatan yang sangat pesat jumlah orang Tionghoa yang ada di Batavia telah menjadi ancaman bagi orang Belanda.

Sebenarnya pada mulanya Belanda mendatangkan orang-orang Tionghoa dari Tiongkok ke India Belanda terutama untuk menjadi kuli di perkebunan. Namun banyak dari mereka yang berhasil menjadi pedagang, pengusaha dan rentenir uang, dengan kedudukan sebagai lapisan menengah yang berfungsi sebagai perantara antara orang Eropa dan pribumi.
Sekitar tahun 1690, penguasa VOC mencoba mulai membatasi masuknya orang Tionghoa ke Batavia/Jawa, namun tidak berhasil, karena adanya kolusi antara para pengusaha yang terus mendatangkan kuli dari Tiongkok dan pejabat administrasi VOC yang menerima suap. Para pengusaha Belanda juga memperoleh manfaat dengan adanya kuli murah, rajin dan patuh, dibandingkan dengan pribumi yang sering membangkang, melawan dan bahkan melakukan pemberontakan.

Namun, lama kelamaan jumlah mereka semakin meningkat dan mencapai puluhan ribu orang, dan menjelang tahun 1740, separuh penduduk di Batavia dan sekitarnya adalah orang Tionghoa. Mereka juga telah menguasai berbagai bidang ekonomi dan usaha, yang menjadi ancaman bagi orang-orang Belanda dan Eropa lainnya, karena dengan adanya pesaing etnis Tionghoa, keuntungan mereka menjadi sangat berkurang. Salah satu bidang usaha yang dikuasai oleh etnis Tionghoa adalah perkebunan tebu di sekitar Batavia.

Tahun 1740, pasar gula mengalami kemerosotan karena selain adanya persaingan dari Brasilia yang menjual gula lebih murah, juga pasar di Eropa telah jenuh. Puluhan pedagang gula mengalami kebangkrutan dan harus memberhentikan kuli-kuli mereka dari Tiongkok. Pengangguran besar-besaran yang mendadak ini memunculkan kelompok-kelompok yang menjurus kepada gang (komplotan) kriminal. Gang-gang tersebut juga tidak segan-segan untuk melakukan tindak kekerasan, sehingga menimbulkan keresahan di kalangan orang-orang Belanda dan Eropa lainnya.

Para penguasa VOC kemudian mulai mengambil langkah-langkah untuk mengatasi hal ini, dengan mendeportasi kuli-kuli dari Tiongkok tersebut ke Ceylon dan Afrika Selatan, yang juga koloni VOC waktu itu. Deportasi dengan kapal laut ini dimulai pada bulan Juli 1740. Tak lama setelah dimulainya deportasi kuli-kuli Tionghoa ke Ceylon, muncul desas-desus, bahwa kuli-kuli itu dibunuh dan kemudian dilemparkan ke laut. Terpancing dengan isu tersebut, banyak kuli Tionghoa mempersenjatai diri mereka dan mulai mengadakan perlawanan, dan bahkan merencanakan akan menyerang Batavia. Tanggal 8 Oktober malam, suasana di Batavia sangat mencekam, karena diberitakan, bahwa orang-orang Tionghoa di dalam kota Batavia akan bergabung dengan warga Tionghoa dari sekitar Batavia.

Pada 9 Oktober 1740 Gubernur Jenderal Valckenier mengeluarkan perintah untuk menggeledah 5.000 keluarga Tionghoa yang tinggal di lingkungan benteng Batavia dan sekitarnya. Namun yang terjadi dalam 3 hari kemudian adalah pembantaian terhadap semua orang Tionghoa di Batavia. Setiap orang Tionghoa yang ditemui langsung dibunuh, dan bahkan yang berada di rumah sakit juga dibantai (lihat: Vermeulen, J.Th., De Chineezen Turbulenten te Batavia, 1938).

Georg Bernhard Schwarz, seorang Jerman yang berasal dari Remstal, dekat Stuttgart, Jerman, pada 1751 dalam tulisan yang diterbitkan di Heilbronn, Jerman, dengan judul “Merkwürdigkeiten” menuturkan pengalamannya ketika ia ikut dalam pembantaian etnis Tionghoa di Batavia. Ia menuliskan, bahwa ia membunuh orang Tionghoa beserta seluruh keluarganya di Batavia, yang adalah tetangganya sendiri, walaupun mereka sebenarnya adalah kenalan baik dan tidak mempunyai masalah pribadi satu dengan lainnya. (lihat: Seemann, Heinrich, Spuren einer Freundschaft. Deutsch – Indonesische Beziehungen vom 16. bis 19. Jahrhundert. Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2000).

Diperkirakan sekitar 24.000 orang etnis Tionghoa yang tewas dibantai oleh orang-orang Belanda dan Eropa lainnya pada bulan Oktober 1740. Dari sisa yang hidup, banyak yang melarikan diri ke Jawa Tengah dan bergabung dengan kelompok pemberontak di bawah pimpinan Raden Mas Said. Mereka kemudian menyerang pos pertahanan Belanda di Semarang dan Rembang. Sebagian lagi melarikan diri ke Kalimantan Barat.

Ini merupakan pembantaian etnis (genocide) terbesar pada waktu itu, dan ketika berita ini sampai di Eropa, hal ini sangat memalukan bangsa Belanda yang bertepuk dada sebagai penganut ajaran Kristen yang taat, namun bukan saja melakukan perbudakan, melainkan juga pembantaian etnis secara massal. Gubernur Jenderal Valckenier dan Wakil Gubernur Jenderal Baron von Imhoff saling menyalahkan atas terjadinya genocide tersebut. Valckenier sendiri kemudian dipanggil pulang dan meninggal ketika dalam tahanan. Setelah Valckenier dipanggil pulang tahun 1741, jabatan Gubernur Jendral untuk sementara dipegang oleh Johannes Thedens, sebelum diganti oleh Gustaf Wilhelm Baron van Imhoff (1743 – 1750), yang adalah orang Jerman. Masalah pembantaian etnis Tionghoa yang sangat mencoreng wajah Belanda, berhasil ditutup-tutupi dan kemudian hilang begitu saja. Tak ada satu orang pun dari pelaku pembantaian yang dimajukan ke pengadilan.

Di Den Haag, Belanda, sejak Januari 2003 International Criminal Court – ICC (Pengadilan Kejahatan Internasional) memulai kegiatannya, dan Menlu Belanda waktu itu, van Aartsen menyatakan, bahwa dengan demikian “Den Haag is the capital of international justice.” (Den Haag adalah pusat keadilan dunia), karena sebelumnya di Den Haag juga terdapat Intenational Court of Justice. Dalam Statuta Roma yang menjadi landasan dari ICC disebutkan, bahwa kejahatan tertinggi adalah pembantaian etnis (genocide), dan setelah itu, kejahatan terbesar kedua adalah Kejahatan Atas Kemanusiaan (crimes against humanity).

Ironis sekali, bahwa di negara yang telah melakukan kejahatan terbesar, genocide, dan kejahatan atas kemanusiaan, yaitu perbudakan, pembantaian massal seperti di Sulawesi Selatan dan Rawagede, menjadi tempat kedudukan lembaga-lembaga peradilan internasional, dan Menlunya bertepuk dada, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa di masa lalu. Satu bangsa yang mengalami amnesia dan pengingkaran kolektif!

Runtuhnya VOC. Penjajahan Pemerintah India-Belanda
Sejak tahun 1780-an terjadi peningkatan biaya dan menurunnya hasil penjualan, yang menyebabkan kerugian perusahaan dagang tersebut. Hal ini disebabkan oleh korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh para pegawai VOC di Asia Tenggara, dari pejabat rendah hingga pejabat tinggi, termasuk para residen. Misalnya beberapa residen Belanda memaksa rakyat untuk menyerahkan hasil produksi kepada mereka dengan harga yang sangat rendah, dan kemudian dijual lagi kepada VOC melalui kenalan atau kerabatnya yang menjadi pejabat VOC dengan harga yang sangat tinggi.

Karena korupsi, lemahnya pengawasan administrasi dan kemudian konflik dengan pemerintah Belanda sehubungan dengan makin berkurangnya keuntungan yang ditransfer ke Belanda karena dikorupsi oleh para pegawai VOC di berbagai wilayah, maka kontrak VOC yang jatuh tempo pada 31 Desember 1979 tidak diperpanjang lagi dan secara resmi dibubarkan tahun 1799. Setelah dibubarkan, plesetan VOC menjadi Vergaan Onder Corruptie (Hancur karena korupsi).

Setelah VOC dibubarkan, daerah-daerah yang telah menjadi kekuasaan VOC, diambil alih –termasuk utang VOC sebesar 134 juta gulden- oleh Pemerintah Belanda, sehingga dengan demikian politik kolonial resmi ditangani sendiri oleh Pemerintah Belanda. Yang menjalankan politik imperialisme secara sistematis, dengan tujuan menguasai seluruh wilayah, yang kemudian dijadikan sebagai daerah otonomi yang dinamakan India-Belanda (Nederlands-Indië) di bawah pimpinan seorang Gubernur Jenderal.

Gubernur Jenderal VOC terakhir, Pieter Gerardus van Overstraten (1797 – 1799), menjadi Gubernur Jenderal Pemerintah India-Belanda pertama (1800 – 1801).


Related Posts:

I. Negara Islam Mataram Melawan VOC


Banyak versi mengenai masa awal berdirinya kerajaan Mataram berdasarkan mitos dan legenda. Pada umumnya versi-versi tersebut mengaitkannya dengan kerajaan-kerajaan terdahulu, seperti Demak dan Pajang. Menurut salah satu versi, setelah Demak mengalami kemunduran, ibukotanya dipindahkan ke Pajang dan mulailah pemerintahan Pajang sebagai kerajaan. Kerajaan ini terus mengadakan ekspansi ke Jawa Timur dan juga terlibat konflik keluarga dengan Arya Penangsang dari Kadipaten Jipang Panolan. Setelah berhasil menaklukkan Aryo Penangsang, Sultan Hadiwijaya (1550-1582), raja Pajang memberikan hadiah kepada 2 orang yang dianggap berjasa dalam penaklukan itu, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi. Ki Ageng Pemanahan memperoleh tanah di Hutan Mentaok dan Ki Penjawi memperoleh tanah di Pati.

Pemanahan berhasil membangun hutan Mentaok itu menjadi desa yang makmur, bahkan lama-kelamaan menjadi kerajaan kecil yang siap bersaing dengan Pajang sebagai atasannya. Setelah Pemanahan meninggal pada tahun 1575 ia digantikan putranya, Danang Sutawijaya, yang juga sering disebut Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Sutawijaya kemudian berhasil memberontak pada Pajang. Setelah Sultan Hadiwijaya wafat (1582) Sutawijaya mengangkat diri sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senapati. Pajang kemudian dijadikan salah satu wilayah bagian daari Mataram yang beribukota di Kotagede. Senapati bertahta sampai wafatnya pada tahun 1601.

Selama pemerintahannya boleh dikatakan terus-menerus berperang menundukkan bupati-bupati daerah. Kasultanan Demak menyerah, Panaraga, Pasuruan, Kediri, Surabaya, berturut-turut direbut. Cirebon pun berada di bawah pengaruhnya. Panembahan Senapati dalam babad dipuji sebagai pembangun Mataram.

Senapati digantikan oleh putranya, Mas Jolang, yang bertahta tahun 1601-1613. Maas Jolang lebih dikenal dengan sebutan Panembahan Seda Krapyak. Pada masa pemerintahannya, dibangun taman Danalaya di sebelah barat kraton. Panembahan Seda Krapyak hanya memerintah selama 12 tahun Ia meninggal ketika sedang berburu di Hutan Krapyak.

Sultan Agung Melawan VOC
Selanjutnya bertahtalah Mas Rangsang, yang bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma. Di bawah pemerintahannya (tahun 1613-1645) Mataram mengalami masa kejayaan. Ibukota kerajaan Kotagede dipindahkan ke Kraton Plered. Sultan Agung merupakan raja yang menyadari pentingnya kesatuan di seluruh tanah Jawa. Daerah pesisir seperti Surabaya dan Madura ditaklukkan supaya kelak tidak membahayakan kedudukan Mataram. Ia pun merupakan penguasa lokal pertama yang secara besar-besaran dan teratur mengadakan peperangan dengan Belanda yang hadir lewat kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Kekuasaan Mataram pada waktu itu meliputi hampir seluruh Jawa, dari Pasuruan sampai Cirebon. Sementara itu VOC telah menguasai beberapa wilayah seperti di Batavia dan di Indonesia Bagian Timur.

Di samping dalam bidang politik dan militer, Sultan Agung juga mencurahkan perhatiannya pada bidang ekonomi dan kebudayaan. Upayanya antara lain memindahkan penduduk Jawa Tengah ke Kerawang, Jawa Barat, di mana terdapat sawah dan ladang yang luas serta subur. Sultan Agung juga berusaha menyesuaikan unsur-unsur kebudayaan Indonesia asli dengan Hindu dan Islam. Misalnya Garebeg disesuaikan dengan hari raya Idul Fitri dan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sejak itu dikenal Garebeg Puasa dan Garebeg Mulud. Pembuatan tahun Saka dan kitab filsafat Sastra Gendhing merupakan karya Sultan Agung yang lainnya.

Sultan Agung meninggal pada tahun 1645 dengan meninggalkan Mataram dalam keadaan yang kokoh, aman, dan makmur. Ia diganti oleh putranya yang bergelar Amangkurat I. Amangkurat I tidak mewarisi sifat-sifat ayahnya. Pemerintahannya yang berlangsung tahun 1645-1676 diwarnai dengasn banyak pembunuhan/kekejaman. Pada masa pemerintahannya ibukota kerajaan Mataram dipindahkan ke Kerta.

Pada tahun 1674 pecahlah Perang Trunajaya yang didukung para ulama dan bangsawan, bahkan termasuk putra mahkota sendiri. Ibukota Kerta jatuh dan Amangkurat I (bersama putra mahkota yang akhirnya berbalik memihak ayahnya) melarikan diri untuk mencari bantuan VOC. Akan tetapi sampai di Tegalarum, (dekat Tegal, Jawa Tengah) Amangkurat I jatuh sakit dan akhirnya wafat.

Ia digantikan oleh putra mahkota yang bergelar Amangkurat II atau dikenal juga dengan sebutan Sunan Amral. Sunan Amangkurat II bertahta pada tahun 1677-1703. Ia sangat tunduk kepada VOC demi mempertahankan tahtanya. Pada akhirnya Trunajaya berhasil dibunuh oleh Amangkurat II dengan bantuan VOC, dan sebagai konpensasinya VOC menghendaki perjanjian yang berisi: Mataram harus menggadaikan pelabuhan Semarang dan Mataram harus mengganti kerugian akibat perang.

Oleh karena Kraton Kerta telah rusak, ia memindahkan kratonnya ke Kartasura (1681). Kraton dilindungi oleh benteng tentara VOC. Dalam masa ini Amangkurat II berhasil menyelesaikan persoalan Pangeran Puger (adik Amangkurat II yang kelak dinobatkan menjadi Paku Buwana I oleh para pengikutnya). Namun karena tuntutan VOC kepadanya untuk membayar ganti rugi biaya dalam perang Trunajaya, Mataram lantas mengalami kesulitan keuangan. Dalam kesulitan itu ia berusaha ingkar kepada VOC dengan cara mendukung Surapati yang menjadi musuh dan buron VOC.

Hubungan Amangkurat II dengan VOC menjadi tegang dan semakin memuncak setelah Amangkurat II mangkat (1703) dan digantikan oleh putranya, Sunan Mas (Amangkurat III). Ia juga menentang VOC. Pihak VOC yang mengetahui rasa permusuhan yang ditunjukkan raja baru tersebut, maka VOC tidak setuju dengan penobatannya. Pihak VOC lantas mengakui Pangeran Puger sebagai raja Mataram dengan gelar Paku Buwana I. Hal ini menyebabkan terjadinya perang saudara atau dikenal dengan sebutan Perang Perebutan Mahkota I (1704-1708). Akhirnya Amangkurat III menyerah dan ia dibuang ke Sailan oleh VOC. Namun Paku Buwana I harus membayar ongkos perang dengan menyerahkan Priangan, Cirebon, dan Madura bagian timur kepada VOC.

Paku Buwana I meninggal tahun 1719 dan digantikan oleh Amangkurat IV (1719-1727) atau dikenal dengan sebutan Sunan Prabu , dalam pemerintahannya dipenuhi dengan pemberontakan para bangsawan yang menentangnya, dan seperti biasa VOC turut andil pada konflik ini, sehinggga konflik membesar dan terjadilah Perang Perebutan Mahkota II (1719-1723). VOC berpihak pada Sunan Prabu sehingga para pemberontak berhasil ditaklukkan dan dibuang VOC ke Sri Langka dan Afrika Selatan.

Sunan Prabu meninggal tahun 1727 dan diganti oleh Paku Buwana II (1727-1749). Pada masa pemerintahannya terjadi pemberontakan China terhadap VOC. Paku Buwana II memihak China dan turut membantu memnghancurkan benteng VOC di Kartasura. VOC yang mendapat bantuan Panembahan Cakraningrat dari Madura berhasil menaklukan pemberontak China. Hal ini membuat Paku Buwana II merasa ketakutan dan berganti berpihak kepada VOC. Hal ini menyebabkan timbulnya pemberontakan Raden Mas Garendi yang bersama pemberontak China menggempur kraton, hingga Paku Buwana II melarikan diri ke Panaraga. Dengan bantuan VOC kraton dapat direbut kembali (1743) tetapi kraton telah porak poranda yang memaksanya untuk memindahkan kraton ke Surakarta (1744).

Hubungan manis Paku Buwana II dengan VOC menyebabkan rasa tidak suka golongan bangsawan. Dengan dipimpin Raden Mas Said terjadilah pemberontakan terhadap raja. Paku Buwana II menugaskan adiknya, Pangeran Mangkubumi, untuk mengenyahkan kaum pemberontak dengan janji akan memberikan hadiah tanah di Sukowati (Sragen sekarang). Usaha Mangkubumi berhasil. Tetapi Paku Buwana II mengingkari janjinya, sehingga Mangkubumi berdamai dengan Raden Mas Said dan melakukan pemberontakan bersama-sama. Mulailah terjadi Perang Perebutan Mahkota III (1747-1755).

Paku Buwana II dan VOC tak mampu menghadapi 2 bangsawan yang didukung rakyat tersebut, bahkan akhirnya Paku Buwana II jatuh sakit dan wafat (1749). Namun menurut pengakuan Hogendorf, Wakil VOC Semarang saat sakratul maut Paku Buwana II menyerahkan tahtanya kepada VOC. Sejak saat itulah VOC merasa berdaulat atas Mataram. Atas inisiatif VOC, putra mahkota dinobatkan menjadi Paku Buwana III (1749).

Pengangkatan Paku Buwana III tidak menyurutkan pemberontakan, bahkan wilayah yang dikuasai Mangkubumi telah mencapai Yogya, Bagelen, dan Pekalongan. Namun justru saat itu terjadi perpecahan anatara Mangkubumi dan Raden Mas Said. Hal ini menyebabkan VOC berada di atas angin. VOC lalu mengutus seorang Arab dari Batavia (utusan itu diakukan VOC dari Tanah Suci) untuk mengajak Mangkubumi berdamai.

Ajakan itu diterima Mangkubumi dan terjadilah apa yang sering disebut sebagai Palihan Nagari atau Perjanjian Giyanti (1755). Isi perjanjian tersebut adalah: Mataram dibagi menjadi dua. Bagian barat dibagikan kepada Pangeran Mangkubumi yang diijinkan memakai gelar Hamengku Buwana I dan mendirikan kraton di Yogyakarta. Sedangkan bagian timur diberikan kepada Paku Buwana III.

Mulai saat itulah Mataram dibagi dua, yaitu Kasultanan Yogyakarta dengan raja Sri Sultan Hamengku Buwana I dan Kasunanan Surakarta dengan raja Sri Susuhunan Paku Buwana III.


Related Posts:

H. Data Historis VOC di Indonesia


Hindia-Belanda pada abad ke-17 dan 18 tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur Belanda (bahasa Belanda: Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC). VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta.

Tujuan utama VOC adalah mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Hal ini dilakukan melalui penggunaan dan ancaman kekerasan terhadap penduduk di kepulauan-kepulauan penghasil rempah-rempah, dan terhadap orang-orang non-Belanda yang mencoba berdagang dengan para penduduk tersebut. Contohnya, ketika penduduk Kepulauan Banda terus menjual biji pala kepada pedagang Inggris, pasukan Belanda membunuh atau mendeportasi hampir seluruh populasi dan kemudian mempopulasikan pulau-pulau tersebut dengan pembantu-pembantu atau budak-budak yang bekerja di perkebunan pala.

VOC menjadi terlibat dalam politik internal Jawa pada masa ini, dan bertempur dalam beberapa peperangan yang melibatkan pemimpin Mataram dan Banten.

Abad ke-17
* Maret 1602 – Belanda berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah dengan membentuk suatu kongsi dagang bernama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie).

* 1603 – VOC telah membangun pusat perdagangan pertama yang tetap di Banten namun tidak menguntungkan kerena persaingan dengan para pedagang Tionghoa dan Inggris.

* Februari 1605 – Armada VOC bersekutu dengan Hitu menyerang kubu pertahanan Portugis di Ambon dengan imbalan VOC berhak sebagai pembeli tunggal rempah-rempah di Hitu.

* 1602 – Sir James Lancaster kembali ditunjuk memimpin pelayaran yang armada berisi orang-orang The East India Company dan tiba di Aceh untuk selanjutnya menuju Banten.

* 1604 – Pelayaran yang ke-2 maskapai Inggris yang dipimpin oleh Sir Henry Middleton, maskapai ini berhasil mencapai Ternate, Tidore, Ambon dan Banda. Akan tetapi di wilayah yang mereka kunjungi ini mendapat perlawanan yang keras dari VOC.

* 1609 – VOC membuka kantor dagang di Sulawesi Selatan namun niat tersebut dihalangi oleh raja Gowa. Raja Gowa tersebut melakukan kerjasama dengan pedagang-pedagang Inggris, Prancis, Denmark, Spanyol dan Portugis.

* 1610 – Ambon dijadikan pusat VOC, dipimpin seorang-gubernur jendral. Tetapi selama 3 orang gubernur-jendral, Ambon tidak begitu memuaskan untuk dijadikan markas besar karena jauh dari jalur-jalur utama perdagangan Asia.

* 1611 – Inggris berhasil mendirikan kantor dagangnya di bagian Indonesia lainnya, di Sukadana (Kalimantan barat daya), Makassar, Jayakerta, Jepara, Aceh, Priaman, Jambi.

* 1618 – Des Banten mengambil keputusan untuk menghadapi Jayakarta dan VOC dengan memaksa Inggris untuk membantu, dipimpin laksamana Thomas Dale.

* 1619 – Ketika VOC akan menyerah pada Inggris, secara tiba-tiba muncul tentara Banten menghalangi maksud Inggris. Karena Banten tidak mau pos VOC di Batavia diisi oleh Inggris. Akibatnya Thomas Dale melarikan diri dengan kapalnya; Banten menduduki kota Batavia.

* 12 Mei 1619 – Pihak Belanda mengambil keputusan untuk memberi nama baru Jayakarta sebagai Batavia.

* Mei 1619 – Jan Pieterszoon Coen, seorang Belanda, melakukan pelayaran ke Banten dengan 17 kapal.

* 30 Mei 1619 – Jan Pieterszoon Coen melakukan penyerangan terhadap Banten, memukul mundur tentara Banten. Membangun Batavia sebagai pusat militer dan administrasi yang relatif aman bagi pergudangan dan pertukaran barang-barang, karena dari Batavia mudah mencapai jalur-jalur perdagangan ke Indonesia bagian timur, timur jauh, dari Eropa.

* 1619 – Jan Pieterszoon Coen ditunjuk menjadi gubernur-jendral VOC. Dia menggunakan kekerasan, untuk memperkokoh kekuasaannya dia menghancurkan semua yang merintangi. Dan menjadikan Batavia sebagai tempat bertemunya kapal-kapal dagang VOC.

* 1619 – Terjadi migrasi orang Tionghoa ke Batavia. VOC menarik sebanyak mungkin pedagang Tionghoa yang ada di berbagai pelabuhan seperti Banten, Jambi, Palembang dan Malaka ke Batavia. Bahkan ada juga yang langsung datang dari Tiongkok. Di sini orang-orang Tionghoa sudah menjadi suatu bagian penting dari perekonomian di Batavia. Mereka aktif sebagai pedagang, penggiling tebu, pengusaha toko, dan tukang yang terampil.

* 1620 – Atas dasar pertimbangan diplomatik di Eropa VOC terpaksa bekerjasama dengan pihak Inggris dengan memperbolehkan Inggris mendirikan kantor dagang di Ambon.

* 1620 – Dalam rangka mengatasi masalah penyeludupan di Maluku, VOC melakukan pembuangan, pengusiran bahkan pembantaian seluruh penduduk Pulau Banda dan berusaha menggantikannya dengan orang-orang Belanda pendatang dan mempekerjakan tenaga kerja kaum budak.

* 1623 – VOC melanggar kerjasama dengan Inggris, Belanda membunuh 12 agen perdagangan Inggris, 10 orang Inggris, 10 orang Jepang; 1 orang Portugis dipotong kepalanya.

* 1630 – Belanda telah mencapai banyak kemajuan dalam meletakkan dasar-dasar militer untuk mendapatkan hegemoni perniagaan laut di Indonesia.

* 1637 – VOC yang telah beberapa lama di Maluku tidak mampu memaksakan monopoli atas produksi pala, bunga pala, dan yang terpenting, cengkeh. Penyeludupan cengkeh semakin berkembang, muncul banyak komplotan-komplotan yang anti dengan VOC. Gubernur-Jendral Antonio van Diemen melancarkan serangan terhadap para penyeludup dan pasukan-pasukan Ternate di Hoamoal.

* 1638 – Van Diemen kembali ke Maluku dan berusaha membuat persetujuan dengan raja Ternate dimana VOC bersedia mengakui kedaulatan raja Ternate atas Seram, Hitu serta menggaji raja sebesar 4.000 real/tahun dengan imbalan bahwa penyeludupan cengkeh akan dihentikan dan VOC diberi kekuasaan de facto atas Maluku. Akan tetapi persetujuan ini gagal.

* 1643 – Arnold de Vlaming mengambil kesempatan kekalahan Ternate dengan memaksa raja Ternate Mandarsyah ke Batavia dan menandatangani perjanjian yang melarang penanaman pohon cengkeh di semua wilayah kecuali Ambon atau daerah lain yang dikuasai VOC. Hal ini disebabkan pada masa itu Ambon mampu menghasilkan cengkeh melebihi kebutuhan untuk konsumsi dunia.

* 1656 – Seluruh penduduk Ambon yang tersisa dibuang. Semua tanaman rempah-rempah di Hoamoal dimusnahkan dan akibatnya daerah tersebut tidak didiami manusia kecuali jika ekspedisi Hongi (armada tempur) melintasi wilayah itu untuk mencari pohon-pohon cengkeh liar yang harus dimusnahkan.

* 1660 – Armada VOC yang terdiri dari 30 kapal menyerang Gowa, menghancurkan kapal-kapal Portugis.

* Agustus-Desember 1660 – Sultan Hasanuddin, raja Gowa dipaksa menerima persetujuan perdamaian dengan VOC, namun persetujuan ini tidak berhasil mengakhiri permusuhan.

* 18 November 1667 – Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani perjanjian Bongaya, akan tetapi Hasanuddin kembali mengobarkan pertempuran.

* April 1668 dan Juni 1669 – VOC melakukan serangan besar-besaran terhadap Goa dan setelah pertempuran ini perjanjian Bongaya benar-benar dilakukan.

* 1669 – Kondisi keadaan Nusantara bagian timur bertambah kacau, kehidupan ekonomi dan administrasi tidak terkendalikan lagi.

* 1670 – VOC telah berhasil melakukan konsolidasi kedudukannya di Indonesia Timur. Pihak Belanda masih tetap menghadapi pemberontakan-pemberontakan tetapi kekuatannya tidak begitu besar.

* 1670 – VOC menebangi tanaman rempah-rempah yang tidak dapat diawasi, Hoamoal tidak dihuni lagi, orang Bugis dan Makassar meninggalkan kampung halamannya. Banyak orang-orang Eropa dan sekutu-sekutu yang tewas, semata-mata guna mencapai tujuan VOC untuk memonopoli rempah-rempah.

* 1674 – Pulau Jawa dalam keadaan yang memprihatinkan, kelaparan merajalela, berjangkit wabah penyakit, gunung merapi meletus, gempa bumi, gerhana bulan, dan hujan yang tidak turun pada musimnya.

* 1680 – Di Jawa Barat, kerajaan Banten pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa mengalami masa kejayaannya, Banten memiliki suatu armada yang dibangun menurut model Eropa. Kapal-kapalnya berlayar memakai surat jalan menyelenggarakan perdagangan yang aktif di Nusantara. Atas bantuan pihak Inggris, Denmark, Tiongkok orang-orang Banten dapat berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Tiongkok, Filipina dan Jepang. Banten merupakan penghasil lada yang sangat kaya.

* 1680 – VOC pada dasarnya hanya terbatas menguasai dataran-dataran rendah tertentu saja di Jawa. daerah pegunungan seringkali tidak berhasil dikuasai dan daerah ini dijadikan tempat persembunyian pemberontak. Tidak dapat dihindarkan lagi pemberontakan-pemberontakan mengakibatkan kesulitan dan menguras dana VOC.

* 1682 – Pasukan VOC dipimpin Francois Tack dan Isaac de Saint Martin berlayar menuju Banten guna menguasai perdagangan di Banten. VOC merebut dan memonopoli perdagangan lada di Banten. Orang-orang Eropa yang merupakan saingan VOC diusir. Orang-orang Inggris mengundurkan diri ke Bengkulu dan Sumatera Selatan satu-satunya pos mereka yang masih ada di Indonesia.

* 1683-1710 – VOC mengalami masalah keuangan yang sangat berat di wilayah Asia selama kurun waktu tersebut. Di antara 23 kantornya hanya tiga (Jepang, Surat dan Persia) yang mampu memberikan keuntungan; sembilan menunjukkan kerugian setiap tahun termasuk Ambon, Banda, Ternate, Makassar, Banten, Cirebon dan wilayah pesisir Jawa. VOC banyak mengeluarkan biaya-biaya yang sangat tinggi akibat pemberontakan di samping pengeluaran pribadi VOC yang tidak efesien, kebejatan moral, korupsi yang merajalela. VOC juga menuntut semakin banyak kepada rakyat Jawa, yang mengakibatkan pemberontakan yang terus berlanjut dan pengeluaran VOC bertambah tinggi.

* 1684 – Gubernur-Jendral Speelman meninggal. Terbongkarlah korupsi dan penyalah gunaan kekuasaan. Konon Speelman memerintah tanpa menghiraukan nasihat Dewan Hindia dan banyak melakukan pembayaran dengan uang VOC yang pada dasarnya tidak pernah ada untuk pekerjaan yang tidak pernah dilakukan. Selama masa kekuasaan Speelmen jumlah penjualan tekstil menurun 90%, monopoli candu tidak efektif. Speelman juga banyak melakukan penggelapan uang negara dan pada 1685 semua penunggalan Speelman disita negara.

* 8 Februari 1686 – Dengan tipu muslihat Surapati berhasil membunuh Fran�ois Tack dalam suatu pertempuran. Tack tewas dengan dua puluh luka di tubuhnya.

* 1690 – Belanda berusaha membalas kekalahan yang dialami Tack tetapi gagal karena Surapati menguasai teknik-teknik militer Eropa dengan baik.

Abad ke-18
* 1702 – Jumlah kekuatan serdadu militer Belanda yang berkebangsaan Eropa hanya tinggal sedikit. Administrasi VOC kacau balau

* 1706 – Surapati terbunuh di Bangil.

* 1721 – VOC mengumumkan apa yang dinamakan komplotan orang-orang Islam yang bermaksud melakukan pembunuhan terhadap orang-orang Eropa di Batavia dan juga orang-orang Tionghoa.

* 1722 – Perlakuan terhadap orang-orang Tionghoa bertambah kejam dan korup. Walaupun demikian jumlah orang Tionghoa bertambah dengan pesat. VOC melakukan sistem kuota untuk membatasi imigrasi, tetapi kapten-kapten kapal Tionghoa mampu menghindarinya dengan bantuan dari pejabat VOC yang korupsi. Kebanyakan orang-orang Tionghoa pendatang yang tidak memperoleh pekerjaan sebagian besar mereka bergabung menjadi gerombolan-gerombolan penjahat di sekitar Batavia.

* 1727 – Posisi ekonomi orang Tionghoa makin penting di satu pihak dan sering terjadinya kejahatan oleh orang Tionghoa, menimbulkan perasaan tidak senang terhadap orang Tionghoa. Rasa tidak senang menjadi semakin tebal di kalangan warga bebas, kolonis-kolonis Belanda yang tidak dapat menandingi orang Tionghoa. Timbullah kemudian rasa permusuhan dan sikap rasialis terhadap orang Tionghoa.

* 1727 – Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan peraturan bahwa semua orang Tionghoa yang telah tinggal 10 sampai 12 tahun di Batavia dan belum memiliki surat izin akan dikembalikan ke Tiongkok.
* 1729 – Pemerintah kolonial memberikan kesempatan selama 6 bulan kepada orang Tionghoa untuk mengajukan permohonan izin tinggal di Batavia dengan membayar 2 ringgit.

* 1730 – Dikeluarkan larangan bagi orang Tionghoa untuk membuka tempat penginapan, tempat pemadatan candu dan warung baik di dalam maupun di luar kota.

* 1736 – Pemerintah kolonial mengadakan pendaftaran bagi semua orang Tionghoa yang tidak memiliki surat izin tinggal.

* 1740 – Terdapat 2.500 rumah orang Tionghoa di dalam tembok Batavia sedangkan jumlah orang Tionghoa di kota dan daerah sekitarnya diperkirakan 15.000 jiwa. Jumlah ini setidak-tidaknya merupakan 17% dari keseluruhan penduduk di daerah terebut. Ada kemungkinan bahwa orang-orang Tionghoa sebenarnya merupakan unsur penduduk yang lebih besar jumlahnya. Ada pula orang-orang Tionghoa di kota-kota pelabuhan Jawa dan Kartasura walaupun jumlahnya hanya sedikit.

* 1740 – Terjadi penangkapan terhadap orang Tionghoa, tidak kurang 1.000 orang Tionghoa dipenjarakan. Orang Tionghoa menjadi gelisah lebih-lebih setelah sering terjadi penangkapan, penyiksaan, dan perampasan hak milik Tionghoa.

* 4 Februari 1740 – Segerombolan orang Tionghoa melakukan pemberontakan dan penyerbuan pos penjagaan untuk membebaskan bangsanya yang ditahan.

* Juni 1740 – Kompeni Belanda mengeluarkan lagi peraturan bahwa semua orang Tionghoa yang tidak memiliki izin tinggal akan ditangkapdan diangkut ke Sailan. Peraturan ini dilaksanakan dengan sewenang-wenang.

* September 1740 – Tersiar berita bahwa segerombolan orang Tionghoa di daerah pedesaan sekitar Batavia bergerak mendekati pintu gerbang Batavia. Mr. Cornelis di Tangerang dan de Qual di Bekasi, memerintahkan memperkuat pos-pos penjagaan.

* 7 Oktober 1740 – Pasukan bantuan yang dikirim ke Tangerang oleh pemerintah kolonial diserang oleh gerombolan Tionghoa, sebagian besar dari pasukan tersebut tewas.

* Oktober 1740 – Berdasarkan bukti yang didapatkan VOC menarik kesimpulan bahwa orang-orang Tionghoa sedang merencanakan sebuah pemberontakan.

* 8 Oktober 1740 – Kompeni Belanda mengeluarkan maklumat, antara lain perintah menyerahkan senjata kepada kompeni. Jam malam diadakan.

* 9 Oktober 1740 – Dimulainya pembunuhan terhadap orang Tionghoa secara besar-besaran. Yang banyak melakukan pembunuhan ini adalah orang-orang Eropa dan para budak. Dan pada akhirnya ada sekitar 10.000 orang Tionghoa yang tewas. Perkampungan orang Tionghoa dibakar selama beberapa hari. Kekerasan ini berhenti setelah orang Tionghoa memberikan uang premi kepada serdadu-serdadu VOC guna melakukan tugasnya yang rutin.

* 10 Oktober 1740 – Pertahanan kompeni Belanda di Tangerang diserang oleh sekitar 3.000 orang pemberontak Tionghoa.

* Mei 1741 – Orang-orang Tionghoa yang berhasil lolos dari pembantaian di Batavia melarikan diri ke arah timur menyusur sepanjang daerah pesisir. Mereka melakukan perebutan pos di Juwana. Markas besar VOC dikepung dan pos-pos lainnya terancam.

* Juli 1741 – Pos VOC di Rembang dihancurkan oleh orang-orang Tionghoa yang membantai seluruh personel VOC.

* Juli 1741 – Prajurit raja yang berada di Kartasura menyerang pos garnisun VOC. Komandan VOC Kapten Johannes van Velsen dan beberapa serdadu lainnya tewas. Serdadu yang selamat ditawari pilihan beralih ke agama Islam atau mati dan banyak yang memilih pindah agama.

* November 1741 – Pakubuwana II mengirim pasukan artileri ke Semarang. Pasukan prajurit-prajurit tersebut bersatu dengan orang Tionghoa melakukan pengepungan terhadap pos VOC. Pos VOC di Semarang ini dikepung oleh kira-kira 20.000 orang Jawa dan 3.500 orang Tionghoa dengan 30 pucuk meriam. Orang Jawa dan Tionghoa bersatu melawan kompeni Belanda.

* Desember 1741-awal 1742 – VOC merebut kembali daerah-daerah lain yang terancam serangan.

* 13 Februari 1755 – VOC menandatangani Perjanjian Giyanti. Isinya VOC mengakui Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwana I, penguasa separuh wilayah Jawa Tengah.

* September 1789 – Belanda mendengar desas-desus bahwa raja Jawa akan melakukan pembunuhan terhadap orang-orang Eropa, sehingga mengutus seorang residen yang bernama Andries Hartsick dengan memakai pakaian Jawa menghadiri pertemuan rahasia di Istana Jawa.

* 1 Januari 1800 – VOC secara resmi dibubarkan, didirikan Dewan untuk urusan jajahan Asia. Belanda kalah perang dan dikuasai Perancis. Wilayah-wilayah yang dimiliki Belanda menjadi milik Perancis.


Related Posts:

G. Indonesia dan VOC


Indonesia dan VOC (Verenigde Oostindische Compagnie)

(Penulis; Abdul Irsan; Dubes RI untuk Kerajaan Belanda tahun 2002.. tulisan ini dalam peringatan 400 tahun VOC (1602-2002)

Pada abad ke-16 Portugis dan Spanyol menguasai pelayaran ke Asia serta menguasai perdagangan rempah-rempah antara Asia dengan Eropa, khususnya perdagangan lada. Dalam perkembangan selanjutnya di Eropa, Raja Portugal memiliki kekuasaan tunggal atas pengangkutan dan pembelian hasil bumi dari Asia. Semua kontrak jual beli hasil bumi ditentukan harganya oleh Raja Portugal. Orang-orang Belanda yang dikenal sebagai pedagang merasa dirugikan oleh tindakan Portugal tersebut, dan akhirnya berusaha mencari jalan sendiri untuk menghindari monopoli perdagangan Portugal.

Atas inisiatif Staten-Generaal (semacam Dewan Rakyat) pada tanggal 20 Maret 1602 didirikan perusahaan dagang VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) di Amsterdam, yang kemudian berkembang di berbagai kota lainnya. Para pedagang besar Belanda sebagai pemegang sahamnya. Dalam waktu hanya lima tahun VOC memiliki 15 armada yang terdiri dari 65 kapal yang memulai pelayarannya dari pelabuhan-pelabuhan Rotterdam, Amsterdam, Middelburg, Vlissingen, Veere, Delft, Hoorn dan Enkhuizen.

Sebelum terbentuknya VOC, ekspedisi Belanda pertama ke Asia telah melakukan tiga kali pelayaran antara tahun 1594 – 1596 namun mengalami kegagalan. Para pelaut banyak yang jatuh sakit karena keracunan makanan yang sudah membusuk. Kapal pertama Belanda mendarat di Banten tahun 1596, tetapi tidak mendapat rempah-rempah seperti yang diharapkan. Pelayaran selanjutnya ke Maluku (kapal “De Houtman” dan “Van Beuningen”) mengalami kegagalan juga, karena terjadi bentrokan fisik antara awak kapal dengan penduduk setempat sehingga banyak pelautnya yang mati. Pada tahun 1597 tiga dari empat kapal kembali ke Belanda dan dari 249 awak kapal hanya tinggal 90 orang yang masih hidup. Ekspedisi kedua dilakukan pada tahun 1598 dengan 8 buah kapal dibawah komando kapten kapal van Neck dan van Warwijk yang berhasil membawa rempah-rempah dalam jumlah besar dari kepulauan Maluku terutama dari Banda, Ambon dan Ternate.

VOC merupakan perusahaan multinasional yang pertama di dunia yang tersebar di banyak negara, dan dalam melaksanakan kegiatan perdagangannya tidak segan-segan melakukan tindakan-tindakan yang tidak beradab, termasuk pembunuhan terhadap penduduk dan memperlakukan penduduk asli sebagai budak tanpa rasa perikemanusiaan khususnya di Indonesia.

Persaingan antara Belanda dan Portugis dalam perdagangan rempah-rempah di kepulauan Maluku berakhir ketika Belanda berhasil membangun permukiman tetap dengan mengusir Portugal pada tgl 23 Februari 1605. Secara umum dapatlah dikatakan bahwa Belanda berhasil menggantikan posisi Portugal mendapatkan sumber hasil bumi dari kepulauan Nusantara. Selama dua abad menguasai bumi Indonesia, VOC telah bertindak dan memerintah dengan menggunakan kekuasaan militer menekan dan mengadu-domba kerajaan-kerajaan setempat, memberlakukan hukumnya sendiri di seluruh Indonesia, memiliki pengadilan sendiri dan melakukan perdagangan monopoli yang sangat merugikan rakyat.

Bagi Belanda VOC merupakan kenyataan sejarah yang membanggakan karena memberi nilai tambah yang tidak kecil kepada rakyat Belanda, dan karena alasan itu Kementerian Pendidikan Belanda memprakarsai peringatan dan perayaan 400 tahun VOC secara nasional yang pelaksanaannya dilakukan oleh swasta di seluruh negeri. VOC juga dianggap telah membawa kemakmuran serta kekayaan kultur bagi negara Belanda, bahkan dianggap membawa cakrawala baru karena berhasil “menguasai” kawasan-kawasan dunia baru. VOC dinilai berhasil mendorong berbagai perkembangan kemasyarakatan, dan dengan mengarungi lautan telah memperkaya bangsa Belanda belajar tentang bangsa-bangsa lain. Untuk itu generasi muda Belanda harus mengetahui tentang apa arti dan bagaimana perwujudan VOC sebagai bagian dari karya nyata dan kejayaan bangsa Belanda di masa lalu. Peringatan dan perayaan 400 tahun VOC akan dilakukan di 6 kota dan dipusatkan di Ridderzaal melalui pameran dan penyediaan informasi tentang VOC sepanjang tahun 2002. Pihak Belanda telah melakukan pendekatan kepada pemerintah Afrika Selatan, Sri Lanka dan India agar ikut serta mengambil bagian memperingat dan merayakan 400 tahun VOC. Karena dianggap akan mengandung kepekaan politik, panita VOC tidak mengajak Indonesia, walaupun Belanda menyadari bahwa sebagian besar kegiatan dan keuntungan yang diraup VOC justru berasal dari Indonesia.

Pandangan terhadap peran VOC di Indonesia
Dr Gerrit Knaap dari KITLV (Belanda), dalam tulisannya berjudul “Dutch Perception of Indonesian History, Anno 2001” dalam sarasehan mengenai sejarah hubungan Indonesia-Belanda di KBRI Den Haag pada bulan Agustus 2001, a.l. mengatakan “Personally, I fully agree to the fact that the VOC in Indonesia was nothing more and nothing less than a colonial state. This was already imminent in the charter by which the VOC was founded in 1602, where it was stipulated by the government that this company not only should be the exclusive Dutch Organization to trade in the area between Cape of Good Hope and Cape Hoorn, but that also possessed the right to wage war, make peace and built fortress in that area. War, peace and fortress are attributes of a state, not of a trader.” Selanjutnya Dr Knaap menambahkan dalam tulisan yang sama bahwa … “the VOC as such is an organization with two faces, that of the merchant and that of the statesman”. Bahkan dia mengkhawatirkan tentang adanya sikap orang-orang di Belanda bahwa seolah-olah VOC hanya melaksanakan perdagangan saja di Indonesia, karena berarti orang-orang tersebut samasekali tidak tahu tentang sejarah yang sebenarnya.

Dr Anhar Gonggong sejarawan Indonesia, dalam kesempatan yang sama, a.l. mengatakan bahwa VOC merupakan simbol dari kehendak Belanda untuk mendapatkan keuntungan ekonomi-perdagangan sekaligus perluasan wilayah kolonialnya. Dr Anhar Gonggong menyitir pendapat Dr Verkuyl yang mengatakan : “Selama pemerintahan VOC, yang merupakan suatu kongsi dagang monopolistis yang dipersenjatai, yang memiliki kedaulatan atas wilayah-wilayah tertentu yang diperolehnya dengan merampas”.Apa yang dilakukan VOC di Indonesia, menurut Dr Anhar Gonggong merupakan tindakan awal dari kekuatan-kekuatan imperialis-kolonialistik. Dengan perkataan lain merupakan proses awal penancapan kekuasaan kolonialistik yang didorong oleh motif ekonomi-merkantil. Motif ini hanya bisa berhasil kalau didukung oleh pemerintah Belanda dengan memberi bantuan militer.

Sementara ilmuwan Belanda maupun Indonesia cukup banyak yang memiliki kesimpulan sama tentang peran VOC di Indonesia pada abad ke 16 dan 17 yaitu tidak terlepas dari politik kolonialisme Belanda, namun di pihak lain sampai sekarang masih cukup banyak pihak-pihak di Belanda yang beranggapan bahwa kolonialisme Belanda di Indonesia memiliki misi khusus, yang mereka sebutkan sebagai “misi suci” a.l. untuk :

1. men-civilized-kan orang-orang Indonesia yang masih primitif;
2. memberi kemakmuran kepada orang-orang Indonesia yang masih terbelakang,
3. mempersatukan orang-orang Indonesia yang selalu berkelahi antar mereka,
4. memberi pendidikan dan kemajuan rakyat Indonesia, dan
5. kedatangan VOC ke Indonesia semata-mata untuk berdagang saja.

Sikap pandang bangsa Indonesia terhadap peringatan 400 tahun VOC
Masalah peringatan maupun perayaan 400 tahun VOC merupakan urusan orang Belanda sendiri dan merupakan haknya untuk memperingatinya dan tidak ada hubungannya dengan kepentingan langsung bangsa Indonesia. Belanda sendiri yang mengakui bahwa peringatan itu mengandung kepekaan politik bagi Indonesia, yang sebenarnya secara eksplisit sebagai suatu pengakuan bahwa kehadiran VOC di Indonesia tidak disukai rakyat Indonesia. Pihak Belanda tidak pernah melakukan pendekatan formal kepada Indonesia untuk ikut memperingati atau merayakan 400 tahun VOC, walaupun berdasarkan informasi ada pihak-pihak swasta di Indonesia yang “bersedia” melakukannya demi aliran bantuan yang diberikan oleh pihak Belanda.

Bangsa Indonesia hendaknya melihat VOC sebagai bagian dari kolonialisme Belanda di Indonesia, dan Undang Undang Dasar Republik Indonesia secara tegas menentang kolonialisme dalam bentuk apapun. Persoalan yang kita hadapi adalah tentang kewajaran dan kepantasan bagi bangsa Indonesia untuk ikut meramaikan peringatan atau perayaan 400 tahun VOC di bumi Indonesia sendiri, sementara kita tahu dan sadar bahwa kehadiran VOC di Indonesia telah memakan banyak korban harta dan jiwa rakyat Indonesia serta merupakan bagian dari kekuasaan kolonialistik.

Salah satu keberhasilan dan kesuksesan VOC menguasai seluruh wilayah Indonesia adalah melalui kemampuannya memanfaatkan sikap bangsa kita yang mudah diadu-domba karena keragaman etnis, dan juga menggunakan penguasa bangsa Indonesia sendiri untuk menekan rakyatnya. Apakah bangsa kita sekarang ini masih mau dan bersedia untuk terus dijadikan ajang adu-domba demi membela kepentingan asing, tentunya bangsa kita sendiri yang dapat menjawabnya. Perbedaan intern yang menimbulkan pertentangan bahkan konflik antar kita merupakan kelemahan yang harus kita akui, dan untuk menanggulanginya hanya dapat oleh kemauan kita sendiri.

Dengan dalih mengapa kita harus menghilangkan kesempatan menikmati bantuan, masih ada orang-orang di Indonesia yang berpendapat bahwa menolak untuk ikut memperingati 400 tahun VOC sebagai tingkah “pahlawan kesiangan” karena persoalan VOC sudah merupakan persoalan masa lalu. Masa lalu memang tidak perlu diungkit kembali apalagi kalau diikuti dengan pembalasan dendam, tetapi penglihatan terhadap masa lalu hendaknya juga tidak menghilangkan perasaan pengorbanan dan penderitaan rakyat terhadap kekuasaan asing yang lalim, seperti perasaan bangsa Belanda terhadap penjajahan Jerman.

Keinginan dan maksud Belanda untuk membangun kembali monumen kehadirannya di Indonesia pada masa-masa lalu tentunya perlu kita sambut, tetapi hendaknya pembangunan tidak dikaitkan dengan peringatan 400 tahun VOC. Keinginan membangun monumen Belanda itupun perwujudannya harus pula berimbang, karena bukan hanya kemegahan gedung secara fisik saja yang harus diperhatikan tetapi juga tempat-tempat dimana pihak Belanda pernah menyiksa bangsa Indonesia perlu dipertontonkan. Hal ini perlu diketahui oleh generasi muda di Indonesia dan Belanda, sebagai suatu pelajaran agar segala macam penindasan tidak terulang lagi.

Keadaan sudah berubah dan hubungan Indonesia dengan Belanda sudah semakin baik dan bangsa Belanda sudah menjadi sahabat bangsa Indonesia, apalagi masyarakat Belanda telah membantu ketika Indonesia sedang dalam keadaan sulit. Namun tentunya kita tidak perlu meninggalkan prinsip kita sendiri terhadap kolonialisme. Persahabatan adalah persahabatan, sedangkan prinsip adalah tetap prinsip. Kehadiran Belanda di bumi Indonesia adalah suatu kenyataan sejarah, dan sejarah hubungan kedua bangsa dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu yang buruk dan yang baik bagi keduabelah pihak.. Yang buruk harus dijadikan peringatan untuk tidak diulang lagi, sementara yang baik kalau perlu dapat kita sempurnakan. Generasi baru di Indonesia dan Belanda perlu mengerti perjalanan sejarah hubungan kedua bangsa sebagai monumen yang memiliki dua dimensi tersebut, untuk dapat dijadikan pelajaran positif agar tidak terulang kembali peristiwa yang pernah menyakitkan salah satu pihak.


Related Posts:

F. Sejarah Nama Indonesia


Pada zaman purba, kepulauan tanah air disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan tanah air dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa Indoa menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.

Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. Dalam bahasa Arab juga dikenal Samathrah (Sumatra), Sholibis (Sulawesi), Sundah (Sunda), semua pulau itu dikenal sebagai kulluh Jawi (semuanya Jawa).

Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah “Hindia“. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”. Sedangkan tanah air memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais).

Pada jaman penjajahan Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur).

Eduard Douwes Dekker ( 1820 – 1887 ), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” ( Bahasa Latin insula berarti pulau). Nama Insulinde ini kurang populer.

Nusantara
Pada tahun 1920, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker ( 1879 – 1950), yang dikenal sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik Multatuli), memperkenalkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “India”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh JLA. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.

Pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit, Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam Bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Sumpah Palapa dari Gajah Mada tertulis “Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat).
Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.

Sampai hari ini istilah nusantara tetap dipakai untuk menyebutkan wilayah tanah air dari Sabang sampai Merauke.

Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan ( 1819 – 1869 ), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Ingris, George Samuel Windsor Earl ( 1813 – 1865 ), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.

Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis:

“… the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians“.

Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon ( Srilanka ) dan Maladewa. Earl berpendapat juga bahwa nahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.

Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.

Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan:

“Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago“.

Ketika mengusulkan nama “Indonesia” agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.

Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826 – 1905 ) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu dari tulisan-tulisan Logan.

Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat ( Ki Hajar Dewantara ). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.

Nama indonesisch (Indonesia) juga diperkenalkan sebagai pengganti indisch (Hindia) oleh Prof. Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander (pribumi) diganti dengan indonesiër (orang Indonesia).
Identitas Politik

Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.

Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya,:

“Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”

Di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924). Pada tahun 1925, Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “Indonesia”. Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.

Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Hindia Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie”. Tetapi Belanda menolak mosi ini.

Dengan jatuhnya tanah air ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia Belanda”. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, lahirlah Republik Indonesia.


Related Posts:

E. Kisah Perbudakan di Batavia


“Sjahadan antara boedak-boedaknya Toean Van Der Ploegh, ada djoega satoe orang prampoean moeda, Rossina namanja jang teramat tjantik dan manis parasnja, dan dalem antero bilangan Betawi tiada ada lagi seorang prampoean jang boleh disamaken padanya. Maskipoen Rossina asal toeroenannja orang Bali, koelitnya tiada hitem, malahan poetih koening sebagai koelit langsep. Oemoernja moeda sekali, belon anem belas taoen.

Apabila Njonja Van der Ploegh pergi melantjong atau pergi di gredja, Rossina selamanja di adjak boeat bawa tempat siri. Dimana tempat ia liwat, senantiasa Rossina dipandeng dan dipoedji orang kerna eloknya. Pakeannya tiada sebrapa bagoes, sedang sadja, jaitoe badjoe koeroeng poetih pendek sampai diwates pinggang dan kain batik, aken tetapi pinggangnja jang langsing ada teriket dengan pending mas, taboer berliant.

Ramboetnja, jang item moeloes dan pandjang sampe dimata kaki, selamanja dikondei sadja di betoelan leher. Ramboet ini biasanja digaboeng dan terhias dengan brapa toesoek kondei mas bermata berliant. Semoea barang mas inten ini soedah tentoe boekan poenjanja si Rossina, tetapi ada punjanja Njonja Van der Ploegh jang soeka sekali riaskan boedak-boedaknja soepaja njata pada orang banjak bebrapa besar kekajaanja….”


KISAH di atas adalah tulisan H.F.R. Kommer, dalam bukunya berjudul Rossinna, swatoe tjerita jang amat bagoes dan betoel soeda kedjadian di Betawi,” terbit tahun 1910. Rossinna adalah satu dari sekian banyak roman klasik yang mengisahkan percintaan dendam, dan perbudakan pada zaman kolonial Belanda. Secara umum dapat dilihat kehidupan masyarakat waktu itu, gambaran kelompok yang berkuasa dan yang tertindas.

Dalam kisah yang ditulis Kommer, Rossinna karena sang nyonya cemburu akan kecantikannya dan takut suaminya jatuh cinta – tanpa kesalahan yang berarti telah dihukum bakar hidup-hidup sampai menemukan ajalnya.

Perbudakan di zaman kolonial Belanda berkembang sejak Jan Pieterszoon Coen berhasil merebut benteng Jayakarta pada tahun 1619. Ketika Kompeni bertambah jaya, pemilikan budak mencapai puncaknya antara lain karena sistem perdagangan budak terorganisasikan dengan rapi. Perkembangan ini membuahkan “kultur” baru: pangkat dan kekayaan seorang pejabat VOC diukur dari jumlah budak yang dimilikinya.

Perbudakan khususnya di Batavia lalu menjadi sumber jorjoran. Di hari Minggu, misalnya, pameran kekayaan ini bisa disimak dari panjang pendeknya deretan budak yang mengiringi sang tuan dan nyonya Belanda ke gereja. Tiap budak mempunyai tugas membawa perlengkapan, seperti payung, bantalan kaki, kipas besar, kitab-kitab agama, tempat rokok, bahkan kotak sirih – karena beberapa nyonya Belanda makan sirih – dan benda-behda lain yang terbuat dari emas atau perak ukir-yang mahal. Pakaian dan perhiasan yang dilekatkan di tubuh budak-budak itu – tentu saja sekadar dipinjamkan termasuk dalam rangka pameran itu.

Keperluan akan budak ini semula ditumbuhkan oleh kebutuhan tenaga kerja untuk membuat benteng Batavia. Ketika Coen mengalahkan Pangeran Jayakarta (1619), kawasan pantai ini berpenduduk 350 orang. Cuma 80 di antaranya berstatus budak. Jumlah budak yang diperlukan kemudian tentu jauh lebih besar dari itu – apalagi ketika Kota Batavia berkembang.

VOC memerlukan tenaga untuk penggalian kapal, pengeringan rawa-rawa serta perapian kawasan yang dijadikan pertapakan kota. Penduduk sekitar Batavia tak bisa direkrut: Umumnya menyingkir dan menolak bekerja sama apalagi dijadikan budak. Mulanya Kompeni mendatangkan budak dari Semenanjung India dan pulau-pulau sekitar. Ini bisa disimak di dagh register atau catatan harian klerk-klerk Kompeni yang rajin menuliskan setiap kejadian dan transaksi dagangnya. Tercatat, kapal Goudbloem membawa 250 budak dari daratan Asia Timur. Sampai di Teluk Batavia, jumlah itu menyusut menjadi 114 orang. Kapal d ‘Elisabeth pergi ke Madagaskar untuk mencari pekerjaan tambang buat Silida (Salido, Sumatera Barat). Dari 115 orang budak laki dan perempuan yang dibawa dari sana, yang masih mempunyai nyawa ketika sampai di pantai Sumatera Barat cuma 62 orang.

Ketika VOC kehilangan kekuasaannya di Semenanjung India, impor manusia dari Madagaskar, Surat atau Benggala, otomatis terhenti. Sebagai gantinya VOC menemukan, di Indonesia sendiri ternyata cukup banyak sumber “komoditi kaki dua”. Hampir di setiap pulau di Indonesia waktu itu selalu ada kelas masyarakat yang berasal dari penduduk yang dikalahkan atau orang-orang yang tak bisa membayar utang yang disebut kelas budak. Dari para pemilik budak inilah, lewat calo-calo yang tiba-tiba menjamur, VOC mendapatkan mereka.

Nah, sejak saat itulah perdagangan budak tumbuh di kalangan pribumi. Setiap kapal yang berlabuh di Batavia, selain membawa dagangan tradisional (rempah, kayu cendana, kuda, dan lain-lain), juga sarat dengan komoditi istimewa ini. Kapal berkapasitas 100-200 ton yang dimiliki Kompeni sanggup membawa sekitar 200 orang budak – untuk perjalanan dari Indonesia belahan timur sampai ke Batavia yang makan waktu paling tidak dua minggu.

Dagh-register 8 Desember 1657 mencatat, seorang direktur kantor dagang di Batavia, Karel Harstinck, memborong 80 budak perempuan dan laki-laki asal Pulau Solor, dari sejumlah sekitar 90 orang yang datang dengan kapal dari sana (dituliskan: als mede 80 a 90 stuckx schapen van daer gekomen).

Perhatikan kata stuckx, kata nominal untuk membilang jumlah budak, yang disamakan dengan benda tak bernyawa. Catatan lain menyebutkan bahwa kapal Kabeljauw pada akhir ekspedisinya telah membawa 19 budak yang sehat dan kekar. Tubuh mereka sudah dicap “VOC” (… met leer lomnaeyt met Compagnie merck getjapt). Dagh-register ini hingga kini masih bisa dibaca dan disimpan di Arsip Nasional, Jakarta. Ekspedisi di sepanjang pantai Nieuw Guinea (kini Irian Jaya), telah berhasil merantai sejumlah penduduk asli. Bagi Kompeni, hasil dari pantai Irian Jaya ini termasuk “komoditi langka” dan, tentu saja, mahal. Mengetahui hal ini, pada tahun 1760 penguasa Batavia telah mengeluarkan izin untuk mengekspor dua orang budak Irian.

Pembelinya adalah wakil kaisar Tiongkok untuk dihadiahkan kepada sang kaisar. Dalam surat izin ada disebutkan: . . . Untuk dijadikan koleksi abdi dalem Seri Baginda Kaisar, sebagai budak yang ganjil dan aneh bentuknya ….” Budak jadinya juga unsur pelicin persahabatan atau faktor pelancar hubungan dagang. Pernah, di saat pemerintahan Pangeran Mauritz (1621-1625), Belanda ingin memperluas perdagangan ladanya dengan Kerajaan Aceh. Biasanya, tanda pelicin yang diberikan ialah senapan atau meriam. Dan sepasang meriam pun dikirimkan, sebagai hadiah pembuka jalan. Tapi apa lacur, Sultan Aceh (kemungkinan besar Raja Iskandar Muda) menolak hadiah meriam ini. Sultan minta dua orang budak perempuan kulit putih. Permintaan Sultan Aceh ini tak bisa dipenuhi. Rupanya lalu lintas budak hanya berjalan satu arah, budak kulit berwarna untuk tuan kulit putih.

Bukan sebaliknya …. Berapa harga seorang budak di Batavia? Daghregister pada awal abad ke-19 mencatat, seorang budak yang sehat, muda, dan tampan, paling tidak, laku dijual dengan harga 90 real (real dari kata “rijsdaalder”, mata uang Spanyol). De Haan, yang menulis buku berjudul de Priangan memperkirakan, harga sekeluarga budak (pasangan suami-istri yang masih mempunyai anak satu), berkisar 1.220 real. Harga tinggi ini disebabkan adanya harapan bahwa pasangan suami-istri ini akan beranak pinak. Anak-anak mereka, tentu saja, menjadi milik si empunya budak.

Untuk perbandingan situasi ekonomi waktu itu, dalam buku History of Java karangan Raffles, tercatat harga 1 pikul beras, di tahun 1795, cuma 2 real. Harga lada per kati, 12 sen dan kopi 8,5 sen. Maka, bisa dibayangkan betapa kayanya seorang pejabat Kompeni kalau dia memiliki puluhan bahkan ratusan budak.


Related Posts: