Bab 9 Qiyas

A. Pengertian Qiyas

B. Rukun Qiyas
1. Ashl
2. Al-Far’u
3. Al-'Illat
4. Hukum ashl

C. Kehujjahan Qiyas

A. Pengertian Qiyas

Secara bahasa qiyas berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain, misalnya yang berarti “saya mengukur baju dengan hasta” Pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh, sekalipun redaksinya berbeda tetapi mengandunng pengertian yang sama.


Sadr al-Syari’ah (w. 747 H), tokoh ushul fiqh Hanafi menegmukakan bahwa qiyas adalah :

“Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja”.


Maksudnya, illat yang ada pada satu nash sama dengan illat yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seorang mujtahid, karena kesatuan illat ini, maka hukum kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nash tersebut.

Mayoritas ulama Syafi’iyyah mendefinisikan qiyas dengan :

“Membawa (hukum) yang (belum) di ketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, baik hukum maupun sifat.”

DR. Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyas dengan :

“Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan illat antara keduanya”.

Sekalipun terdapata perbedaan redaksi dalam beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqih klasik dan kontemporer diatas tentang qiyas tetapi mereka sepakat menyatakan bahwa proses penetapan hukum melalui metode

qiyas bukanlah menetapkan hukum dari awal (istinbath alhukm wa insya’uhu) melainkan hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum (al-Kasyf wa al-Izhhar li al-Hukm) yang apa pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya.

Penyingkapan dan penjelasan ini di lakukan melalui pembahasan mendalam dan teliti terhadap illat dari suatu kasus yang sedang dihadapi. Apabila illatnya sama dengan illat hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum terhadap kasus yang dihadapi itu adalah hukum yang telah ditentukan nash tersebut.

Misalnya, seorang mujtahid ingin mengetahui hukum minuman bir atau wisky. Dari hasil pembahasan dan penelitiannya secara cermat, kedua minuman itu mengandung zat yang memabukkan, seperti zat yang ada pada khamr. Zat yang memabukkan inilah yang menjadi penyebab di haramkannya khamr. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Maidah 5 : 90 – 91. Dengan demikian, mujtahid tersebut telah menemukan hukum untuk bir dan wisky, yaitu sama dengan hukum khamr, karena illat keduanya adalah sama. Kesamaan illat antara kasus yang tidak ada nash-nya dengan hukum yang ada nash-nya menyebabkan adanya kesatuan hukum.

B. Rukun Qiyas

Adapun rukun qiyas itu ada 4 :

1. Ashl
2 Al-Far’u
3. Al-'Illat
4. Hukum ashl

C. Kehujjahan Qiyas

Ulama ushul fiqih berbeda pendapat terhadap kehujjahan qiyas dalam menetapkan hukum syara’. Jumhur ulama ushul fiqih berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metoda atau sarana untuk mengistinbathkan hukum syara.

Berbeda dengan jumhur para ‘ulama mu’tazilah berpendapat bahwa qiyas wajib diamalkan dalam dua hal saja, yaitu :

1. llatnya manshush (disebutkan dalam nash) baik secara nyata maupun melalui isayrat.
2. Hukum far’u harus lebih utama daripada hukum ashl.

Wahbah al-Zuhaili mengelompokkan pendapat ulama ushul fiqh tentang kehujjahan qiyas menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima qiyas sebagai dalil hukum yang dianut mayoritas ulama ushul fiqih dan kelompok yang menolak qiyas sebagai dalil hukum yaitu ulama – ulama syi’ah al-Nazzam, Dhahiriyyah dan ulama mu’tazilah Irak.

Alasan penolakan qiyas sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’ menurut kelompok yang menolaknya adalah firman Allah :


اَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللّٰهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللّٰهَ إِنَّ اللّٰهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Hai orang–orang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya…”.(QS. Al-Hujurat : 1)

Ayat ini menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak ada dalam al-Quran dan sunah Rasul. Mempedomani qiyas merupakan sikap beramal dengan sesuatu diluar al-Quran dan sunnah Rasul, dan karenanya dilarang. Selanjutnya dalam surat al-Isra’, 17:36 Allah berfirman :

“Dan janganlah kam mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya “.

Ayat tersebut menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak diketahui secara pasti. Oleh sebab itu berdasarkan ayat tersebut qiyas dilarang untuk diamalkan.

Alasan – alasan mereka dari sunnah Rasul antara lain adalah sebuah hadits yang diriwayatkan Daruquthni yang artinya adalah sebagai berikut :

“Sesungguhnya Allah Ta’ala menentukan berbagai ketentuan, maka jangan kamu abaikan, menentukan beberapa batasan, jangan kamu langgar, dia haramkan sesuatu, maka jangan kamu langgat larangan itu, dia juga mendiamkan hukum sesuatu sebagai rahmat bagi kamu, tanpa unsur kelupaan, maka janganlah kamu bahas hal itu”.

Hadits tersebut menurut mereka menunjukkan bahwa sesuatu itu ada kalanya wajib, adakalanya haram dan adakalanya di diamkan saja, yang hukumnya berkisar antara di ma’afkan dan mubah (boleh). Apabila di qiyaskan sesuatu yang didiamkan syara’ kepada wajib, misalnya maka ini berarti telah menetapkan hukum wajib kepada sesuatu yang dima’afkan atau dibolehkan.

Sedangkan jumhur ulama ushul fiqih yang membolehkan qiyas sebagai salah satu metode dalam hukum syara’ mengemukakan beberapa alasan diantaranya adalah :

Surat al-Hasyr, 59 : 2
فَا عْتَبِرُوا يَا أُولِي الأَبْصَارِ

“maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang – orang yang mempunyai pandangan”.

Ayat tersebut menurut jumhur ushul fiqih berbicara tentang hukuman Allah terhadap kaum kafir dari Bani Nadhir di sebabkan sikap buruk mereka terhadap Rasulullah.

Di akhir ayat, Allah memerintahkan agar umat Islam menjadikan kisah ini sebagai I’tibar (pelajaran). Mengambil pelajaran dari suatu peristiwa menurut jumhur ulama, termasuk qiyas. Oleh sebab itu penetapan hukum melalui qiyas yang disebut Allah dengan al-I’tibar adalah boleh, bahkan al-Quran memerintahkannya Ayat lain yang dijadikan alasan qiyas adalah seluruh ayat yang mengandung illat sebagai penyebab munculnya hukum tersebut, misalnya :

Surat al-Baqarah 2 : 222 :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًّي فَاعْتَزِلُوَا النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فِإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أمَرَكُمُ اللّٰهُ إِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ المُتَطَهِّرِيْنَ

“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad tentang haid. Katakanlah, “haid itu adalah kotoran”, oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid”.

Surat al-Maidah 5 : 91 :
يُرِدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء فِي الخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُم عَن ذِكْرِ اللّٰهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَحَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ
“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu, lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).

Surat al-Maidah 5:6
يُرِدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَليْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَكِن يُرِيدُ لِيُطَهَّرَكُم وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ
.”Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu … “

Alasan jumhur ulama dari hadits rasululah adalah riwayat dari Muadz Ibn Jabal yang amat populer. Ketika itu Rasulullah mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qadli. Rasulullah melakukan dialog dengan Mu’adz seraya berkata :

Dalam hadits tersebut menurut jumhur ulama ushul fiqih, Rasulullah mengakui ijtihad berdasarkan pendapat akal, dan qiyas termasuk ijtihad melalui akal. Begitu juga dalam hadits lain Rasulullah menggunakan metode qiyas dalam menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya.

Suatu hari Umar bin Khatthab mendatangi Rasulullah seraya berkata :

“Pada hari ini saya telah melakukan suatu kesalahan besar, saya mencium istri saya, sedangkan saya dalam keadaan berpuasa”.



Lalu Rasulullah mengatakan pada Umar :


“bagaimana pendapatmu jika kamu berkumur – kumur dalam keadaan berpuasa, apakah puasamu batal ?, Umar menjawab, “tidak”,


lalu Rasulullah saw berkata :

Kalau begitu kenapa engkau samapi menyesal ?”. (HR. Ahmad Ibn Hanbal dan Abu Daud dari Umar Ibn al-Khatthab)

Dalam hadits tersebut Rasulullah mengqiyaskan mencium istri dengan berkumur – kumur, yang keduanya sama – sama tidak membatalkan puasa.

Qiyas adalah menyamakan (menganalogikan) suatu perkara dengan perkara (yang sudah ada ketetapan hukumnya) dalam hukum syariat kedua kedua perkara ini ada kesamaan illat (pemicu hukum). Menurut ulama ushul qiyas adalah, “Memberlkukan suatu hukum yang sudah ada nashnya kepada hukum yang tidak ada nashnya berdasarkan kesamaan illat. Contoh, Allah mengharamkan khamar karena memabukan, maka segala makanan dan minuman yang memabukan hukumnya sama dengan khamar yaitu haram.

Dibanding dengan Ijma’, Qiyas lebih banyak memberikan pengaruh dalam pengambilan hukum yang dilakukan oleh para ulama fiqh. Ijma’ disyarakan harusdisepakai semua ulama di suatu waktu dan tempat tertenu.

Sementara Qiyas tidak disyaratkan kesepakatan ulama fiqh. Masing-masing ulama memiliki kebebasan untuk melakukan Qiyas dengan syarat-syarat yang sudah disepakati oleh para ulama.

Kenapa harus ada Qiyas? Sebab teks-teks Al-Quran dan Sunnah sangat terbatas, artinya tidak keseluruhan masalah disebutkan hukumnya satu-satu persatu. Sementara kejadian-kejadian yang membutuhkan kepastian hukum syariat dalam kehidupan manusia sanga banyak dan setiap hari muncul kejadiankejadian baru. Untuk memecahkan masalah itu diperlukan ijihad dari para ulama fiqh. Salah satu methode ijtihad tersebut disebut dengan Qiyas.

Hukum-hukum jual beli misalnya, Al-Quran dan Sunnah menyebutkan lebih banyak dibanding dengan soal sewa menyewa. Maka para ahli fiqh kemudian melakukan Qiyas pada hukum-hukum sewa-menyewa dengan hukum-hukum dalam masalah jual beli karena kedua masalah ini memiliki kesamaan; dari sisi keduanya adalah transaksi jual beli barang dan jasa.

Related Posts:

0 Response to "Bab 9 Qiyas"

Posting Komentar