Bab 4 Proses Terbentuknya Ilmu Fiqih


A. Lewat Proses Tidak Langsung Jadi
B. Sumber Yang Statis
1. Al-Quran dan As-Sunnah
2. Mutlak Kebenarannya
3. Statis

C. Realitas Kehidupan Yang Dinamis
1. Berbeda-beda
2. Dinamis

D. Ijtihad
1. Ulama
2. Kaidah

E. Hasil


A. Lewat Proses Tidak Langsung Jadi

Ilmu fiqih lahir dari sebuah proses panjang, tidak tibatiba turun begitu saja dari langit. Ilmu fiqih memang bersumber dari wahyu yang turun dari langit, yang sifat kebenarannya mutlak, pasti, statis dan sudah baku. Teks-teks wahyu itu bukan hanya ayat-ayat Al-Quran, namun termasuk juga di dalamnya hadits-hadits nabi yang makbul. Sebab semua yang beliau SAW ucapkan, lakukan dan diamkan, berasal dari wayhu juga.

Kemudian teks-teks wakhyu itu dikomparasikan dengan realitas atau kenyataan yang amat dinamis, dimana manusia ditakdirkan hidup dengan realitas kehidupan sosial yang berbeda-beda, baik secara adat, karakter, budaya, tradisi, etika yang satu sama lain saling berbeda.

Namun tidak semua orang boleh melakukan proses komparasi itu. Setidaknya hanya mereka yang benar-benar mujtahid saja yang diberi wewenang dan otoritas untuk melakukannya, itu pun dengan tetap harus menggunakan kaidah-kaidah yang diterima secara ilmiyah, nalar dan juga diakui secara sah sebagai kaidah yang muktamad.

Barulah hasil akhirnya akan kita dapat, berupa hukumhukum fiqih yang kita kenal sebagai wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Ibarat makanan, ilmu fiqih adalah hidangan siap santap di atas meja yang mengundang selera. Buat yang kita yang makan, mungkin tidak terbayang bagaimana opor ayam itu sebelumnya mengalami proses pembuatan yang ternyata tidak mudah. Juga bukan sembarang orang yang bisa memasaknya.

Kalau kita perhatikan, hidangan opor ayam sebelum sampai di meja makan kita, sebelumnya telah mengalami proses dari bahan mentah, diolah sedemikian rupa, oleh chef atau juru masak yang berpengalaman, hingga akhirnya terhidang di atas meja siap disantap.

Bahan baku utama opor ayam sebelum dimasak tentu seekor ayam yang masih hidup di peternakan, ditambah dengan bumbu-bumbu lainnya yang sebelumnya masih di perkebunan. Ayamnya perlu dipilih yang sehat dan baik, kemudian ditangkap, disembelih dengan benar, dicabuti bulunya, dibersihkan isi perutnya, bagian yang tidak perlu dibuang, lalu dimasak dasar.

Bumbunya yang utama adalah santan kelapa, maka harus ada orang yang memanjat pohon kelapa terlebih dahulu, lalu mengupasnya, memarutnya, dan membuat santannya. Tentu bumbunya bukan hanya santan, tetapi ada lusinan bumbu lainnya yang juga harus dipetik dulu di kebun.

Semua bahan itu tidak akan tiba-tiba berubah menjadi opor ayam, kita membutuhkan juru masak ahli, yang sudah berpengalaman memasak opor ayam, biar ayamnya empuk tidak keras, bumbunya meresap, tidak hambar dan juga tidak terlalu ekstrim. Kita tentunya membutuhkan keahlian tersendiri. Orang yang belum pernah memasaknya, di awal pertama kali mencoba memasaknya, pasti akan melakukan kesalahan-kesalahan.

Pendeknya, semua itu adalah proses pembuatan opor ayam. Opor ayam tidak bisa tiba-tiba turun dari langit mendarat tepat di atas meja makan kita. Kecuali bila kita membelinya di rumah makan, yang kita perlukan hanya uang sebagai harga pembelian. Dan kita bisa langsung duduk manis dan siap melahap saat itu juga.

Kita yang beli jadi opor ayam adalah orang-orang yang terima rapi saja, tidak perlu repot-repot memasak dan memprosesnya. Itulah kira-kira kita sebagai orang-orang awam yang bukan mujtahid, kita tidak melakukan semua proses ijtihad di atas, kita hanya terima bersih dan tinggal menggunakan saja hasil-hasil ijtihad para ulama.


B. Sumber Yang Statis

Di atas tadi sudah disebutkan bahwa ilmu fiqih bersumber dari wahyu atau firman Allah SWT.


1. Al-Quran dan As-Sunnah

Al-Quran maupun As-Sunnah adalah jalur resmi datangnya wahyu dari Allah SWT. Sedangkan firasat, ilham, mimpi, kasysyaf, wangsit dan lain-lainnya, mungkin saja datang dari Allah SWT, namun semua jelas-jelas bukan wahyu yang merupakan risalah yang formal dan resmi.

Sebab semua itu tidak turun lewat jalur resmi, yaitu lewat malaikat Jibril dan lewat mekanisme kenabian. Wahyu yang datang kepada kita sebagai wahyu risalah yang resmi hanyalah yang datang lewat Nabi Muhammad SAW, yaitu berupa ayat-ayat Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW.


2. Mutlak Kebenarannya

Baik Al-Quran maupun As-Sunnah yang shahihah, keduanya adalah sumber syariah Islam yang bersifat mutlak kebenarannya, karena ada jaminan atas hal itu dari Allah SWT.

Namun demikian, keduanya bersifat statis dan tidak boleh mengalami perubahan, baik koreksi, tambahan, pengurangan dengan cara apa pun, sepeninggal Rasulullah SAW. Kalau sampai berubah atau boleh diubah-ubah oleh manusia, justru malah menjadi masalah. Karena originalitasnya tentu akan sangat dipertanyakan, sebagaimana tragedi yang menimpa agama-agama samawi sebelum masa risalah Muhammad SAW.

Para pemuka agama baik yahudi maupun nasrani dilaknat Allah SWT, karena mereka nekat mengubah ayatayat Allah yang telah baku.

مِنَ الَّذِيْنَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَّوَاضِعِهِ وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا
Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya . Mereka berkata : "Kami mendengar", tetapi kami tidak mau menurutinya. (QS. An-Nisa’ : 46)


3. Statis

Karena Al-Quran dan As-Sunnah tidak boleh mengalami revisi, pengeditan, penambahan, atau pengurangan, maka otomatis keduanya bersifat statis.

Walau pun teknik penulisan aksara Arab mengalami perkembangan sepanjang waktu, namun bunyi ayat Al-Quran itu tidak mengalami perubahan apa pun. Dan sesungguhnya yang turun kepada Rasulullah SAW dahulu bukan buku dengan tulisan Arab, melainkan suara dari malaikat Jibril alaihissalam kepada beliau SAW, yang merupakan firman Allah SWT.

Seandainya kita punya mesin waktu, dan kita kirim anak-anak Taman Pendidikan Al-Quran ke zaman dimana para shahabat Nabi dahulu hidup di Mekkah dan Madinah, maka bacaan Al-Quran mereka akan sama persis seperti bacaan para shahabat Nabi ridhwanullahi ‘alaihim.

Apa yang ada di dalam Al-Quran tidak akan mengalami perubahan sampai hari kiamat. Demikian juga, apa yang tercatat di dalam hadits nabawi, juga tidak akan mengalami perubahan apa pun sampai akhir zaman.

Keduanya adalah kitab abadi, bahkan bahasa yang digunakan pun tidak boleh diubah, atau diterjemahkan ke dalam bahasa lain.

Kalau pun ada versi terjemahan, maka terjemahan itu bukan wahyu, tetapi hasil karya manusia. Sebuah buku yang isinya hanya terjemahan 30 juz Al-Quran tanpa menyertakan teks aslinya dalam bahasa Arab, tidak diakui sebagai Al-Quran.

Jadi kalau pakai logika ini, maka Alkitab berbahasa Indonesia yang rajin dibawa oleh para pastor itu bukan wahyu Allah, melainkan 100% hasil karya manusia.


C. Realitas Kehidupan Yang Dinamis

Meski Al-Quran dan As-Sunnah bersifat statis, namun keduanya bukan musium yang hanya menjadi saksi bisu atas apa yang pernah terjadi di masa Rasulullah SAW.

Keduanya justru harus hidup sepanjang zaman, di berbagai tempat di permukaan planet bumi ini, menjadi petunjuk, pedoman, sumber rujukan hukum, dan juga sebagai undang-undang yang berlaku di semua negeri.


1. Berbeda-beda

Padahal umat manusia diciptakan Allah SWT dengan segala keragamannya. Dan keragaman ini melahirkan perbedaan budaya, adat, etika, bahkan hukum, konvensi dan aturan-aturan yang bersifat lokal ke daerahan.

Apa yang dipandang baik oleh suatu bangsa, boleh jadi oleh bangsa lain dianggap sangat tidak baik. Memegang kepala orang lain yang lebih tua dan dihormati, bagi bangsa Arab dianggap kesopanan dan akhlaq mulia. Menantu akan lebih disayang mertua kalau memegang kepala mertua.

Jangan sekali-kali hal itu dilakukan di negeri kita, bisa-bisa langsung ditempeleng mertua dan dipecat jadi menantu. Sebab buat orang Indonesia, kepala adalah organ yang terhormat, tiap tahun dikeluarkan zakatnya, jadi jangan dipegang-pegang kecuali orang tua mengelus kepala bayinya sendiri.

Bangsa Tibet yang di pegunungan Himalaya, 3.000 meter di atas permukaan laut, untuk menunjukkan tanda kesopanan dalam menyambut tamu, mereka akan menjulurkan lidahnya. Maka para tamu harus membalas menjulurkan lidah juga sebagai bentuk penghormatan. Jangan sekali-kali hal itu kita lakukan di tempat lain, karena bisa dianggap mengajak adu jotos.


2. Dinamis

Selain berbeda-beda tolok ukur kebaikan, kehidupan umat manusia pun sangat dinamis, setiap saat mengalami perubahan. Apa yang di suatu masa dianggap sebagai kebaikan, belum tentu pada 20-30 tahun kemudian masih dianggap baik. Dan sebaliknya, apa yang kita anggap sebuah kedegilan di masa sekarang, mungkin saja 50 tahun lagi dianggap perbuatan mulia.

Karya-karya di masa lalu yang dianggap sebagai bagian dari idealisme seorang ilmuwan, seiring dengan berjalannya waktu, di masa lain dianggap realitas potensi kekayaan.

Di masa lalu ketika Al-Bukhari menuliskan kitab Ash-Shahih, tidak pernah terbersit di kepalanya untuk menjual kitabnya itu, sekedar untuk mendapatkan uang. Di masa itu tidak dikenal hak cipta dan hak kekayaan intelektual atas karya itu. Tetapi hari ini, buku yang hanya 100-an halaman saja, sedangkan isinya hasil cuplik sana sini, dianggap sebagai hak kekayaan intelektual yang dilindungi undangundang dan menghasilkan sumber mata pencaharian.

Bahkan bahasa yang digunakan suatu bangsa akan berganti dengan bahasa lain seiring dengan berjalannya waktu. Empat ratus tahun yang lalu tidak ada orang berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia di nusantara kita ini. Mereka mungkin bicara dengan bahasa Sansekerta, Arab, atau Mandarin. Andaikan mesin waktu bisa membawa kita ke masa hidup Wali Songo, dipastikan kita tidak bisa ngobrol dengan para wali itu.

Kenapa? Soalnya, bahasa yang mereka pakai bukan bahasa Indonesia, sedangkan kita justru tidak mengerti bahasa mereka. Jadi mungkin kita akan pinjam bahasa Tarzan alias pakai isyarat.

Dahulu orang Mesir punya bahasa purba, yang juga punya aksara tersendiri. Orang Mesir hari ini sayangnya tidak bisa membaca apa yang terukir di Pyramid peninggalan nenek moyang mereka sendiri, karena bahasa mereka sudah berubah menjadi bahasa Arab.

Kalau kita buka arsip koran yang terbit tahun 50-an, maka kita akan terpingkal-pingkal membacanya. Bahasa memang bahasa Indonesia, tetapi susunan bahasa dan redaksinya terasa aneh dan jenaka buat ukuran di zaman sekarang ini.

Di masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar radhiyallahuanhuma, kalau ada unta lepas dari tuannya, hukum konvensi yang berlaku adalah biarkan saja unta itu berkeliaran, sampai pemiliknya menemukannya. Unta bisa bertahan hidup, dia akan mencari makan dan minum sendiri.

Ketika masuk masa pemerintahan Amirul-Mukminin Ustman bin Al-Affan radhiyalahuanhu, konvensinya berubah. Unta yang tersesat harus diselamatkan oleh penemunya,dibawa pulang, dipelihara, dikasih makan dan minum dan dilindungi. Nanti bila pemiliknya datang mencari, baru dikembalikan. Hal itu karena masa itu sudah agak rawan dengan pencurian. Kota Madinah tidak lagi seseteril sebelumnya.

Para shahabat yang mulai banyak yang merantau jauh ke berbagai penjuru dunia, sementara orang dari luar Madinah banyak yang masuk dan tinggal disana.


D. Ijtihad
1. Ulama

2. Kaidah


E. Hasil

Related Posts:

1 Response to "Bab 4 Proses Terbentuknya Ilmu Fiqih"

  1. Kok putus mana sambungan nya
    Tolong di perjelas saya suka masalah pembahasan ini.

    BalasHapus