8 Fiqih Taharah - Mandi Janabah


1. Pengertian
Mandi dalam bahasa Arab disebut dengan istilah al-ghusl (الغسل). Kata ini memiliki makna yaitu menuangkan air ke seluruh tubuh.

Sedangkan secara istilah, para ulama menyebutkan definisinya yaitu :

استعمال ماء طهور في جميع البدن على وجه مخصوص بشروط وأركان
Memakai air yang suci pada seluruh badan dengan tata cara tertentu dengan syarat-syarat dan rukun-rukunnya.


Adapun kata Janabah dalam bahasa Arab bermakna jauh (البُعْدُ) dan lawan dari dekat (ضِدُّ القرَابَة).

Sedangkan secara istilah fiqih, kata janabah ini menurut Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berarti :

تطلق الجنابة في الشرع على من أنزل المني وعلى من جامع وسمي جنبا لأنه يجتنب الصلاة والمسجد والقراءة ويتباعد عنها
Janabah secara syar'i dikaitkan dengan seseorang yang keluar mani atau melakukan hubungan suami istri, disebut bahwa seseorang itu junub karena dia menjauhi shalat, masjid dan membaca Al-Quran serta dijauhkan atas hal-hal tersebut.

Mandi Janabah sering juga disebut dengan istilah 'mandi wajib'. Mandi ini merupakan tatacara ritual yang bersifat ta`abbudi dan bertujuan menghilangkan hadats besar.

2. Hal-hal Yang Mewajibkan Mandi Janabah
Para ulama menetapkan paling tidak ada 6 hal yang mewajibkan seseorang untuk mandi janabah. Tiga hal di antaranya dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan. Tiga lagi sisanya hanya terjadi pada perempuan.

2.1. Keluar Mani
Keluarnya air mani menyebabkan seseorang mendapat janabah, baik dengan cara sengaja (masturbasi) atau tidak. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini :

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله تعالى عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
الْمَاءُ مِنْ الْمَاءِ رَوَاهُ مُسْلِمٌ , وَأَصْلُهُ فِي الْبُخَارِيِّ
Dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Sesungguhnya air itu (kewajiban mandi) dari sebab air (keluarnya sperma). (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun ada sedikit berbedaan pandangan dalam hal ini di antara para fuqaha'. Mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah mensyaratkan keluarnya mani itu karena syahwat atau dorongan gejolak nafsu, baik keluar dengan sengaja atau tidak sengaja. Yang penting, ada dorongan syahwat seiring dengan keluarnya mani. Maka barulah diwajibkan mandi janabah.

Sedangkan mazhab Asy-syafi'iyah memutlakkan keluarnya mani, baik karena syahwat atau pun karena sakit, semuanya tetap mewajibkan mandi janabah. Sedangkan air mani laki-laki itu sendiri punya ciri khas yang membedakannya dengan wadi dan mazi :

Dari aromanya, air mani memiliki aroma seperti aroma 'ajin (adonan roti). Dan seperti telur bila telah mengering. Keluarnya dengan cara memancar, sebagaimana firman Allah SWT :

من ماء دافق
Rasa lezat ketika keluar dan setelah itu syahwat jadi mereda.

Mani Wanita

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ -وَهِيَ اِمْرَأَةُ أَبِي طَلْحَةَ- قَالَتْ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنَّ اَللَّهَ لَا يَسْتَحِي مِنْ اَلْحَقِّ فَهَلْ عَلَى اَلْمَرْأَةِ اَلْغُسْلُ إِذَا اِحْتَلَمَتْ ؟ قَالَ: نَعَمْ. إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ - مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Dari Ummi Salamah radhiyallahu anha bahwa Ummu Sulaim istri Abu Thalhah bertanya,"Ya Rasulullah, sungguh Allah tidak mau dari kebenaran, apakah wanita wajib mandi bila keluar mani? Rasulullah SAW menjawab,"Ya, bila dia melihat mani keluar". (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menegaskan bahwa wanita pun mengalami keluar mani, bukan hanya laki-laki.

2.2. Bertemunya Dua Kemaluan
Yang dimaksud dengan bertemunya dua kemaluan adalah kemaluan laki-laki dan kemaluan wanita. Dan istilah ini disebutkan dengan maksud persetubuhan (jima'). Dan para ulama membuat batasan : dengan lenyapnya kemaluan (masuknya) ke dalam faraj wanita, atau faraj apapun baik faraj hewan.

Termasuk juga bila dimasukkan ke dalam dubur, baik dubur wanita ataupun dubur laki-laki, baik orang dewasa atau anak kecil. Baik dalam keadaan hidup ataupun dalam keadaan mati. Semuanya mewajibkan mandi, di luar larangan perilaku itu. Hal yang sama berlaku juga untuk wanita, dimana bila farajnya dimasuki oleh kemaluan laki-laki, baik dewasa atau anak kecik, baik kemaluan manusia maupun kemaluan hewan, baik dalam keadaan hidup atau dalam keadaan mati, termasuk juga bila yang dimasuki itu duburnya. Semuanya mewajibkan mandi, di luar masalah larangan perilaku itu.

Semua yang disebutkan di atas termasuk hal-hal yang mewajibkan mandi, meskipun tidak sampai keluar air mani. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ الله عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ الله ِ s قَالَ : إِذَا الْتَقَى الخَتَاناَنِ أَوْ مَسَّ الخِتَانُ الخِتَانَ وَجَبَ الغُسْلُ فَعَلْتُهُ أَنَا وَرَسُولُ اللهِ فَاغْتَسَلْنَا
Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Bila dua kemaluan bertemu atau bila kemaluan menyentuh kemaluan lainnya, maka hal itu mewajibkan mandi janabah. Aku melakukannya bersama Rasulullah SAW dan kami mandi.

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ s إذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدهَا فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ - وَزَادَ مُسْلِمٌ : " وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ "
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Bila seseorang duduk di antara empat cabangnya kemudian bersungguh-sungguh (menyetubuhi), maka sudah wajib mandi. (HR. Muttafaqun 'alaihi).

Dalam riwayat Muslim disebutkan : "Meski pun tidak keluar mani"

2.3. Meninggal
Seseorang yang meninggal, maka wajib atas orang lain yang masih hidup untuk memandikan jenazahnya. Dalilnya adalah sabda Nabi Saw tentang orang yang sedang ihram tertimpa kematian :

اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ
Rasulullah SAW bersabda,"Mandikanlah dengan air dan daun bidara`. (HR. Bukhari dan Muslim)

2.4. Haidh
Haidh atau menstruasi adalah kejadian alamiyah yang wajar terjadi pada seorang wanita dan bersifat rutin bulanan. Keluarnya darah haidh itu justru menunjukkan bahwa tubuh wanita itu sehat. Dalilnya adalah firman Allah SWT dan juga sabda Rasulullah SAW :

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (QS. Al-Baqarah : 222)

إِذَا أَقْبَلَت ِالحَيْضُ فَدَعِي الصَّلاَةَ فَإِذَا ذَهَبَ قَدْرَهَا فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ وَصَليِّ -رواه التخاري ومسلم
Nabi SAW bersabda,`Apabila haidh tiba, tingalkan shalat, apabila telah selesai (dari haidh), maka mandilah dan shalatlah. (HR Bukhari dan Muslim)

2.5. Nifas
Nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan seorang wanita setelah melahirkan. Nifas itu mewajibkan mandi janabah, meski bayi yang dilahirkannya itu dalam keadaan mati. Begitu berhenti dari keluarnya darah sesudah persalinan atau melahirkan, maka wajib atas wanita itu untuk mandi janabah. Hukum nifas dalam banyak hal, lebih sering mengikuti hukum haidh. Sehingga seorang yang nifas tidak boleh shalat, puasa, thawaf di baitullah, masuk masjid, membaca Al-Quran, menyentuhnya, bersetubuh dan lain sebagainya.

2.6. Melahirkan
Seorang wanita yang melahirkan anak, meski anak itu dalam keadaan mati, maka wajib atasnya untuk melakukan mandi janabah. Bahkan meski saat melahirkan itu tidak ada darah yang keluar. Artinya, meski seorang wanita tidak mengalami nifas, namun tetap wajib atasnya untuk mandi janabah, lantaran persalinan yang dialaminya.

Sebagian ulama mengatakan bahwa 'illat atas wajib mandinya wanita yang melahirkan adalah karena anak yang dilahirkan itu pada hakikatnya adalah mani juga, meski sudah berubah wujud menjadi manusia. Dengan dasar itu, maka bila yang lahir bukan bayi tapi janin sekalipun, tetap diwajibkan mandi, lantaran janin itu pun asalnya dari mani.

3. Fardhu Mandi Janabah
Untuk melakukan mandi janabah, maka ada dua hal yang harus dikerjakan karena merupakan rukun/pokok:

3.1. Niat dan menghilangkan najis dari badan bila ada.

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّات
Semua perbuatan itu tergantung dari niatnya. (HR Bukhari dan Muslim)

3.2. Menghilangkan Najis Kalau Ada di Badan
Menghilangkan najis dari badan sesungguhnya merupakan syarat sah mandi janabah. Dengan demikian, bila seorang akan mandi janabah, disyaratkan sebelumnya untuk memastikan tidak ada lagi najis yang masih menempel di badannya. Caranya bisa dengan mencucinya atau dengan mandi biasa dengan sabun atau pembersih lainnya. Adapun bila najisnya tergolong najis berat, maka wajib mensucikannya dulu dengan air tujuh kali dan salah satunya dengan tanah.

Untuk itu sangat dianjurkan sebelum mandi janabah dilakukan, mandi terlebih dahulu seperti biasa, dengan sabun dan lain-lainnya, agar dipastikan semua najis dan kotoran telah hilang. setelah itu barulah mandi janabah hanya dengan air saja.

3.3. Meratakan Air Hingga ke Seluruh Badan
Seluruh badan harus rata mendapatkan air, baik kulit maupun rambut dan bulu. Baik akarnya atau pun yang terjuntai. Semua penghalang wajib dilepas dan dihapus, seperti cat, lem, pewarna kuku atau pewarna rambut bila bersifat menghalangi masuknya air.

Rambut yang dicat dengan menggunakan bahan kimiawi yang sifatnya menutup atau melapisi rambut, dianggap belum memenuhi syarat. Sehingga cat itu harus dihilangkan terlebih dahulu. Demikian juga bila di kulit masih tersisa lem yang bersifat melapisi kulit, harus dilepas sebelum mandi agar kulit tidak terhalang dari terkena air. Sedangkan pacar kuku (hinna') dan tato, tidak bersifat menghalangi sampainya air ke kulit, sehingga tetap sah mandinya, lepas dari masalah haramnya membuat tato. Termasuk yang dianggap tidak menghalangi air terkena kulit adalah tinta pemilu, dengan syarat tinta itu tidak menutup atau melapisi kulit, tinta itu hanya sekedar mewarnai saja.

4. Tata Cara Mandi Janabah
Rasulullah SAW telah memberikan contoh hidup bagaimana sebuah ritual mandi janabah pernah beliau lakukan, lewat laporan dari istri beliau, ibunda mukminin, Aisyah radhiyallahu ta'ala anha.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ إِذَا اِغْتَسَلَ مِنْ اَلْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ ثُمَّ يَأْخُذُ اَلْمَاءَ فَيُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي أُصُولِ اَلشَّعْرِ ثُمَّ حَفَنَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلاثَ حَفَنَاتٍ ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Aisyah RA berkata,`Ketika mandi janabah, Nabi SAW memulainya dengan mencuci kedua tangannya, kemudian ia menumpahkan air dari tangan kanannya ke tangan kiri lalu ia mencuci kemaluannya kemudia berwudku seperti wudhu` orang shalat. Kemudian beliau mengambil air lalu memasukan jari-jari tangannya ke sela-sela rambutnya, dan apabila ia yakin semua kulit kepalanya telah basah beliau menyirami kepalnya 3 kali, kemudia beliau membersihkan seluruh tubhnya dengan air kemudia diakhir beliau mencuci kakinya (HR Bukhari/248 dan Muslim/316)

Dari ’Aisyah radliyallahu anha dia berkata, ”Jika Rasulullah SAW mandi karena janabah, maka beliau mencuci kedua tangan, kemudian wudlu’ sebagaimana wudlu beliau untuk sholat, kemudian beliau menyela-nyela rambutnya dengan kedua tangan beliau, hingga ketika beliau menduga air sudah sampai ke akar-akar rambut, beliau mengguyurnya dengan air tiga kali, kemudian membasuh seluruh tubuhnya”. ’Aisyah berkata, ”Aku pernah mandi bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dari satu bejana, kami mencibuk dari bejana itu semuanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari kedua hadits di atas, kita bisa rinci sebagai berikut :

4.1. Mencuci kedua tangan dengan tanah atau sabun lalu mencucinya sebelum dimasukan ke wajan tempat air
4.2. Menumpahkan air dari tangan kanan ke tangan kiri
4.3. Mencuci kemaluan dan dubur.
4.4. Najis-najis dibersihkan
4.5. Berwudhu sebagaimana untuk shalat, dan mnurut jumhur disunnahkan untuk mengakhirkan mencuci kedua kaki
4.6. Memasukan jari-jari tangan yang basah dengan air ke sela-sela rambut, sampai ia yakin bahwa kulit kepalanya telah menjadi basah
4.7. Menyiram kepala dengan 3 kali siraman
4.8. Membersihkan seluruh anggota badan
4.9. Mencuci kaki
5. Sunnah-sunnah Yang Dianjurkan Dalam Mandi Janabah:
5.1. Membaca basmalah
5.2. Membasuh kedua tangan sebelum memasukkan ke dalam air
5.3. Berwudhu` sebelum mandi

Aisyah RA berkata,`Ketika mandi janabah, Nabi SAW berwudku seperti wudhu` orang shalat (HR Bukhari dan Muslim)
5.4. Menggosokkan tangan ke seluruh anggota tubuh.

Hal ini untuk membersihkan seluruh anggota badan.
5.5. Mendahulukan anggota kanan dari anggota kiri seperti dalam berwudhu`.

6. Mandi Janabah Yang Hukumnya Sunnah
Selain untuk `mengangkat` hadats besar, maka mandi janabah ini juga bersifat sunnah -bukan kewajiban-untuk dikerjakan (meski tidak berhadats besar), terutama pada keadaan berikut:

6.1. Shalat Jumat
Mandi janabah disunnahkan untuk dikerjakan jika seseorang akan melakukan ibadah Shalat Jumat. Hukumnya sunnah dan bukan wajib. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah SAW :

مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنِ اغْتَسَلَ فَالغُسْلُ أَفْضَل - رواه الجماعة
Orang yang berwudhu' pada hari Jumat maka hal itu baik, namun bila dia mandi, maka mandi lebih utama. (HR. Jamaah)

عَنْ عائِشَةَ ض قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ ص يَغْتَسِلُ مِنْ أرْبَعَةٍ : مِنَ الجَنَابَةِ وَيَوْمِ الجُمُعَةِ وَمِنَ الحِجَامَةِ وَمِنَ غَسْلِ المَيِّتِ.-رواه أحمد و أبو داود والبيهقي وصححه ابن خزيمة
Dari Aisyah radhiyallahu anha berkata bahwa Nabi SAW mandi pada empat kesempatan : karena janabah, hari Jumat, hijamah dan memandikan mayit. (HR. Ahmad, Abu Daud, Al-Baihaki dan Ibnu Khuzaemah menshahihkannya)

Disunnahkannya mandi di hari Jumat berlangsung sejak terbitnya matahari hingga zawal (masuk waktu shalat Jumat). Sedangkan mandi janabah setelah usai shalat Jumat, tidak ada kesunnahannya secara khusus. Sunnahnya mandi janabah di hari Jumat hanya berlaku bila tidak mengalami hal-hal yang mewajibkan mandi janabah. Sedangkan mereka yang memang mengalami hal-hal yang mewajibkan mandi, tentu hukumnya wajib. Misalnya orang yang kelur mani karena mimpi di hari Jumat, maka wajiblah atasnya mandi janabah sebagaimana sabda Rasulullah SAW berikut ini :

غُسْلُ الجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلىَ كُلِّ مُحْتَلِمٍ - رواه السبعة
Mandi Jumat hukumnya wajib bagi orang yang mimpi (keluar mani) (HR. Sab'ah)

6.2. Shalat hari Raya Idul Fithr dan Idul Adha
Dalam melaksanakan Shalat Idul Fithr dan Idul Adha juga disunnahkan untuk terlebih dahulu mandi janabah. Dasarnya sunnah berikut ini :

أنَّ النَّبِيَّ ص كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الجُمُعَةِ وَيَوْمَ عَرَفَة وَيَوْمَ الفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ
Bahwa Nabi SAW mandi janabah di hari Jumat, hari Arafah, hari Fithr dan hari Nahr (Idul Adha). (HR. Abdullah bin Ahmad)

6.3. Shalat Gerhana Matahari Bulan
6.4. Shalat Istisqa`
6.5. Sesudah memandikan mayat
6.6. Masuk Islam dari kekafiran
6.7. Sembuh dari gila
6.8. Ketika akan melakukan ihram
6.9. Masuk ke kota Mekkah
6. 10. Ketika wukuf di Arafah
6.11. Ketika akan thawaf

Menurut Imam Syafi`i itu adalah salah satu sunnah dalam berthawaf

7. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Ketika Mandi Junub :
7.1. Mendahulukan anggota kanan dari anggota kiri seperti dalam berwudhu`.

Hal tersebut sebagaimana ditegaskan oleh hadits dari Aisyah, ia berkata:
Rasulullah SAW menyenangi untuk mendahulukan tangan kanannya dalam segala urusannya; memakai sandal, menyisir dan bersuci (HR Bukhari/5854 dan Muslim/268)

7.2. Tidak perlu berwudhu lagi setelah mandi.
Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits dari Aisyah RA, ia berkata:
Rasulullah SAW mandi kemudian shalat dua rakaat dan sholat shubuh, dan saya tidak melihat beliau berwudhu setelah mandi (HR Abu Daud, at-Tirmidzy dan Ibnu Majah)

8. Hal-Hal Yang Haram Dikerjakan
Orang yang dalam keadaan janabah diharamkan melakukan beberapa pekerjaan, lantaran pekerjaan itu mensyaratkan kesucian dari hadats besar.

Di antara beberapa pekerjaan itu adalah :

8.1. Shalat
Shalat adalah ibadah yang mensyaratkan kesucian dari hadats kecil maupun hadats besar. Seorang yang dalam keadaan janabah atau berhadats besar, haram hukumnya melakukan ibadah shalat, baik shalat yang hukumnya fardhu a'in seperti shalat lima waktu, atau fadhu kidfayah seperti shalat jenazah, atau pun shalat yang hukumnya sunnah seperti dhuha, witir, tahajjud.

Dasar keharaman shalat dalam keadaan hadats besar adalah hadits berikut ini :

عَنْ عَبْدِ اللهِ بن عُمَرَ ض قَالَ:قَالَ النَّبِيُّ ص : لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طَهُورٍ - رواه مسلم
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Tidak diterima shalat yang tidak dengan kesucian". (HR. Muslim)

8.2. Sujud Tilawah
Sujud tilawah adalah sujud yang disunnahkan pada saat kita membaca ayat-ayat tilawah, baik dilakukan di dalam shalat maupun di luar shalat. Syarat dari sujud tilawah juga suci dari hadats kecil dan besar.

Sehingga orang yang dalam keadaan janabah, haram hukumnya melakukan sujud tilawah.

8.3. Tawaf
Tawaf di Baitullah Al-Haram senilai dengan shalat, sehingga kalau shalat itu terlarang bagi orang yang janabah, otomatis demikian juga hukumnya buat tawaf.

Dasar persamaan nilai shalat dengan tawaf adalah sabda Rasulullah SAW :

عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ عَبَّاسٍ ض أنَّ النَّبِيَّ ص قال : الطَّوافُ بالبَيْتِ صَلاَةٌ إلاَّ أنَّ اللهَ أحَلَّ فِيهِ الكَلاَم - رواه الترمذي والحاكم وصححه الذهبي
Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Tawaf di Baitullah adalah shalat, kecuali Allah membolehkan di dalamnya berbicara." (HR. Tirmizy, Al-Hakim dan Adz-Dzahabi menshahihkannya)

Dengan hadits ini, mayoritas (jumhur) ulama sepakat untuk mengharamkan tawaf di seputar ka'bah bagi orang yang janabah sampai dia suci dari hadatsnya.

Kecuali ada satu pendapat menyendiri dari madzhab Al-Hanafiyah yang menyebutkan bahwa suci dari hadats besar bukan syarat sah tawaf, melainkan hanya wajib. Sehingga dalam pandangan yang menyendiri ini, seorang yang tawaf dalam keadaan janabah tetap dibenarkan, namun dia wajib membayar dam, berupa menyembelih seekor kambing.

Pendapat ini didasarkan pada fatwa Ibnu Abbas radhiyallahu anhu yang menyebutkan bahwa menyembelih kambing wajib bagi seorang yang melakukan ibadah haji dalam dua masalah : bila tawaf dalam keadaan janabah, bila melakukan hubungan seksual setelah wuquf di Arafah.

8.4. Memegang atau Menyentuh Mushaf
Jumhur Ulama sepakat bahwa orang yang berhadats besar termasuk juga orang yang haidh dilarang menyentuh mushaf Al-Quran. Dalilnya adalah firman Allah SWT berikut ini :

لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ المُطَهَّرُون
`Dan tidak menyentuhnya kecuali orang yang suci.` . (QS. Al-Waqi’ah ayat 79)

Ditambah dan dikuatkan dengan hadits Rasulullah SAW berikut ini :

وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ رَحِمَهُ اَللَّهُ أَنَّ فِي اَلْكِتَابِ اَلَّذِي كَتَبَهُ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَِسَلَّمَ لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ: أَنْ لاَ يَمَسَّ اَلْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ - رَوَاهُ مَالِكٌ مُرْسَلاً وَوَصَلَهُ النَّسَائِيُّ وَابْنُ حِبَّانَ
Dari Abdullah bin Abi Bakar bahwa dalam surat yang ditulis oleh Rasulullah SAW kepada ‘Amr bin Hazm tertulis : Janganlah seseorang menyentuh Al-Quran kecuali dia dalam keadaan suci”.(HR. Malik).

8.5. Melafazkan Ayat-ayat Al-Quran
Empat madzhab yang ada, yaitu Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah, semuanya sepakat bulat mengharamkan orang yang dalam keadaan janabah untuk melafadzkan ayat-ayat Al-Quran.

عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ عُمَرَ ض عَنِ النَّبِيِّ ص أَنَّهُ قَالَ : لاَ تَقْرَأ الحَائِضُ وَلاَ الجُنُبَ شَيْئًا مِنَ القُرْآنِ - رواه الترمذي
Dari Abdillah Ibnu Umar radhiyallahu anhu bahwa Rasululah SAW bersabda,"Wanita yang haidh atau orang yang janabah tidak boleh membaca sepotong ayat Quran (HR. Tirmizy)

عَنْ عَلِيِّ بنِ أبيِ طَالبٍ ض لما روي أن النبي ص كَانَ لاَ يَحْجِزُهُ شَيْءٌ عَنْ قِرَاءَةِ القُرْآنِ إلاَّ الجَنَابَةِ - رواه أحمد
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu berkata bahwa Rasulullah SAW tidak terhalang dari membaca Al-Quran kecuali dalam keadaan junub. (HR. Ahmad)

Larangan ini dengan pengecualian kecuali bila lafadz Al-Quran itu hanya disuarakan di dalam hati. Juga bila lafadz itu pada hakikatnya hanyalah doa atau zikir yang lafznya diambil dari ayat Al-Quran secara tidak langsung (iqtibas).

Namun ada pula pendapat yang membolehkan wanita haidh membaca Al-Quran dengan catatan tidak menyentuh mushaf dan takut lupa akan hafalannya bila masa haidhnya terlalu lama. Juga dalam membacanya tidak terlalu banyak. Pendapat ini adalah pendapat Malik.

Diriwayatkan bawa Ibnu Abbas radhiyalahu anhu dan Said ibnul Musayyib termasuk pihak yang membolehkan wanita haidh melafadzkan ayat-ayat bahkan keseluruhan Al-Quran.

8.6. Masuk ke Masjid
Seorang yang dalam keadaan janabah, oleh Al-Quran Al-Kariem secara tegas dilarang memasuki masjid, kecuali bila sekedar melintas saja.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلاَ جُنُبًا إِلاَّ عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىَ تَغْتَسِلُواْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.(QS. An-Nisa' : 43)

Selain Al-Quran, Sunnah Nabawiyah juga mengharamkan hal itu :
Dari Aisyah RA. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Tidak ku halalkan masjid bagi orang yang junub dan haidh`. (HR. Bukhari, Abu Daud dan Ibnu Khuzaemah.
Apabila haidh tiba, tingalkan shalat, apabila telah selesai (dari haidh), maka mandilah dan shalatlah. (HR Bukhari dan Muslim)


Related Posts:

0 Response to "8 Fiqih Taharah - Mandi Janabah"

Posting Komentar