Bab 18 Lembaga Fiqih

A. Tingkat Dunia
1. Darul Ifta’ Al-Mashriyah
2. Majma’ Fiqih Islami Ad-Dauli
3. Majma’ Fiqih Islami Rabithah Alam Islami
4. Majma’ Fiqih Islami fil Hindi
5. Majma’ Buhuts Al-Islami
6. Majma’ Fiqih Urubi
7. Majma’ Fuqaha As-Syariah fi Amrika
8. Haitu Kibaril Ulama

B. Indonesia
1. Majelis Bahsul Masail Nahdlatul Ulama
2. Majelis Tarjih Muhammadiyah
3. Badan Hisbah PERSIS
4. Majelis Ulama Indonesia


Tidak lengkap rasanya kalau kita sudah bicara tentang berbagai kitab fiqih baik yang klasik maupun yang modern, kalau juga kita membicarakan tentang institusi atau lembaga yang terkait dengan ilmu fiqih yang kini bermunculan di berbagai negara.

Lembaga-lembaga fiqih ini ada yang bersifat kedaerahan, ada juga yang didirikan untuk kebutuhan dan mewakili organisasi tertentu, ada juga yang didirikan dalam skala nasional pada suatu negara, bahkan tidak sedikit yang bersifat international dan antar bangsa. Baik yang bersifat dunia.


A. Tingkat Dunia
Ada beberapa lembaga fiqih yang terkenal di dunia Islam, di antaranya :

1. Darul Ifta’ Al-Mashriyah
Lembaga fiqih tertua di dunia ada di Mesir, yaitu lembaga fatwa yang bernama Darul-Ifta’ Al-Mashriyah دار الإفتاء المصریة atau Lembaga Fatwa Mesir. Lembaga Fatwa Mesir ini merupakan lembaga fatwa pertama yang didirikan di dunia Islam. Lembaga ini didirikan pada tahun 1895 berdasarkan surat keputusan dari Khedive Mesir Abbas Hilmi yang ditujukan kepada Nizharah Haqqaniyyah No. 10 tanggal 21 November 1895. Surat tersebut diterima oleh Nizharah yang bersangkutan tanggal 7 Jumadil Akhir 1313 nomor 55.

Hingga saat ini lembaga ini terhitung sebagai salah satu pilar utama institusi Islam di Mesir. Institusi Islam ini ditopang oleh empat lembaga keagamaan, yaitu al-Azhar Asy-Syarif, Universitas Al-Azhar, Kementerian Wakaf dan Lembaga Fatwa Mesir. Lembaga Fatwa Mesir melaksanakan peranan penting dalam memberikan fatwa kepada masyarakat umum dan konsultasi kepada lembaga-lembaga peradilan di Mesir.

Pada mulanya, Lembaga Fatwa Mesir merupakan salah satu lembaga di bawah Departemen Kehakiman. Mufti Agung Mesir selalu diminta pendapatnya dalam pelaksanaan keputusan vonis mati dan lainnya. Namun, tugas dan peran Lembaga Fatwa Mesir tidak terbatas pada hal itu saja, jangkauannya pun tidak terbatas pada wilayah Mesir saja, akan tetapi meluas hingga ke dunia Islam secara umum.

Hal itu dapat diketahui melalui daftar fatwa yang dikeluarkan oleh Lembaga Fatwa Mesir sejak didirikan hingga saat ini yang mencatat pertanyaan-pertanyaan dari berbagai negara Islam.

Selain itu, Lembaga Fatwa Mesir juga menjadi tujuan delegasi-delegasi yang terdiri dari para mahasiswa fakultasfakultas Islam yang berasal dari berbagai negara untuk belajar dan berlatih menyampaikan fatwa agar mampu melaksanakan tugas tersebut di negara mereka masingmasing.

Peranan penting Lembaga Fatwa Mesir ini berangkat dari posisinya sebagai referensi hukum (marja'iyyah) dan karena manhaj moderat (wasathiyah) yang dipilihnya dalam memahami hukum-hukum syariah dengan menyelaraskan antara pandangan syariah dengan kebutuhan masyarakat.

Hal ini agar tugas menyampaikan fatwa dapat dilakukan secara teratur dan tidak asal-asalan. Mengingat perkembangan media telekomunikasi yang sangat pesat di seluruh dunia, maka Lembaga Fatwa Mesir selalu berusaha untuk mengikuti semua perkembangan itu.

Oleh karena itu, Lembaga Fatwa Mesir memikul tanggung jawab besar akibat perkembangan telekomunikasi tersebut dan karena semakin banyaknya masalah baru dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Saat ini dipimpin oleh mufti negara Mesir, Syeikh Ali Jum’at.

Yang menarik dari Rumah Fatwa Mesir ini adalah bahwa mereka bekerja melayani permohonan fatwa serta menjawabnya dengan berbagai bahasa dalam waktu yang singkat. Jawaban-jawaban tersebut disampaikan melalui beberapa cara, yaitu:

1. Jawaban secara lisan.
Jawaban ini mengharuskan orang yang ingin menyampaikan pertanyaan (al-mustafti) untuk datang ke Lembaga Fatwa Mesir. Penanya akan bertemu langsung dengan salah satu anggota Dewan Fatwa di ruangannya.

Anggota Dewan Fatwa ini akan mencatat identitas dan pertanyaan penanya, lalu menjawabnya serta merekamnya dalam alat rekam khusus sehingga dapat disimpan dalam database dan digunakan kembali ketika diperlukan.

2. Jawaban tertulis.
Terdapat beberapa cara untuk mendapatkan jawaban secara tertulis, yaitu:

a. Mengajukan pertanyaan secara langsung.
Hal itu dilakukan dengan datang secara langsung ke Lembaga Fatwa Mesir lalu mengajukan permintaan fatwa dengan memberikan semua informasi mengenai pertanyaan itu jika diperlukan. Lalu pertanyaan itu akan disampaikan kepada salah satu anggota Dewan Fatwa yang bertugas menjawabnya dan penanya akan mendapatkan penjelasan tentang waktu pengambilan jawabannya tersebut.

b. Mengirimkan surat melalui pos.
Seorang penanya dapat menuliskan pertanyaannya dan mengirimkannya melalui pos ke alamat Lembaga Fatwa Mesir, yaitu: Dar al-Ifta al-Mishriyyah Cairo Darrasah Hadiqa al-Khaaledeen PO. Box 11675.

Surat yang berisi pertanyaan itu kemudian akan diberikan kepada salah seorang anggota Dewan Fatwa untuk dijawab lalu jawabannya akan dikirimkan kepada penanya sesuai dengan alamat yang ia cantumkan dalam suratnya.

c. Mengirimkan pertanyaan melalui faks
Seorang penanya dapat mengirimkan pertanyaannya melalui faks dengan nomor: +20-2 25926143. Pertanyaan yang datang melalui faks ini kemudian akan disampaikan kepada salah seorang anggota Dewan Fatwa. Setelah itu jawaban akan dikirim melalui faks ke nomor penanya yang disebutkan dalam pertanyaannya atau ke alamat penanya jika ia ingin jawabannya dikirimkan melalui pos.

d. Mengirimkan pertanyaan melalui e-mail.
Jika seorang penanya ingin mengirimkan pertanyaan melalui e-mail maka ia harus membuka website milik Lembaga Fatwa Mesir yaitu www.dar-alifta.org lalu masuk ke halaman Permintaan Fatwa.

Lalu hendaknya ia menentukan tema pertanyaannya misalnya tentang salat, haji, puasa, atau lainnya; dan menuliskan pertanyaan serta e-mailnya. Setelah ia mengirimkan pertanyaannya ia akan mendapatkan nomor khusus yang harus ia simpan karena akan ia pergunakan untuk membuka jawaban bagi pertanyaannya. Setelah itu salah seorang anggota Dewan Fatwa akan menjawab pertanyaan tersebut dan mengirimkan jawabannya ke alamat e-mail penanya.

Sekitar satu jam kemudian penanya dapat melihat jawaban itu di e-mailnya, atau dengan membuka website Lembaga Fatwa Mesir lalu masuk ke halaman Informasi Fatwa dan memasukkan nomor khusus yang ia terima ketika mengirimkan pertanyaan.

3. Jawaban melalui telepon.
Lembaga Fatwa Mesir menyediakan servis fatwa melalui telepon baik dari dalam maupun luar Mesir. Untuk penelepon dari dalam Mesir, maka dipersilahkan menghubungi nomor gratis 107. Sedangkan untuk penelepon luar negeri maka dapat menghubungi salah satu nomor mulai dari nomor +20-2-25970400, +20-2-25970401, +20-2-5970402 hingga nomor +20-2 25970430. Ketika seorang penanya menghubungi salah satu nomor di atas maka seorang operator di Unit Pusat Layanan Telepon Lembaga Fatwa Mesir akan menerima teleponnya dan meminta identitasnya.

Setelah itu penanya akan dibimbing untuk mengikuti petunjuk-petunjuk elektronik sehingga pertanyaannya dapat terekam. Lalu ia akan diberi nomor khusus untuk dia pergunakan ketika ingin mendengarkan jawaban dari pertanyaannya. Pertanyaan yang telah terekam itu kemudian dikirimkan ke salah satu anggota Dewan Fatwa yang bertugas menjawab pertanyaan melalui telepon.

Sekitar satu jam kemudian penanya dapat mendengar jawaban untuk pertanyaannya dengan menghubungi nomor telepon yang sama dan mengikuti petunjuk yang diberikan.

Berdasarkan kalkulasi terakhir, fatwa yang dikeluarkan oleh Lembaga Fatwa Mesir setiap bulan, baik melalui lisan, tulisan, melalui pos, faks, telepon ataupun internet, mencapai sekitar lima puluh ribu fatwa.

2. Majma’ Fiqih Islami Ad-Dauli
Nama resminya Majma’ Al-Fiqhi Al-Islami Ad-Dauli الإسلامي الدولي مجمع الفقھ . Atau sering diterjemahkan menjadi Lembaga Fiqih Islam International. Lembaga ini bermarkaz di kota Jeddah Kerajaan Saudi Arabia dan didirikan oleh Al-Munadzdzamah Al-Muktamar Al-Islami atau kita lebih akrab menyebutnya sebagai Organisasi Konferensi Islam (OKI).

Organisasi Konferensi Islam sendiri sebuah organisasi internasional dengan 57 negara anggota yang memiliki seorang perwakilan tetap di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Organisasi ini didirikan di Rabat, Maroko pada 12 Rajab 1389 H (25 September 1969) dalam Pertemuan Pertama para Pemimpin Dunia Islam yang diselenggarakan sebagai reaksi terhadap terjadinya peristiwa pembakaran Masjid Al-Aqsha pada 21 Agustus 1969 oleh pengikut fanatik Kristen dan Yahudi di Yerusalem.

3. Majma’ Fiqih Islami Rabithah Alam Islami
Lembaga ini mirip namanya dengan lembaga fiqih di atas, bedanya lembaga ini bermarkaz di Mekkah Al-Mukarramah Kerajaan Saudi Arabia. Organisasi yang ini berada di bawah Rabithah Al-‘Alam Islami.

Nama resminya adalah Majma’ Al-Fiqhi Al-Islami مجمع الفقھ الإسلامي . Rabithah Al-‘Alam Al-Islami atau Liga Muslim Sedunia adalah organisasi Islam Internasional terbesar yang berdiri di Makkah Al-Mukarramah pada 14 Zulhijjah 1381 H/Mei 1962 M oleh 22 Negara Islam. PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengelompokkanya sebagai organisasi non pemerintah dan termasuk anggota UNESCO serta anggota pengamat OKI (Organisasi Konperensi Islam).

Dalam rangka menghadapi tantangan-tantangan yang dapat mencerai-beraikan Umat Islam, maka para pemimpin, ulama, cendikiawan dan pemikir Islam sesudah selesai melaksanakan ibadah haji berkumpul di Makkah dalam acara muktamar pada tanggal 14 Zulhijjah 1381 H. Mereka bersepakat untuk mendirikan Organisasi Islam Dunia (Rabithah Alam Islami) bermarkas di Makkah yang bekerja menyatukan umat Islam.

Organisasi ini dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal yang saat ini dijabat oleh Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin Al-Turki. Menurut berbagai sumber, Rabithah Alam Islami dibiayai oleh negara-negara muslim namun dana utama berasal dari pemerintah Saudi Arabia.

Dana ini dikelola oleh dua kantor utama: kantor Sekretaris Jenderal dan Dewan Konstituante. Dewan ini memiliki 60 anggota, dengan masing-masing negara diwakili oleh dua anggota, keanggotaan bersifat sukarela.

4. Majma’ Fiqih Islami fil Hindi
Ketiga, nama resminya adalah Majma’ Al-Fiqhi Al-Islami fi Al-Hindi مجمع الفقھ الإسلامي في الھندي , yang bermarkaz di India. Didirikan tahun 1989 di bawah asuhan para ulama besar India.

5. Majma’ Buhuts Al-Islami
Lembaga fiqih ini bernama resmi Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyah مجمع البحوث الإسلامیة . Didirikan di Mesir sejak tahun 1961 di bawah pimpinan dari Universitas Al-Azhar dan dipimpin langsung oleh Syaikhul Azhar. Majma’ ini sesungguhnya adalah bagian dari Al-Azhar Mesir yang terkenal itu. Terdiri dari 50 orang ulama terbesar dari seluruh dunia Islam. Mereka adalah representasi dari hampir semua mazhab fiqih yang ada di dunia Islam. Sekjen Majma’ yang pertama adalah Dr. Mahmud Hubbullah.

6. Majma’ Fiqih Urubi
7. Majma’ Fuqaha As-Syariah fi Amrika
8. Haitu Kibaril Ulama

B. Indonesia
Di Indonesia, lembaga fiqih ada yang didirikan untuk kebutuhan organisasi massa yang besar, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis, juga ada yang mencakup buat seluruh anak bangsa seperti Majelis Ulama Indonesia.

1. Majelis Bahsul Masail Nahdlatul Ulama
Majelis Bahstul Masail Nahdhatul Ulama sebenarnya bukan sebuah lembaga fatwa yang secara rutin berkantor di satu tempat tertentu. Tetapi lebih merupakan lembaga tempat dimana para tokoh ulama dari ormas ini berkumpul, bermusyawarah dan bertukar pikiran tentang masalahmasalah hukum fiqih yang berkembang.

Biasanya sidang-sidangnya dilaksanaan bertepatan dengan Muktamar organisasi ini yang dilakukan beberapa tahun sekali. Secar historis sebenarnya majelis bahtsul masail sendiri sudah lebih dahulu ada ketimbang organisasi NU itu sendiri. Bahkan sejak dahulu sudah terbit sebuah buletin yang bernama Lailatul Ijtima’ Naddhatul Oelama disingkat menjadi LINO. Buletin itu menjadi media tertulis untutk terjadinya ajang diskusi dan perdebatan antara para ulama di kalangan ulama NU saat itu.

Misalnya, buletin itu pernah memuat polemik antara KH. Mahfudz Salam dengan Kiyai Murtadho Tuban, terkait dengan kontroversi khutbah Jumat dengan menggunakan bahasa Indonesia.

2. Majelis Tarjih Muhammadiyah
Pada tahap-tahap awal, tugas Majelis Tarjih, sesuai dengan namanya, hanyalah sekedar memilih-milih antar beberapa pendapat yang ada dalam khazanah pemikiran Islam, yang dipandang lebih kuat. Tetapi, dikemudian hari, karena perkembangan masyarakat dan jumlah persoalan yang dihadapinya semakin banyak dan kompleks, dan tentunya jawabannya tidak selalu di temukan dalam khazanah pemikiran Islam klasik, maka konsep tarjih Muhammadiyah mengalami pergeseran yang cukup signifikan.

Kemudian mengalami perluasan menjadi : usaha-usaha mencari ketentuan hukum bagi masalah-maasalah baru yang sebelumnya tidak atau belum pernah ada diriwayatkan qaul ulama mengenainya ".

Sejarah berdirinya Tarjih

Pada waktu berdirinya Persyarikatan Muhammdiyah pada 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 M, Majelis Tarjih belum ada, mengingat belum banyaknya masalah yang di hadapi oleh Persyarikatan. Namun lambat laun, seiring dengan berkembangnya Persyarikatan ini, maka kebutuhankebutuhan internal Persyarikatan ini ikut berkembang juga, selain semakin banyak jumlah anggotanya yang kadang memicu timbulnya perselisihan paham mengenai masalahmasalah keagamaan, terutama yang berhubungan dengan fiqh.

Untuk mengantisipasi meluasnya perselisihan tersebut, serta menghindari adanya peperpecahan antar warga Muhammadiyah, maka para pengurus persyarikatan ini melihat perlu adanya lembaga yang memiliki otoritas dalam bidang hukum. Maka pada tahun 1927 M , melalui keputusan konggres ke 16 di Pekalongan, berdirilah lembaga tersebut yang di sebut Majelis Tarjih Muhammdiyah. Tersebut di dalam majalah Suara Muhammadiyah no.6/1355( 1936 ) hal 145 : " ….bahwa perselisihan faham dalam masalah agama sudahlah timbul dari dahulu, dari sebelum lahirnja Muhammadijah: sebab-sebabnja banjak , diantaranja karena masing-masing memegang teguh pendapat seorang ulama atau jang tersebut di suatu kitab, dengan tidak suka menghabisi perselisihannja itu dengan musjawarah dan kembali kepada Al-Quran, perintah Tuhan Allah dan kepada Hadits, sunnah Rasulullah.

Oleh karena kita chawatir, adanja pernjeknjokan dan perselisihan dalam kalangan Muhammadijah tentang masalah agama itu, maka perlulah kita mendirikan Madjlis Tardjih untuk menimbang dan memilih dari segala masalah jang diperselisihkan itu jang masuk dalam kalangan Muhammadijah, manakah jang kita anggap kuat dan berdalil benar dari AlQuran dan hadits. "

Sejak berdirinya pada tahun 1927 M, Majelis Tarjih telah dipimpin oleh 8 Tokoh Muhammadiyah, yaitu :
1. KH. Mas Mansur
2. Ki Bagus Hadikusuma
3. KH. Ahmad Badawi
4. Krt. KH. Wardan Diponingrat
5. KH. Azhar Basyir
6. Prof. Drs. Asjmuni Abdurrohman ( 1990-1995 )
7. Prof. Dr. H. Amin Abdullah ( 1995-2000)
8. Dr. H. Syamsul Anwar , MA ( 2000-2005 )

Kedudukan dan Tugas Majelis Tarjih dalam Persyarikatan Majelis Tarjih ini mempunyai kedudukan yang istimewa di dalam Persyarikatan, karena selain berfungsi sebagai pembantu Pimpinan Persyarikatan, mereka memiliki tugas untuk memberikan bimbingan keagamaan dan pemikiran di kalangan umat Islam Indonesia pada umumnya dan warga persyarikatan Muhammadiyah khususnya. Sehingga, tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Majelis Tarjih ini merupakan ‘Think-Thank’–nya Muhammadiyah. Ia bagaikan sebuah processor pada sebuah komputer, yang bertugas mengolah data yang masuk sebelum dikeluarkan lagi pada monitor.

Adapun tugas-tugas Majelis Tarjih, sebagaimana yang tertulis dalam Qa’idah Majelis Tarjih 1961 dan diperbaharui lewat keputusan Pimpinan Pusat Muhammdiyah No. 08/SKPP/ I.A/8.c/2000, Bab II pasal 4 , adalah sebagai berikut :

1. Mempergiat pengkajian dan penelitian ajaran Islam dalam rangka pelaksanaan tajdid dan antisipasi perkembangan masyarakat.

2. Menyampaikan fatwa dan pertimbangan kepada Pimpinan Persyarikatan guna menentukan kebijaksanaan dalam menjalankan kepemimpinan serta membimbing umat, khususnya anggota dan keluarga Muhammadiyah.

3. Mendampingi dan membantu Pimpinan Persyarikatan dalam membimbing anggota melaksanakan ajaran Islam.

4. Membantu Pimpinan Persyarikatan dalam mempersiapkan dan meningkatkan kualitas ulama.

5. Mengarahkan perbedaan pendapat/faham dalam bidang keagamaan ke arah yang lebih maslahat.

Menurut Prof. DR. H. Amin Abdullah, salah satu tokoh Muhammadiyah yang pernah menjabat sebagai ketua Majelis Tarjih, bahwa Majis Tarjih sebenarnya memiliki dua dimensi wilayah keagamaan yang satu sama lainnya pelu memperoleh perhatian seimbang. Yang pertama adalah wilayah tuntunan keagamaan yang bersifat praktis, terutama ikhwal ibadah mahdhah, dan yang kedua adalah wilayah pemikiran keagamaan yang meliputi visi, gagasan, wawasan, nilai-nilai dan sekaligus analisis terhadap berbagai persoalaan (ekonomi, politik, sosial-budaya, hukum, ilmu pengetahuan, lingkungan hidup dan lain-lainnya )

Manhaj Tarjih

Sejak tahun 1935 upaya perumusan Manhaj Tarjih Muhammadiyah telah dimulai, dengan surat edaran yang dikeluarkan oleh Hoofdbestuur (Pimpinan Pusat)

Muhammadiyah. Langkah pertama kali yang ditempuh adalah dengan mengkaji al-mabadi’ al-khamsah (Masalah Lima yang merupakan sikap dasar Muhammadiyah dalam persoalan agama secara umum. Karena adanya penjajahan Jepang dan perang kemerdekaan , perumusan Masalah Lima tersebut baru bisa diselengarakan pada akhir tahun 1954 atau awal 1955 dalam Muktamar Khusus Majelis Tarjih di Yogyakarta. Masalah Lima tersebut meliputi :

1. Pengertian Agama (Islam) atau al-Din, yaitu :
Apa yang diturunkan Allah dalam Al-Quran dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih, berupa perintahperintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akherat.

2. Pengertian Dunia (al-Dunya) :
Yang dimaksud urusan dunia dalam sabda Rasulullah SAW bahwa “kamu lebih mengerti urusan duniamu” ialah : segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para nabi (yaitu perkara-perkara/pekerjaan-pekerjaan/urusan-urusan yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan manusia)

3. Pengertian Al-Ibadah :
Bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, dengan jalan mentaati segala perintah-perintahnya, menjahuhi larangan-larangan-nya dan mengamalkan segala yang diijinkan Allah. Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus :
a. yang umum ialah segala amalan yang diijinkan Allah
b. Yang khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-perinciannya, tingkat dan cara-caranya yang tertentu.

4. Pengertian Sabilillah :
Jalan yang menyampaikan perbuatan seseorang kepada keridlaan Allah, berupa segala amalan yang diijinkan Allah untuk memuliakan kalimat (agama)-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya.

5. Pengertian Qiyas
Ini belum dijelaskan secara rinci baik pengertian maupun pelaksanaannya Karena Masalah Lima tersebut, masih bersifat umum, maka Majelis Tarjih terus berusaha merumuskan Manhaj untuk dijadikan pegangan di dalam menentukan hukum. Dan pada tahun 1985-1990, yaitu tepatnya pada tahun 1986, setelah Muktamar Muhammadiyah ke- 41 di Solo, Majelis Tarjih baru berhasil merumuskan 16 point pokok-pokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Adapun Pokok-pokok Manhaj Majelis Tarjih ( disertai keterangan singkat) adalah sbb :

1. Di dalam Beristidlal
Dasar utamanya adalah Al-Quran dan As-Sunnah As-Shahihah. Ijtihad dan istinbath atas dasar ‘illat terhadap halhal yang tidak terdapat dalam nash, dapat dilakukan, sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abbudi, dan memang hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan perkataan lain, Majelis Tarjih menerima ijitihad, termasuk qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara langsung. Majelis tarjih di dalam berijtihad menggunakan tiga macam bentuk ijtihad :

Pertama, Ijtihad Bayani

Yaitu menjelaskan teks Al-Quran dan hadits yang masih mujmal, atau umum, atau mempunyai makna ganda , atau kelihatan bertentangan, atau sejenisnya), kemudian dilakukan jalan tarjih. Sebagai contohnya adalah Ijtihad Umar untuk tidak membagi tanah yang di taklukan seperti tanah Iraq, Iran, Syam, Mesir kepada pasukan kaum muslimin, akan tetapi dijadikan "Kharaj" dan hasilnya dimasukkan dalam baitul-mal muslimin , dengan berdalil QS Al-Hasyr ayat 7-10.

Kedua : Ijtihad Qiyasi Yaitu penggunaan metode qiyas untuk menetapkan ketentuan hukum yang tidak di jelaskan oleh teks Al-Quran maupun Hadist, diantaranya : menqiyaskan zakat tebu, kelapa, lada ,cengkeh, dan sejenisnya dengan zakat gandum, beras dan makanan pokok lainnya, bila hasilnya mencapai 5 wasak (7,5 kwintal).

Ketiga, Ijtihad Istishlahi

Yaitu menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara khusus dengan berdasarkan ‘illat, demi untuk kemaslahatan masyarakat, seperti membolehkan wanita keluar rumah dengan beberapa syarat, membolehkan menjual barang wakaf yang diancam lapuk, mengharamkan nikah antar agama dan lain-lain

2. Musyawarah
Dalam memutuskan sesuatu keputusan, dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam menetapkan masalah ijtihad, digunakan sistem ijtihad jama’i. Dengan demikian pendapat perorangan dari anggota Majelis, tidak dipandang kuat. Seperti pendapat salah satu anggota Majelis Tarjih Pusat yang pernah dimuat di dalam majalah Suara Muhammadiyah, bahwa dalam penentuan awal bulan Ramadlan dan Syawal hendaknya menggunakan Mathla’ Makkah. Pendapat ini hanyalah pendapat pribadi sehingga tidak dianggap kuat. Yang diputuskan dalam Munas Tarjih di Padang Oktober 2003, bahwa Muhammadiyah menggunakan Mathla’ Wilayatul Hukmi.

3. Tidak Mengikatkan Diri Kepada Suatu Madzhab
Muhammadiyah tidak mengikatkan diri kepada satu mazhba, akan tetapi pendapat-pendapat madzhab, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan hukum, sSepanjang sesuai dengan jiwa Al-Quran dan As-Sunnah, atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat. Seperti halnya ketika Majelis Tarjih mengambil pendapat Mutarif bin Al-Syahr di dalam menggunakan Hisab ketika cuaca mendung, yaitu di dalam menentukan awal bulan Ramadlan. Walaupun pendapatnya menyelisihi Jumhur Ulama. Sebagai catatan : Rumusan di atas, menunjukkan bahwa Muhammadiyah, telah menyatakan diri untuk tidak terikat dengan suatu madzhab, dan hanya menyandarkan segala permasalahannya pada Al-Quran dan Hadits saja. Namun pada perkembangannya, Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan yang mempunyai pengikut cukup banyak, secara tidak langsung telah membentuk madzhab sendiri, yang disebut " Madzhab Muhammadiyah ",ini dikuatkan dengan adanya buku panduan seperti Himpunan keputusan Tarjih (HPT).

4. Berprinsip terbuka dan toleran

Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya Majelis Tarjih yang paling benar. Keputusan diambil atas dasar landasan dalil- dalil yang dipandang paling kuat, yang di dapat ketika keputusan diambil. Dan koreksi dari siapapun akan diterima. Sepanjang dapat diberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan demikian, Majelis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan. Seperti halnya pencabutan larangan menempel gambar KH. Ahamd Dahlan karena kekawatiran tejadinya syirik sudah tidak ada lagi , pencabutan larangan perempuan untuk keluar rumah dan lain-lain.

5. Di dalam masalah Tauhid Hanya Digunakan Dalil Mutawatir Keputusan yang membicarakan tentang aqidah dan iman ini dilaksanakan pada Mukatamar Muhammadiyah ke- 17 di Solo pada tahun 1929. Namun rumusan di atas perlu ditinjau ulang. Karena mempunyai dampak yang sangat besar pada keyakinan sebagian besar umat Islam, khususnya kepada warga Muhammadiyah. Hal itu, karena rumusan tersebut mempunyai arti bahwa Persyarikatan Muhammadiyah menolak beratus-ratus hadits shahih yang tercantum dalam Kutub Sittah, hanya dengan alasan bahwa hadits ahad tidak bisa dipakai dalam masalah aqidah. Ini berarti juga, banyak dari keyakinan kaum muslimin yang selama ini dipegang erat akan tergusur dengan rumusan di atas, sebut saja sebagai contoh : keyakinan adanya adzab kubur dan adanya malaikat munkar dan nakir, syafa’at nabi Muhammad saw pada hari kiamat, sepuluh sahabat yang dijamin masuk syurga, adanya timbangan amal, (sirath) jembatan yang membentang di atas neraka untuk masuk syurga, (haudh) kolam nabi Muhammad SAW, adanya tanda- tanda hari kiamat sepeti turunnya Isa, keluarnya Dajjal. Rumusaan di atas juga akan menjerat Persyarikatan ini ke dalam kelompok Munkiru al-Sunnah , walau secara tidak langsung.

6. Tidak Menolak Ijma’ Sahabat Tidak Menolak Ijma’ Sahabat sebagai dasar suatu keputusan. Ijma’ dari segi kekuatan hukum dibagi menjadi dua , pertama : ijma’ qauli, seperti ijma’ para sahabat untuk membuat standarisasi penulisan Al-Quran dengan khot Utsmani, kedua : ijma’ sukuti. Ijma’ seperti ini kurang kuat. Dari segi masa, Ijma’ dibagi menjadi dua : pertama : ijma’ sahabat. Dan ini yang diterima Muhammadiyah. Kedua ; Ijma’ setelah sahabat )

7. Terhadap dalil-dalil yang nampak mengandung ta’arudl, digunakan cara "al jam’u wa al taufiq ". Dan kalau tidak dapat , baru dilakukan tarjih. ( Cara-cara melakukan jama’ dan taufiq, diantaranya adalah : Pertama : Dengan menentukan macam persoalannya dan menjadikan yang satu termasuk bagian dari yang lain. Seperti menjama’ antara QS Al Baqarah 234 dengan QS Al Thalaq 4 dalam menentukan batasan iddah orang hamil , Kedua : Dengan menentukan yang satu sebagai mukhashis terhadap dalil yang umum, seperti : menjama’ antara QS Ali Imran 86,87 dengan QS Ali Imran 89, dalam menentukan hukum orang kafir yang bertaubat, seperti juga menjama’ antara perintah sholat tahiyatul Masjid dengan larangan sholat sunnah ba’da Ashar, Ketiga: Dengan cara mentaqyid sesuatu yang masih mutlaq , yaitu membatasi pengertian yang luas, seperti menjama; antara larangan menjadikan pekerjaan membekam sebagai profesi dengan ahli bekam yang mengambil upah dari pekerjaanya. Keempat: Dengan menentukan arti masingmasing dari dua dalil yang bertentangan, seperti : menjama’ antara pengertian suci dari haid yang berarti bersih dari darah haid dan yang berarti bersih sesudah mandi. Kelima : Menetapkan masing-masing pada hukum masalah yang berbeda, seperti larangan sholat di rumah bagi yang rumahnya dekat masjid dengan keutamaan sholat sunnah di rumah.

8. Menggunakan asas " saddu al-daraI’ " untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah. .( Saddu al dzara’I adalah perbuatan untuk mencegah hal-hal yang mubah, karena akan mengakibat kepada hal-hal yang dilarang. Seperti : Larangan memasang gambar KH. Ahmad Dahlan, sebagai pendiri Muhammadiyah, karena dikawatirkan akan membawa kepada kemusyrikan. Walaupun akhirnya larangan ini dicabut kembali pada Muktamar Tarjih di Sidoarjo, karena kekawatiran tersebut sudah tidak ada lagi. Contoh lain adalah larangan menikahi wanita non muslimah ahli kitab di Indonesia, karena akan menyebabkan finah dan kemurtadan. Keputusan ini ditetapkan pada Muktamar Tarjih di Malang 1989.

9. Men-ta’lil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil- dalil Al-Quran dan al Sunnah, sepanjang sesuai dengan tujuan syare’ah. Adapun qaidah : " al hukmu yaduuru ma’a ‘ilatihi wujudan wa’adaman" dalam hal-hal tertentu , dapat berlaku " ( Ta’lil Nash adalah memahami nash Al-Quran dan hadits, dengan mendasarkan pada illah yang terkandung dalam nash. Seperti perintah menghadap arah Masjid Al Haram dalam sholat, yang dimaksud adalah arah ka’bah, juga perintah untuk meletakkan hijab antara laki-laki dan perempuan, yang dimaksud adalah menjaga pandangan antara laki-laki dan perempuan, yang pada Muktamar Majelis Tarjih di Sidoarjo 1968 diputuskan bahwa pelaksanaannya mengikuti kondisi yang ada, yaitu pakai tabir atau tidak, selama aman dari fitnah )

10. Pengunaaan dalil- dalil untuk menetapkan suatu hukum , dilakukan dengan cara konprehensif , utuh dan bulat. Tidak terpisah. ( Seperti halnya di dalam memahami larangan menggambar makhluq yang bernyawa,jika dimaksudkan untuk disembah atau dikawatirkan akan menyebabkan kesyirikan )

11. Dalil –dalil umum Al-Quran dapat ditakhsis dengan hadist Ahad, kecuali dalam bidang aqidah. ( Lihat keterangan dalam point ke 5 )

12. Dalam mengamalkan agama Islam, mengunakan prinsip "Taisir " ( Diantara contohnya adalah : dzikir singkat setelah sholat lima waktu, sholat tarawih dengan 11 rekaat )

13. Dalam bidang Ibadah yang diperoleh ketentuanketentuannya dari Al-Quran dan al Sunnah, pemahamannya dapat dengan menggunakan akal, sepanjang dapat diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui ,akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal memiliki kelenturan dalam menghadapai situsi dan kondisi. ( Contohnya, adalah ketika Majelis Tarjih menentukan awal Bulan Ramadlan dan Syawal, selain menggunakan metode Rukyat,juga menggunakan metode al Hisab. Walaupun pelaksanaan secara rinci terhadap keputusan ini perlu dikaji kembali karena banyak menimbulkan problematika pada umat Islam di Indonesia )

14. Dalam hal- hal yang termasuk "al umur al dunyawiyah" yang tidak termasuk tugas para nabi , penggunaan akal sangat diperlukan, demi kemaslahatan umat.

15. Untuk memahami nash yang musytarak, paham sahabat dapat diterima.

16. Dalam memahani nash , makna dlahir didahulukan dari ta’wil dalam bidang aqidah. Dan takwil sahabat dalam hal ini, tidak harus diterima. ( Seperti dalam memahami ayatayat dan hadist yang membicarakan sifat-sifat dan perbuatan Allah swt,seperti Allah bersemayam d atas Arsy, Allah turun ke langit yang terdekat dengan bumi pada sepertiga akhir malam dll ) Penyempurnaan dan Pengembangan Majelis Tarjih Sebagaimana diketahui bahwa Persyarikatan Muhammadiyah merupakan persyarikatan yang bergerak untuk Tajdid dan pembaharuan. Maka Majelis Tarjih, yang merupakan bagian terpenting dalam organisasi tersebut tidak bersifat kaku dan kolot, akan tetapi keputusan- keputusan Majelis Tarjih masih ada kemungkinan mengalami perubahan kalau sekiranya dikemudian hari ada dalil atau alasan yang dipandang lebih kuat. Bahkan nama dan kedudukan Majelis dalam Persyarikatan bisa mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan. Diantara perubahanperubahan yang terjadi dalam Majelis Tarjih adalah :

1. Perubahan nama " Majelis Tarjih ". Karena mengingat, semakin banyak dan kompleknya problematika-problematika yang dihadapi umat Islam pada puluhan tahun akhir ini. Terutama berkembangnya pemikiran baru, yang kesemuanya harus dijawab oleh Majelis Tarjih. Dan karena nama Tarjih, masih identik dengan masalah-masalah fiqh, maka nama Majelis Tarjih perlu di tambah dengan sebutan yang bisa mewakili tugas tersebut, maka dipilihlah nama Pengembangan Pemikiran Islam sehingga namanya menjadi " Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam ". Penambahan ini diputuskan pada tahun 1995, ketika dilangsungkan Muktamar Aceh.

2. Penambahan terhadap tiga bentuk Ijtihad yang digunakan Majelis Tarjih ( Yaitu Ijtihad Bayani, Qiyasi dan Istishlahi ) dengan ditambah tiga pendekatan baru ,yaitu Pendekatan " Bayani" , " Burhani" dan " Irfani". Tiga pendekatan tersebut diputuskan pada MUNAS Tarjih di Malang, tahun 2000. Kemudian disempurnakan pada MUNAS Tarjih ke 26 di Padang,Oktober 2003. Walaupun telah dilakukan beberapa kali sidang, tiga pendekatan tersebut masih belum tuntas pembahasannya.

3. Perubahan nama Mukatamar Tarjih menjadi MUNAS ( Musyawarah Nasional ) Tarjih.

4. Perampingan anggota Majelis Tarjih yaitu dengan menetapkan Anggota Tetap Majelis Tarjih . Pada awalnya muktamar –muktamar atau musyarawarah musyawarah Majelis yang bersifat nasional, melibatkan utusan-utusan wilayah-wilayah yang sering berganti-ganti, atau yang sering disingkat dengan MTPPI Wilayah. Akan tetapi pada MUNAS Tarjih ke 26 di Padang, Oktober 2003 dilakukan perampingan dengan membentuk anggota tetap Majelis Tarjih yang berjumlah sekitar 99 anggota, yang bertugas untuk melakukan sidang setiap hal itu diperlukan. Langkahlangkah ini diambil, mengingat kurang efektif dan efesiennya perjalanan Muktamar Tarjih selama ini, khususnya ketika diganti namanya dengan MUNAS( Musyawarah Nasional ) . Walaupun sampai saat ini , keputusan tersebut belum ditanfidkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, namun akan mempunyai pengaruh yang besar bagi perjalanan Majelis Tarjih pada masa-masa mendatang. Perjalan Majelis Tarjih selama 77 tahun, memang penuh dengan tantangan dan cobaan. Tugas yang diembannya untuk membimbing masyarakat Islam Indonesia, pada umumnya dan warga Persyarikatan Muhammadiyah pada khususnya dalam masalah keagamaan dan pengembangan pemikiran Islam, nampak begitu berat dan menuntut adanya kesabaran dan perjuangan, serta pencarian yang tiada kenal putus asa. Sehingga perbaikan,penyempurnaan serta pengembangan Majelis tarjih ini sangat mutlak diperlukan,guna memberikan konstribusi-konstribusi yang bermanfaat bagi umat Islam Indonesia.

Demikian tulisan singkat tentang Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam. Yang sedikit ini, mudahmudahan bisa membuka cakrawala, khususnya bagi kaderkader Muhammadiyah, dan bisa menjadi bekal awal untuk pengembangan pemikiran dalam persyarikatan ini.

3. Badan Hisbah PERSIS
Dewan Hisbah adalah sebuah lembaga hukum Islam yang dimiliki oleh Persatuan Islam (PERSIS). Pada tahun 1930-an, Persatuan Islam lebih memiliki wajah politik yang dominan, dan setelah zaman kemerdekaan, pada 1950-an, para anggotanya masih terlibat secara politik. Adapun yang menarik bagi kita adalah beberapa fatwanya yang dianggap terpengaruh oleh dinamika perpolitikan lokal zaman itu.

Fatwa-fatwa semacam ini disusun terperinci dalam bab-bab yang beruntun. Fatwa-fatwa politik, atau lebih tepatnya –menurut MB. Hooker– filsafat politik Persatuan Islam ini, dapat dilihat dari karier anggota-anggota terkemuka Persatuan Islam.

Moehamad Moenawar Chalil adalah salah satu contoh pertama yang tepat. Ia adalah seoarng aktivis politik yang bekerja di berbagai komite negara termasuk Komite Nasional Hadits dalam birokrasi agama, dan ia adalah ketua Majelis Ulama Persatuan Islam. Pada tahun 1955, tepatnya pada saat pemilihan umum pertama di Indonesia, ia mengeluarkan fatwa. Ia menyatakan bahwa pemilihan umum yang melibatkan partai-partai Muslim, melalui qiyās, sama dengan jihad, dan dengan demikian, merupakan kewajiban bagi seorang Muslim untuk mendukung kepentingan finansial kaum Muslim dengan zakat.

Dalam statemen resminya, Persatuan Islam bahkan berpendapat bahwa semua umat Islam memiliki tugas untuk terlibat dalam kegiatan politik yang merupakan bagian dari tugas agama. Pandangan ini muncul dalam tulisan-tulisan Ahmad Hassan, yang diulangi lagi dalam tulisan dan pidato Isa Anshary dan Moehammad Natsir. Pandangan seperti ini juga tercatat dalam garis-garis perjuangan Persatuan Islam dan sepenuhnya didukung oleh fatwa-fatwa ulama.

Dalam rangka mencari solusi permasalahan para anggota jam’iyyahnya, Persatuan Islam memiliki lembaga Majlis Ulama yang bertugas memberi fatwa-fatwa hukum. Lembaga ini sangat produktif dalam melahirkan pemikiran-pemikiran puritanis.

Ketika kepemimpinan Persatuan Islam dipegang oleh KH.E. Abdul Rahman (1960-1983) majlis ini berganti nama menjadi Dewan Hisbah. Penggantian nama ini dimaksudkan untuk memperluas tugas dan fungsi ulama agar tidak sekadar memberi fatwa hukum, tetapi juga melakukan kontrol terhadap para anggota jam’iyyah serta para eksekutifnya terhadap berbagai penyimpangan yang mungkin mereka lakukan.

Secara fungsional, Dewan Hisbah berkewajiban melaksanakan beberapa tugas, yaitu:

1. Meneliti hukum-hukum Islam

2. Menyusun petunjuk pelaksanaan ibadah bagi anggota jam’iyyah

3. Mengawasi pelaksanaan hukum Islam

4. Memberikan teguran kepada anggota Persatuan Islam yang melakukan pelanggaran hukum melalui Pusat Pimpinan Metodologi Dewan Hisbah Pendekatan yang dilakukan Dewan Hisbah dalam proses pembuatan keputusan adalah penggabungan antara metode pembahasan modern dan klasik. Gabungan antara ilmu pengetahuan modern dan klasik merupakan salah satu karakteristik Persatuan Islam. Karena itu, sebelum memutuskan suatu hukum, terlebih dahulu perlu mendengar pendapat para ahli ilmu pengetahuan modern tentang bidang yang hendak dibahas, sehingga diketahui definisi masalah yang hendak dibahas baik menurut etimologi maupun terminologi.

Dalam membahas suatu permasalahan, Dewan Hisbah tidak berpegang pada satu madzhab ataupun kitab-kitab klasik tertentu sebagaimana yang dilakukan oleh Forum Bahtsul Masa’il di kalangan Nahdhatul Ulama dengan alkutub al-mu‘tabarah-nya.

Menurut Dewan Hisbah, kitab-kitab manapun bisa dipergunakan sebagai pertimbangan, asal dapat dipertanggungjawabkan isinya secara ilmiah dan sesuai dengan visi mereka. Mereka menolak kitab-kitab yang bertentangan dengan aqidah mereka seperti kitab-kitab dari golongan Syiaah, Khawarij, Rafidhah, Ahmadiyah, dan lain sebagainya.

Dalam menarik kesimpulan hukum (istimbath al-ahkam), Dewan Hisbah membatasi diri melakukan istidlal hanay dari dari Al-Quran dan As-Sunnah saja. Dan ketika tidak menemukan nash syar’i, maka digunakan ijtihad kolektif (ijtihad jama’i ) yang melibatkan para ulama Dewan Hisbah.

Adapun jika terjadi kontradiksi antar nash, maka langkah pemecahan yang di ambil adalah:

1. Sedapat mungkin mempertemukan nash yang kelihatan kontradiksi

2. Melakukan tarjih, yaitu menggunakan hadits yang lebih tinggi derajat keshahihannya dan meninggalkan yang derajat keshahihannya lebih rendah.

3. Melakukan metode nasakh bila diketahui mana nash yang terdahulu dan mana yang kemudian.

Dalam masalah ibadah, Dewan Hisbah tidak menerima ijma’, kecuali ijma’ para sahabat. Ijma’ sahabat diterima sebagai sumber hukum karena diyakini bahwa para sahabat tidak akan berani bersepakat menentukan sesuatu hukum kalau tidak ada landasan yang datang dari Nabi. Ini berarti bahwa pada hakekatnya ijma’ sahabat tidak berdiri sendiri, melainkan bersandar pada sunnah Nabi.

Namun jika terjadi ijma’ ulama selain sahabat dalam masalah agama, dan pemerintah Islam menggunakan ketetapan itu sebagai Undang-Undang negara, maka Dewan Hisbah mewajibkan mengikuti dan mentaati pemerintah Islam dihadapan umum untuk menunjukkan kesetiaan kepada pemerintah Islam.

Dewan Hisbah juga tidak menerima qiyas dalam masalah ibadah. Qiyas hanya dapat diaplikasikan dalam masalah mu’amalah, karena qiyas adalah ra’yu, sedangkan ibadah tidak boleh dimasuki oleh ra’yu yang hanya berdasar pada pemikiran manusia.

4. Majelis Ulama Indonesia
Banyak orang selama ini terkecoh mengira bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah bagian dari lembaga tinggi negara di republik ini. Padahal sesungguhnya MUI sematamata hanyalah lembaga swadaya masyarakat (LSM) murni, tanpa ada keterkaitan secara birokratis dengan struktur lembaga negara.

Memang di masa awal dari Orde Baru, rezim Soeharto banyak sekali memanfaatkan lidah MUI sebagai kepanjangan tangan dari legitimasi atas semua kebijakan yang diinginkan penguasa, namun bukan berarti secara struktural MUI adalah bagian dari lembaga negara.

MUI atau Majelis Ulama Indonesia adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi ulama, zu'ama (pemerintah) dan cendekiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia.

a. Berdirinya MUI
Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, Indonesia.

MUI berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.

Dari musyawarah tersebut, dihasilkan sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama, zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI,” yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.

Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, dimana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat.

Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk:

• memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah :

• memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta;

• menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional;

• meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.

b. Lima peran MUI
Dalam khittah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:

1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti)
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri’ayat wa khadim al ummah)
4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid
5. Sebagai penegak amar ma'ruf nahi munkar

c. Daftar Ketua MUI
Sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali kongres atau musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, yaitu:

Prof. Dr. Hamka Nama Awal Jabatan 1977 Akhir Jabatan 1981

KH. Syukri Ghozali Nama Awal Jabatan 1981 Akhir Jabatan 1983

KH. Hasan Basri Nama Awal Jabatan 1983 Akhir Jabatan 1990

Prof. KH. Ali Yafie Nama Awal Jabatan 1990 Akhir Jabatan 2000

KH. M. Sahal Mahfudz Nama Awal Jabatan 2000

Ketua Umum MUI yang pertama, kedua dan ketiga telah meninggal dunia dan mengakhiri tugas-tugasnya. Sedangkan dua yang terakhir masih terus berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama ini.

d. Hubungan dengan pihak eksternal
Sebagai organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, zuama dan cendekiawan muslim serta tumbuh berkembang di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia adalah gerakan masyarakat.

Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia tidak berbeda dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lain di kalangan umat Islam, yang memiliki keberadaan otonom dan menjunjung tinggi semangat kemandirian. Semangat ini ditampilkan dalam kemandirian -- dalam arti tidak tergantung dan terpengaruh -- kepada pihak-pihak lain di luar dirinya dalam mengeluarkan pandangan, pikiran, sikap dan mengambil keputusan atas nama organisasi.

Dalam kaitan dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia tidak bermaksud dan tidak dimaksudkan untuk menjadi organisasi supra-struktur yang membawahi organisasi-organisasi kemasyarakatan tersebut, dan apalagi memposisikan dirinya sebagai wadah tunggal yang mewakili kemajemukan dan keragaman umat Islam. Majelis Ulama Indonesia, sesuai niat kelahirannya, adalah wadah silaturrahmi ulama, zuama’ dan cendekiawan Muslim dari berbagai kelompok di kalangan umat Islam.

Kemandirian Majelis Ulama Indonesia tidak berarti menghalanginya untuk menjalin hubungan dan kerjasama dengan pihak-pihak lain baik dari dalam negeri maupun luar negeri, selama dijalankan atas dasar saling menghargai posisi masing-masing serta tidak menyimpang dari visi, misi dan fungsi Majelis Ulama Indonesia.

Hubungan dan kerjasama itu menunjukkan kesadaran Majelis Ulama Indonesia bahwa organisasi ini hidup dalam tatanan kehidupan bangsa yang sangat beragam, dan menjadi bagian utuh dari tatanan tersebut yang harus hidup berdampingan dan bekerjasama antarkomponen bangsa untuk kebaikan dan kemajuan bangsa.

Sikap Majelis Ulama Indonesia ini menjadi salah satu ikhtiar mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin.

Related Posts:

1 Response to "Bab 18 Lembaga Fiqih"

  1. Assalamualaikum, mohon maaf saya ingin bertanya materi lengkap tentang majma' fiqh islami fil hindi

    BalasHapus