A. Pengertian
B. Keutamaan Qanun
C. Qanun dan Syariah
D. Perbedaan Pendapat Tentang Taqnin
1. Luasnya Syariat Islam
2. Keadaan Selalu Berubah
A. Pengertian
Secara bahasa, istilah qanun bermakna al-ashlu الأصل yang artinya adalah akar. Dan juga bisa bermakna miqyasu kulli syai’in مِقْیَاس كُلِّ شَيْءٍ yang artinya adalah ukuran segala sesuatu.
Sedangkan menurut istilah, qanun didefinisikan sebagai :
مَجْمُوعَةٌ مِنَ القَوَاعِدِ الَّتِي تَحْكُمُ أوْ تُنَظِّمُ سُلُوكَ الأَفْرَادِ فِي الْمُجْتَمَعِ وَالَّتِي يُجْبِرُ الأَفْرَادِ عَلى اتِّبَاعِهَا
Kumpulan dari ketentuan yang menjadi hukum atau mengatur perilaku individu pada masyarakat, dimana individu itu diharuskan untuk mematuhinya.Kita mengenal qanun sebagai undang-undang, peraturan, ketetapan, regulasi, dan juga hukum.
B. Keutamaan Qanun
Secara fisik, qanun biasanya disusun secara sistematis, dengan pembagian tema yang teratur dalam bagian, bab, pasal, ayat, butir, nomor dan seterusnya. Sehingga susunan qanun yang teratur dengan rapi itu memudahkan siapa pun untuk mengetahui dan memahami maksud dan ketentuan yang terkandung di dalamnya.
Hal yang seperti ini tidak bisa dengan mudah kita jumpai pada kitab-kitab syariah, yang biasanya tidak disusun berdasarkan susunan yang sistematis, setidaknya tidak sesistematis sebuah qanun.
Apalagi kalau kita membandingkannya dengan nash Al-Quran, tentu sangat jauh berbeda. Meski Al-Quran punya nama tertentu untuk tiap suratnya, namun umumnya isi dari surat itu tidak hanya melulu terkait dengan namanya.
Misalnya surat Al-Baqarah yang maknanya sapi betina, dari 286 ayatnya yang mencapai dua setengah juz itu (atau sama dengan 1/12 dari Al-Quran), tidak ada satu pun peraturan, ketentuan atau hukum yang terkait dengan sapi betina. Lalu kalau memang demikian, lantas kenapa surat itu disebut dengan surat Sapi Betina?
Ternyata di dalam surat itu ada kisah tentang Bani Israil di masa lalu yang diperintahkan untuk menyembelih seekor sapi betina. Anehnya, kisah tentang sapi betina itu hanya berjumlah tujuh ayat saja dari 286 ayat yang ada. Dan sama sekali tidak ada kandungan hukum secara langsung buat umat Islam, kecuali sekedar kisah yang memang pasti mengandung pelajaran, tapi bukan sebuah aturan aau atau undang-undang.
Tetapi hal itu sama sekali tidak mengurani kebesaran dan keagungan Al-Quran. Sebab Al-Quran memang tidak tersusun redaksinya sebagai sebagaimana sebuah qanun atau naskah undang-undang. Dilihat dari gaya bahasanya, Al-Quran lebih dekat kita sebut sebagai kitab prosa (natsr), yang merupakan salah satu corak kitab sastra, ketimbang sebuah qanun. Atau lebih tepatnya, Al-Quran adalah sumber dari qanun, dimana qanun itu kemudian bisa dibentuk dari hasil istimbath kitab Al-Quran.
C. Qanun dan Syariah
Pada hakikatnya antara qanun dan syariah ada perbedaan yang mendasar, yaitu qanun umumnya dibuat dan ditetapkan oleh manusia, sedangkan syariat ditetapkan oleh Allah SWT.
Namun yang kita bicarakan disini adalah qanun yang berangkat dari syariah. Dengan kata lain, isi dan kandungan hukum-hukum syariah disusun sebagaimana sebuah naskah qanun, sehingga mudah dimengerti dan juga mudah untuk diterapkan. Dan tentunya juga mengikat secara hukum positif di dalam suatu negara atau wilayah hukum tertentu.
Dan mengqanunkan syariah sering disebut dengan istilah taqnin asy-syariah تقنین الشریعة Sejarah menceritakan kepada kita bahwa pertama kali syariat Islam ditulis dalam format susunan sebuah kitab Undang-undang adalh di masa Khilafah Bani Utsmaniyah di Turki. Khususnya pada materi-materi yang terkait dengan fiqih muamalah. Ahmad Jaudat Basya, menteri keadilan di masa itu termasuk orang yang mempelopori penulisan undang-undang syariat ini.40 Undang-undang ini diterbitkan resmi di tahun 1286 M, terdiri dari 1.851 materi. Qanun di masa itu umumnya merujuk kepada pendapat yang zahir dari mazhab Al-Hanafiyah, yang memang agak detail dalam urusan muamalat. Al-Imam Abu Hanifah (80-150 H) dalam kesehariannya adalah seorang pelaku perdagangan yang berjualan kain di Kufah.
Apabila ada masalah dimana Al-Imam Abu Hanifah berbeda pendapat dengan pendapat kedua muridnya, Abu Yusuf dan Muhammad, maka yang digunakan adalah yang dipilih adalah pendapat yang paling sesuai dengan realitas di masa itu dan kebutuhan publik.
D. Perbedaan Pendapat Tentang Taqnin
Memformat susunan teks hukum-hukum syariat Islam menjadi sebuah kitab Undang-undang memang memberikan banyak nilai positif bagi banyak pihak. Namun di balik dari itu, juga anda unsur-unsur yang negatif yang tidak mungkin bisa dielakkan. Sehingga keberadaan undang-undang syariat ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan sebagian ulama.
Pendapat Yang Menolak Mereka yang menolak diundangkannya syariat Islam memberikan beberapa argumentasi yang perlu untuk dipertimbangkan, antara lain :
1. Luasnya Syariat Islam
Syariat Islam terlalu luas untuk sekedar dibukukan dalam sebuah undang-undang. Di dalam syariat Islam, para ulama bebas berijtihad sesuai dengan realita yang mereka temukan. Dan karena pada hakikatnya syariat Islam itu sangat luwes dan lentur, maka terciptalah begitu luasnya bentangan wilayah syariat Islam.
Kalau kemudian syariat Islam dibatasi hanya yang termaktub di dalam Undang-undang saja, maka secara tidak langsung kita telah mengkebiri dan memasung syariat Islam.
Karena itulah Al-Imam Malik rahimahullah menolak dengan tegas ketika kitab beliau mau dijadikan sebagai rujukan satu-satunya dalam ketentuan negara. Sebab dalam pandangan beliau, tidak layak pendapat satu orang saja dijadikan sebagai rujukan satu-satunya, dengan mengenyampingkan berbagai pendapat para ulama lainnya.
Padahal saat itu Al-Imam Malik diakui oleh seluruh umat Islam dimana pun berada sebagai orang yang paling tinggi ilmunya dan paling luas pemahamannya terhadap syariat Islam.
Tapi justru karena luasnya ilmu beliau, maka beliau malah menolak bisa pendapat-pendapat pribadinya dijadikan undang-undang di dalam Daulah Bani Umayyah saat itu.
Alasannya, agar tidak memasung atau mematikan keluwesan dan keluasan syariat Islam itu sendiri.
2. Keadaan Selalu Berubah
Salah satu keunggulan syariat Islam adalah dinamikanya yang selalu hidup terus menerus tidak pernah mati. Setiap zaman selalu melahirkan para mujtahid, yang selalu merefleksikan realitas di zaman masing-masing dengan teksteks suci dari Al-Quran dan As-Sunnah.
Ketika zaman terus mengalami perubahan, maka ijtihad pun akan selalu diperlukan. Namun kalau ijtihad itu kemudian dibakukan dan diabadikan sebagai undangundang yang berlaku untuk seterusnya, maka akan datang suatu masa dimana undang-undang itu akan mengalami kerentaannya, dia akan udzur dan menjadi usang, serta semakin tidak realistis lagi.
Mereka yang menolak diundangkannya syariat Islam lebih mengupayakan syariat Islam dibiarkan dinamis, agar selalu ada ijtihad yang terbaru yang dapat mengantisipasi realitas yang selalu berubah tiap waktu dan tiap tempat.
boleh minta sumber bukunya?
BalasHapus