Bab 16 Talfiq Antar Mazhab


A. Pengertian
1. Bahasa
2. Istilah

B. Batasan Talfiq
1. Wilayah Ijtihad
2. Bukan Pindah Mazhab
3. Dalam Satu Masalah

C. Contoh Talfiq
1. Masalah Wudhu
2. Masalah Rukun Nikah
3. Masalah Talak
4. Masalah Mabit di Muzdalifah

D. Bukan Termasuk Talfik
1. Mura’at Al-Khilaf
2. Ihdats Qaul Tsalis
3. Tatabbu’ Ar-Rukhash

E. Hukum Talfiq Antar Mazhab
1. Haram
2. Halal
3. Ada Yang Haram Ada Yang Halal

F. Hujjah dan Argumentasi Masing-masing Pihak
1. Yang Mengharamkan
2. Yang Menghalalkan


A. Pengertian
1. Bahasa
Secara bahasa, kata talfiq تلْفِیق itu bermakna adh-dhammu الضّمُّ dan al-jam’u الجَمْع . Dalam bahasa Indonesia keduanya dengan mudah kita maknai sebagai menggabungkan.
Dalam penggunakan bahasa Arab, ketika kita menyebut lafqu at-tsaubi لفق الثوب , bermakna menggabungkan dua ujung kain dengan ujung kain yang lain dengan jahitan. Kata attilfaq التِلْفَاق bermakna dua pakaian yang digabungkan menjadi satu. Dan ungkapan talafuq al-qaum تلافُق القَوم bermakna bertemunya suatu kaum.
Sehingga istilah talfiq antar mazhab bisa kita pahami secara etimologis sebagai penggabungan mazhab.

2. Istilah
Namun secara terminologis, ternyata kita tidak menemukan definisi talfiq ini dari para ulama fiqih klasik. Kitab-kitab fiqih dan ushul fiqih klasik ternyata tidak mencantumkan pembahasan tentang talfiq ini. Barangkali kalau kita analisa, di masa para ulama dan kitab-kitab itu ditulis, fenomena talfiq ini belum terjadi.
Kita hanya menemukan terminologi talfiq dari ulama dan kitab-kitab yang sudah agak jauh dari masa awal pertumbuhan ilmu fiqih. Dan itupun ternayta para ulama agak berbeda pendapat ketika membuat definisi dari at-talfiq baina al-mazahib ini. Maka kita perlu sedikit lebih menelurusi tentang apa pandangan masing-masing ulama yang mewakili masing-masing pendapat tentang hal ini, agar jangan sampai pembicaraan kita menjadi tidak objektif alias tidak nyambung.
Syeikh Muhammad Said Albani (bukan Nashiruddin Al-Al-Albani) di dalam kitab Umdatu At-Tahqiq fi At-Taqlid wa At-Talfiq mendefinisikan bahwa talfiq adalah1:

الإِتْيَانُ بِكَيْفِيَّةٍ لَا يَقُولُ بِهَا مُجْتَهِد
Mendatangkan suatu metode yang tidak pernah dikatakan oleh para mujtahid

Sebagian ulama yang lain seringkali mendefinisikan talfiq dengan tatabu’ ar-rukhash :

تَتَبُع الرُّخَص عَنِ الْهَوَى
Mencari keringanan karena hawa nafsu Yang dimaksud dengan mencari keringanan maksudnya adalah keringan hukum atau fatwa, di antara sekian banyak pendapat para ulama.

Pendefinisian ini memang tidak terlalu salah, namun sebenarnya mencari keringanan dengan motivasi dorongan hawa nafsu hanyalah salah satu bentuk atau sebagian dari talfiq. Karena boleh jadi seorang mujtahid mencari keringanan dalam hukum dengan menggunakan dalil yang sekiranya meringankan kesimpulan hukum, namun motivasinya tidak selalu harus karena hawa nafsu. Ada motivasi-motivasi yang lain yang bisa diterima secara syariah dalam hal talfiq ini.
Definisi yang mungkin bisa dijadikan pegangan untuk sementara ini adalah :

التَّقْلِيْدُ الْمُرَكَّبُ مِنْ مَذْهَبَيْنِ فَأَكْثَرَ فِي عِبَادَةٍ أَوْ مُعَامَلَةٍ وَاحِدَةٍ
Taqlid yang dibentuk dari dua mazhab atau lebih menjadi satu bentuk ibadah atau muamalah.
Definisi ini sudah jauh lebih lengkap, karena mencakup semua unsur dalam talfiq.

a. Taqlid
Pada hakikatnya melakukan talfiq adalah melakukan taqlid. Namun kalau biasanya seseorang bertaqlid kepada satu mazhab saja, dalam hal ini orang yang melakukan talfiq itu bertaqlid kepada dua atau lebih dari mazhab fiqih.
Orang yang melakukan talfiq pada hakikatnya tidak melakukan ijtihad, karena ijtihad adalah sebuah pekerjaan yang besar, membutuhkan keahlian yang tidak sedikit, membutuhkan waktu, tenaga dan riset yang panjang, serta hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang ekspert di bidang ijtihad.
Seorang yang melakukan talfiq hanya melakukan taqlid, tidak lebih dari itu. Dia tidak menciptakan fatwa mazhab sendiri, melainkan menggabung-gabungkan fatwa-fatwa di dari berbagai mazhab.

b. Yang Dibentuk Dari Dua Mazhab Atau Lebih
Sumber talfiq adalah pendapat-pendapat yang ada di dalam beberapa mazhab, minimal ada dua mazhab yang pendapat-pendapatnya diambil lalu mengalami remake ulang.
Dalam bahasa teknologi, talfiq mirip dengan melakukan kanibalisme antara spare part dari suatu mesin. Harddisk komputer yang sudah rusak, mungkin datanya masih bisa diselamatkan, dan teknisnya dengan melakukan kanibalisasi dari beberapa harddisk menjadi satu.
Hanya saja talfiq mazhab dengan kanibalisasi spare part tetap berbeda. Sebab mazhab yang dijadikan sumber talfiq tidak dalam kondisi rusak, malah sebalinya, justru mazhab itu dalam keadaan yang paling baik. Sedangkan kanibalisasi spare part biasanya dilakukan ketika suatu benda telah mengalami kerusakan, bahkan sudah dinyatakan mati total.
Namun oleh tukang reparasi, benda-benda yang sudah mati itu dibongkar, lalu diakali sedemikian rupa, dipreteli spare partnya, siapa tahu ada bagian tertentu yang masih bisa dipakai. Keberhasilan melakukan kanibalisasi ini juga tidak pernah bisa dijamin. Kalau lagi beruntung, tentu ada manfaatnya. Tetapi seringkali kanibalisasi tidak ada gunanya.

c. Dalam Masalah Ibadah atau Muamalat
Talfiq hanya dilakukan di wilayah praktek fiqih yang wilayah ibadah atau muamalah fiqhiyah, bukan di wilayah aqidah dan prinsip fundamental agama. Dalam hal ini, setiap satu jenis ibadah tertentu, pasti memiliki rukun, syarat dan ketentuan. Dan kenyataannya, setiap mazhab merumuskan rukun dari suatu ibadah dengan ketentuan yang berbeda-beda.
"Lawan dari melakukan taqlid adalah melakukan ijtihad, yang hanya dibenarkan bila
seseorang sudah punya ilmu dan kapasitas tertentu yang diakui secara paten sebagai
mujtahid. Ibarat pekerjaan mengobati orang sakit, meski semua orang boleh saja
mengusahakan penyembuhan lewat berbagai macam cara, namun secara paten bahwa
yang boleh melakukan proses penyembuhan secara profesional hanyalah mereka yang
berstatus sebagai dokter dan sudah mendapat izin praktek. Tujuannya tentu untuk
menjaga standar mutu pengobatan dan penyembuhan itu sendiri, agar tidak terjadi
kesalahan yang fatal, dengan menyerahkan suatu pekerjaan kepada mereka yang
bukan ahlinya."

B. Batasan Talfiq
Dengan melihat definisi di atas, maka sebuah talfiq itu adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang selama masih berada di dalam batas-batas tertentu. Bila berada di luar batas itu, meski pun ada kemiripan namun tindakan itu tidak dianggap sebagai talfiq. Dan batas-batas itu adalah :

1. Wilayah Ijtihad
Apa yang ditalfiq itu adalah masalah-masalah yang bersifat ijtihadiyah dalam urusan masalah fiqhiyah. Suatu masalah yang dimungkinkan para ulama memang berbedabeda dalam hasil ijtihad mereka, karena tidak ada dalil atau nash yang qathi secara dilalah.
Maka kita tidak mengenal istilah talfiq dalam masalah i’tiqadiyah atau wilayah yang masuk ke dalam urusan fundamental aqidah. Talfiq juga tidak dilakukan dalam
masalah yang sudah qath’I baik secara tsubut atau pun secara dilalah. Misalnya masalah yang sudah menjadi ijma’ para ulama, seperti bahwa shalat lima waktu itu hukumnya fardhu ‘ain, tidak ada istilah talfiq di dalamnya.

2. Bukan Pindah Mazhab
Talfiq itu mencampur, mengaduk dan mengoplos beberapa pendapat fiqih dari beberapa mazhab. Maka seorang yang pindah mazhab atau berganti mazhab, baik untuk sementara atau untuk seterusnya, tidak dikatakan melakukan talfiq.
Sebagai contoh sederhana, seseorang yang bermazhab Asy-syafi’iyah ketika pergi haji ke Baitullah untuk sementara mengganti mazhabnya menjadi mazhab Al-Hanafiyah, khususnya dalam hal sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tanpa pelapis. Di dalam mazhab Asy-Syafi’iyah, sentuhan itu membatalkan wudhu, sementara di dalam mazhab Al-Hanafiyah sentuhan itu tidak membatalkan wudhu’.
Maka orang ini tidak dikatakan melakukan talfiq, karena tidak tidak melakukan pencampuran mazhab, tetapi dia berpindah mazhab, meski hanya bersifat sementara dan hanya pada satu masalah saja.
Ketika Al-Imam Asy-Syafi’ie rahimahullah menciptakan mazhab baru, setelah sebelumnya beliau telah menciptakan mazhab yang lama, maka bila ada seorang pemeluk mazhab Asy-Syafi’yah berpindah ke mazhab Asy-Syafi’iyah yang baru, dia tidak dikatakan melakukan talfiq. Karena dia tidak mencampur mazhab lama dengan mazhab baru untuk digabungkan menjadi satu.

3. Dalam Satu Masalah
Talfiq itu berarti mencampur dari dua sumber atau lebih, namun pencampuran itu dilakukan di dalam satu masalah ibadah atau muamalah.
Maka orang yang shalatnya ikut mazhab Asy-syafi’iyah tapi puasanya menganut mazhab Al-Malikiyah, tidak dikatakan mencampur mazhab. Sebab pencampuran itu terjadi pada dua masalah yang berbeda dan terpisah serta tidak saling berpengaruh.
Talfiq hanya terjadi manakala pencampuan itu dilakukan di dalam satu masalah yang sama, atau dua masalah tetapi saling terkait.

C. Contoh Talfiq
Untuk lebih menjelaskan apa yang dimaksud dengan talqif antara mazhab sebagaimana batasan dan syarat di atas, tidak ada salahnya Penulis memberikan beberapa contoh yang lebih implementatif dari keseharian kita dalam beribadah atau bermuamalah.

1. Masalah Wudhu
Dalam mazhab Asy-Syafi’iyah, asalkan sebagian kepala atau beberapa helai rambut telah basah, maka hal itu sudah dianggap sah dalam mengusap kepala sebagai rukun wudhu. Sedangkan di dalam mazhab Al-Hanafiyah, yang disebut mengusap kepala itu haruslah seluruh kepala.
Sementara, di dalam mazhab Asy-Syafi’iyah, seorang laki-laki yang menyentuh kulit perempuan ajnabiyah (bukan mahram) tanpa alas atau pelapis, dianggap telah batal wudhu’nya. Sedangkan mazhab Al-Hanabilah tidak demikian, karena batalnya wudhu hanya bila terjadi hubungan suami istri.
Bentuk talfiq dalam hal ini adalah ketika seseorang dalam wudhu mengambil sebagian mazhab Asy-Syafi’iyah dan sebagian lagi dari mazhab Al-Hanabilah. Misalnya, dia mengatakan bahwa cukuplah mengusap beberapa helai rambut sebagai bentuk mengusap kepala (mazhab Asy-Syafi’iyah), namun berpendapat bahwa sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan ajnabiyah tidak membatalkan
wudhu’ (mazhab Al-Hanafiyah).
Seandainya bentuk wudhu yang baru diciptakan ini disodorkan kepada masing-masing mazhab, yaitu kepada mazhab Asy-Syafi’iyah dan mazhab Al-Hanafiyah, pastilah kedua mengatakan bahwa wudhu hasil talfiq itu tidak bisa diterima. Mazhab Asy-Syafi’iyah mengatakan tidak diterima, karena orang itu telah batal menyentuh kulit wanita tanpa alas, sedang mazhab Al-Hanafiyah mengatakan wudhu itu tidak sah, karena tidak seluruh kepala kena air.

2. Masalah Rukun Nikah
Dalam mazhab Al-Hanabilah, sebuah pernikahan tidak mensyaratkan harus ada wali, khususnya bagi wanita yang sudah pernah menikah sebelumnya.
Dalam mazhab Al-Malilkiyah, sebuah pernikahan sudah dianggap sah meskipun tidak ada saksi-saksi.
Dan dalam pandangan mazhab Asy-Syafi’iyah, seandainya seorang istri ridha tidak diberi mahar, maka pernikahan tetap sah hukumnya.
Ketiga pendapat yang berbeda itu kalau ditalfiq, akan menjadi sebuah model pernikahan baru tapi pernikahan ‘jadi-jadian’. Dan sudah bisa dipastikan bahwa semua mazhab pasti akan menolak model pernikahan seperti ini, karena dalam sudut pandang masing-masing mazhab, pernikahan itu tidak sah. Pernikahan model begini para prinsipnya sama saja dengan sebuah perzinaan, namun dengan mengatas-namakan pernikahan. Dan ini adalah salah satu contoh talfiq yang unik.

3. Masalah Talak
Istri yang ditalak untuk yang ketiga kalinya tentu tidak bisa langsung dinikahi kembali, karena harus menikah terlebih dahulu dengan orang lain. Namun dalam pandangan mazhab Asy-Syafi’iyah, bila wanita menikah dengan seorang anak laki-laki yang baru berumur 9 tahun dan sempat melakukan hubungan suami istri, maka hubungan suami istri itu sah sebagai hal yang menghalalkan.
Dan bila digabung dengan pendapat mazhab Al-Hanabilah, bila anak kecil itu mentalaknya, maka wanita itu tidak membutuhkan masa iddah. Sehingga suaminya yang pertama sudah bisa menikahinya kembali. Penggabungan dua hal ini disebut dengan talfiq.

4. Masalah Mabit di Muzdalifah
Dalam pandangan mazhab Asy-Syafi’iyah, jamaah haji wajib bermalam di Musdalifah dalam arti turun dari unta atau kendaraan, hingga terbit fajar, tidak ubahnya seperti wuquf di padang Arafah. Ibadah ini posisinya adalah kewajiban dalam haji namun bukan rukun. Sehingga kalau seseorang meninggalkan bermalam di Muzdalifah itu itu, dia diharuskan membayar denda (dam), yaitu menyembelih
seekor kambing.
Sedangkan di dalam mazhab Al-Hanafiyah, mabit di Muzdalifah itu hukumnya sunnah, bukan wajib apalagi rukun.
Dan masih banyak lagi contoh-contoh kongkrit tentang talfiq antar mazhab yang kita saksikan di tengah masyarakat.

D. Bukan Termasuk Talfik
Di atas sudah diterangkan bahwa talfiq itu punya batasan dan definisi yang khas, sehingga bisa dibedakan dengan mudah terhadap hal-hal yang mirip dengannya, namun tetap bukan termasuk talfiq.
Tindakan-tindakan yang menyerupai talfiq, namun kalau diteliti lebih dalam ternyata tetap bukan talfiq antara lain adalah mura’at al-khilaf, ihdats qaul tsalis dan tatabbu’ arrukhash.

1. Mura’at Al-Khilaf
Mura’at Al-Khilaf مُرَاعَاة الخِلاف bermakna menghindari khilaf. Maksudnya, seseorang mengambil pendapat yang berbeda dari mazhab lain, dengan latar belakang untuk menghindari perbedaan pendapat atau khilaf.
Contohnya dalam kasus nikah syighar نكاح الشغار . Nikah Syighar yaitu seorang lelaki mengawinkan putrinya kepada orang lain dengan syarat orang itu mengawinkannya dengan putrinya, dengan demikian kedua pernikahan itu menjadi tanpa mahar antara keduanya, karena harta mahar itu akan kembali lagi.
Para ulama umumnya mengatakan bahwa nikah syighar ini hukumnya haram, dan pernikahan itu tidak sah hukumnya, namun ada pengecualiannya, yaitu mazhab Al-Hanafiyah memandangnya sebagai pernikahan yang sah.

Contoh mura’aat al-khilaf dalam hal ini adalah seseorang berpendapat bahwa nikah syighar tidak sah, namun ketika anak dari hasil pernikahan itu meminta harta waris dari ayahnya, dia berpendapat untuk memberikan hak warisan itu, dengan menggunakan pendapat mazhab Al-Hanafiyah.
Padahal seharusnya kalau menggunakan logika bahwa nikah syighar itu tidak sah, anak yang lahir dari pernikahan itu tidak berhak mendapatkan harta warisan dari ayahnya, karena statusnya bukan ayah yang sah secara hukum.
Praktek ini mirip dengan talfiq, namun ternyata bukan talfiq antar mazhab.

2. Ihdats Qaul Tsalis
Makna ihdats qaulin tsalis إحداث قول ثالث adalah memproduksi pendapat yang ketiga. Maksudnya, ketika ada dua pendapat yang berbeda, seseorang tidak mengikuti pendapat yang pertama, juga tidak mengikuti pendapat yang kedua. Namun justru dia menciptakan lagi sebuah pendapat yang benar-benar baru, yang kita sebut pendapat yang ketiga.

Bedanya dengan talfiq antar mazhab, bahwa pendapat yang dibuat adalah hasil dari penggabungan unsur-unsur dari pendapat pertama dan kedua. Sedangkan ihdats qaul tsalist ini tidak menggabungkan kedua unsur dari pendapat pertama dan kedua, melainkan benar-benar memproduksi dari awal pendapat yang benar-benar baru, dan bukan hasil kanibalisme dari dua pendapat sebelumnya.

Contohnya dalam masalah hukum waris. Ada dua pendapat yang berbeda tentang hukum pembagian harta waris, bila ahli warisnya adalah kakek dan saudara-saudari almarhum. Pendapat pertama adalah pendapat mazhab Al-Hanafiyah dan sebagian mazhab Al-Hanabilah. Menurut mereka, keberadaan kakek akan menghijab (menutup) hak para saudara almarhum dari penerimaan harta waris. Pendapat kedua, merupakan pendapat jumhur ulama. Intinya, kakek tidak menghijab saudara, tetapi keduanya berbagai dalam harta warisan.

Datanglah pendapat yang ketiga, yaitu apa yang diyakini oleh Ibnu Hazm. Pendapatnya adalah benar-benar pendapat yang baru, sama sekali tidak ada kesamaan dengan pendapat pertama atau kedua. Pendapat ketiga versi Ibnu Hazm adalah bahwa kedudukan kakek menjadi gugur karena adanya saudara-saudari alharhum.

3. Tatabbu’ Ar-Rukhash
Secara bahasa, istilah rukhash رخصة adalah bentuk jama’ dari rukhshah, yang bermakna keringanan atau kemudahan. Sedangkan secara istilah, definisi rukhshah menurut Ibnu Subki adalah :

الحُكْمُ الشَّرْعِيّ إِنْ تَغَيَّرَ إِلَى سُهُولَةٍ لِعُذْرٍ مَعَ قِيَامِ السَّبَبِ لِلْحُكْمِ الأَصْلِي
Hukum syar’i yang berubah menjadi lebih mudah karena adanya suatu udzur, dengan menegakkan sebab pada hukum yang asli

Rukhshah atau keringanan dalam hukum itu sendiri berbeda-beda hukumnya. Ada yang wajib diikuti, ada juga yang mandubah dan ada yang mubah. Yang wajib diikuti misalnya keringanan untuk memakan bangkai dalam keadaan kelaparan berat yang beresiko kepada kematian. Sedangkan yang hukumnya mandubah (sunnah) misalnya keringanan untuk mengqashar shalat dalam perjalanan. Dan yang hukumnya mubah, misalnya keringanan untuk menjama’ shalat selain di Arafah dan
Mina.
Tetapi secara umum, lepas dari apakah menjalankan atau mengikuti keringanan itu wajib, mandub atau mubah, Allah SWT suka bila keringanan yang diberikannya itu dimanfaatkan oleh hamba-Nya. Dalam sebuah hadits disebutkan :

إِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَّتُهُ
Sesungguhnya Allah suka bila keringanannya dilakukan, sebagaimana Dia benci bila maksiat kepada-Nya dilakukan.(HR. Ahmad)

Tatabbu’ ar-rukhash< تتبّع الرخص bermakna mencari atau mengejar terus keringanan-keringanan yang ada dalam hukum.

E. Hukum Talfiq Antar Mazhab
Setelah kita bicara agak panjang lebar tentang pengertian talfiq, sekarang tiba giliran kita untuk menetapkan hukum atau kebolehan dari tindakan ini, sesuai dengan pandangan para ulama. Dan sesuai dengan dugaan, ternyata para ulama memang berbeda pandangan tentang hukum melakukan talfiq. Ada dari mereka yang tegas menolak dalam arti mengharamkan. Namun ada yang justru sebaliknya,
membolehkan tanpa syarat apa pun.
Dan di tengah-tengahnya, ada pendapat yang berposisi melarang tetapi juga membolehkan. Maksudnya, mereka melarang talfiq bila dilakukan dengan kriteria tertentu, tetapi membolehkan talfiq bila memenuhi syarat tertentu. Pandangan yang ketiga ini adalah pandangan yang kritis tapi objektif.

1. Haram
Umumnya para ulama mengharamkan talfiq antar mazhab secara tegas tanpa memberikan syarat apa pun. Di antara nama-nama mereka antara lain : Abdul Ghani An-Nabulsi menulis kitab Khulashatu At-Tahqiq fi Bayani Hukmi At-Taqlid wa At-Talfiq. Di dalam kitab itu beliau dengan tegas menolak kebolehan melakukan talfiq antar mazhab.

Selain itu ada As-Saffarini yang juga menolak kebolehan talfiq antar mazhab. Nama asli beliau Muhammad bin Ahmad bin Salim Al-Hanbali. Kitab yang beliau tulis
berjudul At-Tahqiq fi Buthlan At-Talfiq.

Juga ada ulama lain yang tegas menolak kebolehan talfiq antar mazhab, yaitu Al-‘Alawi Asy-Syanqithi. Beliau menulis dua kitab sekaligus, Maraqi Ash-Shu’ud dan kitab yang menjadi syarah (penjelasan) Nasyril Bunud ‘ala Maraqi Ash-Shuud.

Al-Muthi’i juga termasuk yang mengharamkan talfiq antar mazhab. Hal itu ditegaskan dalam kitab beliau Sullamu Al-Wushul li Syarhi Nihayati As-Suul.

As-Syeikh Muhammad Amin Asy-Syanqithi, ulama yang banyak menulis kitab, seperti tafsir Adhwa’ Al-Bayan dan juga Mudzakkirah Ushul Fiqih. Dalam urusan talfiq ini beliau mengharamkannya, di antaranya di dalam tulisan beliau Syarah Maraqi Ash-Shu’ud. Tegas beliau termasuk kalangan yang ikut mengharamkan tindakan talfiq antar mazhab.

Bahkan Al-Hashkafi malah mengklaim dalam kitab Ad-Dur Al-Mukhtar Syarah Tanwir Al-Abshar bahwa haramnya talfiq antar mazhab itu sudah menjadi ijma’ di antara para ulama.

2. Halal
Sedangkan di sisi yang lain, ada kalangan ulama yang justru berpendapat sebaliknya. Bagi mereka, talfiq antara mazhab itu hukumnya halal-halal saja. Tidak ada larangan apa pun untuk melakukan talfiq.
Di antara mereka yang menghalalkan talfiq ini antara lain para ulama maghrib dari kalangan mazhab Al-Malikiyah seperti Ad-Dasuqi. Beliau punya karya Hasyiyatu Ad-Dasuqi ‘ala Asy-Syarhi Al-Kabir.1

3. Ada Yang Haram Ada Yang Halal
Pendapat yang ketiga berada di posisi tengah, yaitu tidak mengharamkan talfiq secara mutlak, namun juga tidak menghalalkan secara mutlak juga. Bagi mereka, harus diakui bahwa ada sebagian bentuk talfiq yang hukumnya haram dan tidak boleh dilakukan. Namun juga tidak bisa dipungkiri bahwa dari sebagian bentuk talfiq itu ada yang diperbolehkan, bahkan malah dianjurkan. Sehingga pendapat yang ketiga ini memilah dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.

F. Hujjah dan Argumentasi Masing-masing Pihak
1. Yang Mengharamkan
Mereka yang mengharamkan talfiq antar mazhab punya banyak hujjah dan argumentasi, di antaranya :

a. Mencegah Kehancuran
Seandainya pintu talfiq ini dibuka lebar, maka sangat dikhawatirkan terjadi kerusakan yang besar di dalam tubuh syariat Islam dan hancurnya berbagai mazhab ulama yang telah dengan susah payah dibangun dengan ijtihad, ilmu dan sepenuh kemampuan.
Sebab talfiq itu menurut mereka tidak lain pada hakikatnya adalah semacam kanibalisasi mazhab-mazhab yang sudah paten, sehingga kalau mazhab-mazhab itu dioplos-ulang, maka dengan sendirinya semua mazhab itu akan hancur lebur.
Kalau mazhab-mazhab yang sudah muktamad sepanjang 14 abad itu dihancurkan, sama saja dengan meruntuhkan seluruh bangunan syariah Islamiyah.

b. Kaidah Kebenaran Hanya Satu
Ada sebuah kaidah yang dianut oleh mereka yang mengharamkan talfiq, yaitu bahwa kebenaran di sisi Allah itu hanya ada satu. Kebenaran tidak mungkin ada dua, tiga, empat dan seterusnya.
Sedangkan prinsip talfiq itu justru bertentangan dengan kaidah di atas, sebab dalam pandangan talfiq, semua mujtahid itu benar, padahal pendapat mereka jelas-jelas berbeda satu dengan yang lain.

c. Tidak Ada Dalil Yang Membolehkan
Menurut mereka yang mengharamkan talfiq, tidak ada satu pun dalil di dalam syariat Islam yang menghalalkan talfiq antar mazhab. Bahkan tidak pernah ada contoh dari para ulama salaf sebelumnya yang pernah melakukan talfiq antar mazhab.
Adapun bila kita temukan bahwa ada sebagian ulama di masa salaf yang sekilas seperti melakukan talfiq, sebenarnya itu hanya terbatas pada kesan saja. Namun secara hakikatnya, mereka tidak melakukan talfiq. Yang mereka lakukan adalah berijtihad dari awal, dan kebetulan hasil ijtihad mereka kalau dikomparasikan dengan pendapatpendapat mazhab yang sudah ada sebelumnya, mirip seperti comot sana comot sini.
Padahal mereka adalah ahli ijtihad yang tentunya tidak akan melakukan pencomotan begitu saja, sebab mereka tidak melakukan taqlid.

2. Yang Menghalalkan
Sementara itu, kalangan ulama yang menghalalkan praktek talfiq antar mazhab ini juga punya hujjah dan argumentasi yang mereka yakini kebenarannya. Di antaranya adalah :

a. Haraj dan Masyaqqah
Mengharamkan talfiq antar mazhab adalah sebuah tindakan yang amat bersifat haraj (memberatkan) dan masyaqqah (menyulitkan), khususnya buat mereka yang awam dengan ilmu-ilmu agama versi mazhab tertentu.
Hal itu mengingat bahwa amat jarang ulama di masa sekarang ini yang mengajarkan ilmu fiqih lewat jalur khusus satu mazhab saja, selain juga tidak semua ulama terikat pada satu mazhab tertentu.
Barangkali pada kurun waktu tertentu, dan di daerah tertentu, pengajaran ilmu agama memang disampaikan lewat para ulama yang secara khusus mendapatkan pendidikan ilmu fiqih lewat satu mazhab secara eksklusif, dan tidak sedikit pun mendapatkan pandangan dari mazhab yang selain apa yang telah diajarkan gurunya.
Namun seiring dengan berubahnya zaman dan bertebarannya banyak mazhab di tengah masyarakat, nyaris sulit sekali bagi orang awam untuk mengetahui dan membedakan detail-detail fatwa dan merujuknya kepada masing-masing mazhab.

b. Berpegang Pada Satu Mazhab Tidak Ada Dalilnya
Di sisi yang lain, para ulama yang membolehkan talfiq berargumentasi bahwa tidak ada satu pun ayat Al-Quran atau pun hadits nabawi yang secara tegas mengharuskan seseorang untuk berguru kepada satu orang saja, atau berkomitmen kepada satu mazhab saja.

Yang terjadi di masa para shahabat justru sebaliknya. Para shahabat terbiasa bertanya kepada mereka yang lebih tinggi dan lebih banyak ilmunya dari kalangan shahabat, namun tanpa ada ketentuan kalau sudah bertanya kepada Abu Bakar, lalu tidak boleh bertanya kepada Umar, Utsman atau Ali. Mereka justru terbiasa bertanya kepada banyak shahabat, bahkan kalau merasa agak kurang yakin dengan suatu jawaban, mereka pun bertanya kepada shahabat yang lain. Sehingga sering terjadi perbandingan antara beberapa pendapat di kalangan shahabat itu sendiri.

Dan para shahabat yang sering dirujuk pendapatnya itu, juga tidak pernah mewanti-wanti agar orang yang bertanya harus selalu setia seterusnya dengan pendapatnya, dan tidak pernah melarang mereka untuk bertanya kepada shahabat yang lain.

Karena itu menurut pendapat ini, keharaman talfiq itu justru tidak dibenarkan dan tidak sejalan dengan praktek para shahabat nabi sendiri.

c. Pendiri Mazhab Tidak Mengharamkan Talfiq
Ini adalah hujjah yang paling kuat di antara semua hujjah. Alau dikatakan bahwa haram hukumnya untuk melakukan talfiq, menurut mereka yang menghalalkannya, justru para pendiri mazhab yang muktamad seperti Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal rahimahullahu ‘alaihim ajmain justru tidak pernah mengharamkan talfiq.

Related Posts:

0 Response to "Bab 16 Talfiq Antar Mazhab"

Posting Komentar