Bab 20 Qawaid Fiqihiyah


A. Definisi
1. Makna Qawaid Secara Bahasa
2. Makna Fiqih

B. Proses Pembentukan Kaidah Fiqih

C. Manfaat, Objek dan Keutamaan
1. Manfaat
2. Objek
3.Keutamaan

D. Hubungannya dengan Ilmu lain
1. Perkembangan Kaidah

E. Contoh-contoh
D. Kaidah-kaidah Fiqih Yang Asasi
1. Meraih Kemaslahatan dan Menolak Kerusakan

E. Kaidah Asasi 1 : Al-Umuru bi Maqashidiha
1. Definisi Niat secara bahasa dan istilah
2. Dalil-dalil Kaidah
3. Fungsi Niat
4. Tempat Niat
5. Waktu niat

F. Kaidah Asasi 2 : Al-Yaqinu La Yazulu Bisysyakki
1. Definisi “al-Yaqin”
2. Definisi “as-Syak”

DALIL KAIDAH
Pengecualian Kaidah
KAIDAH-KAIDAH YANG BERADA DI BAWAH KAIDAH

G. Kaidah Asasi 3 : Al-Masyaqqatu Tajlibu At-Taysir

320

H. Kaidah Asasi 4 : Adh-Dhararu Yuzalu

I. Kaidah Asasi 5 : Al-`Adatu Muhakkamah


A. Definisi
1. Makna Qawaid Secara Bahasa
Kata qawa'id adalah bentuk jamak dari kata qaidah yang arti secara bahasa bermakna asas, dasar, atau pondasi, baik dalam arti yang konkret maupun yang abstrak, seperti katakata qawa'id al-bait, yang artinya pondasi rumah, atau qawa'id al-din,

artinya dasar-dasar agama, atau qawa'id al-ilm, artinya kaidah-kaidah ilmu.

وَإِدْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيْمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيْلُ
Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama Ismail. (QS. al-Baqarah : 127)

قَدْ مَكَرَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَأَتَى اللّٰهُ بُنْيَانَهُمْ مِنَ الْقَوَاعِدِ
Allah menghancurkan bagunan mereka dari pondasipondasinya"(QS. al-Nahl : 26)

Dari dua ayat di atas, bisa disimpulakan bahwa arti kaidah adalah dasar, asas atau pondasi, tempat yang di atasnya berdiri suatu bagunan. Pengertian kaidah semacam ini terdapat pula dalam ilmu-ilmu yang lain, misalnya dalam ilmu nahwu

(grammer) bahasa arab, seperti maf'ul itu manshub dan fa'il itu marfu'. Inilah yang disebut dengan al-qawaid an-nahwiyyah (kaidahnahwu). Dari sini ada unsur penting dalam kaidah yaitu hal yang bersifat menyeluruh, yang mencakup banyak

bagian dan cabang yang ada di bawahnya. Dengan demikian, maka al-Qawa'id al-Fiqhiyah secara etimologis adalah dasar-dasar atau asas-asas yang bertaliandengan masalah-masalah atau jenis-jenis Fiqih.

2. Makna Fiqih
Para Ulama memang berbeda dalam mendefinisikan kaidah Fiqih secara istilah. Ada yang mendefinisikannya dengan makna yang luas tetapi juga ada yang mendefinisikannya dengan mana yang sempit. Akan tetapi, substansinya tetap sama.

Sebagai contoh, Muhammad Abu Zahrah mendefisikan kaidah sebagai berikut:

مَجْمُوعَةُ الْأَحْكَامِ الْمُتَشَبِّهَاتِ الَّتِي تَرْجِعُ إِلَى قِيَاسٍ وَاحِدٍ
"Kumpulan hukum-hukum yang serupa berdasarkan qiyas (analogi) yang mengumpulkannya."

Sedangkan al-Jurjani memberikan definisi bahwa KaidahFiqih adalah:

قَضِيَّةٌ كُلِّيَّةٌ مُنْطَبِقَةٌ عَلَى جَمِيْعِ جُزْ ئِيَّاتِهَا
"Ketetapan yang kulli (menyeluruh, general) yang mencakupseluruh bagian-bagiannya"

Imam Tajjuddin as-Subki (w.771 H) mendefisikan kaidah:

الأَمْرُ الْكُلِّيُّ الَّذِي يَنْطَبِقُ عَلَيْهِ جُزْ ئِيَّاتٌ كَثِيْرَةٌ يُفْهَمُ أَحْكَامُهَا مِنْهَا
"Kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak sekali, yang dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi"

Ibnu Abidin (w.1252 H) dalam muqaddimah-nya, dan Ibnu Nuzaim (w.970 H) dalam kitab ¬al-asybah wa alnazhair dengan singkat mengatakan bahwa kaidah itu adalah :

مَعْرِفَةُ الْقَوَاعِدِ الَّتِى تُرَدُّ إِلَيْهَا وَفَرَّعُوا الْأَحْكَامَ عَلَيْهَا
"Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan hukum tersebut dirinci dari padanya"

Sedangkan menurut Imam al-Suyuthi dalam kitabnya alasybah wa al-nazhair, mendefinisikan kaidah adalah:

حُكْمٌ كُلِّيٌّ يَنْطَبِقُ عَلَى جُزْ ئِيَّاتِهِ
"Hukum kulli (menyeluruh, gerenal) yang meliputi bagianbagiannya"

Dari definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh meliputi bagian-bagian dalam arti bisa diterapkan kepada juz-iyat-nya (bagian-bagiannya). Tetapi definisi yang benar adalah:

حُكْمٌ أَغْلَبِيٌّ يَنْطَبِقُ عَلَى مُعْظَمِ جُزْ ئِيَّاتِهِ لِتُعْرَفَ أَحْكَامُهَا مِنْهُ
“Hukum yang bersifat mayoritas dan mencakup sebagian besar bagian-bagiannya supaya dapat diketahui hukumhukumnya.”

Ada satu kata kunci definisi ini dengan yang lainnya yaitu kalimat mayoritas bukan menyeluruh, karena dalam kaidah fiqih banyak sekali kasus hukum yang menjadi pengecualian dari kaidah fiqih yang ada sehingga sifatnya mayoritas artinya

banyak menampung banyak hukuma dari permasalahan fiqih dan tidak mencakup secara keseluruhan. Sifat menyeluruh sebenarnya dimiliki ilmu ushul fiqih yang sifatnya memang mencakup secara keseluruhan. Dengan demikian di dalam

hukum Islam ada dua macam kaidah, yaitu :

Kaidah Ushul Fiqih : yang kita temukan di dalam kitabkitab ushul fiqih, yang digunakan untuk menyimpulkan hukum (takhrij al-ahkam) dari sumbernya yaitu Al-Quran dan Al-Hadits.

Kaidah Fiqih : yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fiqih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash. Oleh karena itu baik

kaidah-kaidah usuhl fiqih maupun kaidah-kaidah fiqih, bisa disebutkan sebagian metodologi hukum Islam, hanya saja kaidah-kaidah ushul Fiqih sering digunakan di dalam takhrij al-akham, yaitu mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya (Al-Quran

dan Sunnah). Sedangkan kaidah-kaidah Fiqih sering digunakan di dalam tathbiq al-ahkam, yaitu penerapan hukum atas kasuskasus yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia. Dari sisi ini tidaklah heran apabila kekhilafahan Turki Usmani

antara tahun 1869-1878 mengeluarkan undangundang yang disebut Majalah al-Ahkam Al-Adliyah yang merupakan penerapan hukum Islam dengan menggunakan 99 kaidah Fiqih di bidang muamalah dengan 1.851 pasal.

B. Proses Pembentukan Kaidah Fiqih
Sulit diketahui siapa pembentuk kaidah Fiqih, yang jelas dengan meneliti kitab-kitab kaidah Fiqih dan masa hidup penyusunnya ternyata kaidah Fiqih tidak terbentuk sekaligus, tetapi terbentuk secara bertahap dalam proses sejarah hukum Islam.

Walaupun demikian, di kalangan ulama di bidang kaidah Fiqih, menyebutkan bahwa Abu Thahir al-Dibasi, ulama dari mazhab Hanafi, yang hidup di akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4 Hijriyah, telah mengumpulkan kaidah Fiqih mazhab Hanafi

sebanyak 17 kaidah. Abu Thahir selalu mengulang-ulang kaidah tersebut di masjid, sebelum para jamaah pulang ke rumahnya masing-masing. Kemudian Abu Sa'id al-Harawi, seorang ulama mazhab Asy-Syafi'i mengunjungi Abu Thahir dan

mencatat kaidah Fiqih yang dihafalkan Abu Thahir. Diantara kaidah tersebut adalah lima kaidah besar di atas. Setelah seratus tahun kemudian, datang ulama besar Imam Abu Hasan al-Karkhi, yang menambahkan kaidah Fiqih yang sudah

dikumpulkan Abu Thahir sehingga menjadi 37 kaidah.

Dari paparan di atas, jelaslah bahwa kaidah-kaidah Fiqih muncul pada akhir abad ke-3 Hijriyah. Seperti kita ketahui dari perkembangan ilmu Islam, bahwa kitab-kitab tafsir, hadits, ushul fiqih dan kitab-kitab Fiqih pada masa itu telah dibukukan.

Dengan demikian materi tentang tafsir, hadits, dan Fiqih telah cukup banyak. Kedua, tantangan dan masalah-masalah yang harus dicarikan solusinya juga bertambah, terutama karena telah meluasnya wilayah kekuasaan kaum muslimin masa

itu, maka ulama membutuhkan metode yang mudah untuk menyelesaikan masalah baru. Dari sinilah kemudian muncul kaidah-kaidah Fiqih. Terlebih lagi, kekhilafahan pada masa itu juga memotivasi para intelektual untuk berinovasi

menciptakan ilmu baru yang tujuannya adalah memudahkan orang awam untuk memahami dan mempelajari hukum dan ajaran Islam. Kaidah Fiqih memang bukan dalil, tetapi sarana bagi kita untuk mempermudah menentukan hukum pada

masalahmasalah yang kita jumpai di masyarakat. Maka para ulama’ telah memberikan investasi besar kepada kita agar kita dapat memahami hukum Islam ini dengan mudah. Oleh karena itu, bahwa proses pembentukan kaidah Fiqih adalah sebagai berikut :

Tabel Pembentukan Kaidah Fiqih

1. Sumber hukum Islam: Al-Quran dan Hadits;
2. Kemudian muncul ushul fiqih sebagai metodologi di dalam penarikan hukum (istibath al-ahkam). Dengan metodologi ushul fiqih yang menggunakan pola pikir deduktif menghasilkan Fiqih;
3. Fiqih ini banyak materinya. Dari materi Fiqih yang banyak itu kemudian oleh ulama-ulama yang mendalami ilmu di bidang Fiqih, diteliti persamaannya dengan menggunakan pola piker deduktif kemudian dikelompokkan, dan tiap-tiap

kelompok merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa, akhirnya disimpulkan menjadi kaidah-kaidah Fiqih;
4. Selanjutnya kaidah-kaidah tadi dikritisi kembali dengan menggunakan banyak ayat dan banyak hadits, terutama untuk dinilai kesesuaiannya dengan substansi ayat-ayat Al-Quran dan hadits nabi;
5. Apabila sudah dianggap sesuai dengan ayat Al-Quran dan banyak hadits Nabi, baru kemudian kaidah fiqih tersebut menjadi kaidah yang mapan;
6. Apabila sudah menjadi kaidah yang mapan/akurat, maka ulama-ulama Fiqih menggunakan kaidah tadi untuk menjawab permasalahan masyarakat, baik di bidang sosial, ekonomi, politik, dan budaya, akhirnya memunculkan hukum-hukum

Fiqih baru;
7. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila ulama memberikan fatwa, terutama di dalam hal-hal baru yang praktis selalu menggunakan kaidah-kaidah Fiqih, bahkan kekhalifahan Turki Utsmani di dalam Majalah al-Ahkam al-Adliyah,

menggunakan 99 kaidah di dalam membuat undang-undang tentang akad-akad muamalah dengan 185 pasal;
8. Seperti telah disinggung di muka. Ibnu Qayyim al-Jauzaiyah (w.751 H) murid Ibnu Taimiyah dalam kitab Fiqihnya "I'lam al-Muwaqi'in Rabb al-Alamin", memunculkan kaidah :

تَغَيُّرُ الْفَتْوَى وَاخْتِلَافُهَا بِحَسْبِ تَغَيُّرِ الْأَزْمِنَةِ وَالْأَمْكِنَةِ وَالْأَحْوَالِ وَالنِّيَّاتِ وَالْعَوَائِدِ
"Fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan zaman,tempat keadaan, niat, dan adapt kebisaaan"

Ibnu Qayyim dianggap sebagiai penemu kaidah tersebut, demikian pula Ibnu Rusyd (w.520-595 H) dalam kitab Fiqihnya Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtasid,sesudah menjelaskan perbedaan pendapat ulama tentang masalah batas

maksimal kehamilan (mudat al-haml), beliau berkesimpulan dengan kaidah :

وَالْحُكْمُ إِنَّمَا يَجِبُ أَنْ يَكُونَ بِالْمُعْتَادِ لَا بِالنَّادِرِ
"Hukum itu wajib ditetapkan dengan apa yang biasa terjadi bukan dengan apa yang jarang terjadi"

Dalam kitab al-Kharaj, Abu Yusuf memberikan fatwa kepada khalifah Harun al-Rasyid dengan kata-kata :

لَيْسَ لِلْإِمَامِ أَنْ يُخْرِجَ شَيْئًا مِنْ يَدِ أَحَدٍ إِلَّا بِحَقٍّ
"Tidak ada kewenangan bagi kepala Negara (eksekutif) untuk mengambil sesuatu dari tangan seseorang, kecuali dengan cara yang dibenarkan"

Contoh lain:

تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّاعِيَةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
“Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus berorientasi kepada kemaslahatan.”

Kaidah ini berasal dari kata-kata Imam al-Syafi'i yang berbunyi :

مَنْزِلَةُ الْوَالِي مِنَ الرَّاعِيَةِ كَمَنْزِلَةِ الْوَلِيِّ مِنَ الْيَتِيْمِ
"Kedudukan seorang pemimpin terhadap rakyatnya seperti kedudukan wali kepada anak yatim"

Kata-kata Imam al-Syafi'i ini setelah ditelaah ulamaulama lain, terutama ulama di bidang fiqih siyasah, akhirnya memunculkan kaidah tersebut di atas. Hanya saja sesudah jadi kaidah fiqih yang mapan dan dilegitimasi Al-Quran dan Sunnah,

kaidah tadi menjadi sumber dan di bawah kaidah itu dimunculkan kembali Fiqih bahkan dikelompokkan lagi, inilah yang kita lihat di dalam kitab-kitab kaidah Fiqih, setelah kaidah-kaidah Fiqih itu dibukukan. Di dalam proses pengujian kaidah-

kaidah Fiqih oleh Al-Quran dan Sunnah sering bertemu kaidah dengan hadits, maka hadits tersebut jadi kaidah, seperti:

اَلْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِيْ وَالْيَمِيْنُ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ
"Bukti/keterangan wajib disampaikan oleh penggugat dan sumpah wajib diberikan oleh yang mengingkari/tergugat" (HR. Muslim dari Ibnu 'Abbas),

atau juga hadits:

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
"Jangan memudaratkan dan jangan dimudaratkan" (HR. Al-Hakim).

Hadits ini digunakan untuk melegitimasi kaidah:

الضَّرُ يُزَالُ
"Kemudaratan harus dihilangkan" (salah satu kaidah Fiqih pokok yang lima)

Apabila mau memunculkan kaidah-kaidah baru di dalam Fiqih maka harus ditelusuri dahulu Fiqihnya, baru diukur akurasi kaidah tadi dengan banyak ayat dan banyak hadits, selanjutnya didiskusikan dan diuji oleh para ulama, baru bisa dijadikan

sebagai kaidah yang mapan. Kaidah yang sudah mapan ini akan menjadi alat (metode) dalam menjawab problem-problem di masyarakat dan memunculkan hukum-hukum Fiqih baru. Misalnya kaidah:

الْأُمُورُ بِمَقَاصِدِهَا
“Semua perkara itu tergantung kepada maksudnya”

Kaidah ini berasal dari banyak materi Fiqih, karena di dalam Fiqih, nilai suatu perbuatan tergantung kepada niatnya. Di dalam ibadah, apakah niat ibadah itu wajib atau sunnah, dilaksanakan tepat waktu atau dengan cara qadha; dalam

muamalah, apakah menyerahkan barang itu dengan niat memberi (hibah) atau meminjamkan; dalam jinayah apakah perbuatan criminal itu dilakukan karena kesengajaan (dengan niat) atau kesalahan (tanpa niat) dan seterusnya, semua itu

hukumnya dilandaskan kepada niat, maksud dan tujuannya. Hukumnya berbeda sesuai dengan niat dan tujuan masing-masing. Maka muncul kaidah tersebut di atas. Kaidah tersebut dirujukkan kepada hadits:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّات
"Setiap perbuatan tergantung niatnya" (HR. Bukhari Muslim dari Umar bin Khattab)

Juga kepada Hadits:

رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ وَالنِّسْيَانُ وَمَا اسْتُكْرِهَ عَلَيْهِ
"Diangkat dari umatku (tidak dituliskan berdosa) perbuatan karena keliru, lupa, dan terpaksa" (HR. Ibnu Majah dari Ibnu 'Abbas)

Tidak hanya dengan dalil itu saja tapi juga disandarkan kepada ayat-ayat Al-Quran yang berubungan dengan niat, seperti surat al-Ahzab ayat 5 : "Dan tidaklah ada dosa atasmu terhadap apa yang kami khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya)

pada yang disengaja oleh hatimu"

Demikian pula dalam surat an-Nisaa' ayat 92 dan 93 yang menyatakan adanya pembunuhan karena kesalahan (tanpa niat) dan pembunuhan karena sengaja (dengan niat). Selain itu juga dirujukkan kepada tujuannya, baik atau buruk, apakah

tujuannya penipuan yang dilarang atau bertujuan baik untuk memberi manfaat kepada manusia. Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa; Pertama, apabila dirujukkan kepada hadits, dan ternyata hadits-hadits tadi sama dengan kaidah, maka

hadits tadi bisa menjadi kaidah di kalangan Ulama Fiqih. Kedua, kaidah yang dirujukkan kepada pemahaman nash-nash (Al-Quran dan Al-Hadits), maka substansi pemahaman itulah yang jadi kaidah. Seperti telah disinggung di muka, setelah

menjadi kaidah yang mapan, para ulama mengelompokkan kembali materimateri Fiqih yang masuk dalam kaidah tersebut dan apa-apa yang keluar (pengecualian) sebagai contoh-contoh penerapan kaidah. Misalnya, dalam kitab al-Asybah wa

al Nazhair, Imam al-Suyuthi menjelaskan kaidah:

الأُمُورُ بِمَقَاصِدِهَا
"Setiap perkara tergantung kepada niatnya"

Al-Suyuthi, membahas masalah niat dalam beberapa sub poko bahasan:
1. Kaidah-kaidah niat dilegimitasi oleh hadits niat;
2. Adanya masalah-masalah Fiqih yang lebih sempit di kelompokkan dan disandarkan kepada kaidah tersebut, seperti masalah-masalah ibadah mahdhah, munakahat, dan jinayat yang memiliki kaidah-kaidah tersendiri;
3. Fungsi niat yang membedakan antara ibadah dan adat kebisaaan dan masalah Fiqih yang tidak diperlukan niat;
4. Ta’yin niat/menentukan niat lebih spesifik dalam hal perbuatan-perbuatan yang serupa;
5. Tempat niat adalah di dalam hati, hubungan antara talafuzh (melafazkan niat) dengan apa yang ada di dalam hati, maka yang dianggap sah adalah apa yang ada di dalam hati;
6. Syarat-syarat niat adalah tahu ilmunya, tidak mendapatkan yang bertentangan dengan niat;
7. Perbedaan pendapat di dalam penerapan niat.

Dalam hal ini, dengan mengambil pendapat al-Rafi'I al-Suyuthi memunculkan dhabith, yaitu:

النِّيَّةُ فِى الْيَمِيْنِ تُخَصِّصُ اللَّفْظَ الْعَامَّ وَلَا تُعَمِّمُ الْخَاصَّ
"Niat di dalam sumpah mengkhususkan (yang diucapkan) dengan kata-kata yang umum dan tidak bisa mengumumkan kata-kata yang khusus"

Bersumpah dengan tidak menyebutkan nama orang atau sesuatu secara khusus maka harus di jelaskan apa yang diniatkan itu siapa. Tetapi tidak sebaliknya, apa yang di niatkan kepada seseorang, maka tidak bisa digeneralisir;

8. Pembahasan tentang kasus-kasus tertentu secara khusus yang tersebut dalam kitab-kitab Fiqih mazhab Syafi'i.

Dalam kitab al-Qawa'id fi al-Fiqih, karangan Ibnu Rajab al-Hanbali, ada kaidah yang berbunyi:

مَنْ تَعَجَّلَ حَقَّهُ أَوْ مَا أُبِيْحَ لَهُ قَبْلَ وَقْتِهِ عَلَى وَجْهٍ مُحَرَّمٍ عُوقِبَ بِحِرْمَانِهِ
"Barangsiapa yang mempercepat haknya atau yang membolehkannya sebelum waktunya dengan cara yang haram, maka ia dihukum dengan keharaman (dilarang) menerima hak tersebut"

Contoh kaidah ini adalah seperti ahli waris yang membunuh pewaris, maka ia dilarang mendapatkan warisan tersebut. Atau ada orang yang menikahi wanita sebelum habis masa iddah-nya maka ia diharamkan untuk menikahi wanita tersebut.

Atau ada orang yang memburu binatang dalam keadaan ihram maka ia diharamkan memburu binatang tersebut. Kaidah ini setelah dikritisi kemudian menjadi kaidah yang dianggap lebih mapan dengan ungkapan:

مَنْ تَعَجَّلَ بِشَيْءٍ قَبْلَ أَوَانِهِ عُوقِبَ بِحِرْمَانِهِ
"Barangsiapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, diberi sanksi dengan haramnya hal tersebut"

C. Manfaat, Objek dan Keutamaan
1. Manfaat
Adapun manfaat dari mempelajari Kaidah Fiqih adalah memberi kemudahan di dalam menemukan hukum-hukum untuk kasus-kasus hukum yang baru dan tidak jelas nashnya dan memungkinkan menghubungkannya dengan materi-materi

Fiqih yang lain yang tersebar di berbagai kitab Fiqih serta lebih memudahkan kita dalam menentukan hukum.

2. Objek
Adapun objek bahasan kaidah-kaidah Fiqih itu adalah perbuatan mukallaf itu sendiri, dan materi Fiqih itu sendiri yang dikeluarkan dari kaidah-kaidah Fiqih yang sudah mapan yang tidak ditemukan nash-nya secara khusus di dalam Al-Quran atau

Sunnah atau Ijma (konsensus para ulama).

3.Keutamaan
Orang yang ingin memahami ilmu Fiqih, akan mencapai kemahirannya dalam bidang fiqih apabila dibekali dengan ilmu kaidah-kaidah Fiqih. Oleh karena itu ulama berkata :
"Barangsiapa menguasai ushul fiqih, tentu dia akan sampai kepada maksudnya, dan barangsiapa yang menguasai kaidahkaidah Fiqih pasti dialah yang pantas mencapai maksudnya"

D. Hubungannya dengan Ilmu lain
Kaidah Fiqih adalah bagian dari ilmu Fiqih. Ia memiliki hubungan erat dengan Al-Quran, Al-Hadits, Akidah dan Akhlak. Sebab, kaidah-kaidah yang sudah mapan, sudah dikritisi oleh ulama, sudah diuji serta diukur dengan banyak ayat dan hadits

nabi, terutama tentang kesesuiannya dan substansinya. Apabila kaidah Fiqih tadi bertentangan dengan banyak ayat Al-Quran ataupun Hadits yang bersifat dalil kulli (general) maka dia tidak akan menjadi kaidah yang mapan. Oleh karena itu,

mengnggunakan kaidah-kaidah Fiqih yang sudah mapan pada hakikatnya merujuk kepada Al-Quran dan Hadits, setidaknya, kepada semangat dan kearifan Al-Quran dan Hadits juga.

5. Perkembangan Kaidah
Para pencetus dan pengembang kaidah-kaidah Fiqih adalah ulama-ulama yang sangat dalam ilmu dan wawasannya dalam ilmu Fiqih sampai muncul Imam Abu Thahir al-Dibasi yang hidup pada akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4 Hijriyah,

yang baru mengumpulkan 17 kaidah Fiqih. Di kalangan tiap mazhab, ada ulama-ulama yang menjadi pelopor dan tokoh dalam bidang kaidah Fiqih, misalnya dalam mazhab Asy-Syafi'iyah, ada ulama besar yang bernama Imam 'Izzuddin bin Abd

al-Salam (w.660 H), beliau telah menyusun kitab berjudul Qawa'id al-Ahkam fi Masailil al-'Anam (kaidah-kaidah hukum untuk kemaslahatan manusia). Intinya menjelaskan tentang maksud Allah mensyariatkan hukum, dan semua kaidah

dikembalikan kepada kaidah pokok yaitu:

جَلْبُ الْمَصَالِحِ وَدَرْءُ الْمَفَاسِدِ
"Meraih yang maslahat dan menolak yang mafsadah"

Keseluruhan taklif yang tercermin di dalam konsep alahkam al-khamsah, (wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram) tujuan adalah kembali kepada kemaslahatan hamba Allah di dunia dan akhirat. Bagaimanapun ketaatan hamba, tidak akan

menambah apa-apa kepada kemahakuasaan dan kemahasempurnaan Allah. Demikian pula sebaliknya, kemaksiatan hamba tidak akan mengurangi apapun terhadap kemahakuasaan dan kemahasempurnaan Allah.

E. Contoh-contoh
Di dalam perkembangannya, kaidah-kaidah Fiqih sekarang, apabila dirinci dari kaidah pokok, kaidah di dalam setiap bab-bab Fiqih atau sering disebut dhabith, sampai kaidah-kaidah yang paling kecil tidak kurang dari 500 kaidah Fiqih, dari

mulai kaidah yang memiliki cakupan yang paling besar dan ruang lingkup paling luas seperti kaidah yang dikemukakan oleh Izzuddin Ibn Abd al-Salam tersebut di atas, sampai kaidah yang ruang lingkupnya sempit, dan cakupannya sedikit,

seperti kaidah :

عَمْدُ الصَّبِيِّ خَطَأٌ
"Kesengajaan anak kecil dianggap kesalahan"

Dhabith ini ruang lingkupnya hanya berlaku di salah satu bidang fiqih saja. Kaidah di atas ini disebut dengan dhabith karena cakupannya sangat sempit yaitu hanya pada bidang jinayah (hukum pidana Islam) saja dan hanya berlaku bagi anak

yang belum dewasa. Konsekuensinya, apabila anak yang belum dewasa melakukan kejahatan dengan sengaja, maka hukumannya tidak sama dengan hukuman yang diancamkan kepada orang dewasa. Kalaupun diberi hukuman, maka

hukumannya harus bersifat mendidik, sebab kejahatan yang dia lakukan dengan sengaja, harus dianggap suatu perbuatan kesalahan (tidak sengaja hanya kekeliruan atau kekhilafan saja) oleh hakim bukan suatu kesengajaan. Diantara para

ulama ada yang lebih merinci dan membedakan antara al-qawa'id al-Fiqhiyah dan al-dhabith alfiqih. Al-qawa'id al-Fiqhiyah memiliki cakupan dan ruang lingkup yang lebih luas, sedangkan dhabith al-fiqih memiliki ruang lingkup dan cakupan

yang lebih sempit, seperti contoh di atas. Konsekuensinya, kekecualian-kekecualian di dalam kaidah akan lebih banyak dan harus lebih hati-hati penerapannya, sedangkan kekecualian-kekecualian di dalam dhabith akan lebih sedikit.

D. Kaidah-kaidah Fiqih Yang Asasi
1. Meraih Kemaslahatan dan Menolak Kerusakan

جَلْبُ الْمَصَالِحِ وَدَرْءُ الْمَفَاسِدِ
Seperti telah dikemukakan pada pendahuluan bahwa kaidah-kaidah Fiqih itu memiliki ruang lingkup dan cakupan yng berbeda, dari ruang lingkup yang paling luas dan cakupan yang paling banyak sampai kepada kaidah-kaidah Fiqih yang

ruang lingkupnya sempit dan cakupannya sedikit.

'Izzuddin bin Abd al-Salam di dalam kitabnya Qawa'id al-ahkam fi Mashalih al-Anam mengatakan bahwa seluruh syariah itu adalah maslahat, baik dengan cara menolak mafsadah atau dengan meraih maslahat. Kerja manusia itu ada yang

membawa kepada maslahat, ada pula yang menyebabkan mafsadah. Baik masalahat maupun mafsadah, ada yang untuk kepentingan dunia dan ada juga untuk kepentingan akhirat, bahkan ada juga untuk kepentingan kedua-duanya, dunia dan

akhirat. Seluruh yang maslahat diperintahkan oleh syariah dan seluruh yang mafsadah dilarang oleh syariah. Setiap kemaslahatan memiliki tingkat-tingkat tertentu, kebaikan dan manfaatnya serta pahalanya, dan setiap kemafsadatan juga

memiliki tingkatan-tingkatannya dalam keburukan dan kemudharatannya.

Kemaslahatan dilihat dari sisi syariah bisa dibagi tiga, ada yang wajib dilaksanakan, ada yang sunnah dilaksanakan, dan ada pula yang mubah. Demikian pula mafsadatan, ada yang haram dan ada makruh. Apabila di antara yang maslahat itu

banyak dan harus dilakukan salah satunya pada waktu yang sama, maka lebih baik dipilih yang paling maslahat.

اِخْتِيَارُ الْأَصْلَحْ فَالأَصْلَحُ
“Harus memilih yang lebih maslahah dan yang lebih maslahah”

Hal ini sesuai dengan Al-Quran, yaitu :

"Beri kabar gembiralah hamba-hambaku yang mendengarkan ucapan-ucapan orang dan mengambil jalan paling baiknya" (QS. Az-Zumar : 17-18)

"Ikutilah hukum yang paling baik dari apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu" (QS az Zumar : 55)

"Perintahkanlah kepada umatmu untuk mengambil yang paling baik (QS al A'raaf : 145)

Demikian pula sebaliknya apabila menghadapi mafsadah pada waktu yang sama, maka harus didahulukan mafsadah yang paling buruk akibatnya. Apabila berkumpul antara maslahat dan mafsadah, maka yang harus dipilih yang maslahatnya

lebih banyak (lebih kuat), dan apabila sama banyaknya atau sama kuatnya maka menolak mafsadah lebih utama dari meraih maslahat, sebab menolak mafsadah itu sudah merupakan kemaslahatan. Hal ini sesuai dengan kaidah :

دَفْعُ الضَّرَرِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ النَّفْعِ
"Menolak kemudaratan lebih utama daripada meraih kemaslahatan"

Atau kaidah :

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌعَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
"Menolak mafsadah didahulukan daripada meraih maslahat"

Adapun kemaslahatan dunia dapat diketahui dengan akal sehat, dengan pengalaman dan kebiasaan-kebiasaan manusia. Sedangkan kemaslahatan dunia dan akhirat serta kemafsadatan dunia dan akhirat tidak bisa diketahui kecuali
dengan syariah, yaitu melalui dalil syara' baik Al-Quran As-Sunnah, Ijma, Qiyas yang diakui (mu'tabar) dan istislah yang shahih (akurat).

Tentang ukuran yang lebih konkret dari kemaslahatan ini, dijelaskan oleh Imam Ghazali dalam al-Mustashfa, Imam al-Syatibi dalam al-Muwafaqat dan ulama yang sekarang seperti Abu Zahrah dan Abdul Wahb Khalaf. Apabila
disimpulkan, maka persyaratan kemaslahatan tersebut adalah :

a. Kemaslahatan itu harus sesuai dengan maqashid alsyar'iah, semangat ajaran, dalil-dalil kulli dan dalil qath'i baik wurud maupun dalalahnya.

b. Kemaslahatan itu harus meyakinkan, artinya kemaslahtan itu berdasarkan penelitian yang cermat dan akurasi yang tinggi sehingga tidak meragukan bahwa hal itu bisa mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudharat.

c. Kemaslahatan itu membawa kemudahan dan bukan mendatangkan kesulitan, maksudnya adalah bahwa kemaslahatan tersebut dapat dilaksanakan sesuai kemampuan manusia.

d. Kemaslahatan itu memberi manfaat kepada sebagian besar masyarakat bukan kepada sebagian kecil masyarakat.

Seluruh tuntutan agama adalah untuk kemaslahatan hamba di dunia dan akhirat. Ketaatan hamba tidak akan menambah apa-apa kepada kemahasempurnaan dan kemahakuasaan Allah, dan sebaliknya kemaksiatan hamba
tidak akan mengurangi kemahakuasaan dan kemahasempurnaan Allah SWT. Wasilah (cara atau jalan) menuju kemaslahatan juga bertingkat atau berjenjang sesuai dengan tujuan dan kemaslahatannya. Wasilah untuk mengetahui Allah, Dzat-
Nya dna sifat-sifat-Nya, adalah wasilah yang paling utama dan lebih utama daripada mengetahui hukum-hukumnya. Wasilah mengetahui hukum-hukum Allah lebih utama daripada mengetahui ayat-ayatnya, wasilah yang berupa

usaha shalat berjamaah yang diwajibkan lebih utama daripada wasilah yang berupa usaha-usaha shalat berjamah yang disunnahkan. Jadi, ada wasilah yang menuju kepada maksud dan ada wasilah yang menuju wasilah yang lain (wasilatun ila
wasilah), seperti menuntut ilmu adalah wasilah untuik mengetahui hukum-hukum Allah dan mengetahui hukumhukum Allah adalah wasilah untuk taat kepada Allah, taat kepada Allah adalah wasilah untuk mencapai pahala dan keridhaan Allah

SWT, Amar ma'ruf adalah wasilah menuju yang ma'ruf. Demikian pula sebaliknya wasilah yang menuju kepada mafsadah juga berjenjang. Disesuaikan dengan kemafsadatannya. Nahi munkar adalah wasilah menghindarkan kemungkaran.
Wasilah yang menuju kepada yang haram, ini dijelaskan dengan panjang lebar oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitab I'lam al-Muwaqi'in 'an Rabb al-A'limin, yang menyebutkan segala wasilah yang menuju maslahat disebutnya dengan "Fath

al-Dzari'ah (membuka jalan), maksudnya kepada yang maslahat, dan segala wasilah yang menuju mafsadah disebutkan dengan "Sadd al-Dzari'ah" (penutup jalan), maksudnya penutup jalan kepada yang mafsadah. Untuk sadd al-Dzari'ah ini,

Ibnu Qayyim memberikan 99 contoh dari Al-Quran dan Hadits dan diakhiri dengan kata "Bab Sadd al-Dzari'ah adalah seperempat taklif, karena taklif ini terdiri dari perintah dan larangan.”

Perintah ada dua macam, yaitu perintahnya sendiri adalah maslahat, dan perintah adalah wasilah kepada maslahat. Sementara larangan ada dua macam pula yaitu, larangannya sendiri karena adanya mafsadah padanya, dan kedua sesuatu

yang membawa jalan menuju mafsadah. Oleh karena itu, Sadd al-Dzari'ah adalah seperempat dari agama. Dari hubungan antara maqashid/tujuan ini memunculkan kaidah-kaidah seperti:

الْوَسَائِلُ لَهَا أَحْكَامُ الْمَقَاصِدِ
" wasilah (media) itu hukumnya sama dengan hukum tujuannya"

Apabila yang dituju itu wajib, maka media menuju kepada yang wajib juga wajib. Seperti menutup aurat adalah wajib maka membeli pakaian hukumnya menjadi wajib. Atau apabila menutup aurat itu wajib, maka mengusahakan pabrik tekstil

untuk menutup aurat adalah wajib. Apabila shalat Jumat itu wajib, maka pergi ke Masjid untuk melaksanakan shalat Jumat menjadi wajib. Sebaliknya apabila yang dituju itu haram, maka usaha menuju yang haram juga haram. Misalnya berzina

adalah haram maka menyediakan sarana untuk berzina adalah haram. Contoh yang lain: Apabila babi itu haram, maka penyelenggarakan peternakan babi juga haram. Kemudian di dalam menilai baik buruknya suatu cara atau metode sangat

tergantung kepada tujuannya:

فَالْوَسَائِلُ إِلَى أَفْضَلِ الْمَقَاصِدِ هِيَ أَفْضَلُ الْوَسَائِلِ وَالْوَسِيْلَةُ إِلَى أَرْذَلِ الْمَقَاصِدِ هِيَ أَرْذَلُ الْوَسَائِلِ
"Cara (media) yang menuju kepada tujuan yang paling utama adalah seutama-utamanya cara, dan cara yang menuju kepada tujuan yang paling hina adalah seburuk-buruknya cara".

Kemudian kaidah di atas dipersingkat menjadi :

مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
'Apabila kewajiban tidak bisa dilaksanakan kecuali harus menggunakan sesuatu, maka sesuatu tersebut juga wajib."

Demikian pula halnya dengan kaidah :

مَا أَدَّى إِلَى الْحَرَامِ فَهُوَ حَرَامٌ
"Apa yang membawa kepada yang haram maka hal tersebut juga haram hukumnya"

Kedua kaidah terakhir ini sesungguhnya, asalnya, kaidah ushul fiqih karena merupakan kaidah di dalam cara istinbath (fath al-dzari'ah dan sadd al-dzari'ah). Akan teteapi para fuqaha memasukkannya sebagai kaidah Fiqih. Imam Tajjuddin as-

Subki dalam kitabnya al-Asybah wa al-Nazhair menyingkat kaidah dari Izzuddin Ibn 'Abd as-Salam dengan kata-kata: "meraih kemaslahatan" (jalb almashlih), karena menolak kemafsadatan sudah termasuk meraih kemaslahatan.

E. Kaidah Asasi 1 : Al-Umuru bi Maqashidiha

الْأُمُورُ بِمَقَاصِدِهَا
"Segala perkara tergantung kepada niatnya"

1. Definisi Niat secara bahasa dan istilah Niat menurut ulama-ulama Syafi'iyah adalah:

قَصْدُ الشَّيءِ مُقْتَرِنًا بِفِعْلِهِ أَوِ الْقَصْدُ الْمُقَارِنُ لِلْفِعْلِ
“Bermaksud melakukan sesuatu disertai dengan pelaksanaannya. Atau maksud yang menyertai perbuatan.”

Di dalam shalat misalnya, yang dimaksud dengan niat adalah bermaksud di dalam hati dan niat tersebut wajib berbarengan dengan takbiratul al-ihram, karena Takbiratul Ihram adalah perbuatan pertama yang dilakukan dalam
shalat.

2. Dalil-dalil Kaidah
Kaidah "al-umur bimaqashidiha" ini ketika dirujukkan kepada Al-Quran dan Al-Hadits ternyata mendapat legitimasi, antara lain :

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan menunaikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjelaskan) agama dengan lurus" (QS. Al-Bayyinah: 5)

"Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf kepadanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu" (QS. Al-Ahzab: 5)

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu". (QS. Al-Baqarah: 225)

Dalam hadits nabi antara lain :

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللّٰهِ وَرَسَوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللّٰهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
"Setiap perbuatan itu tergantung kepada niatnya dan bagi setiap orang sesuai dengan niatnya. Barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya dan barangsiapa hijrahnya karena mengharapkan
kepentingan dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang diniatkan" (HR Bukhari Muslim dari Umar bin Khattab).

إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللّٰهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ
"Sesungguhnya tidaklah kamu menafkahkan sesuatu dengan maksud mencari keridhaan Allah kecuali diberi pahala walaupun sekadar sesuap ke dalam mulut istrimu" (HR. Bukhari).

مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللّٰهِ هإيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيْلِ اللّٰهِ عَزَّ وَجَلَّ
"Barangsiapa berperang dengan maksud meninggikan kalimah Allah, maka dia ada di jalan Allah" (HR. Bukhari dai Abu Musa).

مَنْ أَتَى فِرَاشَهُ وَهُوَ يَنْوِي أَنْ يَقُومَ يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ حَتَّى أَصْبَحَ كُتِبَ لَهُ مَا نَوَى
"Barangsiapa yang tidur dan dia berniat akan shalat malam, kemudian di ketiduran sampai subuh maka ditulis baginya pahala sesuai dengan niatnya (HR. al-Nasi dari Abu Dzar)

نِيَّةُ الْمُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِهِ
"Niat seorang mukmin lebih baik daripada amalnya" (HR. Thabrani dari Sahl bin Sa'id al-Sa'idi)

3. Fungsi Niat
Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa fungsi niat adalah :
1. Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan.
2. Untuk membedakan jenis perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan.
3. Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dari yang sunnah.

Secara lebih mendalam lagi, para fuqaha (ahli hukum Islam) merinci masalah niat ini. Bahwa niat sangat mempengarhui hasil dari ibadah yang dilakukan baik ibadah mahdlah, seperti thaharoh (bersuci), wudhu, tayamum, mandi junub, shalat,

qasar, jamak, wajib, sunnah , zakat, haji, puasa maupun dalam hal muamalah dalam arti luas atau ibadah ghair mahdlah, seperti pernikahan, talak, wakaf, jual beli, hibah, wasiat, sewa menyewa, perwakilan, utang piutang dan akad-akad lainnya.

Juga termasuk dalam masalah Fiqih Jinayah (kriminalitas/pembunuhan) seperti melakukan pembunuhan dengan unsure kesengajaan, kondisi dipaksa atau terpaksa dan lain sebagainya, semua tergantung kepada niatnya. Dan ternyata masalah

niat ini masuk dalam berbagai permasalahan Fiqih yang sangat luas, sehingga Imam al-Suyuthi menyatakan "Apabila kau hitung masalah-masalah Fiqih yang berhubungan dengan niat ini tidak kurang dari sepertiga atau seperempatnya.”

Rupanya yang paling penting dalam masalah niat ini bukan soal kualitas masalah Fiqih yang ribuan atau bahkan puluhan ribu yang tersebar di dalam kitab-kitab Fiqih, akan tetapi kualitas kaidah ini memang mendasar dan tidak banyak

masalah-maslah Fiqih yang diluar kaidah tersebut. Di antara pengecualian kaidah di atas –artinya dalam beberapa kasih di bawah ini, niat tidak lagi diperhitungkanantara lain:

1. Suatu perbuatan yang sudah jelas-jelas ibadah bukan adat sehingga tidak bercampur dengan yang lain. Dalam hal ini tidak diperlukan niat, seperti iman kepada Allah, makrifat, khauf, raja', iqamah, azan, zikir dan membaca Al-Quran kecuali

apabila membacanya dalam rangka nazar, maka semuanya tidak lagi dibutuhkan niat, karena perbuatan-perbuatan tersebut tidak mungkin disebut dengan perbautan yang bernilai lain.

2. Tidak diperlukan niat dalam meninggalkan perbuatan, seperti meninggalkan perbuatan zina dan perbuatanperbuatan lain yang dilarang (haram) karena dengan tidak melakukan perbuatan tersebut, maksud sudah tercapai maksud dari

pelarangan perbuatan tersebut. Memang betul, diperlukan niat apabila mengharapkan pahala yaitu dengan meninggalkan yang dilarang.

3. Keluar dari shalat tidak diperlukan niat, karena niat diperlukan dalam melaksanakan suatu perbuatan bukan meninggalkan suatu perbuatan.

4. Tempat Niat Para Ulama mazhab Hambali menyatakan bahwa tempat niat ada di dalam hati, karena niat adalah perwujudan dari maksud, dan tempat dari maksud adalah hati. Jadi apabila meyakini di dalam hati, maka itu sudah cukup

dianggap niat dan benar atau sah niatnya; tetapi menurut mereka niat tersebut boleh didahulukan dari perbuatan. Namun –masih menurut mereka- yang lebih utama adalah niat bersamasama dengan takbirat al-ihram di dalam shalat, agar niat
ikhlas menyertainya dalam ibadah. Jadi hukumnya tidak wajib menyertakan niat dengan perbuatan. Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan sesuatu perbuatan itu

dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perbuatan yang diperintahkan atau disunnahkan atau yang diperbolehkan oleh agama ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah, tetapi semata-mata

karena kebiasaan saja. Misalnya seseorang yang mampir di sebuah masjid, maka harus dilihat apakah dia berniat 'itikaf ataukah tidak?. Apabila dia berniat iktikaf di masjid tersebut, maka dia mendapat pahala dari ibadah iktikafnya. Dan jika dia

tidak berniat I’tikaf maka dia tidak mendapatkan pahala dari perbuatannya tersebut karena perbuatnnya tersebut tidak termasuk ibadah.
Contoh yang lain: Ada orang melakukan kejahatan pembunuhan, maka harus dilihat niatnya apakah dia niat sengaja melakukannya ataukah dia tidak tidak sengaja. Untuk kasus pertama disebut pembunuhan sengaja karena dia berniat

melakukannya, sedangkan untuk kasus kedua disebut pembunuhan karena kesalahan sebab dia tidak niat melakukannya. Dan ini menunjukkan bahwa kualitas perbuatan buruk seseorang juga ikut ditentukan oleh niatnya. Kalau niatnya sengaja,

maka hukumannya adalah Qishas, sedangkan kalau dia melakukannya tidak sengaja tetapi karena kesalahan maka dia cukup membayar diyat. Demikian pula halnya antara ibadah yang fardhu dan ibadah yang sunnah, dibutuhkan niat untuk
membedakannya. Dalam hal ini perlu dibedakan antara niat dan motif (bi'as). Tentang nait sudah dijelaskan diatas, sedangkan motif adalah dorongan jiwa untuk melakukan perbuatan yang muncul sebelum adanya niat. Dalam melakukan suatu

perbuatan, seorang manusia melalui tahaptahap tertentu. Tahap pertama adalah tahap pemikiran yaitu memikirkan untuk melakukan sesuatu perbuatan atau tidak. Tahap kedua adalah tahap persiapan, yaitu persiapan untuk pelaksanaan dan

tahap ketiga adalah tahap pelaksanaan yaitu melaksanakan pekerjaan yang sudah dipikirkan dan dipersiapkan tadi. Di kalangan para ulama ada kesepakatan bahwa suatu perbuatan ibadah tidak sah, tanpa disertai dengan niat, kecuali untuk

beberapa hal saja, yang termasuk pengecualian dari kaidah-kaidah tersebut di atas. Jadi semua ibadah wajib diniatkan kalau ibadahnya ingin diterima Allah swt.

5. Waktu niat
Sehubungan dengan kaidah tentang niat ini adalah dhabith yang ruang lingkupnya lebih kecil dari kaidah tersebut di atas biasanya disebut dhabith, antara lain:

الْعِبْرَةُ فِي الْعُقُوْدِ لِلْمَقَاصِدِ وَالْمَعَانِي لَا لِلأَلْفَاظِ
"Pengertian yang diambil dari suatu tujuannya bukan sematamata kata-kata dan ungkapannya"

Contohnya: Apabila seorang berkata, "saya hibahkan barang ini untukmu selamanya, tapi saya minta ung satu juta rupiah", meskipun katanya adalah hibah, tapi dengan permintaan uang, maka akad tersebut bukan hibah (pemberian), tapi akad

jual beli dengan segala akibatnya. Di kalangan mazhab Hanafi ada kaidah:

لَا ثَوَابَ إِلَّا بِالنِّيَّةِ
"Tidak ada pahala kecuali dengan niat"

Kaidah ini dimaksudkan ke dalam al-qawa'id al-kulliyah yang pertama sebelum al-umur bimaqashidiha. Sedangkan di kalangan mazhab Maliki, kaidah tersebut menjadi cabang dari kaidah al-umur bimaqashidiha, seperti diungkapkan Qadhi Abd

Wahab al-Baghdadi al-Maliki. Tampaknya pendapat mazhab Maliki ini lebih bias diterima, akarena kaidah di atas, asalnya :

لَا ثَوَابَ وَلَا عِقَابَ إِلَّا بِالنِّيَّةِ
"Tidak ada pahala dan tidak ada siksa kecuali karena niatnya".

لَوِ اخْتَلَفَ اللِّسَانُ وَالْقَلْبُ فَالْمُعْتَبَرُ مَا فِى الْقَلْبِ
"Apabila berbeda antara apa yang diucapkan dengan apa yang ada dalam hati (diniatkan), maka yang dianggap benar adalah apa yang ada di dalam hati".

Apabila dalam hati niat wudhu, sedang yang diucapkan adalah mendinginkan anggota badan, maka wudhunya tetap sah.

كُلُّ مُفَرِّ ضَيْنِ فَلَا تَجْزِيْهِمَا نِيَّةٌ وَاحِدَةٌ إِلَّا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ
"Setiap dua kewajiban tidak boleh dengan satu niat, kecuali ibadah haji dan umrah."

Seperti diketahui dalam pelaksanaan ibadah haji ada tiga cara: pertama, haji tamatu, yaitu mengerjakan umrah dahulu baru mengerjakan haji, cara ini wajib membayar dam. Kedua:
haji ifrad, yaitu mengerjakan haji saja, cara ini tidak wajib membayar dam. Ketiga, haji qiron, ialah mengerjakan haji dan umrah dalam satu niat dan satu pekerjaan sekaligus.
Cara ini juga wajib membayar dam. Cara ketiga inilah haji qirom yang dikecualikan oleh kaidah tersebut di atas. Jadi prinsipnya setiap dua kewajiban ibadah atau lebih, masingmsaingnya harus dilakukan dengan niat tersendiri.

كُلُّ مَا كَانَ لَهُ أَصْلٌ فَلَا يَنْتَقِلُ عَنْ أَصْلِهِ بِمُجَرَّدِ النِّيَّةِ
"Setiap perbuatan asal/pokok, maka tidak bias berpindah dari yang asal karena semata-mata niat."

Contoh: seseorang niat shalat Zuhur, kemudian setelah satu rakaat dia berpindah kepada niat shalat tahiyat almasjid, maka batal shalat Zuhurnya. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Abu Hanifah dan juga mazhab Malik. Kasus ini berbeda

dengan orang yang sejak terbit fajar belum makan dan minum, kemudian tengah hari berniat shaum sunnah, maka sah shaumnya, karena sejak terbit fajar belum makan apa-apa.

مَقَاصِدِ اللَّفْظِ عَلَى نِيَّةِ الْلَّافِظِ
"Maksud yang terkandung dalam ungkapan kata sesuai dengan niat orang yang mengucapkan".

Maksud kata-kata seperti: hibah, nazar, shalat, sedekah dan seterusnya harus dikembalikan kepada niat orang yang mengucapkan kata tersebut, apa yang dimaksud olehnya, apakah sedekah itu maksudnya zakat, atau sedekah sunnah.
Apakah shalat itu maksudnya shalat fardhu atau shalat sunnah.

الأَيْمَانُ مَبْنِيَّةٌ عَلَى الْأَلْفَاظِ وَالْمَقَاصِدِ
"Sumpah itu harus berdasarkan kata-kata dan maksud".

Khusus untuk sumpah kata-kata yang khusus yang digunakan yaitu, "wallahi" atau "demi Allah saya bersumpah" bahwa saya…. dan seterusnya. Selain itu harus diperhatikan pula apa maksud dengan sumpahnya itu. Dalam hukum Islam antara

niat, cara, dan tujuan harus ada dalam garis lurus, artinya niatnya harus ikhlas, caranya harus benar dan baik, dan tujuannya harus mulia untuk mencapai keridhaan. Allah SWT.

F. Kaidah Asasi 2 : Al-Yaqinu La Yazulu Bisysyakki

اليَقِيْنُ لَا يَزُولُ بِالشَّكِّ
"Keyakinan tidak bisa dikalahkan dengan keraguan".

1. Definisi “al-Yaqin”
Yang dimaksud dengan yakin di sini adalah:
"Sesuatu yang menjadi tetap karena penglihatan pancaindra atau dengan adanya dalil"

Adapula yang mengartikan bahwa yang dimaksud yakin adalah yakin yang disertai dengan ilmu (pengetahuan) tentang sesuatu yang membawa kepada kepastian dan kemantapan hati tentang hakikat sesuatu itu, dalam arti tidak ada keraguan

lagi.

2. Definisi “as-Syak”
Adapun yang dimaksud dengan al-syak di sini adalah:
"Suatu pertentangan antara kepastian dengan ketidakpastian tentang kebenaran dan kesalahan dengan kekuatan yangsama, dalam arti tidak dapat ditarjihkan (tidak dipilih yang paling benar dari) salah satunya. Di dalam kitab-kitab Fiqih banyak

dibicarakan tentang hal yang berhubungan dengan keyakinan dan keraguan. Misalnya: orang yang sudah yakin suci dari hadas, kemudian dia ragu, apakah sudah batal wudhunya atau belum? Maka dia dalam keadaan suci. Hanya saja untuk

ihtiyath (kehatihatian), yang lebih utama adalah memperbaharui wudhunya (tajdid al-wudhu).
Contoh lain: seorang istri mengaku belum diberi nafkah untuk beberapa waktu, maka yang dianggap benar adalah kata si istri, karena yang meyakinkan adalah bahwa suami punya tanggung jawab memberi nafkah kepada isterinya kecuali

apabila si suami mempunyai bukti yang menyakinkan pula.
Contoh lain: seorang debitor mengaku telah membayar utangnya kepada kreditor, tetapi si kreditor tidak mengakui bahwa dia telah menerima pembayaran tersebut, maka ucapan kreditor yang dibenarkan karena yang meyakinkan
adalah debitor belum ada membayar utangnya, kecuali ada bukti lain yang meyakinkan pula. Misalnya, adanya kwitansi pembayaran yang sah. Lain lagi halnya dengan kasus misalnya, si A mengaku bahwa si B berutang kepadanya, tetapi si B

menyatakan bahwa dia tidak mempunyai hutang kepada si A. Maka, yang diakui adalah perkataan si B yaitu bahwa dia tidak punya hutang, karena pada asalnya tidak ada utang piutang antara si A dan si B, kecuali si A mempunyai bukti yang sah

dan meyakinkan bahwa si B mempunyai utang kepadanya, misalnya: kwitansi penyerahan uang dari si A kepada si B.
Contoh lain dalam kasus fiqih siyasah adalah tentang pemilihan Kepala Daerah. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) menyatakan bahwa kelompok A yang menang dan kelompk B yang kalah. Kemudian kelompok B mengajukan gugatan

bahwa seharusnya kelompok A yang kalah dan kelompok B yang menang. Alasannya karena adanya kecurangan. Maka dalam hal ini, yang meyakinkan adalah bahwa telah terjadi pemilihan umum dan kelompok A yang menang. Kecuali apabila

kelompok B memberikan buktibukti yang sah dan meyakinkan pula bahwa kelompoknya yang menang.
Contoh lain dalam fiqih Jinayah (kriminalitas), apabila seseorang menuduh orang lain melakukan kejahatan, maka tuduhan tersebut tidak dapat diterima. Kecuali ada bukti yang sah dan meyakinkan bahwa orang tersebut telah
melakukan kejahatan. Kaidah ini sama dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) dalam hukum Barat. Selain itu, secara moral, seorang muslim harus memiliki husnu zhan (berprasangka baik) sebelum ada bukti yang

meyakinkan bahwa dia adalah orang jahat Masih banyak contoh-contoh lainnya di berbagai bidang Fiqih sehingga muncul kaidah tersebut di atas.

DALIL KAIDAH
Kaidah tersebut dirujukkan kepada hadits nabi antara lain:

إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِى بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا
"Apabila seseorang merasakan sesuatu dalam perutnya, kemudian dia ragu apakah sesuatu itu telah keluar dari perutnya atau belum. Maka orang tersebut tidak boleh keluar dari masjid sampai dia mendengar suara (kentut) atau mencium

baunya" (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

Juga hadits Nabi yang lain yang senada dengan hadits di atas:

شكي إلى النبي صلى اللّٰه عليه وسلم الرجل يخيل إليه أنه يجد الشيء فى الصلاة قال : ينصرف حتى يسمع صوتا أو يجد ريحا
"Diadukan kepada Rasulullah SAW bahiva ada seorang lakilaki menyangka ada sesuatu yang keluar dalam waktu shalat. Rasulullah SAW bersabda: Janganlah ia keluar dari shalatnya sampai dia mendengar suara (kentut) atau mencium baunya"

(HR. Muslim dari Abu Sa'id al-Khudri)

Dalam hadits yang lain Nabi bersabda:

إِذَا شَكَّ أَحَدُ كُمْ فِي صَلاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ وَالْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ
"Apabila seseorang ragu mengerjakan shalat, dia lupa berapa rakaat dia telah melakukan shalatnya, apakah tiga rakaat atau empat rakaat. Maka hilangkanlah keraguannya (empat rakaat) dan tetaplah dengan apa yang dia yakini" (HR. Muslim

dari Abu Sa'id al-Khudri).

Juga dalam hadits yang lain:
"Tinggalkanlah apa yang meragukanmu, berpindahlah kepada yang tidak meragukanmu". (HR. al-Nasai dan al-Turmudzi dari Hasan bin Ali)

Pengecualian Kaidah
Misalnya, ada seorang wanita yang sedang menstruasi tetapi dia ragu, apakah sudah berhenti atau belum. Maka ia wajib mandi besar untuk shalat. Padahal seharusnya yang meyakinkan adalah dia belum selesai menstruasinya. Contoh lain:

apabila ada orang yang ragu, apakah yang keluar dari kemaluannya itu mani atau madzi, maka ia wajib mandi besar. Jadi yang dibenarkan adalah bahwa yang keluar itu adalah mani, padahal yang meyakinkan adalah madzi. Karena mani itu

sudah jelas tandanya. Namun untuk kehati-hatian, maka yang dibenarkan adalah bahwa yang keluar itu adalah mani, sehingga kalau seandanya Ia ragu, yang keluar itu mani yang mewajibkan mandi atau madzi yang tidak mewajibkan mandi.
Contoh lain: baju seseorang ternyata yang benar adalah madzi, maka kewajiban untuk mencuci madzi tersebut sudah gugur dengan mandi. Tetapi sesungguhnya contoh-contoh di atas menunjukkan kepada sikap ihtiyath (kehati-hatian) dalam
melakukan ibadah, tidak langsung merupakan pengecualian. Mazhab Hanafi mengecualikan dari kaidah tersebut dengan menyebut 7 macam contoh. Sedangkan mazhab Syafi'i menyebut 11 macam contoh. Sedangkan materi-materi Fiqih yang

terkandung dalam kaidah al-yaqin la yuzali bi al-syak, tidak kurang dari 314 masalah Fiqih.

Mazhab yang tidak mau menggunakan hal-hal yang meragukan adalah mazhab Maliki dan sebagian ulama Syafi'iyah, karena mereka menerapkan konsep ihtiyath-nya (kehati-hatian). Memang dalam ibadah memerlukan kepastian dan kepuasan

batin, sedangkan kepastian dan kepuasan batin hanya bisa dicapai dengan ihtiyath (kehatihatian). Ulama Malikiyah beralasan, "bahwa seseorang tidak bisa lepas dari tuntutan ibadah kecuali dengan melaksanakannya secara benar dan

meyakinkan, seperti: shalat yang sah hanya bisa dilaksanakan dengan didahului oleh wudhu yang sah, bukan dengan wudhu yang meragukan tentang apakah sudah batal atau belumnya wudhu tadi". Ulama Hanafiyah menjawab hal ini dengan

jawaban, "shalat itu merupakan tujuan (maqshid), sedangkan wudhu me-rupakan wasilah (syarat sah shalat), bersikap ihtiyath di dalam memelihara maqdshid lebih utama daripada ihtiyath di dalam wasail, karena wasail tingkatannya lebih

rendah daripada maqdshid (media lebih rendah daripada tujuan). Sedangkan Ibnu Hazm dari mazhab al-Zhahiri menanggapi soal ihtiyath dari mazhab Maliki dengan katakata:
"Semua ihtiyath yang menyebabkan kepada tambahan atau pengurangan atau penggantian di dalam agama yang tidak diizinkan Allah, bukanlah ihtiyath dan bukan pula kebaikan".

Tentang syak atau keraguan ini barangkali perlu dikemukakan di sini pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyah:
"Perlu diketahui bahwa di dalam syariah tidak ada sama sekali yang meragukan. Sesungguhnya syak (keraguan) itu datang kepada mukallaf (subyek hukum) karena kontradiksinya dua indikator atau lebih, maka masalahnya menjadi meragukan

baginya (mukallaf). Mungkin bagi orang lain (mukallaf lain) masalah tersebut tidaklah meragukan. Oleh karena itu, syak bukanlah sifat yang tetap pada masalah tersebut, tetapi sifat yang datang kemudian ketika masalah tersebut dihubungkan

kepada hukum mukallaf".

Hal menarik dari pernyataan Ibnu Qayyim ini adalah bahwa syak itu bukan di dalam syariah tetapi dalam diri mukallaf, atau dengan kata lain dalam perbuatan mukallaf. Oleh karena itu, menurutnya, kaidah yang berhubungan dengan istishab di

dalam ushul fiqih, sesungguhnya lebih tepat dimasukkan ke dalam kaidah-kaidah Fiqih, bukan dalam kaidah ushul. Selain itu, istishab itu pada zatnya bukan dalil Fiqih dan bukan sumber instinbath, tetapi menetapkan hukum yang telah ada untuk

terus berlaku sampai ada yang mengubahnya.31 Dengan demikian tidak ada posisi ganda antara kaidah ushul dan kaidah Fiqih.

KAIDAH-KAIDAH YANG BERADA DI BAWAH
KAIDAH

"اليقين لا يزول بالشك"
Dari kaidah asasi al-yaqin Ia yuzal bi al-syak ini kemudian muncul kaidah-kaidah yang lebih sempit ruang lingkupnya. Misalnya:
1) "Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula"
Kita yakin sudah berwudhu, tetapi kemudian kita yakin pula telah buang air kecil, maka wudhu kita menjadi batal. Kita berpraduga tidak bersalah kepada seseorang, tetapi kemudian ternyata orang tersebut tertangkap tangan sedang melakukan

ke-jahatan, maka orang tersebut adalah bersalah dan harus dihukum. Si A berutang kepada si B, tetapi kemudian ada bukti bahwa si A telah membayar utangnya kepada si B, misalnya, ada kuitansi yang ditandatangani si B yang menyatakan
bahwa utang si A sudah lunas. Maka, si A yang tadinya berutang, sekarang sudah bebas dari utangnya. Ada bukti yang meyakinkan bahwa seseorang telah melakukan kejahatan, oleh karenanya harus dihukum. Tetapi, bila ada bukti lain yang

meyakinkan pula bahwa orang tersebut tidak ada di tempat kejahatan waktu terjadinya kejahatan tersebut, melainkan sedang di luar negeri misalnya, maka orang tersebut tidak dapat dianggap sebagai pelaku kejahatan. Karena keyakinan

pertama menjadi hilang dengan keyakinan kedua. Inilah yang disebut alibi di dunia hukum.

2) "Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi"
Thawaf ditetapkan dengan dasar dalil yang meyakinkan yaitu harus tujuh putaran. Kemudian dalam keadaan thawaf, seseorang ragu apakah yang dilakukannya putaran keenam atau kelima. Maka yang meyakinkan adalah jumlah yang kelima,

karena putaran yang kelima itulah yang meyakinkan. Jadi dalam hal yang berhubungan dengan bilangan, apabila sese¬orang itu ragu, maka bilangan yang terkecil itulah yang meyakinkan.

3) "Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggungjawab" Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik yang berhubungan dengan hak Allah maupun dengan hak Adami. Setelah dia lahir muncullah hak

dan kewajiban pada dirinya. Anak kecil lepas dari tanggungjawab melakukan kewajiban sampai datangnya waktu balig. Tidak ada hak dan kewajiban antara pria dan wanita yang bersifat pernikahan sampai terbukti adanya akad nikah. Makan

dan minum asalnya dibolehkan sampai datangnya dalil yang melarang makan makanan dan minum minuman yang diharamkan. Dalam fiqih siyasah, seseorang bebas dari tanggungjawab jabatan tertentu sampai ada keputusan yang

mengangkatnya dalam jabatan tersebut. Seseorang bebas dari tanggung jawab sebagai seorang dosen, sampai dia diangkat dan berfungsi sebagai dosen. Demikian seterusnya sampai ada hal yang mengubahnya. Oleh karena itu, muncul

kaidah lain:

4) "Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang mengubahnya"
Dalam kasus-kasus di atas, unsur yang mengubah keadaan itu adalah balig (dewasa) bagi anak kecil, akad nikah bagi pria dan wanita, hadits-hadits yang melarang makan dan minum yang haram; dan SK dalam jabatan tertentu. Keadaan di atas

pun bisa terjadi perubahan lagi, bila ada unsur-unsur lain yang mengubahnya. Misalnya, manusia bebas lagi dari tanggungjawab karena datangnya kematian. Kewajiban-kewajiban suami istri hilang lagi karena ada perceraian. Seseorang yang

memegang jabatan hilang lagi tanggung jawabnya apabila pensiun atau diberhentikan dari jabatannya.

5) "Hukum asal adalah ketiadaan"
Lebih jelas lagi dengan kaidah: "Hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adalah tidak ada"
Contoh: Apabila terjadi persengketaan antara penjual dan pembeli ten tang aib (cacat) barang yang dijualbelikan, maka yang dianggap adalah perkataan si penjual, karena pada asalnya cacat itu tidak ada. Ada pula ulama yang menyatakan,

karena hulcum asalnya adalah akad jual beli telah terjadi. Sudah tentu ada kekecualian yaitu apabila si pembeli bisa memberikan bukti yang meyakinkan bahwa cacat barang itu telah ada ketika barang tersebut masih ada di tangan penjual.
Demikian pula apabila terjadi sengketa para pihak dalam akad. Pihak pertama mengatakan bahwa akad tersebut digantungkan pada syarat tertentu. Pihak kedua mengatakan bahwa akad ter¬sebut tidak digantungkan pada syarat apa pun. Maka

yang di-pegang adalah perkataan pihak kedua, karena menggantungkan suatu syarat pada akad adalah sifat yang datang kemudian. Hukum asalnya adalah akad tanpa syarat apa pun. Sudah tentu pula hal ini bisa berubah, apabila pihak

pertama mengajukan bukti-bukti yang meyakinkan bahwa akad tersebut memang digantungkan pada syarat-syarat tertentu. Misalnya, "Utang mau saya bayar ketika pulang dari ibadah haji" Kata-kata, "setelah pulang dari ibadah haji" adalah syarat

yang digantungkan kepada akad utang piutang.

6) "Hukum asal adalah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat kejadiannya" Kaidah tersebut terdapat di dalam kitab-kitab mazhab Hanafi. Sedangkan dalam kitab-kitab mazhab Syafi'i, meskipun substansi-nya sama tetapi

ungkapannya berbeda, yaitu:
"Hukum asal dalam segla peristiwa adalah terjadi pada waktu yang paling dekat kepadanya" Apabila terjadi keraguan karena perbedaan waktu dalam suatu peristiwa, maka hukum yang ditetapkan adalah menurut waktu yang paling dekat kepada

peristiwa tersebut, karena waktu yang paling dekat yang menjadikan peristiwa itu terjadi. Kecuali ada bukti lain yang meyakinkan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada waktu yang lebih jauh. Contoh: seorang wanita yang sedang mengandung,

ada yang memukul perutnya, kemudian keluarlah bayi dalam keadaan hidup dan sehat. Selang beberapa bulan, bayi itu meninggal. Maka, meninggalnya si bayi tidak disandarkan kepada pemukulan yang terjadi pada waktu yang telah lama,
tetapi disebabkan hal lain yang merupakan waktu yang paling dekat kepada kematiannya. Dalam akad jual beli, terjadi sengketa antara penjual dan pembeli. Menurut penjual, cacat yang ada pada barang yang dijual terjadi setelah barang itu ada

pada tangan pembeli. Sedangkan menurut pembeli, cacat barang itu ada ketika barang tersebut masih ada pada penjual. Maka yang harus dipegang adalah perkataan penjual, karena inilah waktu yang paling dekat kepada adanya cacat dan

sama-sama diyakini terjadinya suatu cacat. Oleh karena itu, jual beli ini tidak bisa dibatalkan, kecuali ada bukti Iain yang meyakinkan bahwa cacat barang tersebut terjadi ketika barang masih ada di tangan penjual.

7) Di kalangan mazhab Hanafi ada pula kaidah:
"Hukum asal segala sesuatu adalah larangan (haram)"
Kemudian oleh para ulama kaidah tersebut dikompromikan men-jadi dua kaidah dalam bidang hukum yang berbeda, yaitu kaidah:
"Hukum asal segala sesuatu itu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya"
Kaidah ini hanya berlaku untuk bidang fiqih muamalah, edangkan untuk Fiqih ibadah digunakan kaidah:
"Hukum asal dalam ibadah mahdhah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya.
Kaidah di atas semakna dengan kaidah:
"Tidak ada hukum terhadap suatu perbuatan sebelum datangnya syariah"
"Yang meragukan tentang hukum ivajibnya, maka tidak wajib dilakukan"
Kaidah "al-Ashlufi al-asyya al-ibdhah" ketika dirujukkan kepada Al-Quran dan Al-Hadits, terdapat banyak kesesuaiannya, seperti dalam QS. al-Jatstsiyah ayat 12, al- An'aam ayat 146, al-Araaf ayat 30, dan al-Maa'idah ayat 5.

8) "Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya"
Apabila seseorang berkata: "Saya mau mewakafkan harta saya kepada anak Kyai Alimad. Maka anak dalam kalimat tersebut adalah anak yang sesungguhnya, bukan anak pungut dan bukan pula cucu. Demikian pula kata-kata hibah, jual beli,

sewa menyewa, gadai, dan lain-lainnya di dalam akad, harus diartikan dahulu dengan arti kata yang sebenarnya, bukan dalam arti kiasannya. Memang kaidah tersebut lebih dekat dimasukkan ke dalam kelompok kaidah ushul daripada kaidah

Fiqih. Alasannya, kaidah tersebut berkenaan dengan kebahasaan. Sedan gkan kaidah-kaidah bahasa berhubungan erat dengan arti yang terkandung dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Akan tetapi, banyak perbuatan mukallaf yang karena

menggunakan bahasa juga, maka memunculkan kaidah Fiqih seperti kaidah tersebut di atas, meskipun metode pembentukan kaidah Fiqih berbeda dengan pembentukan kaidah ushul. Bagi penulis hal ini menunjukkan akuratnya kaidah di atas.

9) Qadhi Abd al-Wahab al-Maliki menyebutkan dua kaidah lagi yang berhubungan dengan kaidah, "al-yaqin Id yuzdl bi al-syak", yaitu:
"Tidak dianggap (diakui), persangkaan yangjelas salahnya" Apabila seorang debitor telah membayar utangnya kepada kreditor, kemudian wakil debitor atau penanggungjawabnya membayar lagi utang debitor atas sangkaan bahwa utang belum

dibayar oleh debitor, maka wakil debitor atau penanggungjawabnya berhak meminta dikembalikan uang yang dibayarkannya, karena pem-bayarannya dilakukan atas dasar persangkaan yangjelas salahnya, yaitu menyangka bahwa utang belum
dibayar oleh debitor. Demi-kian pula kaidah tersebut berlaku di dalam contoh-contoh yang serupa.

10) "Tidak diakui adanya waham (kira-kira)"
Bedanya zhann dan waham adalah di dalam zhann yang salah itu persangkaannya. Sedangakan dalam waham, yang salah itu zatnya. Apabila seseorang meninggal dengan meninggalkan sejumlah ahli waris, maka harta warisan dibagikan di

antara mereka. Tidak diakui ahli waris yang dikira-kirakan adanya.

11) "Apa yang ditetapkan berdasarkan waktu, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan berlakunya waktu tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan dengannya". Kaidah ini semakna dengan kaidah nomor 4. Contoh lain: seseorang yang

pergi jauh, tidak ada kabar beritanya, maka orang tersebut tetap dianggap hidup sampai ada bukti yang meyakinkan bahwa dia telah meninggal. Dalam hal ini, yang meyakinkan bahwa waktu pergi dia dalam keadaan hidup, maka sekarang pun

dia masih tetap dianggap hidup. Oleh karena itu, harta warisan tidak boleh dibagikan dahulu. Istri yang ditinggalkan masih tetap dianggap sebagai istrinya. Artinya, masih berhak terhadap nafkah dan hak-hak lainnya sebagai istri.

G. Kaidah Asasi 3 : Al-Masyaqqatu Tajlibu At-Taysir

المشقة تجلب التيسير
"Kesulitan mendatangkan kemudahan"

a. Al-Masyaqqah menurut arti bahasa (etimologis) adalah al-ta'ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran, seperti terdapat dalam QS. an-Nahl ayat 7:
"Dan ia memikul beban-bebanmu fee suatu negeri yang kamu tidak sampai ke tempat tersebut kecuali dengan kelelahan diri (kesukaran)"

Sedangkan al-taysir secara etimologis berarti kemudahan, seperti di dalam hadits nabi yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim disebutkan:
Agama itu mudah, tidak memberatkan. Yusrun lawan dari kata 'usyrun. Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan

dan kesukaran bagi mukallaf (subjek hukum), maka syariah meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran. Dalam ihnu Fiqih, kesulitan yang membawa kepada kemudahan itu setidaknya ada tujuh

macam, yaitu:
1. Sedang dalam perjalanan (al-safar). Misalnya, boleh qasar shalat, buka puasa, dan meninggalkan shalat Jumat.

2. Keadaan sakit. Misalnya, boleh tayamum ketika sulit memakai air, shalat fardhu sambil duduk, berbuka puasa bulan Ramadhan dengan kewajiban qadha setelah sehat, ditundanya pelaksanaan had sampai terpidana sembuh, wanita yang

sedang menstruasi.

3. Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan hidupnya. Setiap akad yang dilakukan dalam keadaan terpaksa maka akad tersebut tidak sah seperti jual beli, gadai, sewa menyewa, karena bertentangan dengan prinsip ridha

(rela), merusak atau menghancurkan barang orang lain karena dipaksa.

4. Lupa (al-nisyan). Misalnya, seseorang lupa makan dan minum pada waktu puasa, lupa membayar utang tidak diberi sanksi, tetapi bukan pura-pura lupa.

5. Ketidaktahuan (al-jahl). Misalnya, orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu, kemudian makan makanan yang diharamkan, maka dia tidak dikenai sanksi. Seorang wakil tidak tahu bahwa yang mewakilkan kepadanya dalam keadaan

dilarang bertindak hukum, misalnya pailit, maka tindakan hukum si wakil adalah sah sampai dia tahu bahwa yang me¬wakilkan kepadanya dalam keadaan mahjur 'alaih (dilarang melakukan tindakan hukum oleh hakim). Dalam contoh ini ada

kaidah lain bahwa ketidaktahuan tentang hukum tidak bisa diterima di negeri Muslim, dalam arti kemungkinan untuk tahu telah ada. "Tidak diterima di negeri Muslim alasan tidak tahu tentang hukum Islam"

6. Umum al-Balwa, Misalnya kebolehan hai al-salam (uangnya dahulu, barangnya belum ada). Kebolehan dokter melihat kepada bukan mahramnya demi untuk mengobati, sekadar yang dibutuhkan dalam pengobatan. Percikan air dari tanah

yang mengenai sarung untuk shalat.

7. Kekurangmampuan bertindak hukum (al-naqsh). Misalnya, anak kecil, orang gila, orang dalam keadaan mabuk. Dalam ilmu hukum, yang berhubungan dengan pelaku ini disebut unsur pemaaf, termasuk di dalamnya keadaan terpaksa atau

dipaksa. Al-masyaqqah itu sendiri bersifat individual. Bagi si A mungkin masijaqqah tetapi bagi si B tidak terasa masyaqqah. Akan tetapi ada standar umum yang sesungguhnya bukan masyaqqah dan karenanya tidak menyebabkan keringanan di
dalam pelaksanaan ibadah, st-poi ii terasa berat wudhu pada masa musim dingin, atau terasa berat saum pada masa musim panas, atau juga terasa berat bagi terpidana dalam menjalankan hukuman. Masyaqqah semacam ini tidak

menyebabkan keringanan di dalam ibadah dan dalam ketaatan kepada Allah. Sebab, apabila dibolehkan keringanan dalam masyaqqah tersebut akan menyebabkan hilangnya kemaslahatan ibadah dan ketaatan dan menyebabkan lalainya
manusia di dalam melaksanakan ibadah. Yang dikehendaki dengan kaidah tersebut bahwa kita dalam melaksanakan ibadah itu tidak ifrath (melampaui batas) dan tafrith (kurang dari batas). Oleh karena itu, para ulama membagi masyaqqah ini

menjadi tiga tingkatan, yaitu:

1. al-Masyaqqah al-'Azhimmah (kesulitan yang sangat berat), seperti kekhawatiran akan hilangnya jiwa dan/atau rusaknya anggota badan. Hilangnya jiwa dan/atau anggota badan me¬nyebabkan kita tidak bisa melaksanakan ibadah dengan

sempurna. Masyaqqah semacam ini membawa keringanan.

2. al-Masyaqqah al-Mutawasithah (kesulitan yang pertengahan, tidak sangat berat juga tidak sangat ringan). Masyaqqah se¬macam ini harus dipertimbangkan, apabila lebih dekat kepada masyaqqah yang sangat berat, maka ada kemudahan di

situ. Apabila lebih dekat kepada masyaqqah yang ringan, maka tidak ada kemudahan di situ. Inilah yang penulis maksud bahwa masyaqqah itu bersifat individual.

3. al-Masyaqqah al-Kliafifah (kesulitan yang ringan), seperti terasa lapar waktu puasa, terasa cape waktu tawaf dan sai, terasa pening waktu rukuk dan sujud, dan lain sebagainya. Masyaqqah semacam ini bisa ditanggulangi dengan mudah yaitu

dengan cara sabar dalam melaksanakan ibadah. Alasan-nya, kemaslahatan dunia dan akhirat yang tercermin dalam ibadah tadi lebih utama daripada masyaqqah yang ringan ini.

Adapun keringanan atau kemudahan karena adanya masyaqqah setidaknya ada tujuh macam, yaitu:
1. Takhfifisqath/rukhsah isqath, yaitu keringanan dalam bentuk penghapusan seperti tidak wajib shalat bagi wanita yang sedang menstruasi atau nifas. Tidak wajib haji bagi yang tidak mampu (istitha'ah).

2. Takhfiftanqish, yaitu keringanan berupa pengurangan, seperti shalat Qasar dua rakaat yang asalnya empat rakaat.

3. Takhfif ihdal, yaitu keringanan berupa penggantian, seperti wudhu dan/atau mandi wajib diganti dengan tayamum, atau berdiri waktu shalat wajib diganti dengan duduk karena sakit.

4. Takhfif taqdim, yaitu keringanan dengan cara didahulukan, seperti jama' taqdim di Arafah; mendahulukan mengeluarkan zakat sebelum haul (batas waktu satu tahun); mendahulukan mengeluarkan zakat fitrah di bulan Ramadhan; jama'

taqdim bagi yang sedang bepergian yang menimbulkan masyaqqah dalam perjalanannya.

5. Takhfif ta'khir, yaitu keringanan dengan cara diakhirkan, seperti shalat jama' ta'khir di Muzdalifah, qadha saum Ramadhan bagi yang sakit, jama' ta'khir bagi orang yang sedang dalam perjalanan yang menimbulkan masyaqqah dalam

perjalanannya.

6. Takhfif tarkhis, yaitu keringanan karena rukhsah, seperti makan dan minum yang diharamkan dalam keadaan terpaksa, sebab bila tidak, bisa membawa kematian.

7. Takhfif taghyir, yaitu keringanan dalam bentuk berubahnya cara yang dilakukan, seperti shalat pada waktu khauf (ke-khawatiran), misalnya pada waktu perang.

b. Apabila kaidah-kaidah ini dikembalikan kepada Al-Quran dan Al-Hadits, ternyata banyak ayat dan hadits nabi yang menunjukkan akurasi kaidah "al-masyaqqah tajlib taysir", di antaranya:
"Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu" (QS. al-Baqarah ayat 185)
"Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuan-nya" (QS. al-Baqarah ayat 286)
"Allah hendak memberi keringanan kepadamu karena manusia dicipta-kan bersifat lemah" (QS. an-Nisaa' ayat 28)
"Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan" (QS. al-Hajj ayat 78)

Berdasar ayat-ayat di atas dapat disimpulkan, bahwa syariah Islam selamanya menghilangkan kesulitan dari manusia dan tidak ada hukum Islam yang tidak bisa dilaksanakan karena di luar kemampuan manusia yang memang sifatnya lemah.

Demikianlah makna umum yang bisa ditarik dari ayat-ayat di atas. Sedangkan hadits-hadits yang menguatkan kaidah diatas antara lain:
"Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah yang ringan dan mudah". (HR. Al-Bukhari). Ada juga yang mengartikan alhanafiyah al-samhah dengan arti cenderung kepada kebenaran dan mudah.
"Mudahkanlah mereka danjangan kamu menyulitkan dan gembirakan-lah danjangan menyebabkan mereka lari" (HR. Al-Bukhari)
"Seandainya tidak memberatkan umatku, pasti aku perintahkan kepada mereka bersiwak (sikatgigi) setiap akan shalat"

c. Kekecualian dari kaidah tersebut adalah: pertama, kesulitan-kesulitan yang diklasifikasikan kepada masyaqqah yang ringan seperti telah dijelaskan di atas. Kedua, kesulitankesulitan yang muncul, memang satu risiko dalam suatu
perbuatan, seperti lapar ketika puasa. Kesulitan semacam ini tidak menyebabkan adanya keringanan kecuali bila kelaparan tadi membahayakan jiwanya. Di kalangan mazhab al-Syafi'i, khususnya al-Suyuthi, menyebut-kan bahwa keringanan itu

bisa beberapa macam hukumnya: pertama, hukumnya wajib mengambil keringanan, seperti orang yang terpaksa makan makanan yang diharamkan karena takut mati kelaparan. Dalam hal ini, memang terjadi pertentangan antara hifzh al-nafs
(memelihara jivva) dengan hifzh al-mal (memelihara harta). Sudah barang tentu hifzh al-nafs harus didahulukan. Kedua, hukumnya sunnah mengambil yang ringan, seperti shalat Qasar di perjalanan, berbuka puasa bagi yang khawatir sakit.
Ketiga, hukumnya boleh mengambil yang ringan, seperti jual beli salam (timpah). Keempat, keringanan yang lebih baik ditinggalkan, seperti mengusap sepatu. Kelima, keringanan yang makruh dilakukan, seperti qasar shalat dalam jarak kurang

dari tiga marhalah. Menurut hemat penulis, keempat dan kelima merupakan pe-nerapan al-ihtiyath (kehati-hatian) dalam beribadah yang memang dipegang oleh ulama-ulama Syafi'iyah, karena dalam ibadah mahdhah itu memerlukan kepuasan

batin. Kepuasan batin ini dapat terpenuhi dengan kehati-hatian dalam pelaksanaannya.

d. Dari kaidah asasi tersebut di atas (al-masyaqqah tajlib al-taisir) kemudian dimunculkan kaidah-kaidah cabangnya dan bisa disebut dhabit karena hanya berlaku pada bab-bab tertentu, di antaranya:

1) "Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas"
Kaidah ini sesungguhnya yang tepat merupakan cabang dari kaidah "al-masyaqqah tajlib al-taisir", sebab almasyaqqah itu adalah kesempitan atau kesulitan, seperti boleh berbuka puasa pada bulan Ramadhan karena sakit atau bepergian jauh.

Sakit dan bepergian jauh merupakan suatu kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu kebolehan berbuka. Akan tetapi, bila orang sakit itu sembuh kembali, maka hukum wajib melakukan saum itu kembali pula. Oleh karena itu muncul pula

kaidah kedua:
"Apabila suatu perkara menjadi meluas maka hukumnya menyempit"
Kaidah ini juga dimaksud untuk tidak meringankan yang sudah ringan. Oleh karena itu kaidah ini digabungkan menjadi satu, yaitu:
"Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas dan apabila suatu perkara menjadi meluas maka hukumnya menyempit"
Kaidah ini juga menunjukkan fleksibilitas hukum Islam yang bisa diterapkan secara tepat pada setiap keadaan. Semakna dengan kaidah di atas adalah kaidah:
"Setiap yang melampaui batas maka hukumnya berbalik kepada yang sebaliknya"
Atau kaidah:
"Apa yang dibolehkan karena uzur (halangan) maka batal (tidak di-bolehkan lagi) dengan hilangnya halangan tadi"
Contoh penerapannya seperti wanita yang sedang menstruasi dilarang shalat dan saum. Larangan tersebut menjadi hilang bila menstruasinya berhenti. Kewajiban melaksanakan shalat fardhu dan saum Ramadhan kembali lagi dan boleh lagi

melaksanakan shalat sunnah dan puasa sunnah.

2) "Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada pengganti-nya"
Contohnya: tayamum sebagai pengganti wudhu. Seseorang yang menggasab harta orang lain, wajib mengembalikan harta aslinya. Apabila harta tersebut telah rusak atau hilang sehingga tidak mungkin dikembalikan kepada pemiliknya, maka

dia wajib meng-gantinya dengan harganya. Demikian juga halnya dengan orang yang meminjam suatu benda, kemudian benda itu hilang (misalnya, buku), maka penggantinya buku yang sama baik judul, penerbit, maupun cetakannya, atau

diganti dengan harga buku tersebut dengan harga di pasaran. Dalam fiqih siyasah, kaidah di atas banyak diterapkan terutama dalam hal yang berhubungan dengan tugas-tugas kepemimpinan. Misalnya, ada istilah PJMT (pejabat yang

melaksanakan tugas), karena pejabat yang sesungguhnya berhalangan, maka diganti oleh petugas lain sebagai penggantinya.

3) "Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu dimaajkan"
Contohnya: pada waktu sedang saum, kitaberkumurkumur, maka tidak mungkin terhindar dari rasa air di mulut atau masih ada sisa-sisa. Darah pada pakaian yang sulit dibersihkan dengan cucian.

4) "Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan"
Kaidah ini digunakan untuk menjaga agar keringanankeringanan di dalam hukum tidak disalahgunakan untuk melakukan maksiat (kejahatan atau dosa). Seperti: orang bepergian dengan tujuan melakukan maksiat, misalnya, untuk membunuh

orang atau untuk berjudi atau berdagang barang-barang yang diharamkan, maka orang semacam ini tidak boleh menggunakan keringanan-ke¬ringanan di dalam hukum Islam. Misalnya, orang yang bepergian untuk berjudi kehabisan uang dan

kelaparan kemudian ia makan daging babi. Maka dia tidak dipandang sebagai orang yang meng¬gunakan rukhsah, tetapi tetap berdosa dengan makan daging babi tersebut. Lain halnya dengan orang yang bepergian dengan tujuan yang

dibolehkan seperti untuk kasbu al-halal (usaha yang halal), kemudian kehabisan uang dan kelaparan, serta tidak ada makanan kecuali yang diharamkan, maka memakannya dibolehkan.

5) "Apabila suatu kata sulit diartikan dengan artiyang sesungguhnya, maka kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya"
Contohnya: seseorang berkata: "saya wakafkan tanah saya ini kepada anak Kyai Ahmad". Padahal semua tahu bahwa anak kyai tersebut sudah lama meninggal, yang ada adalah cucunya. Maka dalam hal ini, kata anak hams diartikan cucunya,

yaitu kata kiasan¬nya, bukan kata sesungguhnya. Sebab, tidak mungkin mevvakafkan harta kepada yang sudah meninggal dunia.

6) "Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut ditinggalkan"
Contohnya: apabila seseorang menuntut warisan dan mengaku bahwa dia adalah anak dari orang yang meninggal, kemudian setelah diteliti dari akta kelahirannya, ternyata dia lebih tua dari orang yang meninggal yang diakuinya sebagai

ayahnya. Maka perkataan orang tersebut ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya.

7) "Bisa dimaajkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaajkan pada permulaannya"
Contohnya: orang yang menyewa rumah yang diharuskan mem-bayar uang muka oleh pemilik rumah. Apabila sudah habis pada waktu penyewaan dan dia ingin memperbarui sewaannya dalam arti melanjutkan sevvaanya, maka dia tidak perlu

membayar uang muka lagi. Demikian pula halnya untuk memperpanjang izin perusahaan, seharusnya tidak diperlukan lagi persyaratan-per-syaratan yang lengkap seperti waktu mengurus izinnya pertama kali.

8) "Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaajkan pada kelanjutannya"
Dhabith ini terjadi pada kasus tertentu yaitu orang yang melakukan perbuatan hukum karena tidak tahu bahwa perbuatan tersebut dilarang. Contohnya: pria dan wanita melakukan akad nikah karena tidak tahu bahwa di antara keduanya dilarang

melangsungkan akad nikah baik karena nasab, mushaharah (persemendaan), maupun karena sepersusuan. Selang beberapa tahun, baru diketahui bahwa antara pria dan wanita itu ada hubungan nasab atau hubungan perserhendaan, atau

sepersusuan, yang menghalangi sahnya per-nikahan. Maka pernikahan tersebut harus dipisah dan dilarang melanjutkan kehidupan sebagai suami istri. Contoh lain: seorang yang baru masuk Islam minum minuman keras karena kebiasaan-nya

sebelum masuk Islam dan tidak tahu bahwa minuman se-macam itu dilarang (haram). Maka orang tersebut dimaafkan untuk permulaannya karena ketidaktahuannya. Selanjutnya, setelah dia tahu bahwa perbuatan tersebut adalah haram, maka

ia hams meng-hentikan perbuatan haram tersebut.

9) "Dapat dimaajkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaajkan pada yang lainnya".
Contohnya: penjual boleh menjual kembali karung bekas tempat beras, karena karung mengikuti kepada beras yang dijual. Demikian pula boleh mewakafkan kebun yang sudah rusak tanamannya karena tanaman mengikuti tanah yang
diwakafkan. Di kalangan mazhab Maliki seperti Qadhi Abd al-Wahab al-Baghdadi al-Maliki, menyatakan bahwa kaidah almasyaqqah dengan al-clharar terdapat kesamaan karena kedua-duanya harus dihilangkan demi untuk kemaslahatan
hidup. Selain itu sering disamakan antara al-masyaqqah al-'azhimah (kesulitan yang sangat berat) dengan kemudaratan. Dalam penerapan dan contoh-contoh antara kaidah al-masyaqqah tajlib al-taisir dan kaidah al-clharar yuzal sering

memiliki kesamaan-kesamaan. Al-Burnu juga memasukkan kaidah-kaidah yang berhubungan dengan darurat ke dalam kaidah masyaqqah tajlib al-taisir. Alasannya, keadaan darurat banyak berhubungan dengan kaidah masyaqqah tersebut.
Akan tetapi, ulama seperti Imam Tajuddin as-Subki (w. 771 H), Imam 'Abd al-Rahman al-Suyuthi (w. 911 H), dan Ibnu Nuzaim (w. 970 H) memisahkan kedua kaidah tersebut pada tempat yang berbeda. Penulis mengikuti ulama-ulama tersebut

karena kaidah al-dharar yuzal lebih bersifat filosofis, meskipun kemudian diturunkan kepada materi-materi Fiqih yang bersifat teknis. Sedangkan kaidah al-masyaqqah tajlib al-taisir menunjukkan bahwa syariat Islam bersifat tidak menyulitkan

dalam pelaksanaannya. Kedua, kaidah almasyaqqah tajlib al-taisir bertujuan untuk meringankan halhal yang memberatkan. Sedangkan kaidah al-clharar yuzal bertujuan menghilangkan ke-mudaratan, setidaknya meringankan. Dalam hal

meringankan inilah bertemunya kedua kaidah tersebut. Tetapi dalam prinsip kedua, kaidah tersebut berbeda. Ketiga, kaidah al-dharar yuzal berkaitan erat dengan maqashid al-syariah (Jiifzh al-din, hifzh al-nafs, hifzh al-'aql, hifzh ai¬med, hifzh al-

nasl, dan hifzl al-ummah) dari sisi sadd al-dzari'ah (menutup jalan kepada kemudaratan). Sedangkan kaidah al-masyaqqah tajlib altaisir berkaitan dengan perbuatan mukallaf. H. Kaidah Asasi 4 : Adh-Dhararu Yuzalu

الضرر يزال
"Kemudaratan harus dihilangkan"

a. Seperti dikatakan oleh Tzzuddin Ibn Abd al-Salam bahwa tujuan syariah itu adalah untuk meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Apabila diturunkan kepada tataran yang lebih konkret maka maslahat membawa manfaat sedangkan

mafsadah mengakibatkan kemudaratan. Kemudian para ulama lebih memerinci dengan memberikan per-syaratan-persyaratan dan ukuran-ukuran tertentu apa yang disebut maslahat. Kaidah tersebut di atas kembali kepada tujuan untuk

merealisasi-kan maqashid al-syari'ah dengan menolak yang mafsadah, dengan cara menghilangkan kemudaratan atau setidaknya meringankan-nya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Ahmad al-Nadwi menyebutkan bahwa

penerapan kaidah di atas meliputi lapangan yang luas di dalam Fiqih bahkan bisa jadi meliputi seluruh dari materi Fiqih yang ada.
Contoh-contoh di bawah ini antara lain memunculkan kaidah di atas: - Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masya-rakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat. - Adanya berbagai macam sanksi

dalam fiqih jinayah (hukum pidana Islam) adalah juga untuk menghilangkan
kemudaratan. - Adanya aturan al-hajr (kepailitan) juga dimaksudkan untuk menghilangkan kemudaratan. Demikian pula aturan
hak syuf'ah. - Aturan-aturan tentang pembelaan diri, memerangi pemberon-takan, dan aturan tentang mempertahankan harta
milik. - Adanya lembaga-lembaga eksekutif (Iiaiah tanfidziyah), lembaga legislatif (liaiah tasyri'iyah, ahl al-halli wa al-'aqdi), di satu sisi untuk meraih kemaslahatan tetapi di sisi lain juga berfungsi untuk menghilangkan kemudaratan. - Dalam

pernikahan adanya aturan talak untuk menghilangkan kemudaratan yang lebih besar dalam kehidupan rumah tangga. - Larangan menghancurkan pohon-pohon, membunuh anak kecil, orang tua, wanita, dan orang-orang yang tidak terlibat

peperangan dan pendeta agama lain adalah untuk meng¬hilangkan kemudaratan. - Kewajiban berobat dan larangan membunuh diri juga untuk menghilangkan kemudaratan. - Larangan murtad dari agama Islam dan larangan mabukmabukan
juga untuk menghilangkan kemudaratan. Kaidah tersebut di atas sering diungkapkan dengan apa yang ter¬sebut dalam hadits:
"Tidak boleh memudaratkan dan tidak boleh dimudaratkan" (HR. Hakim dan lainnya dari Abu Sa'id al-Khudri, HR. Ibnu Majah dari Ibnu Abbas)

Perkataan dharar dan dhirar ini di kalangan ulama berbeda pendapat di antaranya:
1. al-Husaini mengartikan al-dharar dengan "bagimu ada manfaat tapi bagi tetanggamu ada mudarat". Sedangkan aldhirar diartikan dengan, "bagimu tidak ada manfaatnya dan bagi orang lain (tetangga) memudaratkan".
2. Ulama lain mengartikan al-dharar dengan membuat kemudaratan dan al-dhirar diartikan membawa kemudaratan di luar ketentuan syariah.

Penulis lebih cenderung mengartikannya dalam bahasa Indonesia seperti tersebut di atas, yaitu tidak boleh memudaratkan dan tidak boleh dimudaratkan. Dengan demikian ada kesan kese-imbangan atau keadilan dalam perilaku serta secara

moral me-nunjukkan mulianya akhlak karena tidak mau memudaratkan orang lain tetapi juga tidak mau dimudaratkan oleh orang lain. Bahkan sebaliknya kita harus memberi manfaat kepada orang lain dan orang lain juga memberi manfaat

kepada kita.

b. Ayat-ayat Al-Quran dan Al-Hadits yang mendukung kaidah tersebut antara lain :

وَلَ تُمْسِكُو هُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا
"Janganlah kamu merujuk mereka untuk memberi kemudaratan karena dengan demikian kamu menganiaya mereka" (QS. al-Baqarah: 231)

وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ
"Dan janganlah kamu memudaratkan mereka (istri) untuk menyempit-kan hati mereka" (QS. ath-Thalaaq: 6)

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللّٰهَ غَفُورٌ رَحِيْمٌ
"Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidakpula melampaui batas maka tidak ada dosa baginya" (QS. al-Baqarah: 173)

لَا يَضُرُّ كُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ
"Tidaklah orang yang sesat itu mampu memudaratkan kamu apabila kamu telah mendapatpetunjuk" (QS. al-Maa'idah: 105) menjelaskan kepadamu sekalian apa yang Allah haramkan kepadamu, kecuali apa yang kamu terpaksa memakannya"
(QS. al-An'aam: 119)

Adapun hadits-hadits nabi di antaranya:
mengharamkan dari orang mukmin, darahnya, hartanya, dan kehormatannya, dan tidak menyangka kecuali dengan sangkaan yang baik" (HR. Muslim)
"Sesungguhnya darah-darah kamu semua, harta-harta kamu semua, dan kehormatan kamu semua adalah haram di antara kamu semua" (HR. Muslim)

c. Kekeculian dari kaidah di atas pada prinsipnya adalah:
Pertama, apabila menghilangkan kemudaratan mengakibatkan datangnya kemudaratan yang Iain yang sama tingkatannya, misalnya, A mengambil makanan orang lain yang juga dalam keadaan kelaparan. Hal ini tidak boleh dilakukan,

meskipun si A juga dalam keadaan kelaparan. Dalam ilmu hukum ada contoh yang sangat terkenal yaitu apabila seseorang di tengah lautan ingin menyelamatkan diri dari tenggelam dengan menggunakan sebilah papan. Kemudian datang

orang lain juga yang ingin menyelamat¬kan diri dengan mengambil papan tersebut. Dalam hukum Islam, hal tersebut tidak boleh dilakukan karena tingkat kemudaratannya sama yaitu sama-sama untuk menyelamatkan diri (nyawa) atau yang

dikenal dengan hifzh al-nafs dalam maqdshid al-syariah. Lain halnya apabila orang yang dalam keadaan kelaparan hampir mati mengambil harta atau buah-buahan di kebun orang lain demi untuk menyelamatkan diri, maka hal ini dibolehkan.

Karena kemudaratan membiarkan diri mati (hifzh al-nafs) lebih tinggi derajatnya dibanding kemudaratan mengambil harta orang lain (hifzh al-mdl). Meskipun sudah tentu apabila dia sudah selamat dari kematiannya, diwajibkan mengganti harta

yang telah dia makan. Mirip dengan contoh ini adalah ijtihad Umar bin Khattab yang tidak memotong tangan pencuri yang mencuri harta orang lain pada masa kelaparan yang sangat berat. Kedua, apabila dalam menghilangkan kemudaratan
menimbulkan kemudaratan lain yang lebih besar atau lebih tinggi tingkatannya. Contohnya: dilarang melarikan diri dari peperangan karena se-mata-mata untuk menyelamatkan diri. Alasannya, karena kalah dalam peperangan lebih besar

mudaratnya daripada menyelamat¬kan diri sendiri.

Selain itu, dalam peperangan, hukum yang berlaku sesuai dengan Al-Quran, "fa yaqtuluna wa yuqtaluna" (QS. at-Taubah: 111) (membunuh atau dibunuh/to kill or to be killed). Jadi terbunuh dalam peperangan adalah risiko, hanya bagi
mukmin ada nilai tambah yaitu mati syahid apabila terbunuh dalam peperangan. Selain itu, dalam menghilangkan kemudaratan, dilarang melampaui batas dan betul-betul tidak ada jalan lain kecuali melaku-kan perbuatan yang dilarang itulah

satu-satunya jalan. Seperti menyelamatkan diri dari kematian, terpaksa makan makanan yang haram. Itu pun dilakukan hanya sekadarnya agar tidak mati. Harus diusahakan dahulu jalan lain yang dibolehkan, kecuali apabila tidak ada lagi

alternatif, maka itulah satu-satunya jalan. Peperangan itu adalah suatu kemudaratan, Islam yang cinta damai, tidak mau memulai perang sebelum ada yang terbunuh. Apabila telah ada yang terbunuh, mayatnya ditampakkan kepada musuh dan

dikatakan kepada mereka, "Tidak adakahjalan yang lebih baik dari ini?" Ini semua adalah upaya dalam menghindari kemudaratan.

d. Kaidah-kaidah yang merupakan cabang dari kaidah "aldharar yuzdl", antara lain:
1) "Kemudaratan itu membolehkan hal-hal yang dilarang"
Di kalangan ulama ushul, yang dimaksud dengan keadaan darurat yang membolehkan seseorang melakukan hal-hal yang dilarang adalah keadaan yang memenuhi syarat sebagai berikut:
Pertama, kondisi darurat itu mengancam jiwa dan/atau anggota badan. Hal ini berdasarkan ayat Al-Quran surat ahBaqarah: 177, al-Maidah: 105, al-An'aam: 145, artinya menjaga jiwa (liifzh al-nafs). Tampaknya, semua hal yang terlarang dalam

rangka mem-pertahankan maqdshid alBab syartah termasuk kondisi darurat dalam arti apabila hal tersebut tidak dilakukan maka maqdshid al-syari'ah terancam, seperti boleh memukul orang yang akan merebut harta milik kita. Bahkan, hadits

nabi menyatakan, "man mdta duna mdlihi fa huwa syahidun" artinya barangsiapa yang terbunuh karena mempertahankan hak miliknya yang sah, matinya adalah syahid (liifzh al-mdl). Bolehnya menangkap dan menghukum para pemabuk,

pengguna narkoba, dan sebagainya (liifzh al-'aql). Demikian pula boleh menangkap dan menghukum pelaku porno-grafi dan pornoaksi adalah untuk menyelamatkan keturunan (liifzh al-nasl). Dibolehkan pula memerangi pemberontak (liifzh al-

ummah). Kedua, keadaan darurat hanya dilakukan sekadarnya dalam arti tidak melampaui batas. Ketiga, tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan yang dilarang.

2) "Keadaan darurat, ukurannya ditentukan menurut kadar kedaruratan-nya"
"Apa yang dibolehkan karena darurat diukur sekadar kedaruratannya"
Kedua kaidah di atas sesungguhnya membatasi manusia dalam melakukan yang dilarang karena kondisi darurat. Seperti telah dijelaskan bahwa melakukan yang haram karena darurat tidak boleh melampaui batas, tapi hanya
sekadarnya.
Contoh: seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang diobatinya sekadar yang diperlukan untuk pengobatan, itu pun apabila tidak ada dokter wanita. Orang yang kelaparan hampir mati hanya boleh makan yang haram sekadar

menyelamatkan diri dari kematian, tidak boleh makan sampai kenyang. Kedua kaidah di atas sesungguhnya merupakan penjabaran dari kaidah :

3) "Kemudaratan hams ditolak dalam batas-batas yang memungkinkan"
Tindakan Abu Bakar dalam mengumpulkan Al-Quran demi ter-peliharanya Al-Quran; usaha damai agar tidak terjadi perang; usaha kebijakan dalam ekonomi agar rakyat tidak kelaparan adalah di antara contoh penerapan kaidah tersebut.

4) "Kemudaratan tidak boleh dihilangkan dengan kemudaratan lagi" semakna dengan kaidah:
"Kemudaratan tidak boleh dihilangkan dengan kemudaratan yang sebanding" Maksud kaidah itu adalah kemudaratan tidak boleh dihilangkan dengan cara melakukan kemudaratan lain yang sebanding ke-adaannya. Misalnya, seorang debitor

tidak mau membayar utang-nya padahal waktu pembayaran sudah habis. Maka, dalam hal ini tidak boleh kreditor mencuri barang debitor sebagai pelunasan terhadap utangnya.
Contoh lain seperti orang yang sedang ke-laparan tidak boleh mengambil barang orang lain yang juga sedang kelaparan.

5) "Kemudaratan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak ke¬mudaratan yang bersifat umum"
Contoh penerapan kaidah ini banyak sekali, di antaranya:
Boleh melarang tindakan hukum seseorang yang membahaya-kan kepentingan umum. Misalnya, mempailitkan suatu per-usahaan demi menyelamatkan para nasabah. Menjual barang-barang debitor yang sudah ditahan demi untuk membayar

utangnya kepada kreditor. Menjual barang-barang timbunan dengan cara paksa untuk kepentingan umum. Boleh memenjarakan orang yang menolak memberikan nafakah kepada orang-orang yang wajib dinafkahinya. Semakna dengan kaidah

ini adalah kaidah:
"Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar mudaratnya dengan mengerjakan yang lebih ringan mudaratnya".
Contohnya: dibolehkan seorang dokter mengoperasi wanita yang meninggal sedang mengandung demi menyelematkan bayi yang masih hidup dalam perutnya. Apabila si Ibu masih hidup, maka mengoperasi ibu yang sedang hamil boleh

dilakukan meskipun mengakibatkan bayi dalam perutnya meninggal. Dalam hal ini, membiarkan si ibu meninggal lebih memudaratkan ketimbangbayi yang ada dalam perutnya.

6) "Kemudaratan yang lebih berat dihilangkan dengan kemudaratan yang lebih ringan"
Kaidah ini biasanya disingkat: "Mengambil yang mudaratnya lebih ringan" "Dilaksanakan kemudaratan yang khusus untuk menolak kemudaratan yang umum"
Contohnya: apabila tidak ada yang mau mengajarkan agama, mengajarkan Al-Quran dan Al-Hadits dan ilmu yang berdasarkan agama kecuali digaji, maka boleh menggajinya.
Contoh lainnya: sanksi-sanksi yang diterapkan yang berhubungan dengan maksiat (kejahatan) baik berupa sanksi hudud, kisas, diat, dan ta'zir, semua-nya berkaitan dengan kaidah tersebut.

7) "Kemudaratan itu tidak dapat dibiarkan karena dianggap telah lama terjadi"
Maksudnya adalah kemudaratan itu harus dihilangkan dan tidak boleh dibiarkan terus berlangsung dengan alasan kemudaratan tersebut telah ada sejak dahulu.
Contohnya: boleh melarang dosen yang punya penyakit darah tinggi yang parah untuk mengajar. Larangan ini tidak bisa dibantah dengan alasan penyakitnya sudah lama.
Contoh lainnya: air mengalir ke jalan raya dan sudah lama terjadi, maka air tersebut harus dialirkan ke tempat lain. Singkat-nya, meskipun sudah lama terjadi, kemudaratan tetap harus di hilangkan.
"Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum maupun khusus"
Al-hdjah adalah suatu keadaan yang menghendaki agar seseorang melakukan suatu perbuatan yang tidak menurut hukum yang seharusnya berlaku, karena adanya kesukaran dan kesulitan. Perbedaan antara al-dharurat dan al-hdjah adalah:

pertama, di dalam kondisi al-dharurat, ada bahaya yang muncul. Sedangkan dalam kondisi al-hdjah, yang ada hanyalah kesulitan atau kesukaran dalam pelaksanaan hukum. Kedua, di dalam al-dharurat, yang dilanggar perbuatan yang haram li

dzdtihi seperti makan daging babi. Sedangkan dalam al-hdjah, yang dilanggar adalah haram li ghayrihi. Oleh karena itu ada dhahith yang menyebutkan bahwa:
"Apa yang diharamkan karena zatnya, dibolehkan karena darurat dan apa yang diharamkan karena yang lainnya dibolehkan karena adanya al-hajah"
Karena kebolehan melanggar yang haram inilah, kedudukan al-hdjah ditempatkan pada posisi al-dharurat. Contoh lain tentang al-hdjah adalah: dalam jual beli, objek yang dijual telah wujud. Akan tetapi, demi untuk kelancaran transaksi, boleh

menjual barang yang belum wujud asal sifat-sifatnya atau contohnya telah ada. Inilah yang disebut dengan bae al-saldm (jual beli salam, timpah - bahasa Sunda). Uangnya diserahkan dahulu baru beberapa waktu kemudian barangnya

diserahkan. Demikian pula halnya dalam jialah (perpindahan utang). Pada prinsipnya, yang harus membayar utang adalah debitor, akan tetapi, demi kelancaran pembayaran utang, debitor boleh memindahkan utang-nya kepada orang lain.

9) "Setiap keringanan yang dibolehkan karena darurat atau karena al-hajahftidak boleh dilaksanakan sebelum terjadinya kondisi darurat atau al-hajah"
Contohnya: memakan makanan yang haram, baru bisa dilaksana¬kan setelah terjadinya kondisi darurat atau alhdjah, misalnya, tidak ada makanan lain yang halal. Dhabith di atas ditemukan dalam kitab al-Isyraf karya Qadhi Abd al-Wahab al-

Maliki. Sedangkan dalam kitab al- Asybah wa al-Nazhd'ir, ada dhabith lain, yaitu:
"al-hajah apabila bersifat umum adalah seperti kondisi darurat"
Pengertian "dmmah" atau umum adalah kebutuhan tersebut meliputi seluruh manusia. Sedangkan pengertian "khdshshah" adalah kebutuhan tersebut bagi satu golongan tertentu atau daerah tertentu, bukan untuk orang per orang.
Contoh lain tentang al-hdjah adalah jual beli valas (jual beli mata uang) baik transaksi forward, swap maupun option, hukumnya haram. Akan tetapi, karena kebutuhan transaksi spot, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas untuk

penyerahan pada saat itu, kontan {over the counter), maka hukumnya boleh. Karena orang yang ke luar negeri membutuhkan uang asing untuk hidup di luar negeri. Ini yang dilakukan oleh money changer, bukan jual beli yang valas yang

mengandung unsur maisir (perjudian).
Contoh lainnya adalah tahdid al-nasl (pembatasan kelahiran) untuk kehidupan rumah tangga yang sakinah, pendidikan anak, hukum¬nya boleh karena al-hajah.

10) "Setiap tindakan hukum yang membawa kemafsadatan atau menolak kemaslahatan adalah dilarang"
Contohnya: menghambur-hamburkan harta atau boros tanpa ada manfaatnya. Contoh lainnya: melakukan akad riba, perjudian, pornografi, pornoaksi, kesepakatan untuk melakukan perampokan dan lain sebagainya.

I. Kaidah Asasi 5 : Al-`Adatu Muhakkamah

العَادة محكمة
"Adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum"

a. Sebelum Nabi Muhammad SAW. diutus, adat kebiasaan sudah berlaku di masyarakat baik di dunia arab maupun di bagian lain termasuk di Indonesia. Adat kebiasaan suatu masyarakat dibangun atas dasar nilai-nilai yang dianggap oleh

masyarakat tersebut. Nilai-nilai tersebut diketahui, dipahami, disikapi, dan dilaksanakan atas dasar kesadaran masyarakat tersebut. Ketika Islam datang membawa ajaran yang mengandung nilai-nilai uluhiyah (ketuhanan) dan nilai-nilai insaniyah
(kemanusiaan) bertemu dengan nilai-nilai adat kebiasaan di masyarakat. Di antaranya ada yang sesuai dengan nilai-nilai Islam meskipun aspek filosofisnya berbeda. Ada pula yang berbeda bahkan bertentangan dengan nilai-nilai yang ada
dalam ajaran Islam. Di sinilah kemudian ulama membagi adat kebiasaan yang ada di masyarakat menjadi a-'ddah alshahihah (adat yang sahih, benar, baik) dan ada pula 'adah al-fdsidah (adat yang mafsadah, salah, rusak). Imam Izzuddin bin

Abd al-Salam menyatakan bahwa kemaslahatan dan kemafsadatan dunia dan akhirat tidak bisa diketahui kecuali dengan al-Syari'ah. Sedangkan kemaslahatan dan ke¬mafsadatan dunia saja, bisa dikenal dengan pengalaman, adat kebiasaan,

perkiraan yang benar, serta indikator.

Abu Ishak al-Syathibi (w. 790 H) menyatakan bahwa dilihat dari sisi bentuknya dalam realitas, adat dapat dibagi dua: pertama, al-ddah al-dmmah (adat kebiasaan yang umum), yaitu adat kebiasaan manusia yang tidak berbeda karena perbedaan

waktu, tempat, dan keadaan seperti kebiasaan untuk makan, minum, khawatir, ke-gembiraan, tidur, bangun, dan Iain-lain. Kedua, adat kebiasaan yang berbeda karena perbedaan waktu, tempat, dan keadaan seperti bentuk-bentuk pakaian,

rumah, dan Iain-lain. Secara bahasa, al-'ddah diambil dari kata al-'aud (i iu) atau al-mu'awadah (Sijuul) yang artinya berulang (jhxJl). Ibnu Nuzaim mendefinisikan al-'ddah dengan:
"Sesuatu ungkapan dari apa yang terpendam dalam din, perkara yang berulang-ulang yang bisa diterima oleh tabiat (perangai) yang sehat"
Para ulama mengartikan al-'ddah dalam pengertian yang sama, karena substansinya sama, meskipun dengan ungkapan yangber-beda, misalnya didefinisikan dengan:
"'Urfadalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengutang-ulangnya dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum"
Dari dua definisi di atas, ada dua hal penting yaitu: pertama, di dalam al-'ddah ada unsur berulang-ulang dilakukan dan dalam al-'urf ada unsur (al-ma'ruf) dikenal sebagai sesuatu yang baik. Kata-kata al-'urf ada hubungannya dengan tata
nilai di masyarakat yang dianggap baik. Tidak hanya benar menurut keyakinan masyarakat tetapi juga baik untuk dilakukan dan atau diucapkan. Hal ini erat kaitannya dengan "al-amr hi al-ma'ruf wa al-nahy 'an al-munkar" dalam Al-Quran.
Tampaknya lebih tepat apabila al-'ddah atau al-'urf ini didefinisikan dengan: "Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al-'ddah al-'ammah) yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan. Dalam memutuskan

suatu perkara setidaknya ada dua macam pertimbangan yang harus dipei'hatikan. Pertama, pertimbangan keadaan kasusnya itu sendiri, seperti apa kasusnya, di mana dan kapan terjadinya, bagaimana proses kejadiannya, mengapa terjadi, dan

siapa pelakunya. Kedua, perimbangan hukum. Dalam per¬timbangan hukum inilah terutama untuk hukum-hukum yang tidak tegas disebutkan dalam Al-Quran dan Al-Hadits, adat kebiasaan harus menjadi pertimbangan dalam memutuskan

perkara.

b. Ketika kaidah ini dikembalikan kepada ayat-ayat Al-Quran dan hadits nabi, ternyata banyak ayat-ayat Al-Quran dan hadits nabi.

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ
"Jadilah engkau pemaafdan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh" (QS. Al-A'raaf: 199)

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللّٰهُ عَزِيزٌ حَكِيْمٌ
"Dan bagi para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan ke-wajibannya menurut cara yang ma'ruf (QS. Al-Baqarah: 228)

وَعَاشِرُوهنَّ بِالْمَعْرُوفِ
"Dan pergaulilah mereka (istri-istrimu) dengan cara yang ma'ruf (baik) " (QS. An-Nisaa': 19)

فكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِيْنَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيْكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ
"Kaffarat (melanggar sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu atau memberi pakaian" (QS. Al-Ma'idah:89)

Kata awsath tidak di-nash-kan ukurannya dengan ketentuan yang pasti, maka ukurannya kembali kepada ukuran adat kebiasaan makanan atau pakaian yang dimakan atau dipakai oleh keluarga tersebut. Rasyid Ridha dalam menjelaskan kata-

kata makruf menyatakan bahwa makruf adalah cukup dan layak untuk wanita yang berlaku di kaumnya dan kelompoknya. Sedangkan dalam menjelaskan surat al-Baqarah ayat 233, ia menyatakan bahwa al-mdruf adalah dikenal manusia dalam
pergaulannya dalam keluarganya dan yang biasa berlaku dalam adat mereka.61 Sedangkan Ibnu Katsir me-nafsirkan makruf dalam surat al-Baqarah ayat 233 di atas dengan adat kebiasaan wanita-wanita yang berlaku di negeri mereka.
Adapun hadits-hadits nabi di antaranya :
"Ukuran berat (timbangan) yang dipakai adalah ukuran berat ahli Mekkah, sedangkan ukuran isi yang dipakai adalah ukuran isi ahli Madinah" (HR. Abu Dawud)

Ukuran berat atau timbangan yang dipakai adalah timbangan ahli Mekkah, karena kebiasaan penduduk Mekkah adalah pedagang. Sedangkan ukuran kapasitas (isi) yang digunakan adalah yang biasa digunakan oleh penduduk Madinah, karena

kebanyakan mereka bergerak di bidang pertanian. Maksudnya, apabila terjadi persengketaan, maka ukuran tersebut yang dipakai pada zaman nabi. "Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam, maka baik pula di sisi Allah"

"Fatimah bintiAbi Hubaisy bertanya kepada Nabi SAW, dia berkata: "Saya ini berada dalam kondisi haidh yang tidak berhenti apakah saya harus meninggalkan shalat?" nabi menjawab: "Tidak, itu adalah darah penyakit, tapi tinggalkanlah shalat

berdasarkan ukuran hari-hari yang engkau biasa menstruasi. Kemudian mandilah dan shalatlah". (HR. Al-Bukhari dari Aisyah)

Dari hadits di atas, jelas bahwa kebiasaan para wanita, baik itu menstruasi, nifas, dan menghitung waktu hamil yang paling panjang adalah jadi pegangan dalam penetapan hukum. Kata-kata qadra ayyam dan seterusnya menunjukkan bahwa

ukuran-ukuran tertentu bagi wanita mengikuti yang biasa terjadi pada diri mereka.

c. Kekecualian dari kaidah
Seperti telah dijelaskan di muka bahwa al-'ddah yang bisa diper-timbangkan dalam penetapan hukum adalah al-'ddah al-shahihah, bukan al-'ddah al-fdsidah. Oleh karena itu, kaidah tersebut tidak bisa digunakan apabila:

1. al-'ddah bertentangan dengan nash baik Al-Quran
maupun Al-Hadits, seperti: saum terus-terusan atau saum empatpuluh hari atau tujuh hari siang malam; kebiasaan judi; menyabung ayam; kebiasaan menanam kepala hewan korban waktu mem-buat jembatan; kebiasaan memelihara babi atau
memperjual-belikan daging babi; dan lain sebagainya.

2. al-'ddah tersebut tidak menyebabkan kemafsadatan atau menghilangkan kemaslahatan termasuk di dalamnya tidak mengakibatkan kesulitan atau kesukaran, seperti: memboros-kan harta; hura-hura dalam acara perayaan;
memaksakan dalam menjual (jual belt dedet-Sunda); dan lain sebagainya.

3. al-'adah berlaku pada uraumnya di kaum muslimin, dalam arti bukan lianya yang biasa dilakukan oleh beberapa orang saja. Bila dilakukan oleh beberapa orang saja maka tidak di-anggap adat. Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa ibadah

mahdhah tidak dilakukan kecuali yang telah disyariatkan oleh Allah dan al-'adah tidak diharamkan kecuali yang telah diharamkan Allah. Sering terjadi benturan antara tata nilai Islam dan tata nilai masyarakat dalam pelaksanaannya. Misalnya:
masyarakat Indo¬nesia menganut tata nilai kekeluargaan, Islam pun menganut tata nilai persaudaraan dan kekeluargaan. Dalam masyarakat semacam ini, aspek-aspek kelahiran, pernikahan, dan kematian sudah men-jadi adat kebiasaan

merayakannya atau memperingatinya. Apabila kita dekati masalah ini dari sisi kaidah Fiqih, maka kaidah Fiqih asasi yang lima tersebut di atas juga harus diperhatikan dan di-jadikan "pisau" analisis terhadap kasus tersebut. Tidak cukup hanya

dengan menggunakan kaidah al-'adah muhkamah tetapi juga kaidah-kaidah asasi lainnya: al-umur hi maqashidiha, al-yaqin Id yuzdl hi al-syak, al-masyaqqah tajlib al-taisir, dan al-dhardr yuzdl Apabila dalam acara pernikahan, misalnya ada

nyanyian, hal itu memang wajar karena dalam suasana kegembiraan. Apabila kesenian zaman nabi dengan rebana, sekarang boleh dengan Cianjuran atau degung di masyarakat Sunda asal pakaiannya menutup aurat dan tidak ada pornoaksi.

d. Kaidah-kaidah Cabang
Di antara kaidah-kaidah cabang dari kaidah al-'adah muhkamah adalah sebagai berikut:

1) "Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah (alasan/argumen/ dalil) yang wajib diamalkan" Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaan di masyarakat, menjadi pegangan, dalam arti setiap anggota

masya¬rakat menaatinya. Contohnya:
menjahitkan pakaian kepada tukang jahit, sudah menjadi adat kebiasaan bahwa yang menyediakan benang, jarum, dan menjahitnya adalah tukang jahit.

2) "Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyaiah adat yang terus-menerus berlaku atau berlaku umum" Maksudnya, tidak dianggap adat kebiasaan yang bisa dijadikan pertimbangan hukum, apabila adat kebiasaan itu
hanya sekali-sekali terjadi dan/atau tidak berlaku umum. Kaidah ini sesungguh-nya merupakan dua syarat untuk bisa disebut adat, yaitu terus-menerus dilakukan dan bersifat umum (keberlakuannya). Contohnya: apabila seseorang berlangganan

majalah atau surat kabar, maka majalah dan surat kabar itu diantar ke rumah pelanggan. Apabila pelanggan tidak mendapatkan majalah atau surat kabar tersebut maka ia bisa komplain (mengadukannya) dan menuntut-nya kepada agen

majalah atau surat kabar tersebut.

3) "Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia bukan dengan yangjarang terjadi"
Ibnu Rusydi menggunakan ungkapan lain, yaitu : "Hukum itu dengan yang biasa terjadi bukan dengan yangprang terjadi"
Contohnya: para ulama berbeda pendapat tentang waktu hamil terpanjang, tetapi bila menggunakan kaidah di atas, maka waktu hamil terpanjang tidak akan melebihi satu tahun. Demikian pula menentukan menopause wanita dengan 55 tahun.

4) "Sesuatu yang telah dikenal karena 'utfsepertiyang disyaratkan dengan suatu syarat".
Maksudnya: adat kebiasaan dalam bermuamalah mempunyai daya ikat seperti suatu syarat yang dibuat, meskipun tidak secara tegas dinyatakan. Contohnya: apabila orang bergotong royong mem-bangun rumah yatim piatu, maka berdasarkan

adat kebiasaan, orang-orang yang bergotong royong itu tidak dibayar. Jadi tidak bisa menuntut bayaran. Lain halnya apabila sudah dikenal sebagai tukang kayu atau tukang cat yang biasa diupah, datang ke suatu rumah yang sedang dibangun,

lalu dia bekerja di situ, maka dia harus dibayar upahnya seperti yang lainnya meskipun dia tidak mensyaratkan apa pun, sebab kebiasaan tukang kayu atau tukang cat apabila bekerja, dia mendapat bayaran. "Sesuatu yang telah dikenal di antara

pedagang berlaku sebagai syarat diantara mereka" Sesungguhnya ini adalah dhabith karena berlaku hanya di bidang muamalah saja, dan itu pun di kalangan pedagang (akan dijelaskan lebih jauh dalam dhabith muamalah). Dimasukkan di sini

dalam kaitannya dengan kaidah al-'adah muhkamah

6) "Ketentuan berdasarkan 'urf seperti ketentuan berdasarkan nash"
Maksud kaidah ini adalah sesuatu ketentuan berdasarkan urf yang memenuhi syarat seperti telah dikemukakan pada bagian c. adalah mengikat dan sama kedudukannya seperti penetapan hukum berdasarkan nash. Contohnya: apabila

seseorang menyewa rumah atau toko tanpa menjelaskan siapa yang bertempat tinggal di rumah atau toko tersebut, maka si penyewa bisa memanfaatkan rumah tersebut tanpa rhengubah bentuk atau kamar-kamar rumah kecuali dengan izin

orang yang menyewakan.

7) "Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan"
Maksud kaidah ini adalah apabila tidak mungkin terjadi berdasar¬kan adat kebiasaan secara rasional, maka tidak mungkin terjadi dalam kenyataannya.
Contohnya: seseorang mengaku bahwa harta yang ada pada orang lain itu miliknya. Tetapi dia tidak bisa men¬jelaskan dari mana asal harta tersebut. Sama halnya seperti sese¬orang mengaku anak si A, tetapi ternyata umur dia lebih tua dari si

A yang diakui sebagai bapaknya.

8) "Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat"
Maksudnya: arti yang sesungguhnya ditinggalkan apabila ada arti lain yang ditunjukkan oleh adat kebiasaan.
Contohnya: yang di-sebut jual beli adalah penyerahan uang dan penerimaan barang oleh si pembeli serta sekaligus penyerahan barang dan penerimaan uang oleh si penjual. Akan tetapi, apabila si pembeli sudah me-nyerahkan tanda jadi (uang

muka), maka berdasar adat kebiasaan, akad jual beli itu telah terjadi. Maka si penjual tidak bisa lagi membatalkan jual belinya meskipun harga barang naik.

9) "Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalahsama denganpemberian izin menurut ucapan"

Penutup
Alhamdulillah, akhirnya jilid pertama dari 18 jilid Seri Fiqih Kehidupan yang menjadi jilid pembuka dari rangkaian ilmu fiqih telah Penulis selesaikan sampai disini. Meski sebenarnya halaman ini terlalu sedikit untuk dapat memberikan gambaran

utuh tentang ilmu fiqih yang sedemikian luas. Namun Penulis tidak ingin mengajak pembaca terlalu jauh menelusuri detail-detail pengantar ilmu fiqih ini, agar tidak terlalu jauh melencang dari tujuan utama penulisan buku ini, yaitu mengenalkan

hukum-hukum fiqih yang telah diwariskan oleh para ulama di masa lalu dan kemudian dikembangkan oleh para ulama di masa kini. Adapun penulisan buku ini tentunya ditujukan untuk sekedar memberikan gambaran sekilas, tambahan sedikit
wawasan, serta worldview tentang dunia ilmu fiqih, khususnya kepada mereka yang belum sempat mengenyam pendidikan secara khusus dalam mata kuliah ilmu fiqih.

Related Posts:

1 Response to "Bab 20 Qawaid Fiqihiyah"