Bab 11 Ijtihad & Mujtahid

A. Pengertian
1. Bahasa
2. Istilah
3. Hubungan Ijtihad dengan Fiqih

B. Masyru'iyah
1. Al-Quran
2. Sunnah
3. Ijma'

C. Hukum Ijtihad
1. Ijtihad Wajib
2. Ijtihad Sunnah
3. Ijtihad Makruh
4. Ijtihad Haram


D. Mengapa Harus Ada Ijtihad?
1. Perintah Allah dan Rasulullah SAW
2. Keterbatasan Al-Quran dan As-Sunnah
3. Luasnya Bidang Kehidupan
4. Kritik Hadits
5. Nasakh dan Mansukh
6. Dalil Umum dan Khusus
7. Kontradiksi Dalil

E. Wilayah Ijtihad

F. Syarat-syarat Ijtihad

G. Peringkat Mujtahid
1. Mujtahid Mutlak Mustaqil
2. Mujtahid Muthlaq Ghairu Mustaqil
3. Mujtahid Muqayyad
4. Mujtahid Tarjih
5. Mujtahid Fatwa
6. Muqallid


Ijtihad adalah sebuah istilah yang unik dan menarik untuk dikaji. Ijithad sering dikonotasikan sebagai penggunaan logika dalam beragama, dan diseberangkan dengan atsar atau pun sunnah.

Padahal ijtihad tidak berposisi sebagai lawan dari sunnah, justru sebaliknya memahami sunnah dan tentunya juga Al-Quran, sangat membutuhkan ijtihad. Sebab ijtihad dalam batas-batas tertentu pasti terjadi pada setiap orang yang membaca Al-Quran dan sunnah serta ingin menerapkan isinya.

A. Pengertian

Ijtihad bisa kita detailkan pengertiannya menjadi pengertian menurut bahasa dan istilah para fuqaha.

1. Bahasa

Secara bahasa, kata ijtihad berasal dari kata dasar ijtahada – yajtahidu  اجتھد - یجتھد. Akar katanya bersumber dari tiga huruf hijaiyah, yaitu ja-ha-da  . جھد Di dalam kamus, kata ini bermakna badzlul juhdi  بذل الجھد yaitu bersungguh-sungguh, atau melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh. Atau dalam arti yang lebih lengkap sering juga bermakna :

بَذْل الْوُسْعِ وَالطَّاقَةِ فِي طَلَبِ أمْرٍ لِيَبْلُغَ مَجْهُودَهُ وَيَصِل إِلَى نِهَايَتِهِ
Mengerahkan kemampuan dan tenaga untuk mendapatkan suatu perkara agar sampai kepada yang diupayakan atau sampai kepada penghabisannya.

2. Istilah

Sedangkan para fuqaha mendefinisikan istilah ijtihad ini dengan berbagai ungkapan, sesuai dengan perbedaan mereka dalam memahami ijtihad serta ruang lingkupnya.

Asy-Syaukani dalam Irsyadul Fuhul mendefinisikan ijtihad sebagai :

بَذْلُ الْوُسْعِ فِي نَيْلِ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ عَمَلِيٍّ بِطَرِيقٍ الاِسْتِنْبَاطِ
Mengerahkan kekuatan untuk mendapatkan hukum syar'i yang bersifat praktek dengan metode istimbath.

Sedangkan Al-Amidi membuat definisi ijtihad yang lebih rinci lagi :

اِسْتِفْرَاغُ الوُسْعِ فِي طَلَبِ الظَّنِّ بِشَيْءٍ مِنَ الْأَحكَامِ الشَّرْعِيَّةِ عَلَى وَجْهٍ يُحْسِيُّ مِنَ النَّفْسِ الْعَجْزُ عَنِ الْمَزِيْدِ عَلَيْهِ
Mengabiskan segenap kemampuan dalam rangka mendapatkan dugaan atas sesuatu dari hukum-hukum syar'iyah pada satu pendapat, dimana jiwa telah merasa cukup atas hal itu.

Dr. Dr. Alauddin Husein Rahhal, dalam kitabnya, Ma'alim wa Dhawabithul Ijtihad Inda Asy-Syaikh Al-Imam Ibnu Taymiyah, menuliskan tentang definisi ijtihad :

بَذْلُ الطَّاقَةِ مِنَ الْفَقِيْهِ فِي تَحْصِيْلِ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ وَتَطْبِيْقِهِ عَقْلِيًّا كَانَ أَوْ نَقْلِيًّا قَطْعِيًّا كَانَ أَوْ ظَنِّيًّا
Mengabiskan segenap kekuatan yang dilakukan seorang ahli fiqih dalam rangka mendapatkan hukum syar'i dan implementasinya, baik secara logika atau naql, dengan hasil yang qathiI atau dzanni.

3. Hubungan Ijtihad dengan Fiqih

Dengan definisi di atas, maka antara ijtihad dan fiqih punya kaitan yang erat dan saling berhubungan. Fiqih adalah ilmu, sedangkan ijtihad adalah bentuk pekerjaan yang dilakukan untuk mendapatkan ilmu fiqih. Hal itu mengingat bahwa definisi fiqih adalah :

الْعِلمُ بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبُ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
”Ilmu yang membahas hukum-hukum syariat bidang amaliyah (perbuatan nyata) yang diambil dari dalil-dalil secara rinci,”

Kalau boleh diibaratkan, ilmu pertanian adalah ilmu fiqih, maka kegiatan bertani seperti membajak sawah, mencangkul, menanam, menyemprot obat, atau memanen hasilnya adalah kegiatan berijtihad.

Perbedaannya, seorang petani yang baik adalah mereka yang mengerti seluk-beluk ilmu pertanian, agar bisa mendapatkan hasil pertanian yang maksimal. Sedangkan mahasiswa fakultas pertanian mungkin menguasai berbagai teori pertanian, namun belum tentu mampu menanam.

B. Masyru'iyah

Melakukan ijtihad adalah perbuatan yang disyariatkan di dalam agama Islam, lewat Al-Quran, sunnah dan ijma' para ulama. Bahkan merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa dielakkan.

1. Al-Quran
Perintah untuk melakukan ijtihad di dalam Al-Quran ditegaskan di dalam ayat berikut :
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللّٰهُ وَلَا تَكُن لِّلْخَاىِٔنِيْنَ خَصِيْمًا
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. (QS. An-Nisa' : 105)

Ijtihad itu pada dasarnya menggunakan akal dan nalar dalam memahami Quran dan Sunnah. Di dalam Al-Quran sesungguhnya banyak sekali perintah atau anjuran Allah SWT untuk berpikir dan menggunakan akal atau nalar, misalnya :

إنَّ فِي ذَلِكَ لَايَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Sesungguhnya di dalamnya ada tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (QS. Az-Zumar : 42)

إِنَّ فِي ذَلِكَ لَايَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
Sesungguhnya di dalamnya ada tanda-tanda bagi kaum yang berakal (QS. Ar-Ruum : 24)

2. Sunnah

Di dalam hadits Nabi SAW secara tegas disebutkan kata ijtihad yang dilakukan oleh seorang hakim dalam memutuskan perkara, dimana seorang mujtahid tidak bisa dipersalahkan.

إِذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأ فَلَهُ أَجْرٌ
Bila seorang hakim memutuskan suatu berkara, lalu dia berijtihad dan benar ijtihadnya, dia mendapat dua pahala. Dan bila dia salah, mendapat satu pahala. (HR. Abu Daud)

Dan yang paling masyhur dari semua hadits tentang dasar masyru'iyah berijtihad adalah hadits Muadz bin Jabal radhiyallahuanhu, ketika Rasulullah SAW mengutusnya untuk menjadi pemimpin di negeri Yaman. Sebuah negeri yang saat itu belum menjadi negeri Arab dan penduduknya memeluk agama nasrani.

كَيْفَ تَقْضِيِ إِذَا عُرِضَ لَكَ قَضَاء ؟ قَالَ : أقْضِي بِكِتَابِ اللّٰهِ. قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللّٰهِ؟ قَالَ : فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم، قَالَ : فَإِنْ لَم تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللّٰه صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم وَلَا فِي كِتَابِ اللّٰه ؟ قَالَ : إِجْتَهِدُ رَأْيِ وَلَا الو. فَضَرَبَ رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم صَدْرَهُ وَقَالَ : الْحَمدُ لِلّٰهِ الَّذِي وَفَقَ رَسُولُ رَسُولِ اللّٰهِ لِمَا يَرْضَي رَسُولُ اللّٰهِ
Dari Muaz bin Jabal radhiyallahuanhu berkata bahwa Nabi bertanya kepadanya," Bagaimana engkau memutuskan perkara jika diajukan orang kepada engkau? Muaz menjawab, saya akan putuskan dengan kitab Allah. Nabi bertanya kembali, bagaimana jika tidak engkau temukan dalam kitab Allah?, Saya akan putuskan dengan sunnah Rasulullah, jawab Muaz. Rasulullah bertanya kembali, jika tidak engkau dapatkan dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitab Allah? Muaz menjawab, saya akan berijtihad dengan pemikiran saya dan saya tidak akan berlebih-lebihan. Maka Rasulullah SAW menepuk dadanya seraya bersabda,"Segala puji bagi Allah yang telah menyamakan utusan dari utusan Allah sesuai dengan yang diridhai Rasulullah (HR Abu Daud)

Bahkan selain para shahabat, Rasulullah SAW sendiri seringkali melakukan ijtihad, yaitu ketika tidak turun ayat Al-Quran yang menjadi penjelasan dari Allah SWT lewat Jibril alahissalam. Di antaranya adalah tentang keputusan perlakuan terhadap pasukan musuh yang sudah lemah di penghujung perang Badar. Para shahabat bertanya apakah perang diakhiri saja dan musuh-musuh itu dibiarkan hidup namun ditawan, ataukah perang diteruskan dan semua musuh itu dibunuh sampai mati.

Karena tidak ada ketetapan dari Allah SWT, maka beliau SAW berijtihad, dan juga menggelar musyarawah dengan para shahabat. Setelah keputusan diambil dan ijtihad telah ditetapkan oleh beliau SAW, barulah kemudian turun ayat Al-Quran yang mengangulir hasil ijtihad nabi dan musyawarah para shahabat.

3. Ijma'

Seluruh ulama sepakat bahwa ijtihad adalah sebuah pekerjaan yang disyariatkan dalam agama, bahkan diwajibkan buat mereka yang telah memenuhi syarat ijtihad untuk melakukannya.

Sebab tanpa ijtihad maka agama menjadi tidak bisa dijalankan, sementara Al-Quran dan sunnah punya keterbatasan. Sebaliknya, masalah selalu bermunculan di tengah umat seiring dengan perluasan negeri Islam dan semakin majemuknya pemeluk agama Islam.

Maka ijtihad adalah sebuah keniscayaan yang harus dilakukan, namun ijtihad akan menjadi bumerang bila dilakukan oleh mereka yang tidak punya kapasitas dan ilmu tentangnya.

C. Hukum Ijtihad

Para ulama membagi hukum ijtihad menjadi beberapa macam, ada yang wajib, sunnah, makruh dan haram. Tiga hukum yang pertama terjadi pada seorang yang memang telah memiliki kelengkapan untuk berijtihad dengan memenuhi semua persyaratannya. Dengan yang terakhir adalah ijtihad yang dilakukan oleh orang yang tidak punya kapasitas untuk melakukannya.

1. Ijtihad Wajib

Ijtihad wajib dilakukan oleh seorang mujtahid

2. Ijtihad Sunnah
3. Ijtihad Makruh
4. Ijtihad Haram

Ijtihad yang haram adalah ijtihad yang dilakukan bukan oleh orang yang telah memiliki semua ketentuan dan persyaratan dalam berijtihad.

Ibarat seorang dokter gadungan yang menyamar menjadi dokter, dengan nekat melakukan berbagai operasi pembedahan pada tubuh pasien yang lugu. Maka yang dilakukannya adalah tindakan makar dan jahat yang diharamkan dalam syariah.

Seorang yang tidak punya ilmu tentang ijtihad, haram baginya melakukan ijtihad sendiri, baik untuk kebutuhan sendiri apalagi untuk orang lain. Yang harus dilakukannya adalah belajar terlebih dahulu seluruh ilmu-ilmu tentang ijtihad, sebelum memberi fatwa. Dan dalam keadaan tidak punya syarat atau kapasitas dalam berijtihad, yang boleh dia lakukan adalah mengikuti hasil ijtihad para ulama yang ahli di bidangnya.

Termasuk ijtihad yang haram dilakukan adalah melakukan tasykik, yaitu memasukkan keraguan ke dalam hati orang lain atas hal-hal yang terkait prinsip akidah yang mendasar. Misalnya pemikiran para zindiq yang mengaku berijtihad tentang kemungkinan kebenaran agama selain Islam.

Sesungguhnya yang mereka lakukan bukan ijtihad melainkan tadhlil atau penyesatan dan tahrif atau penyelewengan aqidah Islam.

D. Mengapa Harus Ada Ijtihad?

Mungkin pertanyaan ini adalah pertanyaan yang paling sering terlontar dari benak banyak orang. Dan boleh jadi para pembaca pun juga punya pertanyaan demikian.

Kalau Al-Quran merupakan kitab yang sudah lengkap, tidak ada sesuatu masalah pun yang tertinggal, kecuali telah ada disebutkan di dalamnya, lalu mengapa masih harus ada lagi ijtihad? Bukankah Allah SWT telah menjamin hal itu?

مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِن شَيْءٍ
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab (Al-Quran). (QS. Al-An’am : 38)

Lalu kenapa masih harus ada ijtihad lagi? Dan kalau Rasulullah SAW telah mewariskan dua perkara, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah, yang selama kita berpegang teguh pada keduanya, dijamin kita tidak akan sesat untuk selama-lamanya, lalu kenapa pula masih harus ada ijtihad? Untuk menjawab semua pertanyaan di atas, marilah kita bahas satu per satu.

1. Perintah Allah dan Rasulullah SAW

Melakukan ijtihad adalah salah satu di antara sekian banyak perintah Allah dan Rasul-Nya kepada umat Islam, bukan semata-mata inisiatif dan keinginan hawa nafsu.

Di dalam Al-Quran Allah SWT memerintahkan manusia untuk menggunakan nalar, logika dan akalnya dalam memahami perintah-perintah Allah.

إِنَّ فِ ذَلِكَ لَايَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Sesungguhnya di dalamnya ada tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (QS. Az-Zumar : 42)

إِنَّ فِيْ ذَلِكَ لَايَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
Sesungguhnya di dalamnya ada tanda-tanda bagi kaum yang berakal (QS. Ar-Ruum : 24)

Sedangkan Rasulullah SAW telah memerintahkan para shahabatnya untuk berijtihad. Kepada Muadz bin Jabal radhiyallahuanhu Rasulullah SAW berijtihad kala beliau SAW mengutusnya ke negeri Yaman.

كَيْفَ تَقضْي إِذَا عُرِضَ لَكَ قَضَاء ؟ قَالَ : أَقْضِي بِكِتَابِ اللّٰهِ. قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِ كِتَابِ اللّٰهِ ؟ قَالَ : فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللّٰه صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم وَلَا فِي كِتَابِ اللّٰه ؟ قَالَ : أَجْتَهِدُ رَأْيِ وَلَا الو. فَضَرَبَ رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم صَدْرَهُ وَقَالَ : اَلْحَمْدُ لِلّٰه الَّذِي وَفَقَ رَسُولُ رَسُولِ اللّٰهِ لِمَا يَرْضَي رَسُولُ اللّٰهِ
Dari Muaz bin Jabal radhiyallahuanhu berkata bahwa Nabi bertanya kepadanya,"Bagaimana kamu memutuskan perkara jika diajukan orang kepada engkau?”. Muaz menjawab,”Aku putuskan dengan kitabullah”. “Bila tidak kamu temukan dalam kitabullah?”, tanya Nabi lagi. “Aku putuskan dengan sunnah Rasulullah”, jawab Muaz. “Jika tidak kamu dapatkan dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitab Allah?” Muaz menjawab,”Aku akan berijtihad dengan pemikiran saya dan saya tidak akan berlebih-lebihan”. Maka Rasulullah SAW menepuk dadanya seraya bersabda,"Segala puji bagi Allah yang telah menyamakan utusan dari utusan Allah sesuai dengan yang diridhai Rasulullah. (HR Abu Daud)

Bahkan selain para shahabat, Rasulullah SAW sendiri seringkali melakukan ijtihad, yaitu ketika tidak turun ayat Al-Quran yang menjadi penjelasan dari Allah SWT lewat Jibril alahissalam. Di antaranya adalah tentang keputusan perlakuan terhadap pasukan musuh yang sudah lemah di penghujung perang Badar. Para shahabat bertanya apakah perang diakhiri saja dan musuh-musuh itu dibiarkan hidup namun ditawan, ataukah perang diteruskan dan semua musuh itu dibunuh sampai mati.

Karena tidak ada ketetapan dari Allah SWT, maka beliau SAW berijtihad, dan juga menggelar musyarawah dengan para shahabat. Setelah keputusan diambil dan ijtihad telah ditetapkan oleh beliau SAW, barulah kemudian turun ayat Al-Quran yang mengangulir hasil ijtihad nabi dan musyawarah para shahabat.

2. Keterbatasan Al-Quran dan As-Sunnah

Meski Al-Quran adalah kitab yang lengkap dan tidak ada satupun masalah yang terlewat, namun bukan berarti Al Quran adalah sebuah ensikopedi umum yang memuat materi apa saja.

Kenyataannya bila dibandingkan dengan Ensiklopedi Britanica, jumlah ayat Al-Quran terlalu sedikit, karena hanya berkisar 6.000-an ayat saja. Encyclopedia Britannica 2010 memuat artikel dan gambar hingga sekitar 100.000 item, dan tebalnya mencapai 32 jilid.

Tetapi sekali lagi adalah keliru kalau kelengkapan materi Al-Quran itu kita bayangkan seperti kelengkapan sebuah ensiklopedi. Kelengkapan Al-Quran itu maksudnya adalah bahwa Al-Quran memasuki banyak ranah kehidupan, di luar dari yang biasanya dikenal orang, pada kitab-kitab suci terdahulu.

Al-Quran bicara tentang banyak hal dalam kehidupan manusia, baik individu maupun sosial. Tetapi Al-Quran bukan ensiklopedi yang membahas satu per satu tiap titik masalah.

Kalau memang Al-Quran hanya bicara sekilas, lalu bagaimana cara manusia bisa memahami detail-detail ketentuan dan kemauan Allah SWT? Jawabnya adalah diutusnya Rasulullah SAW ke dunia sebagai penjelas dari Al-Quran, sekaligus untuk menjadi contoh hidup dari Al-Quran. Persis seperti komentar istri beliau SAW, Aisyah radhiyallahuanha, tatkala ditanya tentang akhlaq beliau SAW.

كَانَ خُلُقُهُ القُراٰن
Akhlaq beliau adalah Al-Quran. (HR. )

Namun kalau dijumlah secara total, tetap saja jumlah hadits nabawi itu terbatas. Apalagi kalau kita batasi pada yang sudah dishahihkan secara paten dan disepakati oleh para ulama hadits.

Imam Al-Bukhari hanya menyelesaikan 7 ribuan hadits di dalam kitab Ash-Shahihnya, dengan pengulanganpengulangan hadits berkali-kali pada beberapa bab. Konon, seandainya hadits-hadits itu tidak diulang-ulang, jumlahnya hanya sekitar 4 ribuan saja.

Sedangkan hadits-hadits yang telah dishahihkan oleh Imam Muslim dalam kitab Ash-Shahih beliau juga terbatas pada sekitar 4 ribuan hadits, dengan ketentuan hadits-hadits itu tidak terulang-ulang dan telah disepakati keshahihannya oleh para ulama.

Kalau kita teliti, rupanya hadits yang telah tercantum di dalam Shahih Bukhari cukup banyak yang juga tercantum di dalam Shahih Muslim, sehingga kita tidak bisa mengatakan bahwa jumlah hadits shahih di dunia ini menjadi 8 ribu butir. Tetapi juga tidak benar kalau kita katakan bahwa hadits yang shahih itu hanya terbatas pada kedua kitab Shahih itu saja. Tentu masih banyak lagi hadits-hadits yang shahih, meski tidak tercantum pada kedua kitab itu.

Akan tetapi meski demikian, tetap saja jumlah haditshadits yang sudah dishahihkan secara paten dan disepakati keshahihannya oleh para ulama memang terbatas. Kalau pun kita katakan ada 100 ribu hadits misalnya, maka jumlah itu tentu sangat kurang untuk bisa menjawab semua persoalan manusia sepanjang zaman, terhitung sejak masa Nabi SAW hidup hingga datangnya hari kiamat nanti.

Sebab persoalan hidup manusia selalu bermunculan, dimana mereka hidup di berbagai zaman dan peradaban yang juga berbeda-beda. Selalu muncul fenomena baru di tengah umat manusia.

Padahal ayat Al-Quran sudah berhenti turun, dan hadits nabawi sudah tidak mungkin lagi bertambah. Lalu apakah cukup ayat dan hadits warisan itu untuk menjawab semua problematika hukum syariah yang ada? Jawabnya tentu tidak cukup, kalau kita hanya berpikir sekilas.

3. Luasnya Bidang Kehidupan

Di masa Rasulullah SAW dan para shahabat, barangkali belum sama sekali terbayang bahwa agama Islam akan tersebar ke luar batas-batas negeri Arab, bahkan menyeberangi benua dan lautan. Agama yang awalnya hanya dipeluk oleh beberapa gelintir orang di Mekkah, dalam rentang kurang dari seratus tahun kemudian menjadi agama nomor satu terbesar yang dipeluk berjuta umat manusia.

Ketika Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu memegang tongkat khilafah, Islam menyebar ke tiga imperium besar dunia, Romawi, Persia dan Mesir. Berbeda dengan keadaan Mekkah Madinah yang terletak di tengah gurun pasir jazirah Arabia, keadaan sosio kultural dan sosial politik di negerinegeri itu jauh lebih berkembang, maju, dinamis dan penuh inovasi. Bidang kehidupan umat manusia pun semakin hari semakin luas dan dinamis.

Sehingga teks-teks baku yang terdapat pada dua sumber agama tidak akan bisa menjawab secara langsung apa adanya semua masalah itu.

Sebenarnya tanda-tanda akan semakin dinamis dan jauhnya teks-teks Al-Quran dan As-Sunnah dari realitas kehidupan masyarakat dunia sudah diisyaratkan oleh Rasulullah SAW sendiri. Ketika beliau SAW menguji shahabatnya saat diutus ke Yaman dengan pertanyaan,

فَإِنْ لَم تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولْ اللّٰه صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم وَلَا فِي كِتَابِ اللّٰه ؟
”Dengan apa kamu putuskan perkara di antara mereka bila tidak ada di dalam Al-Quran dan As-Sunnah?”.

Pertanyaan ini bukan sekedar menguji main-main, melainkan sebuah pertanyaan yang mengandung pernyataan sekaligus. Intinya, Rasulullah SAW menegaskan bahwa akan ada banyak perkara yang secara eksplisit tidak terdapat di dalam Al-Quran dan As-Sunnah di dalam kehidupan ini.

Dan saat itulah dibutuhkan tindakan ijtihad, yang pada intinya tetap berpegang teguh kepada kedua sumber agama, Al-Quran dan As-Sunnah, namun dicarikan kesamaan ‘illat yang tepat dan mendekati kebenaran antara dalil-dalil syar’i

dengan realitas yang ada.

Karena itulah tindakan menolak ijtihad sesungguhnya adalah tindakan mustahil, sebab teks-teks syariah itu akan terbata-bata ditinggal oleh perkembangan zaman. Ijtihad para ulama itulah yang membuat Al-Quran dan As-Sunnah menjadi serasa baru dan segar.

4. Kritik Hadits

Pada dasarnya, meneliti keshahihan suatu hadits tidak lain dan tidak bukan adalah bagian dari ijtihad. Di masa lalu, para mujtahid sudah bisa dipastikan adalah juga seorang ahli hadits yang keahliannya termasuk meneliti dan mengkritik hadits. Dengan kata lain, studi kritik hadits (naqd hadits) adalah bagian dari ijtihad yang mutlak harus dilakukan oleh semua mujtahid dan ahli fiqih.

Seorang Abu Hanifah rahimahullah bukan saja ahli fiqih melainkan beliau juga seorang ahli di bidang kritik hadits. Beliau amat terkenal sangat ketat dalam menyeleksi hadits, sehingga bila beliau tidak berada pada posisi amat sangat yakin akan keshahihan hadits, tidak akan pernah dijadikan sebagai dasar dalam ijtihad.

Demikian juga Al-Imam Malik rahimahullah, meski beliau pendiri mazhab Maliki yang terkenal itu, namun pada hakikatnya beliau adalah seorang ahli hadits yang amat paten dan kampiun. Beliau sendiri punya kitab Al-Muwaththa’, yang di zamannya adalah kitab hadits paling populer dan paling tinggi kedudukannya.

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah juga seorang ahli hadits, dimana beliau punya kitab karya di bidang ilmu hadits dan kritik hadits. Pengembaraan beliau ke hampir seluruh jagad dunia Islam membuktikan bahwa beliau selain ahli fiqih, juga seorang ahli hadits. Bahkan di usia 15 tahun beliau sudah menghafal luar kepala kitab Al-Muwaththa’ karya guru beliau, Al-Imam Malik.

Al-Imam Bukhari dan Al-Imam Muslim adalah dua orang ahli hadits di masa berikutnya, dimana kedua bermazhab Asy-Syafi’iyah. Sedangkan Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah bahkan lebih dikenal sebagai ahli hadits ketimbang ahli fiqih

dalam beberap persolaan. Musnad Ahmad adalah salah satu nama yang akrab dikenal sebagai karya beliau sebagai ahli hadits.

5. Nasakh dan Mansukh

6. Dalil Umum dan Khusus

7. Kontradiksi Dalil

E. Wilayah Ijtihad

F. Syarat-syarat Ijtihad

G. Peringkat Mujtahid

Seseorang layaknya mengetahui tingkatan-tingkatan ahli fiqh ketika mengambil salah satu fatwa atau pendapat dalam masalah fiqh, agar bisa membedakan antara pendapatpendapat yang bertentangan. Kemudian mentarjih atau menguatkan salah satu dari pendapat-pendapat itu. Adapun tingkatan ahli fiqh ada enam tingkatan yaitu :


1. Mujtahid Mutlak Mustaqil

Mujthaid mutlak sering juga disebut mujtahid mustaqil (independen). Hal itu karena mereka tidak bertaqlid kepada mahzab lainnya manapun, karena kedudukan mereka yang justru berada pada puncaknya. Sebaliknya, justru semua mujtahid baik yang sezaman atau yang sesudahnya, malah menyandarkan banyak hal kepada hasil kaidah dan ijtihad para mujtahid mutlak.

Mereka adalah para ahli ijtihad yang sudah sampai ke level ekspert dan mampu membuat kaidah sendiri dalam membuat kesimpulan-kesimpulan hukum fiqh. Dan ketika berfatwa terhadap suatu masalah, mereka menggunakan kaidah-kaidah yang telah mereka temukan sendiri hasil dari pemahamannya yang mendalam terhadap Al-Quran dan As-Sunnah.

Namun level mujtahid seperti ini amat jarang kita temukan. Sepanjang sejarah, jumlah mereka kurang lebih hanya sekitar 10-an orang saja. Dan sayangnya, tidak semua mazhab mereka kekal di atas bumi ini. Kebanyakannya mati dan hilang begitu saja ditelan sejarah.

Yang tersisa hingga hari ini dengan eksis hanya empat saja, yaitu para imam Madzhab yang empat :

· Al-Imam Abu Hanifah
· Al-Imam Malik
· Al-Imam Asy-syafi’i
· Al-Imam Ahmad bin Hanbal.

Ibnu Abidin menamakan tingkatan ini dengan, tingkatan Mujtahid dari segi Syari’at.

2. Mujtahid Muthlaq Ghairu Mustaqil

Mujtahid Adalah seseorang yang memenuhi criteria sebagai seorang mujahid mustaqil, akan tetapi ia tidak membuat kaidah-kaidah sendiri dalam menyimpulkan masalah-masalah fiqhnya, ia memakai kaidah-kaidah yang dipakai oleh para imam Madzhab dalam berijtihadnya. Inilah yang disebut muthlaq muntashib tidak mustaqil,

seperti para murid imam Madzhab

a. Mazhab Al-Hanafiyah

diantaranya, Abi Yusuf, Muhammad, Zufar dari kalangan madzhab Al-Hanafiyah.

b. Mazhab Al-Malikiyah

Ibnu Al-Qasim, Asyhab, dan Asad Ibnu Furat dari kalangan Madzab Al-Malikiyah.

c. Mazhab Asy-Syafi’iyah

Al-Buwaiti, Al Muzani dari kalangan madzhab Asy-Syafi’iyah.

d. Mazhab Al-Hanabilah

Abu Bakar Al-Atsram, Abu Bakar Al-Marwadzi dari kalangan Madzhab Al-Hanabilah.

Inilah yang Ibnu Abidin namakan, tingkatan Mujtahid dalam Madzhab. Mereka mampu mengeluarkan atau membuat kesimpulan hukum dalam maslah fiqh berdasarkan dalil yang merujuk kepada kaidah yang digunakan oleh guru-guru mereka, walau kadang suka berbeda dalam bebarapa hal dengan gurunya, akan tetapi ia mengikuti gurunya dalam kaidah-kaidah pokoknya saja. Dua tingkatan mujtahid di atas sudah tidak ada pada zaman sekarang.

3. Mujtahid Muqayyad

Adalah seseorang yang berijtihad dalam masalahmasalah yang tidak ada nashnya (keterangannya) dalam kitab-kitab madzhab

a. Mazhab Al-Hanafiyah

Di antaranya seperti, Al-Hashafi, Al-Thahawi, Al- Kurhi, Al-Halwani, As-Syarakhsi, Al-Bazdawi dan Qadli Khan dari kalangan madzhab Al-Hanafiyah.

b. Mazhab Al-Malikiyah

Dari kalangan Madzab Al-Malikiyah. Misalnya Al-Abhari, Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani.

c. Mazhab Asy-Syafi’iyah

Dari kalangan mazhab ini antara lain misalnya Abi Ishaq Al-Syiraji, Al-Marwadzi, Muhammad bin Jarir, Abi Nashr, Ibnu Khuzaimah dari kalangan Madzhab Al- Syafi’iyah.

d. Mazhab Al-Hanabilah

Dari kalangan mazhab ini antara lain seperti Al-Qadli Abu Ya’la, Al-Qadli Abi Ali bin abi Musa. Mereka semua disebut para imam Al-Wujuh, karena mereka dapat meyimpulkan suatu hukum yang tidak ada nashnya dalam kitab madzhab mereka, dinamakan Wajhan dalam madzhab (satu segi dalam madzhab) atau satu pendapat dalam madzhab, mereka berpegang kepada madzhab bukan kepada Imamnya (gurunya), hal ini tersebar dalam dua madzhab yaitu, Al-Syafi’iyah dan Al-Hanabalah.

4. Mujtahid Tarjih

Adalah mereka yang mampu mentarjih (menguatkan) salah satu pendapat dari satu imam madzhab dari pendapatpendapat madzhab imam lain, atau dapat mentarjih pendapat salah satu imam Madzhab dari pendapat para muridnya atau pendapat imam lainnya. Berari Ia hanya mengambil satu riwayat dari beberapa riwayat saja, seperti,

a. Mazhab Al-Hanafiyah

Yang termasuk mujtahid tarjih dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah antara lain Al--Qaduri dan Al-Murghainani, penulis kitab Al-Hidayah.

b. Mazhab Al-Malikiyah

Yang termasuk mujtahid tarjih dari kalangan mazhab Al-Malikiyah di antranya adalah Al-Imam Al-Khalil.

c. Mazhab Asy-Syafi’iyah

Yang termasuk mujtahid tarjih dari kalangan mazhab As-Syafi’iyah antara lain misalnya Al-Imam Ar-Rafi’i dan Al-Imam An-Nawawi.

d. Mazhab Al-Hanabilah

Yang termasuk mujtahid tarjih dari kalangan mazhab Al-Hanabilah antrara lain misalnya Al-Qadli Alauddin Al-Mardawi dan juga Abu Al-Khattab Mahfudz bin Ahmad Al-Kalwadzani Al-Bagdadi.

5. Mujtahid Fatwa

Mujtahid fatwa adalah seseorang yang senantiasa mengikuti salah satu madzhab, mengambil dan memahami masalah-masalah yang sulit ataupun yang mudah, dapat membedakan mana pendapat yang kuat dari yang lemah, mana pendapat yang rajih dari yang marjuh, akan tetapi mereka lemah dalam menetapkan dalil dan mengedit dalildalil qiyasnya.

Di antara mereka misalnya para imam pengarang matanmatan yang terkamuka dari kalangan imam mutaakhir (belakangan), seperti pengarang Al-Kanzu (Kanzul Ummal), pengarang Al-Durur Al-Mukhtar, pengarang Majma’ Al-Anhar dari kalangan Al-Hanafiyah, serta tidak lupa seperti Ar-Ramli dan Ibnu Hajar dari kalangan Al-Syafi’iyah.

6. Muqallid

Adalah mereka yang tidak mampu melakukan hal-hal di atas, seperti membedakan mana yang kuat mana yang lemah, ia hanya bisa mengikuti pendapat-pendapat ulama yang ada.

Jumhur ulama tidak membedakan anatara mujtahid muqayyad dan mujtahid takhrij, tetapi Ibnu Abidin menjadikan mujtahid takhrij sebagai tingkatan yang keempat setelah mujtahid muqoyyad, ia memberikan contoh Al-Razi Al-Jashash (wafat th. 370) dan yang semisalnya.

7. mujtahid tiap mazhab dan peringkatnya

Untuk mudahnya dalam menghafal para mujtahid dari tiap mazhab dan peringkat-peringkatnya, di bawah ini :

a. Mujtahid Mutlak

Hanafi :
Al-Imam Abu Hanifah

Maliki :
Al-Imam Malik

Syafi’i :
Al-Imam Asy-Syafi’i

Hambali :
Al-Imam Ahmad bin Hanbal

b. Mujtahid Mutlak Ghairu Mustaqil

Hanafi :
Abi Yusuf Muhammad Zufar

Maliki :
Ibnu Al-Qasim Asyhab, Asad Ibnu Furat

Syafi’i :
Al-Buwaiti, Al-Muzanni

Hambali :
Abu Bakar Al-Atsram, Abu Bakar Al-Marwadzi

c. Mujtahid Muqayyd

Hanafi :
Al-Hashafi, Al-Thahawi, Al-Kurhi, Al-Halwani, As-Syarakhsi, Al-Bazdawi Qadli Khan

Maliki :
Abhari, Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani

Syafi’i :
As-Syiraji, Al-Marwadzi Muhammad bin Jarir, Abi Nashr, Ibnu Khuzaimah

Hambali :
Al-Qadli Abu Ya’la, Al-Qadli Abi Ali bin Abi Musa.

e. Mujtahid Fatwa

Hanafi :
Penulis Kanzul Ummal, Penulis Al-Durur Mukhtar, Penulis Majma’ Al-Anhar

Malik :
Syafi’i

Ar-Ramli, Ibnu Hajar
Hambali

Related Posts:

0 Response to "Bab 11 Ijtihad & Mujtahid"

Posting Komentar