A. Pengertian1. Bahasa
2. Istilah
B. Kedudukan dan Masyru’iyah
1. Al-Quran
2. As-Sunnah
C. Mungkinkah Terjadi Ijma’?
D. Kehujjahan Ijma’
E. Sandaran Ijma’
1. Nash Al-Quran
2. Nash Al-Hadits
3. Qiyas
4. Ijtihad
F. Ijma’ Di Zaman Modern
1. Kemajuan Teknologi
2. Tantangan
Setelah kita membicarakan Al-Quran dan As-Sunnah pada pada bab-bab sebelumnya sebagai dua sumber utama ilmu fiqih, sekarang kita akan membahas sumber ilmu fiqih yang ketiga, yaitu al-ijma’.
A. Pengertian
1. Bahasa
Secara bahasa, kata ijma’ dapat bermakna al-‘azmu ala alamri wal qath’u bihi العَزْمُ على الأمر والقطع بھ yang arinya bertekad atas sesuatu dan berketetapan atasnya. Dapat dapat juga bermakna al-ittifaq الإِتِّفاق , yang artinya adalah kesepakatan.
Al-Ghazali mengatakan bahwa kata ijma’ adalah lafadz musytarak (kata bermakna ganda). Ada yang berpendapat bahwa makna asli dari ijma’ adalah al-‘azmu, dan menjadi kesepakatan apabila tekat itu terjadi pada suatu kumpulan.
2. Istilah
Sedangkan ijma’ dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqih didefinisikan sebagai :
Yang dimaksud dengan ‘urusan syar’i' adalah hal-hal yang tidak dapat diketahui kecuali lewat khitab syar’i, baik bersifat perkataan, perbuatan, i’tikad atau pun ketetapan.
Ijma' adalah kesepakatan para ahli fiqh dalam sebuah periode tentang suatu masalah setelah wafatnya Rasulullah saw tentang suatu urusan agama. Baik kesepakatan itu dilakukan oleh para ahli fiqh dari sahabat setelah Rasulullah saw wafat atau oleh para ahli fiqh dari generasi sesudah mereka.
Contohnya ulama sepakat tentang kewajiban shalat lima waktu sehari semalam dan semua rukun Islam.
B. Kedudukan dan Masyru’iyah
Ijma' merupakan sumber hukum dalam syariat yang ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah. Karena pada dasarnya Ijma’ adalah kesepakatan seluruh ulama Islam terhadap suatu masalah dalam satu waktu. Apabila telah terjadi ijma’ dari seluruh mujtahidin terhadap suatu hukum, maka tidak boleh bagi seseorang menyelisihi ijma trsebut, karena ummat (para mujtahidin) tidak mungkin bersepakat terhadap kesesatan.
Sejumlah ayat dan sunnah menjelaskan bahwa Ijma' adalah sumber dan hujjah dalam menetapkan hukum.
1. Al-Quran
Allah SWT berfirman:
Ayat Al-Quran ini menegaskan bahwa orang yang menyelisihi apa yang telah disepakati oleh umat Islam atau orang-orang yang beriman, yaitu dalam hal ini ijma’ yang telah terjadi di tengah-tengah umat Islam, maka mereka itu termasuk orang yang sesat. Bahkan ada hukuman di akhirat nanti buat mereka yang berbuat demikian, yaitu Allah SWT akan masukkan ke dalam neraka jahannam, sebagai tempat kembali yang paling buruk.
Di ayat lain, Allah telah memberikan tazkiyah (rekomendasi) kepada umat Islam sebagai umat yang adil dan juga sebagai umat pilihan. Sehingga apa-apa yang telah dipilih oleh umat Islam itu sudah merupakan jaminan dari Allah SWT.
Dan di ayat Al-Quran yang lain lagi, Allah SWT sekali lagi memberikan pernyataan yang menerangkan bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik, yang dilahirkan bagi umat manusia. Sehingga apa yang dipandang oleh umat Islam secara keseluruhan, adalah apa yang terbaik untuk umat manusia juga.
2. As-Sunnah
Sedangkan dalil-dalil yang menjadi dasar atas kehujjahan Ijma’ dari sunnah Rasulullah SAW antara lain sabda beliau SAW:
Sabda ini juga merupakan jaminan bahwa umat Islam ini tidak akan bersepakat pada kesesatan. Maka apa yang telah menjadi kesepakatan seluruh umat Islam adalah sesuatu yang mendapat jaminan atas kebenarannya. Dan jaminan itu langsung ditetapkan oleh Rasulullah SAW.
Dalam hadis lain Rasulullah SAW bersabda untuk menguatkan apa yang telah disabdakannya pada hadits sebelumnya :
Dan sebagai umat Islam, kita pun diwajibkan untuk ikut apa yang telah ditetapkan dan diputuskan oleh jamaah umat Islam. Di hadits lain Rasulullah SAW bersabda tentang hal ini :
Bahkan Rasulullah SAW sampai mengatakan bahwa orang yang keluar dari apa yang telah disepakati dalam jamaah umat Islam, seperti orang yang telah melepaskan ikatan agama Islam dari lehernya, meski pun secara ritual dia telah mengerjakan banyak ibadah yang bersifat individual, seperti puasa dan shalat.
Sementara orang yang meninggalkan jamaah umat Islam, juga diibaratkan sebagai orang yang mati di zaman jahiliyah.
Disamping itu Ijma' dilakukan berdasarkan dalil di dalamnya sebab tidak mungkin ulama dalam masa tertentu melakukan kesepakatan tanpa dalil syariat. Karenanya, para ulama mutaakhir (generasi belakangan) ingin mengetahui Ijma' maka yang dicari bukan dalil Ijma' namun kebenaran adanya Ijma' itu sendiri, apakah benar periwayatannya atau tidak.
C. Mungkinkah Terjadi Ijma’?
Kalau melihat betapa beratnya syarat-syarat yang harus terpenuhi pada suatu ijma’, seperti harus seluruh umat Islam bersepakat bulan atas suatu perkara, sementara umat Islam ini tersebar di seluruh belahan muka bumi, maka ada sebagian kalangan pesimistis bisa terjadi ijma’ di tengahtengah umat Islam.
Mereka yang pesimistis itu bahkan sampai mengklaim bahwa ijma’ umat Islam tidak pernah betul-betul terjadi sepanjang sejarah. Apalagi kalau ditambah dengan peristiwa perpecahan, peperangan dan perselisihan yang berkecemuk di tengah-tengah umat Islam sepanjang sejarahnya yang 14 abad itu, maka bertemunya kesepakatan dari seluruh umat Islam tidak akan pernah tercapai.
Pendapat yang pesimistis ini harus diakui memang ada, tetapi sesungguhnya keberadaan mereka itu tidak bisa dijadikan dasar untuk membenarkan apa yang mereka pikirkan. Sebab jumlah mereka yang berpendapat seperti itu sangat kecil. Sedangkan mereka yang memandang bahwa ijma’ itu adalah realitas yang sudah terjadi sejak zaman dahulu hingga sekarang ini, justru sulit dipungkiri.
Misalnya ijma’ bahwa shalat 5 waktu itu hukumnya fardhu ‘ain. Tidak ada seorang pun yang menolak ijma’ tersebut, kecuali para zindiq dan penyebar aliran sesat saja.
Mereka yang menentang kewajiban shalat 5 waktu tidak termasuk ke dalam syarat orang yang pendapatnya bisa dijadikan dasar ijma’.
Di masa Abu Bakar Ash-Shiddiq menjadi khalifah Rasulullah SAW, seluruh umat Islam saat itu sepakat mengkafirkan orang-orang yang menentang syariat zakat, serta menghalalkan darah mereka. Sehingga Abu Bakar membentuk sebuah pasukan besar untuk memerangi kaum yang menolak dan mengingkari syariat zakat.
Masih di masa yang sama, seluruh umat Islam saat itu sepakat untuk menuliskan seluruh ayat Al-Quran dalam satu bundel mushhaf. Padahal sebelumnya hal itu belum pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, bahkan beliau SAW sama sekali tidak pernah memerintahkan, atau pun misalnya sekedar mengusulkan atau memberi isyarat.
D. Kehujjahan Ijma’
Para ulama menjadikan dalil ijma’ sebagai hujjah yang bersifat qath’i. Tentunya selama hal itu memang nyata terbukti sebagai ijma’ dalam arti yang sebenarnya. Sebab kita tahu ada hal-hal yang sering diklaim sebagai sebuah ijma’, namun ternyata masih diperselisihkan keijma’annya.
E. Sandaran Ijma’
Biar bagaimana pun sebuah ijma’ ulama tidak lahir begitu saja. Sebab ijma’ bukan wahyu yang turun dari atas langit dari sisi Allah ke bumi. Sehingga sebuah ijma’ terbentuk dengan berdasarkan sesuatu yang disandarkan atasnya. Sandaran buat sebuah ijma’ menurut Dr. Abdul Karim Zaidan antara lain :
1. Nash Al-Quran
Ketika para ulama berijma’ mengharamkan pernikahan antara seorang laki-laki dengan ibunya, atau dengan anak perempuannya, saudari perempuan, atau bibinya, maka sandarannya adalah ayat-ayat Al-Quran Al-Kariem.
2. Nash Al-Hadits
Ketika para ulama berijma’ bahwa bagian harta warisan yang diterima oleh seorang kakek yang ditinggal mati oleh cucunya adalah 1/6, maka ijma’ itu didasarkan pada hadits ahad.
3. Qiyas
Ketika para ulama berijma’ bahwa minyak babi dan lemaknya adalah najis dan haram dimakan, maka hal itu adalah qiyas yang mereka lakukan terhadap daging babi.
Mengingat bahwa yang disebutkan keharamannya adalah daging babi, dan lemaknya tidak ikut disebutkan. Namun qiyas yang mereka lakukan itu sampai ke derajat ijma’. Artinya, seluruh ulama bersepakat mengqiyaskan lemak babi dengan daging babi, tanpa kecuali.
4. Ijtihad
Dan ketika para ulama berijma dan menyepakati untuk menghalalkan darah orang yang mengingkari kewajiban zakat, maka ijma’ itu berangkat dari ijtihad.
Ketika ijma’ sudah terjadi di atas sandaran-sandarannya, maka sandaran-sandaran itu sudah tidak lagi diperlukan. Dan diharamkan menyelisihi ijma’ yang sudah terbentuk itu. Karena kedudukan ijma’ begitu tinggi, maka bila ada seseorang yang mengingkari ijma’ yang telah terbentuk, dimana ijma’ itu bersifat qath’i dan biasanya yang dijadikan ijma’ itu perkara-perkara yang fundamental dalam agama, maka dia dianggap telah kafir kepada agama Islam.
Misalnya, wajibnya shalat 5 waktu adalah perkara qathi dan termasuk masalah fundamental dalam agama, dan hal itu termasuk ke dalam salah satu contoh ijma’. Maka bila ada orang yang mengingkari kewajiban shalat 5 waktu itu, dia telah keluar dari agama Islam.
Demikian juga para ulama telah berijma’ bahwa puasa di bulan Ramadhan hukumnya fardhu. Kewajiban puasa Ramadhan adalah perkara fundamental agama yang bersifat qath’i tanpa ada yang berbeda pendapat. Dan itulah yang dimaksud dengan ijma’. Bila ada orang yang mengingkari kewajiban puasa di bulan Ramadhan, dia telah kehilangan statusnya sebagai muslim.
Mengingkari bahwa berzina dan meminum khamar itu adalah hal yang telah mutlaq diharamkan, juga bisa mengakibatkan pelakunya keluar dari agama Islam. Karena haramnya zina dan khamar telah menjadi ijma’ umat Islam.
Namun ada juga contoh ijma’ tertentu yang pengingkarnya tidak dianggap kafir. Misalnya, detail-detail pembagian harta warisan banyak yang sudah mencapai level ijma’. Namun dengan begitu banyaknya orang awam di kalangan muslimin, kita tidak bisa mengatakan bahwa ketidak-tahuan mereka itu sebagai bukti kekafiran mereka.
F. Ijma’ Di Zaman Modern
Ketika para shahabat Nabi SAW pergi meninggalkan Madinah sepeninggal beliau SAW, dan tinggal berpencarpencar di berbagai pusat peradaban Islam, maka sejak saat itu ijma’ di antara para ulama mengalami kesulitan secara teknis. Sebab di masa itu, peradaban Islam mengalami pemekaran yang sangat luas, hingga sampai meliputi tiga benua, Asia, Afrika dan Eropa. Bahkan sampai punya ke Indonesia (baca:nusantara) yang jaraknya sedemikian jauh.
Sehingga ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa nyaris mustahil terjadi ijma’ semenjak masa itu dan masa-masa sesudahnya. Alasannya tentu karena faktor teknis yang tidak memungkinkan mengumpulkan para ulama dari seluruh dunia di masa itu.
1. Kemajuan Teknologi
Namun kini kita hidup di masa yang amat modern, dimana teknologi yang kita punya di zaman ini tidak pernah terfikirkan dan tidak pernah terduga oleh orang-orang yang hidup di masa lalu. Dua ratusan tahun yang lalu kemajuan teknologi dan kehidupan manusia masih seperti zaman pra sejarah. Dan apa yang kita dapatkan dari kemajuan teknologi di hari ini, jangankan menduga, mimpi pun juga tidak pernah mereka alami.
a. Alat Tranportasi
Kalau di masa lalu dari Madinah ke Yaman atau ke Syam butuh waktu 2 minggu berjalan kaki, maka hari ini hanya butuh 2 jam saja dengan pesawat terbang. Karena kita sekarang ini hidup di zaman pesawat jet yang bisa terbang dengan kecepatan mendekati kecepatan suara. Maka mengumpulkan para ulama dari berbagai negara untuk pertemuan beberapa hari untuk melakukan ijma’, secara teknis bisa dengan mudah dilakukan. Jangankan mengumpulkan ulama yang jumlahnya terbatas di dunia ini, setiap tahun tidak kurang dari 2 sampai 3 juta orang berkumpul di Arafah untuk melaksanakan ibadah haji.
Event-event untuk mengumpulkan orang sedunia di satu titik bukan hal yang aneh lagi di zaman sekarang. Perhelatan piala dunia adalah contohnya, yaitu bagaimana berjuta orang dari berbagai negara dalam waktu yang cepat bisa berkumpul di suatu negara, sekedar buat nonton orang mengejar-ngejar bola yang bundar.
Maka di masa sekarang ini, sudah mulai dirintis upaya untuk mempertemukan para ulama sedunia di dalam berbagai macam even pembahasan masalah-masalah fiqih sedunia. Beberapa majma’ fiqih secara rutin selalu mengadakan pertemuan di tingkat international, yang dihadiri oleh hampir seluruh ulama dan perwakilan dari berbagai negara.
Semua bisa terjadi dengan mudah berkat majunya teknologi tranportasi, khususnya mesin-mesin jet yang bisa membelah angkasa, dalam waktu sekejap berhasil mengantarkan orang ke negeri yang terjauh yang pernah ada.
b. Telekomunikasi
Teknologi komunikasi di zaman internet ini bahkan dapat membuat para ulama sedunia saling berkomunikasi dan berdiskusi panjang lebar tanpa harus menggeser pantatnya sedikit pun dari tempat duduknya. Telepon dan internet telah mengubah segala yang dahulu tidak mungkin dilakukan menjadi sangat mungkin, bahkan dengan nilai yang jauh lebih ekonomis dan terjangkau.
Dan dengan teknologi yang lebih maju, konferensi bisa dilakukan secara live yang diikuti oleh peserta yang secara fisik mereka tetap berada di negara masing-masing, tetapi dengan jelas bisa saling melihat dan mendengar serta bertukar pendapat. Bukan hanya itu, tetapi tulisan ilmiyah yang mereka susun saat itu juga bisa langsung diupload ke internet dan langsung didownload oleh jutaan orang di permukaan planet bumi.
Para ulama bisa mengirim (memposting) tulisan mereka di suatu situs, untuk dijadikan kajian oleh sekian banyak ulama lain yang tersebar di berbagai belahan bumi. Tulisan itu bisa dikomentari, dikritisi dan juga diberikan masukan ini dan itu, sehingga hasilnya bisa menjadi sebuah fatwa bersama, dan pada akhirnya bisa menjadi ijma’ di zaman modern.
2. Tantangan
Namun demikian, meski di zaman modern ini kita bersyukur memiliki alat-alat yang canggih, sehingga membuat apa-apa yang dahulu dianggap tidak mungkin, kini
bisa kembali menjadi sangat mungkin dan juga dengan harga yang sangat murah, tetapi saja masih ada kekurangan disanasini. Kekurangan itu antara lain adalah :
a. Kurangnya Ulama
Kalau di masa lalu dengan mudah kita bisa menemukan ulama dengan segala persyaratannya, justru di masa sekarang ini kita malah kebingungan untuk menetapkan siapa sajakah para ulama itu hari ini.
Sebab terkadang penampilan mereka dengan segala atributnya sering membuat kita terpukau, apalagi kalau berbicara di depan publik, seolah-olah orang yang benarbenar ulama, karena kepandaiannya menyusun kata dan berorasi.
Tetapi semua itu belum tentu menjamin apakah mereka benar-benar ulama dalam arti yang sesungguhnya. Sebab kita masih seperti membeli kucing di dalam karung, yang belum jelas seperti jenis dan bentuknya. Ibarat kita membeli barang dalam bungkusannya yang disegel, tidak bisa dilakukan uji coba dan dilakukan pengetesan terhadap kualitasnya.
Memang benar ada hadits yang menyebutkan di akhir zaman nanti Allah SWT akan mencabut ilmu dengan meninggalnya para ulama.
Namun bukan berarti kita benar-benar tidak punya ulama. Dan hadits ini bukan memerintahkan kita untuk pasrah menerima takdir. Sebaliknya hadits ini justru merupakan tantangan besar buat kita yang hidup di akhir zaman ini untuk terus menerus mencetak, membina dan mengkader para ulama untuk zaman berikutnya.
Ada ungkapan yang konon disebutkan oleh Ali,”Didiklah dan persiapkanlah anak-anakmu untuk suatu zaman yang bukan zamanmu. Mereka akan hidup pada suatu zaman yang bukan zamanmu".
Seorang tentara tidak akan mendapatkan seragam dan senjata, kecuali setelah melewati beberapa tahun pendidikan yang panjang, keras dan berat. Hanya mereka yang dianggap memenuhi syarat saja yang diterima di akademi militer untuk bisa mengikuti pendidikan itu. Dan hanya mereka yang benar-benar lulus secara sempurna yang akhirnya berhak menyandang gelar sebagai tentara dengan berbagai macam level kepangkatannya. Kalau tentara saja harus lewatpendidikan, maka ulama seharusnya lebih diurus lagi dan tidak diserahkan kepada umat secara alami.
Seorang dokter tidak mungkin berpraktek sebelum mendapatkan izin praktek. Dan untuk itu dia harus menghabiskan waktu bertahun-tahun kuliah di fakultas kedokteran. Dan hanya mereka yang benar-benar anak pintar saja yang bisa lolos masuk seleksi menjadi mahasiswa di fakultas kedoteran itu. Tidak sedikit mahasiswa kedokteran yang putus kuliah di tengah jalan, karena otak mereka ternyata tidak punya kapasitas yang memadai dan akhirnya dropped out alias gagal. Kalau untuk berpraktek dokter harus melewati proses berlapis-lapis, maka untuk menjadi ulama pun juga harus sedemikian juga. Tidak mungkin ulama dilahirkan lewat program di televisi.
Maka yang kita butuhkan adalah sekolah para ulama dalam arti yang sesungguhnya. Intinya, mereka diberi bekalbekal pengetahuan agama yang cukup selama bertahuntahun, dengan level tertentu. Selesai itu mereka harus diuji sedemikian rupa untuk memastikan kualitas, kapasitas, kemampuan, dan kehandalan mereka, agar tidak terjadi penurunan di tengah masyarakat nanti. Tentu sangat wajar kalau para ulama ini harus distandarisasi secara profesional.
Sebab profesi ini sangat berat dan mengandung resiko yangtidak kecil.
Jaksa, hakim dan berbagai jenis profesi itu ada standarisasi dan sertifikatnya. Bagaimana mungkin para ulama tidak perlu standarisasi itu?
b. Ulama Gaptek
Kalau kita sudah punya berlapis ulama yang memenuhi standar, masalah yang lain adalah urusan gagap teknologi. Meski teknologi berkembang sedemikian pesat di sekeliling kita, namun umat Islam nyaris hampir tidak pernah memanfaatkannya demi kepentingan agama dan ilmu syariah.
Apalagi di level para ulama sendiri, hanya segelintir kecil saja mereka yang melek teknologi dan memanfaatkan teknologi itu untuk kepentingan profesi mereka sebagai ulama.
Dari seribu ulama yang saya kenal, yang punya situs internet hanya beberapa orang saja. Itu pun kebanyakannya tidak terurus alias tidak ada update tulisan terbaru. Walau pun urusan ini bukan sebuah ukuran, tetapi secara tidak langsung kita bisa menilai bahwa teknologi walau pun tersedia dengan mudah dan murah, tetapi bukan berarti perkaranya selesai. Ternyata masih ada kendala gaptek yang menyelubungi para ulama dan umat Islam secara keseluruhan.
Ulama yang ilmu tinggi sungguh sangat banyak, tapi sedikit dari mereka yang akrab dengan teknologi. Sebaliknya, umat Islam yang awam dan akrab dengan teknologi itu juga banyak, tetapi mereka adalah level orang awam yang ilmunya bukan level ulama. Sebenarnya kalau kedua belah pihak bisa bekerja sama, kita akan mendapatkan dua keuntungan itu. Tapi sekali lagi, kerja-sama itu jarang-jaran terlihat.
2. Istilah
B. Kedudukan dan Masyru’iyah
1. Al-Quran
2. As-Sunnah
C. Mungkinkah Terjadi Ijma’?
D. Kehujjahan Ijma’
E. Sandaran Ijma’
1. Nash Al-Quran
2. Nash Al-Hadits
3. Qiyas
4. Ijtihad
F. Ijma’ Di Zaman Modern
1. Kemajuan Teknologi
2. Tantangan
Setelah kita membicarakan Al-Quran dan As-Sunnah pada pada bab-bab sebelumnya sebagai dua sumber utama ilmu fiqih, sekarang kita akan membahas sumber ilmu fiqih yang ketiga, yaitu al-ijma’.
A. Pengertian
1. Bahasa
Secara bahasa, kata ijma’ dapat bermakna al-‘azmu ala alamri wal qath’u bihi العَزْمُ على الأمر والقطع بھ yang arinya bertekad atas sesuatu dan berketetapan atasnya. Dapat dapat juga bermakna al-ittifaq الإِتِّفاق , yang artinya adalah kesepakatan.
Al-Ghazali mengatakan bahwa kata ijma’ adalah lafadz musytarak (kata bermakna ganda). Ada yang berpendapat bahwa makna asli dari ijma’ adalah al-‘azmu, dan menjadi kesepakatan apabila tekat itu terjadi pada suatu kumpulan.
2. Istilah
Sedangkan ijma’ dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqih didefinisikan sebagai :
اتِّفَاقُ
جَمِيْعِ المُجْتَهِدِيْنَ مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللّٰهُ
عَلَيْهِ وَسَلّم فِي عَصْرٍ مَا بَعْدَ عصْرِهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ
وَسَلّم عَلَى أَمْرٍ شَرْعِيٍّ
Kesepakatan dari semua mujtahid dari umat Nabi Muhammad SAW pada suatu masa setelah masa kenabian pada suatu urusan syar’i.Yang dimaksud dengan ‘urusan syar’i' adalah hal-hal yang tidak dapat diketahui kecuali lewat khitab syar’i, baik bersifat perkataan, perbuatan, i’tikad atau pun ketetapan.
Ijma' adalah kesepakatan para ahli fiqh dalam sebuah periode tentang suatu masalah setelah wafatnya Rasulullah saw tentang suatu urusan agama. Baik kesepakatan itu dilakukan oleh para ahli fiqh dari sahabat setelah Rasulullah saw wafat atau oleh para ahli fiqh dari generasi sesudah mereka.
Contohnya ulama sepakat tentang kewajiban shalat lima waktu sehari semalam dan semua rukun Islam.
B. Kedudukan dan Masyru’iyah
Ijma' merupakan sumber hukum dalam syariat yang ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah. Karena pada dasarnya Ijma’ adalah kesepakatan seluruh ulama Islam terhadap suatu masalah dalam satu waktu. Apabila telah terjadi ijma’ dari seluruh mujtahidin terhadap suatu hukum, maka tidak boleh bagi seseorang menyelisihi ijma trsebut, karena ummat (para mujtahidin) tidak mungkin bersepakat terhadap kesesatan.
Sejumlah ayat dan sunnah menjelaskan bahwa Ijma' adalah sumber dan hujjah dalam menetapkan hukum.
1. Al-Quran
Allah SWT berfirman:
وَمَنْ
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لاهُ الْهُدَى وَيَتَّبِع
غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ
جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيْرًا
Dan
barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan
ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
(QS. An-Nisa’: 115)Ayat Al-Quran ini menegaskan bahwa orang yang menyelisihi apa yang telah disepakati oleh umat Islam atau orang-orang yang beriman, yaitu dalam hal ini ijma’ yang telah terjadi di tengah-tengah umat Islam, maka mereka itu termasuk orang yang sesat. Bahkan ada hukuman di akhirat nanti buat mereka yang berbuat demikian, yaitu Allah SWT akan masukkan ke dalam neraka jahannam, sebagai tempat kembali yang paling buruk.
Di ayat lain, Allah telah memberikan tazkiyah (rekomendasi) kepada umat Islam sebagai umat yang adil dan juga sebagai umat pilihan. Sehingga apa-apa yang telah dipilih oleh umat Islam itu sudah merupakan jaminan dari Allah SWT.
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُم شَهِيْدًا
Dan
demikian Kami telah menjadikan kamu umat yang adil dan pilihan agar
kamu menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas kamu.
(QS. Al-Baqarah : 143)Dan di ayat Al-Quran yang lain lagi, Allah SWT sekali lagi memberikan pernyataan yang menerangkan bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik, yang dilahirkan bagi umat manusia. Sehingga apa yang dipandang oleh umat Islam secara keseluruhan, adalah apa yang terbaik untuk umat manusia juga.
كُنْتُم
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّٰهِ وَلَوْ اٰمَنَ
أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ
وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orangorang
yang fasik. (QS. Ali Imran : 110)2. As-Sunnah
Sedangkan dalil-dalil yang menjadi dasar atas kehujjahan Ijma’ dari sunnah Rasulullah SAW antara lain sabda beliau SAW:
إِنَّ أُمَّتِي لَا يَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ
”Umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan (HR. At-Tirmizy)Sabda ini juga merupakan jaminan bahwa umat Islam ini tidak akan bersepakat pada kesesatan. Maka apa yang telah menjadi kesepakatan seluruh umat Islam adalah sesuatu yang mendapat jaminan atas kebenarannya. Dan jaminan itu langsung ditetapkan oleh Rasulullah SAW.
Dalam hadis lain Rasulullah SAW bersabda untuk menguatkan apa yang telah disabdakannya pada hadits sebelumnya :
مَا رَاٰهُ الُمسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللّٰهِ حَسَنٌ
”Apa yang menurut orang-orang Islam baik maka ia baik di sisi Allah. (HR. Ahmad)
Dan sebagai umat Islam, kita pun diwajibkan untuk ikut apa yang telah ditetapkan dan diputuskan oleh jamaah umat Islam. Di hadits lain Rasulullah SAW bersabda tentang hal ini :
عَلَيْكُم بِا لَجمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ الإِثْنَيْنِ أبْعُد
Hendaklah
kalian berjamaah dan jangan bercerai berai, karena syetan bersama yang
sendiri dan dengan dua orang lebih jauh. (HR At-Tirmidzi)Bahkan Rasulullah SAW sampai mengatakan bahwa orang yang keluar dari apa yang telah disepakati dalam jamaah umat Islam, seperti orang yang telah melepaskan ikatan agama Islam dari lehernya, meski pun secara ritual dia telah mengerjakan banyak ibadah yang bersifat individual, seperti puasa dan shalat.
مَنْ
فَارَقَ الْجَمَاعَةَ قِيْدَ شِبْرٍ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الإِسلَامِ
مِنْ عُنُقِهِ إِلَّا أَنْ يَرْجِعَ. فَقَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُولَ اللّٰهِ
وَإِنْ صَلّى وَصَامَ ؟ قَالَ : وَإِنْ صَلّى وَصَامَ
Dari
al-Harits al-Asy’ari dari Nabi SAW bersabda:’Siapa yang meninggalkan
jamaah sejengkal, maka telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya
kecuali jika kembali. Seseorang bertanya,’ Wahai Rasulullah, walaupun
dia sudah mengerjakan shalat dan puasa?’. Maka Rasulullah SAW
menjawab:’Walaupun dia shalat dan puasa.’ (HR Ahmad dan at-Turmudzi)Sementara orang yang meninggalkan jamaah umat Islam, juga diibaratkan sebagai orang yang mati di zaman jahiliyah.
مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَتَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِّيَةً. متفق عليه
Siapa yang meninggalkan jamaah sejengkal kemudian mati, kecuali mati dalam keadaan jahiliyah’ (Muttafaqun ‘alaihi)Disamping itu Ijma' dilakukan berdasarkan dalil di dalamnya sebab tidak mungkin ulama dalam masa tertentu melakukan kesepakatan tanpa dalil syariat. Karenanya, para ulama mutaakhir (generasi belakangan) ingin mengetahui Ijma' maka yang dicari bukan dalil Ijma' namun kebenaran adanya Ijma' itu sendiri, apakah benar periwayatannya atau tidak.
C. Mungkinkah Terjadi Ijma’?
Kalau melihat betapa beratnya syarat-syarat yang harus terpenuhi pada suatu ijma’, seperti harus seluruh umat Islam bersepakat bulan atas suatu perkara, sementara umat Islam ini tersebar di seluruh belahan muka bumi, maka ada sebagian kalangan pesimistis bisa terjadi ijma’ di tengahtengah umat Islam.
Mereka yang pesimistis itu bahkan sampai mengklaim bahwa ijma’ umat Islam tidak pernah betul-betul terjadi sepanjang sejarah. Apalagi kalau ditambah dengan peristiwa perpecahan, peperangan dan perselisihan yang berkecemuk di tengah-tengah umat Islam sepanjang sejarahnya yang 14 abad itu, maka bertemunya kesepakatan dari seluruh umat Islam tidak akan pernah tercapai.
Pendapat yang pesimistis ini harus diakui memang ada, tetapi sesungguhnya keberadaan mereka itu tidak bisa dijadikan dasar untuk membenarkan apa yang mereka pikirkan. Sebab jumlah mereka yang berpendapat seperti itu sangat kecil. Sedangkan mereka yang memandang bahwa ijma’ itu adalah realitas yang sudah terjadi sejak zaman dahulu hingga sekarang ini, justru sulit dipungkiri.
Misalnya ijma’ bahwa shalat 5 waktu itu hukumnya fardhu ‘ain. Tidak ada seorang pun yang menolak ijma’ tersebut, kecuali para zindiq dan penyebar aliran sesat saja.
Mereka yang menentang kewajiban shalat 5 waktu tidak termasuk ke dalam syarat orang yang pendapatnya bisa dijadikan dasar ijma’.
Di masa Abu Bakar Ash-Shiddiq menjadi khalifah Rasulullah SAW, seluruh umat Islam saat itu sepakat mengkafirkan orang-orang yang menentang syariat zakat, serta menghalalkan darah mereka. Sehingga Abu Bakar membentuk sebuah pasukan besar untuk memerangi kaum yang menolak dan mengingkari syariat zakat.
Masih di masa yang sama, seluruh umat Islam saat itu sepakat untuk menuliskan seluruh ayat Al-Quran dalam satu bundel mushhaf. Padahal sebelumnya hal itu belum pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, bahkan beliau SAW sama sekali tidak pernah memerintahkan, atau pun misalnya sekedar mengusulkan atau memberi isyarat.
D. Kehujjahan Ijma’
Para ulama menjadikan dalil ijma’ sebagai hujjah yang bersifat qath’i. Tentunya selama hal itu memang nyata terbukti sebagai ijma’ dalam arti yang sebenarnya. Sebab kita tahu ada hal-hal yang sering diklaim sebagai sebuah ijma’, namun ternyata masih diperselisihkan keijma’annya.
E. Sandaran Ijma’
Biar bagaimana pun sebuah ijma’ ulama tidak lahir begitu saja. Sebab ijma’ bukan wahyu yang turun dari atas langit dari sisi Allah ke bumi. Sehingga sebuah ijma’ terbentuk dengan berdasarkan sesuatu yang disandarkan atasnya. Sandaran buat sebuah ijma’ menurut Dr. Abdul Karim Zaidan antara lain :
1. Nash Al-Quran
Ketika para ulama berijma’ mengharamkan pernikahan antara seorang laki-laki dengan ibunya, atau dengan anak perempuannya, saudari perempuan, atau bibinya, maka sandarannya adalah ayat-ayat Al-Quran Al-Kariem.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُم أُمَّهَاتُكُم وَبَنَاتُكُم وَأَخَوَاتُكُم وَعَمَّاتُكُم وَخَالَاتُكُم وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ
Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anakanakmu yang perempuan,
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anakanak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan. (QS. An-Nisa’ : 23)2. Nash Al-Hadits
Ketika para ulama berijma’ bahwa bagian harta warisan yang diterima oleh seorang kakek yang ditinggal mati oleh cucunya adalah 1/6, maka ijma’ itu didasarkan pada hadits ahad.
3. Qiyas
Ketika para ulama berijma’ bahwa minyak babi dan lemaknya adalah najis dan haram dimakan, maka hal itu adalah qiyas yang mereka lakukan terhadap daging babi.
Mengingat bahwa yang disebutkan keharamannya adalah daging babi, dan lemaknya tidak ikut disebutkan. Namun qiyas yang mereka lakukan itu sampai ke derajat ijma’. Artinya, seluruh ulama bersepakat mengqiyaskan lemak babi dengan daging babi, tanpa kecuali.
4. Ijtihad
Dan ketika para ulama berijma dan menyepakati untuk menghalalkan darah orang yang mengingkari kewajiban zakat, maka ijma’ itu berangkat dari ijtihad.
Ketika ijma’ sudah terjadi di atas sandaran-sandarannya, maka sandaran-sandaran itu sudah tidak lagi diperlukan. Dan diharamkan menyelisihi ijma’ yang sudah terbentuk itu. Karena kedudukan ijma’ begitu tinggi, maka bila ada seseorang yang mengingkari ijma’ yang telah terbentuk, dimana ijma’ itu bersifat qath’i dan biasanya yang dijadikan ijma’ itu perkara-perkara yang fundamental dalam agama, maka dia dianggap telah kafir kepada agama Islam.
Misalnya, wajibnya shalat 5 waktu adalah perkara qathi dan termasuk masalah fundamental dalam agama, dan hal itu termasuk ke dalam salah satu contoh ijma’. Maka bila ada orang yang mengingkari kewajiban shalat 5 waktu itu, dia telah keluar dari agama Islam.
Demikian juga para ulama telah berijma’ bahwa puasa di bulan Ramadhan hukumnya fardhu. Kewajiban puasa Ramadhan adalah perkara fundamental agama yang bersifat qath’i tanpa ada yang berbeda pendapat. Dan itulah yang dimaksud dengan ijma’. Bila ada orang yang mengingkari kewajiban puasa di bulan Ramadhan, dia telah kehilangan statusnya sebagai muslim.
Mengingkari bahwa berzina dan meminum khamar itu adalah hal yang telah mutlaq diharamkan, juga bisa mengakibatkan pelakunya keluar dari agama Islam. Karena haramnya zina dan khamar telah menjadi ijma’ umat Islam.
Namun ada juga contoh ijma’ tertentu yang pengingkarnya tidak dianggap kafir. Misalnya, detail-detail pembagian harta warisan banyak yang sudah mencapai level ijma’. Namun dengan begitu banyaknya orang awam di kalangan muslimin, kita tidak bisa mengatakan bahwa ketidak-tahuan mereka itu sebagai bukti kekafiran mereka.
F. Ijma’ Di Zaman Modern
Ketika para shahabat Nabi SAW pergi meninggalkan Madinah sepeninggal beliau SAW, dan tinggal berpencarpencar di berbagai pusat peradaban Islam, maka sejak saat itu ijma’ di antara para ulama mengalami kesulitan secara teknis. Sebab di masa itu, peradaban Islam mengalami pemekaran yang sangat luas, hingga sampai meliputi tiga benua, Asia, Afrika dan Eropa. Bahkan sampai punya ke Indonesia (baca:nusantara) yang jaraknya sedemikian jauh.
Sehingga ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa nyaris mustahil terjadi ijma’ semenjak masa itu dan masa-masa sesudahnya. Alasannya tentu karena faktor teknis yang tidak memungkinkan mengumpulkan para ulama dari seluruh dunia di masa itu.
1. Kemajuan Teknologi
Namun kini kita hidup di masa yang amat modern, dimana teknologi yang kita punya di zaman ini tidak pernah terfikirkan dan tidak pernah terduga oleh orang-orang yang hidup di masa lalu. Dua ratusan tahun yang lalu kemajuan teknologi dan kehidupan manusia masih seperti zaman pra sejarah. Dan apa yang kita dapatkan dari kemajuan teknologi di hari ini, jangankan menduga, mimpi pun juga tidak pernah mereka alami.
a. Alat Tranportasi
Kalau di masa lalu dari Madinah ke Yaman atau ke Syam butuh waktu 2 minggu berjalan kaki, maka hari ini hanya butuh 2 jam saja dengan pesawat terbang. Karena kita sekarang ini hidup di zaman pesawat jet yang bisa terbang dengan kecepatan mendekati kecepatan suara. Maka mengumpulkan para ulama dari berbagai negara untuk pertemuan beberapa hari untuk melakukan ijma’, secara teknis bisa dengan mudah dilakukan. Jangankan mengumpulkan ulama yang jumlahnya terbatas di dunia ini, setiap tahun tidak kurang dari 2 sampai 3 juta orang berkumpul di Arafah untuk melaksanakan ibadah haji.
Event-event untuk mengumpulkan orang sedunia di satu titik bukan hal yang aneh lagi di zaman sekarang. Perhelatan piala dunia adalah contohnya, yaitu bagaimana berjuta orang dari berbagai negara dalam waktu yang cepat bisa berkumpul di suatu negara, sekedar buat nonton orang mengejar-ngejar bola yang bundar.
Maka di masa sekarang ini, sudah mulai dirintis upaya untuk mempertemukan para ulama sedunia di dalam berbagai macam even pembahasan masalah-masalah fiqih sedunia. Beberapa majma’ fiqih secara rutin selalu mengadakan pertemuan di tingkat international, yang dihadiri oleh hampir seluruh ulama dan perwakilan dari berbagai negara.
Semua bisa terjadi dengan mudah berkat majunya teknologi tranportasi, khususnya mesin-mesin jet yang bisa membelah angkasa, dalam waktu sekejap berhasil mengantarkan orang ke negeri yang terjauh yang pernah ada.
b. Telekomunikasi
Teknologi komunikasi di zaman internet ini bahkan dapat membuat para ulama sedunia saling berkomunikasi dan berdiskusi panjang lebar tanpa harus menggeser pantatnya sedikit pun dari tempat duduknya. Telepon dan internet telah mengubah segala yang dahulu tidak mungkin dilakukan menjadi sangat mungkin, bahkan dengan nilai yang jauh lebih ekonomis dan terjangkau.
Dan dengan teknologi yang lebih maju, konferensi bisa dilakukan secara live yang diikuti oleh peserta yang secara fisik mereka tetap berada di negara masing-masing, tetapi dengan jelas bisa saling melihat dan mendengar serta bertukar pendapat. Bukan hanya itu, tetapi tulisan ilmiyah yang mereka susun saat itu juga bisa langsung diupload ke internet dan langsung didownload oleh jutaan orang di permukaan planet bumi.
Para ulama bisa mengirim (memposting) tulisan mereka di suatu situs, untuk dijadikan kajian oleh sekian banyak ulama lain yang tersebar di berbagai belahan bumi. Tulisan itu bisa dikomentari, dikritisi dan juga diberikan masukan ini dan itu, sehingga hasilnya bisa menjadi sebuah fatwa bersama, dan pada akhirnya bisa menjadi ijma’ di zaman modern.
2. Tantangan
Namun demikian, meski di zaman modern ini kita bersyukur memiliki alat-alat yang canggih, sehingga membuat apa-apa yang dahulu dianggap tidak mungkin, kini
bisa kembali menjadi sangat mungkin dan juga dengan harga yang sangat murah, tetapi saja masih ada kekurangan disanasini. Kekurangan itu antara lain adalah :
a. Kurangnya Ulama
Kalau di masa lalu dengan mudah kita bisa menemukan ulama dengan segala persyaratannya, justru di masa sekarang ini kita malah kebingungan untuk menetapkan siapa sajakah para ulama itu hari ini.
Sebab terkadang penampilan mereka dengan segala atributnya sering membuat kita terpukau, apalagi kalau berbicara di depan publik, seolah-olah orang yang benarbenar ulama, karena kepandaiannya menyusun kata dan berorasi.
Tetapi semua itu belum tentu menjamin apakah mereka benar-benar ulama dalam arti yang sesungguhnya. Sebab kita masih seperti membeli kucing di dalam karung, yang belum jelas seperti jenis dan bentuknya. Ibarat kita membeli barang dalam bungkusannya yang disegel, tidak bisa dilakukan uji coba dan dilakukan pengetesan terhadap kualitasnya.
Memang benar ada hadits yang menyebutkan di akhir zaman nanti Allah SWT akan mencabut ilmu dengan meninggalnya para ulama.
إِنَّ
اللّٰهَ لَا يَقْبِضُ العِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ العِبَادِ
وَلَكِنْ يَقْبِضُ العِلْمَ بِقَبْضِ العُلَمَاءَ حَتَّى إِذَا لَم يُنبقِ
عَالِمًا ِتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالً فَسُىِٔلُوا فَأَفْتَوْا
بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Sesungguhnya
Allah tidak mencabut ilmu secara tiba-tiba dari tengah manusia, tapi
Allah mencabut ilmu dengan dicabutnya nyawa para ulama. Hingga ketika
tidak tersisa satu pun dari ulama, orang-orang menjadikan orang-orang
bodoh untuk menjadi pemimpin. Ketika orang-orang bodoh itu ditanya
tentang masalah agama mereka berfatwa tanpa ilmu,akhirnya mereka sesat
dan menyesatkan (HR. Bukhari dan Muslim)Namun bukan berarti kita benar-benar tidak punya ulama. Dan hadits ini bukan memerintahkan kita untuk pasrah menerima takdir. Sebaliknya hadits ini justru merupakan tantangan besar buat kita yang hidup di akhir zaman ini untuk terus menerus mencetak, membina dan mengkader para ulama untuk zaman berikutnya.
Ada ungkapan yang konon disebutkan oleh Ali,”Didiklah dan persiapkanlah anak-anakmu untuk suatu zaman yang bukan zamanmu. Mereka akan hidup pada suatu zaman yang bukan zamanmu".
Seorang tentara tidak akan mendapatkan seragam dan senjata, kecuali setelah melewati beberapa tahun pendidikan yang panjang, keras dan berat. Hanya mereka yang dianggap memenuhi syarat saja yang diterima di akademi militer untuk bisa mengikuti pendidikan itu. Dan hanya mereka yang benar-benar lulus secara sempurna yang akhirnya berhak menyandang gelar sebagai tentara dengan berbagai macam level kepangkatannya. Kalau tentara saja harus lewatpendidikan, maka ulama seharusnya lebih diurus lagi dan tidak diserahkan kepada umat secara alami.
Seorang dokter tidak mungkin berpraktek sebelum mendapatkan izin praktek. Dan untuk itu dia harus menghabiskan waktu bertahun-tahun kuliah di fakultas kedokteran. Dan hanya mereka yang benar-benar anak pintar saja yang bisa lolos masuk seleksi menjadi mahasiswa di fakultas kedoteran itu. Tidak sedikit mahasiswa kedokteran yang putus kuliah di tengah jalan, karena otak mereka ternyata tidak punya kapasitas yang memadai dan akhirnya dropped out alias gagal. Kalau untuk berpraktek dokter harus melewati proses berlapis-lapis, maka untuk menjadi ulama pun juga harus sedemikian juga. Tidak mungkin ulama dilahirkan lewat program di televisi.
Maka yang kita butuhkan adalah sekolah para ulama dalam arti yang sesungguhnya. Intinya, mereka diberi bekalbekal pengetahuan agama yang cukup selama bertahuntahun, dengan level tertentu. Selesai itu mereka harus diuji sedemikian rupa untuk memastikan kualitas, kapasitas, kemampuan, dan kehandalan mereka, agar tidak terjadi penurunan di tengah masyarakat nanti. Tentu sangat wajar kalau para ulama ini harus distandarisasi secara profesional.
Sebab profesi ini sangat berat dan mengandung resiko yangtidak kecil.
Jaksa, hakim dan berbagai jenis profesi itu ada standarisasi dan sertifikatnya. Bagaimana mungkin para ulama tidak perlu standarisasi itu?
b. Ulama Gaptek
Kalau kita sudah punya berlapis ulama yang memenuhi standar, masalah yang lain adalah urusan gagap teknologi. Meski teknologi berkembang sedemikian pesat di sekeliling kita, namun umat Islam nyaris hampir tidak pernah memanfaatkannya demi kepentingan agama dan ilmu syariah.
Apalagi di level para ulama sendiri, hanya segelintir kecil saja mereka yang melek teknologi dan memanfaatkan teknologi itu untuk kepentingan profesi mereka sebagai ulama.
Dari seribu ulama yang saya kenal, yang punya situs internet hanya beberapa orang saja. Itu pun kebanyakannya tidak terurus alias tidak ada update tulisan terbaru. Walau pun urusan ini bukan sebuah ukuran, tetapi secara tidak langsung kita bisa menilai bahwa teknologi walau pun tersedia dengan mudah dan murah, tetapi bukan berarti perkaranya selesai. Ternyata masih ada kendala gaptek yang menyelubungi para ulama dan umat Islam secara keseluruhan.
Ulama yang ilmu tinggi sungguh sangat banyak, tapi sedikit dari mereka yang akrab dengan teknologi. Sebaliknya, umat Islam yang awam dan akrab dengan teknologi itu juga banyak, tetapi mereka adalah level orang awam yang ilmunya bukan level ulama. Sebenarnya kalau kedua belah pihak bisa bekerja sama, kita akan mendapatkan dua keuntungan itu. Tapi sekali lagi, kerja-sama itu jarang-jaran terlihat.
0 Response to "Bab 8 Ijma'"
Posting Komentar