Bab 12 Istilah Dalam Fiqih

A. Istilah Hukum
1. Hukum Taklif

2. Hukum Wadh'i

B. Istilah Ushul
1. Umum dan Khusus (aam dan khas)
2. Muthlaq dan Muqayyad
3. Mujmal dan Mubayyan
4. Manthuq dan Mafhum

C. Istilah dalam Ilmu Fiqih
1. Ijtihad
2. Ittiba’
3. Taqlid

D. Istilah Fiqih Madzhab
1. Istilah dalam madzhab Hanafi
2. Istilah dalam Mazdhab Maliki
3. Istilah Madzhab Syafi'i
4. Istilah Madzhab Hanbali


Ulama fiqih membunyai istilah-istilah tertentu yang sering digunakan dalam kitab-kitab mereka, diantaranya :

A. Istilah Hukum
1. Hukum Taklif

a. Fardhu
Adalah apa-apa yang dituntut untuk dikerjakan oleh agama dengan tuntutan yang pasti dan harus, dengan dalil qath’I (pasti), Contohnya, rukun Islam yang lima, yang terdapat dalam al-Quran dan Sunnah mutawatirah, atau sesuatu yang termasyhur seperti membaca Al-Quran dalam shalat. Maka jika hukum yang fardlu diberi pahala jika dikerjakan, dan disiksa jika ditinggalkan dan dihukumi kafir jika meninggalkannya.

b. Wajib
Adalah apa-apa yang dituntut untuk dikerakan oleh agama dengan tuntutan yang keras, dengan dalil yang dzan (tidak pasti), seperti, wajibnya zakat fitrah, shalat witir dengan dalil dari hadits ahad (tidak mutawatir).. Menurut qaidah lain, sesuatu yang diberi pahala jika dikerjakan, dan disiksa jika ditinggalkan dan tetapi tidak dihukumi kafir jika meninggalkannya. Jumhur ulama menyamakan antara wajib dan fardlu kecuali Madzhab Al-Hanafiyah

c. Al-Mandub atau Sunnah
Apa-apa yang dituntut untuk dikerjakan oleh syara’ tetapi tidak dengan keras, atau apa-apa yang diberi pahala ketika mengerjakannya tetapi tidak disiksa jika meninggalkanya. Contohnya, menulis perjanjian utang, sahalat sunnah rawatib, puasa sunnah dan lainnya. Para ulama menamakan mandub dengan nafilah, mustahab, tatawu’, muragab fihi, ihsan dan hasan, kecuali Al-Hanafiyah, beliau membagi mandub kepada mandub muakkad seperti shalat jam’ah, mandub masyru’ seperti shaum hari senin dan kamis, mandub zaid seperti meniru Rasul SAW. dalam makan dan minum.

d. Haram
Adalah apa yang dituntut untuk ditinggalkan oleh agama dengan tuntutan yang keras, menurut Al- Hanafiyah, sesuatu yang harus ditinggalkan berdasarkan dalil yang qath’i seperti, haramnya membunuh, minum khamar, berzina dan lain sebagainya. Maka hukumnya wajib menjauhinya dan akan disiksa ketika meninggalkannya, Alhanafiyah menamakan haram juga dengan, ma’shiyah, dzanba, qabih, mazjur anhu, muatawaidan alaih.

e. Makruh Tahrim
Adalah apa yang harus dituntut untuk ditinggalkan oleh agama dengan tuntutan yang keras tetapi dengan dalil dzani, seperti haramnya menjual dagangan orang lain, haramnya mengkhitbah yang sudah dikhitbah oleh orang lain, haramnya memakai sutra, dan emas bagi laki-laki Apa bila ulama Al-Hanafiyah mengatakan makruh biasanya makruh tahrim dan hal ini lebih dekat kepada haram menurut mereka.

f. Makruh Tanzih
Menurut Al-Hanafiyah, adalah sesutau yang dituntut oleh agama untuk ditinggalkan tetapi tidak keras tuntutannya dan tidak disiksa bila sampai melakukannya, seperti wudlu dari bekas ludah kucing, memakan hasil buaruan burung seperti elang dan gagak dan lain sebagainya Menurut jumhur ulama makruh hanya satu jenis yaitu sesuatu yang dituntut untuk dikerjakan oleh agama dengan tuntutan yang tidak keras, atau dengan kata lain sesuatu yang diberi pahala ketika meninggalkannya tetapi tidak disksa ketika mengerjakannya.

g. Mubah
Adalah apa-apa yang diperbolehkan oleh agama, baik ditinggalkan atau dikerjakan, seperti makan, minum, tidur, berjalan dan lain sebagainya

2. Hukum Wadh'i

a. Sebab
Adalah susuatu yang menjadikan hukum itu ada, apakah hal itu di akui oleh syara’ atau tidak. Misalnya, memabukan adalah yang menyebabkan keharaman khamar, safar (bebrgian) yang menjadi sebab dibolehakanya berbuka shaum di bulan Ramadhan dan diperbolehlkannya mengqoshor shalat, sedang sebab yang tidak diakui oleh syara’ misalnya, tergelincir matahari yang menyebbkan diwajibkannya shalat Dzuhur atau terlihatnya hilal di bulan Sya’ban menjadi sebab diwajibkannya shaum pada esok harinya.

b. Syarat
Adalah sesuatu yang menyebabkan sahnya sesuatu tetapi bukan bagian dari sesuatu, seperti, wudlu yang menjadi syarat shahnya shalat tapi wudlu bukan bagian dari shalat.

c. Rukun
Sesuatu yang menyebabkan shahnya sesuatu dan merupakan bagian dari sesuatu, , mislanya, takbiratul ihram adalah yang menyebabkan shahnya shalat dan takbiraul ihram merupakan bagian dari shalat.

d. Penghalang
Sesutu yang apa bila ada menyebabkan hukum menjadi tidak ada atau menjadi bathal karenanya, contohnya, adanya najis pada pakaian menjadi sebab tidak shahnya hukum shalat, atau punya utang menjadi sebab tidak wajibnya zakat bagi seseorang.

e. Sah
Apa-apa yang terpenuhi rukun dan syaratnya menurut Syara’ misalnya, shalat yang dilakukan menurut rukun dan syaratnya, menyebabkan shalat itu shah.

f. Batal
Sebaliknya dari Shahih menurut jumhur ulama, adapun menurut ulama Al-Hanafiyah bathil adalah, sesuatu yang terdapat cacat dalam aqad pokok, yang merupaan rukun dari sesuatu itu. Misalnya, kesalahan dalam akad jual beli, kesalahan pada yang melakukan aqadnya misalnya ia orang gila atau anak kecil.

g. Rusak
Menurut jumhur ulama sama dengan bathil, tetapi menurut ulama Al-Hanafiyah adalah sesuatu yang terdapat cacat dalam satu kriteria aqad atau dalam salah satu syaratnya. Misalnya, menjual barang dengan harga yang tidak diketahui, menikahkan tanpa saksi, maka muamalah itu menjadi fasid karena salah satu kriteria syaratnya tidak terpenuhi.

h. Al-Ada'
Mengerjakan suatu kewajiban pada waktu yang ditentukan menurut syara’ misalnya, shalat atau shaum pada waktunya.

i. Al-I’adah (mengulang)
Mengerjakan suatu kewajiban yang kedua kalinya pada waktunya. Misalnya mengerjakan shalat berjama’ah di masjid setelah mengerjakannya dirumah, atau mengulang puasa kedua kalinya karena yang pertama tidak sah karena suatu sebab.

j. Al-Qadha’
Mengerjakan suatu kewajiban setelah lewat waktunya, seperti mengerjakan shalat yang terlupa karena tidur atau yang lainnya (tidak disengaja) misalnya, mengerjakan shlat shubuh sedang matahari sudah tinggi.

k. Al-‘Azimah
Peraturan agama yang pokok yaitu sebelum perauran itu tidak ada peraturan lain yang mendahuluinya dan beralaku umum bagi seluruh mukallaf dalam semua keadaan dan waktu sejak dari semulanya. Seperti kewajiban shalat lima waktu dengan jumlah rekaat yang ditentukan secara sempurna. Lawannya adalah rukhsah. Contoh lain, semua bangkai haram dimakan oleh semua orang dan dlam keadaan apapun, ini disebut peraturan pokok atau azimah.

l. Ar-Rukhshah
Peraturan tambahan yang dijalankan berhubung ada halhal yang memberatkan (masyaqqah) sebagai pengecualian dari peraturan-peraturan pokok. Contoh, dalam keadaan terpaksa bangkai boleh dimakan asal tidak maksud menentang dan berlebih-lebihan, maka hal itu disebut rukhshah.

B. Istilah Ushul

Isthilah ushul adalah istilah khusus yang berakaitan dengan hukum yang biasa digunakan oleh para ulama dlam menetapkan hukum syara’

1. Umum dan Khusus (aam dan khas)
Umum dan khusus termasuk ke dalam salah satu aturan untuk memahami maksud Al-Quran dan hadits, karena ayat dengan ayat atau dengan hadits biasanya saling menjelaskan tentang kandungan maknanya, diantaranya ada lafzdz yang am (umum) dan ada juga yang khas (khusus).

Menurut definisi umum adalah, suatu lafadz yang digunakan untuk menunjukan suatu makna yang dapat terwujud pada satuan-satuan yang banyak yang tidak terhitung, misalnya dalam surat Al-Hujurat ayat 18 Allah berfirman, “Dan Allah mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan” Ayat ini umum menunjukan bahwa semua amal baik kecil besar terlihat ataupun tidak, baik jelek ataupun baik pasti diketahui oleh Allah, maka lafadz apa-apa termasuk dalam lafadz umum karena tidak terbatas.

Menurut definisi khusus adalah, suatu lafadz yang digunakan menunjukan satu orang, satu benda nama tempat atau yang lainnya. Katika ada dua lafadz satu umum satu khas maka lafadz umum harus di kecualikan (ditakhsis) oleh yang khas tadi. Misalya ketika Allah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 29,

هُوَ الَّذِي خَلَقِ لَكُم مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيْعًا
“Dialah Allah yang telah menjadikan apa-apa yang ada di muka bumi ini untuk kalian…”

berarti kita boleh memanfaatkan segala apa yang ada dimuka bumi ini termasuk daging babi, khamar (arak) dan lain sebagainya, karena dalam ayat lain Allah mengaharamkan khamar dan daging babi berarti kita tak boleh lagi memakai dalil umum untuk memakan daging babi atau minum khmar karena ayatnya sudah dikecualikan.

Dengan demikina dapat dikatakan bahwa khas adalah tafsir atau penjelasan untuk menegaskan batas yang dimaksud oleh kata-kata yang umum.

2. Muthlaq dan Muqayyad
Muthlaq adalah, lafadz yang menunjukan suatu hal atau barang atau orang tertentu tanpa ikatab (batasan) yang tersendiri. Contoh firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 2 :

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ
Diharamkan atas kalian bangkai darah, dan daging babi. Berarti semua darah dan daging babi haram dimakan.

Muqayyad adalah, suatu lafadz yang menunjukan sesuatu barang atau barang tidak tertentu disertai ikatan (batasan) yang tersendiri berup perkataan, bukan isyarat. Contoh firman Allah dalam ayat berikut :

قُل لَّا أَجْدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِترِيرٍ
“Katakanlah,”Aku tidak peroleh di dalam wahyu yang diturunkan kepadaku sesuatu makanan yang diharamkan kecuali bangkai, darah yang mengalir dan daging babi…”(QS. Al-Anam : 145)

Berarti kalimat darah dalam ayat Al-Maidah sudah dibatasi (ditaqyid) oleh ayat Al-Anam yaitu kaimat “yang mengalir” Menurut jumhur ulama apabila ada lafadz muthlaq dan muqayyad yang sama hukum dan sebabnya, maka lafadz muthlaq harus dibawa kepada muqayyad yang menjadi penjelasan bagai lafadz muthlaq, bararti yang haram adalah darah yang mengalir saja bukan semua darah.

3. Mujmal dan Mubayyan
Mujmal adalah lafadz atau perkataan yang belum jelas maksudnya, seperti kalimat, “Dirikanlah oleh kalian “shalat”…”, maka kata shalat dalam Al-Quran ini masih mujmal sebab shalat bisa berarti berdo’a atau perbuatan, belum dijelaskan apa maksudnya.

Mubayyan adalah suatu perkataan yang terang maksudnya tanpa memerlukan penjelasan lainnya. Bisa dari ayat itu sendiri atau dari hadits Nabi SAW, seperti firman Allah :

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى المَرَافِقِ
“Apa bila kalian hendak mendirikan shalat maka cucilah muka-muka kalian dan tangan-tangan kalian………” (QS. Al-Maidah : 6)

4. Manthuq dan Mafhum
Manthuq adalah hukum yang ditunjukan oleh ucapan lafadz itu sendiri. Mantuq dibagi dua :

a. Nas, yaitu suatu lafadz atau perkataan yang jelas dan tidak mungkin ditakwilkan, seperti Allah wajibkan pada kalian sahaum, Allah haramkan pada kalian bangkai, darah dan daging babi. Maka kata-kata wajib dan haram tdak bisa ditakwilkan menjadi sesutu yang boleh dikerjakan atau boleh ditinggalkan, sebab memang nashnya seperti itu.

b. Dzahir adalah lafadz yang menunjukan suatu makna secara tekstual. Tapi makna ini bukan sesuatu yang dimaksud, atau sesuatu yang memerlukan takwil atau keterangan, seperti firman Allah,

وَاسْأَلِ القَرْيَةِ”Tanyakanlah oleh kalian kampung tersebut…… (QS. Yusuf :82)”

Maka secara dzahir yang ditanya itu kampung tapi ini bukan maksud sebenarnya karena kampung tidak bisa ditanya oleh karena itu ayat ini memerlukan takwil atau penjelasan diiantara dengan dengan kaidah bahasa atau majaz.

Mafhum ialah hukum yang tidak ditunjukan oleh lafadz itu sendiri tapi berdasarkan pemahaman terhadap lafadz. Misalnya, firman Allah surat Al-Isra ayat 23 :

فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْحَرْهُمَا
“Janganlah mengucapkan kata-kata “uf’” kepada kedua orang tua dan jananlah menghardik keduanya. (QS. Al-Isra’ : 23)

Berarti memukul kedua orang tua lebih diharamkan karena mengucapkan kata-kata kasar sudah tidak boleh apalagi memukul Contoh lain, firman Allah dalam ayat berikut ini

إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْ كُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكلُونَ فِي بُطُونِهِم نَارًا
Mereka yang memakan harta benda anak-anak yatim dengan aniaya sebenarnya memakan api ke dalam perutnya. (QS. An-Nisa : 10)

berarti membakar harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak yatim karena karena membuat sesuatu kedzaliman terhadap anak yatim.

C. Istilah dalam Ilmu Fiqih

1. Ijtihad
Dari segi bahasa Ijtihad berarti sungguh-sungguh sedang menurut istilah ijtihad adalah menggunakan seluruh kesanggupam untuk menetapkan hukum-hukum syari’at, orangnya disebut mujtahid. syarat-syarat Ijtihad

· Mengetahui nas dari Al-Quran dan As-Sunnah kalau tidak mengetahui maka ia bukan mujtahid dan tidak boleh berijtihad
· Mengetahui soal-soal ijma, hingga ia tidak berfatwa yang berlainan dengan ijma’
· Mengetahui bahasa arab
· mengetahui ilmu ushul fiqh (kaidah dasar pengambilan hukum fiqh)
· mengetahui nasikh dan mansukh

2. Ittiba’
Ialah menerima perkataan orang lain dengan mengetahui sumber-sumber atau alasan perkataan tersebut, orangnya disebut muttabi’

3. Taqlid
Ialah mengikuti pandapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau alasannya.

a. Syarat-syarat taqlid :
Bertaqlid diboleh dengan syarat-syarat orang awam (orang biasa) yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum, ia boleh mengikuti pendapat lain dan mengamalkannya.

Adapun orang yang pandai dan sanggup mencari sendiri maka hendaklah mencari sendiri atau minimal ittaba’ kepada salah satu madzhab tertentu.

b. Syarat-syarat masalah yang ditaqlid

Hukum akal
Dalam hkum akal tidak boleh bertaqlid kepada orang lain, seperti mengetahui adanya zat yang menjadikan alam serta sifat-sifatNya dan hukum akal lainya, karena jalan menetapkan hukum-hukum tersebut ialah akal, sedang setiap oarng punya akal, karena itu tidak ada gunanya bertaqlid kepada orang lain.

Hukum syara’
Hukum syara ada dua macam yaitu yang bisa diketahui dengan pasti seperti wajibnya shalat lima waktu, puasa, zakat dan haji dalam masalah ini tidak boleh seseorang bertaqlid. Yang kedua masalah-masalah yang diketahui dengan penyelidikan dan mencari dalil, seperti ibadah furu’iyah.

c. Taqlid yang diharamkan
1. Taqlid kepada orang lain dengan tidak memperdulikan Al-Quran dan As-sunnah

2. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui keahliannya untuk ditaqlidi Pesan Imam Empat Dalam Maslah Lain-Lain

Imam Abu Hanifah :
“Jika perkataanku manyalahi kitab Allah dan Hadits Rasul, maka tinggalkanlah pendapatku”. “seseoarang tidak boleh mengambil perkataan saya sebelum mengetahui dari mana sya berkata”.

Imam Malik :
“Saya hanya manusia biasa yang kadang salah kadang benar, selidikilah pendapat saya, kalau sesuai dengan Al-Quran dan Hadits, maka ambillah, jika menyalahi hendaklah tinggalkanlah”.

Imam Syafi’i :
“Perumpamaan orang yang mencari ilmu tanpa hujjah (alasan) seperti orang yang mancari kayu bakar di waktu malam, ia membawa kayu-kayu itu sedang ia tidak tahu di dalamnya ada ular yang siap menggigit sedang ia tidak tahu.

Imam Ahamad Bin Hanbal :
“Janganlah taqlid kepada saya, Malik, Tsauri, Auza’i, tapi ambilah dari mana mereka mengambil”.

D. Istilah Fiqih Madzhab

Setiap madzhab fiqh memiliki istilah khusus yang digunakan dalam menjelaskan sebuah hukum. Terkadang sebuah istilah sebuah madzhab memiliki pengertian sama dengan madzhab lain.

1. Istilah dalam madzhab Hanafi
Dzhahir Ar-riwayah : pendapat yang paling rajih (kuat) dari tiga imam utama dalam madzhab hanafi yaitu Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad Asy Syaibani. Al Imam : yang dimaksud adalah Imam Abu Hanifah.Dan istilah lainnya tentang penyebutan ulama mereka antara lain :

· Asy-Syaikhani: dua guru, Abu Hanifah dan Imam Abu
· Yusuf.
· Ath-Tharfani: Abu Hanifah dan Imam Muhammad Asy
· Syaibani.
· Ash-Shahibani: Abu Yusuf dan Muhammad Asy
· Syaibani.
· Ash-ashabuna: Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad
· Asy Syaibani.
· Al Masyayikh: guru-guru di madzhab hanafi yang tidak
· berjumpa dengan Abu Hanifah.

Yufti qath'an : pendapat yang menjadi fatwa secara pasti yaitu pendapat yang kesepakatan antara tiga Imam. Dalam masalah peradilan, kesaksian dan ilmu waris, perkataan Abu Yusuf diutamakan karena ia memiliki kelebihan dalam praktek. Sementara dalam masalah dzawil arham (kerabat yang tidak mendapatkan warisan tetap, diutamakan pendapat Imam Muhammad Asy Syaibani.

Idza lam yujad riwayat lilimam fil mas'alah : (jika dalam suatu masalah tidak ada riwayat pendapat dari Abu Hanifah): maka madzhab hanafi menggunakan fatwah Imam Abu Yusuf kemudian dengan perkataan Muhammad Asy Syaibani, kemudian Zufar, kemudian Hasan bin Ziyad. Idza kana fil mas'alah qiyas was istihsan : jika dalam masalah ada pendapat menggunakan qiyas dan istihsan maka yang diutamakan dalam madzhab hanafi adalah yang menggunakan istihsan.

Al mutun: yang dimaksud adalah isi pendapat dari buku madzhab hanafi yang utama: seperti Mukhtasar al quduri, al bidayah, an niqayah, al wiqayah, al mukhtar, al kanz, al multaqa.

Jika ada dua pendapat dalam satu masalah, satu disebut tashih dan satu lagi fatwah maka pendapat yang diutamakan dikembalikan kepada al mutun.

la yajuzul amal bidlaif minariwayah : tidak boleh beramal dengan riwayat yang lemah dari pendapat dalam satu riwayat madzhab Hanafi meski untuk dirinya sendiri.

Imam Abu Hanifah sendiri pernah mengatakan,"Jika suatu hadis shahih maka ia adalah mazdhabku," bahkan dari sejumlah imam lain juga mengatakan demikian. Namun demikian dalam madzhab Hanafi boleh memberikan fatwah dengan riwayat lemah boleh jika darurat untuk memudahkan manusia.

Al-Hukmul Mulaffaq (beramal dengan talfiq; beramal dalam satu masalah yang memiliki bagian-bagian yang antara madzhab satu dengan madzhab lain berbeda pendapat dan ia beramal dengan satu bagian mengikut Hanafi dan bagian lainnya Maliki, misalnya) hal seperti ini batil menurut Hanafi. Seperti orang yang shalat dluhur mengusap sebagian kepala dalam wudlu maka ia tidak boleh membatalkan shalatnya karena memiliki keyakinan wajibnya mengusap semua kepala dalam wudlu karena mengikut pendapat Maliki.

2. Istilah dalam Mazdhab Maliki
Ada sejumlah istilah yang ada dalam madzhab Maliki: Dalam madzhab Maliki seorang mufti (madzhab) memberikan fatwah dengan pendapat yang kuat dalam suatu masalah. Sementara yang bukan mufti yang belum memenuhi syarat mujtahid harus mengambil pendapat yang disepakati di antara madzhab atau mengambil pendapat yang paling dikenal atau yang dikuatkan (tarjih) oleh ulama madzhab pendahulunya.

Sebagian Malikiyah merunut pendapat-pendapat yang terkuat sampai pendapat di bawahnya antara riwayatriwayat yang ada. Perkataan Imam Malik dalam kitab "al mudawwanah" lebih kuat dari pada pendapat Ibnul Qasim di dalam kitab ini, dan perkataan Ibnu Qasim lebih kuat dibanding dengan perkataan lainnya di dalamnya karena beliau adalah orang yang paling tahu dengan madzhab Malikiyah. Jika disebutkan al madzhab adalah madzhab Malik.

3. Istilah Madzhab Syafi'i
Jika dalam Syafi'i adalah dua riwayat pendapat maka seorang mufti madzhab harus menggunakan tarjih ulama madzhab Syafi'i yang awal-awal. Jika ia tidak menemukan maka ia harus tawaqquf (diam). Kemudian ia harus mengutamakan yang disahkan oleh ulama madzhab yang paling banyak (mayoritas), kemudian yang disahkan oleh yang paling mengetahui tentang madzhab, kemudian paling wara', jika tidak ada maka ia mengutamakan yang diriwayatkan oleh Al Buwaithi, Ar Rabi', Al Maradi (686h),

Al Muzani.
Sementara An-Nawawi (Abu Zakariyah Yahya Ibnu Syaraf An Nawawi), penulis kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhazzab, adalah ulama yang menyaring pendapatpendapat  madzhab dan yang memberikan penjelasan antara yang rajih dan tidak.

Al-Azhhar
yang paling kuat dari pendapat-pendapat di madzhab Syafi'i. Al-Mashyhur pendapat yang paling terkenal (diikuti lebih banyak orang) dalam madzhab Syafi'i.

Al-Ashah
yang paling sah dari perkataan Syafi'i berdasarkan dasar-dasar madzhabnya.

Al-Jadid
pendapat baru Imam Syafi'i ketika berada di Mesir baik dalam karangan atau fatwah.

Al-Qadiim
pendapat lama Imam Syafi'i ketika berada di Irak baik dalam karangannya "Al hujjah". yang diamalkan adalah yang madzhab jadid kecuali beberapa masalah saja.

Ibnu Hajar mengatakan, tidak boleh talfiq dalam satu masalah seperti seseorang bertaqlid dengan Maliki dalam masalah sucinya anjing dan mengikut Syafi'i dalam mengusap sebagian kepala dalam wudlu untuk melakukan melakukan satu shalat.

4. Istilah Madzhab Hanbali
Pendapat dan riwayat yang ada dalam madzhab Hanbali sangat banyak. Ini disebabkan karena kemungkinan melihat kembali status kesahihan hadis setelah sebuah pendapat difatawahkan dengan dasar ra'yu, atau karena perbedaan sahabat yang terbagi menjadi dua dalam satu masalah atau karena perbedaan situasi realitas.

Madzhab Hanbali berbeda pendapat tentang cara mentarjih (menguatkan satu pendapat dari pendapat berbeda): Harus diperhatikan penukilan perkataan-perkataan yang ada karena itu bukti kesempurnaan agama.

Kecenderungan untuk menyatukan pendapat Imam Hanbali dengan mentarjih dengan sejarah jika diketahui sejarah perkataan itu atau dengan menimbang antara dua pendapat dan mengambil yang paling kuat dalilnya dan lebih dekat dengan logika Imam Hanbali dan kaidah madzhabnya.

Asy Syaikh
guru, jika disebutkan kata ini maka yang dimaksud adalah Ibnu Taimiyah (Syaikhul Islam Abul Abbas Ahmad Taqiyyuddin Ibnu Taimiyah Al Harani) wafat 751 H.

Jika sebelum masa Ibnu Taimiyah maka yang dimaksud Asy Syaikh adalah Ibnu Qudamah Al Maqdisi (620 h). Jika disebutkan Asy Syaikhani maka yang dimaksud adalah Ibnu Qudamah dan Majduddin Abu Barakat.

Asy Syarih
yang dimaksud adalah Syamsuddin Abu Faraj Abdur Rahman ibnu Syaikh Abi Umar Al Maqdisi (682H).

Al Qadli
hakim, yang dimaksud adalah Al Qadli Abu Ya'la Muhammad bin Al Husain bin Al Farra' (458).

Abu Bakr
yang dimaksud adalah Al Marrudzi (274 H) murid Imam Ahmad.

Wa 'Anhu
darinya, yang dimaksud adalah Imam Ahmad.

Related Posts:

0 Response to "Bab 12 Istilah Dalam Fiqih"

Posting Komentar