4 Fiqih Taharah - An Najasah


1. Pengertian
Secara bahasa, an-najasah bermakna kotoran القذارة. Disebut تَنَجَّسَ الشَّيْء maknanya sesuatu menjadi kotor.
Asy-Syafi'iyah mendefinisikan an-najasah dengan makna :

(مستقذرة يمنع الصلاة حيث لا مرخص),
kotoran yang menghalangi shalat.

Sedangkan Al-Malikiyah mendefinisikan an-najasah sebagai :

(صفة حكمية توجب لموصفها منع استباحة الصلاة به أو فيه),
sesuatu yang bersifat hukum yang mewajibkan dengan sifat itu penghalangan atas shalat dengan sifat itu atau di dalam sifat itu.

An-Najasah dalam bahasa Indonesia sering dimaknai dengan najis. Meski pun secara bahasa Arab tidak identik maknanya. Najis sendiri dalam bahasa Arab ada dua penyebutannya.

• Pertama : Najas نَجَس maknanya adalah benda yang hukumnya najis.
• Kedua : Najis نَجِس maknanya adalah sifat najisnya.

An-Najasah (najis) itu lawan dari thaharah yang maknanya kesucian.

2. Pembagian Najasah
Jenis-jenis najis oleh mazhab Asy-Syafi'i dibedakan berdasarkan tingkat kesulitan dalam mensucikan atau menghilangkannya.

Ada yang sangat mudah untuk menghilangkan, bahkan meski secara fisik sebenarnya belum hilang tapi secara hukum sudah dianggap suci, cukup dengan melakukan ritual tertentu. Dan sebaliknya, ada yang sangat berat, bahkan meski secara fisik sebenarnya najis itu sudah hilang, tetapi masih tetap dianggap najis bila belum dilakukan ritual tertentu. Dan yang ketiga, najis yang berada di tengah-tengah.

2.1. Najis Ringan
Najis ringan sering juga diistilahkan dengan mukhaffafah مخففة. Disebut ringan, karena cara mensucikannya sangat ringan, yaitu tidak perlu najis itu sampai hilang. Cukup dilakukan ritual sederhana sekali, yaitu dengan memercikkannya dengan air, dan tiba-tiba benda najis itu berubah menjadi suci.

Satu-satunya najis ini adalah air kencing bayi laki-laki yang belum makan apa pun kecuali air susu ibu. Bila bayi itu perempuan, maka air kencingnya tidak termasuk ke dalam najis ringan, tetapi tetap dianggap najis seperti umumnya. Demikian juga bila bayi laki-laki itu sudah pernah mengkonsumsi makanan yang selain susu ibu, seperti susu kaleng buatan pabrik, maka air kencingnya sudah tidak lagi bisa dikatakan najis ringan.
Semua ini tidak ada alasan ilmiyahnya, karena semata-mata ketentuan ritual dari Allah SWT. Allah SWT sebagai Tuhan, maunya disembah dengan cara itu.
Dasarnya adalah hadits berikut ini :

عَنْ أَبِي اَلسَّمْحِ قَالَ: قَالَ اَلنَّبِيُّ يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ اَلْجَارِيَةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ اَلْغُلامِ - أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِم
Dari As-Sam'i radhiyallahu anhu berkata bahwa Nabi SAW bersabda,"Air kencing bayi perempuan harus dicuci sedangkan air kencing bayi laki-laki cukup dipercikkan air saja. (HR. Abu Daud, An-Nasai dan Al-Hakim)

2.2. Najis Berat
Najis berat sering diistilahkan sebagai najis mughalladzhah (مغلظة). Disebut najis yang berat karena tidak bisa suci begitu saja dengan mencuci dan menghilangkannya secara fisik, tetapi harus dilakukan praktek ritual tertentu.
Ritualnya adalah mencuci dengan air sebanyak tujuh kali dan salah satunya dengan tanah. Pencucian 7 kali ini semata-mata hanya upacara ritual. Demikian juga penggunaan tanah, sama sekali tidak dikaitkan dengan manfaatnya. Penggunaan tanah itu tidak diniatkan misalnya untuk membunuh bakteri, virus atau racun tertentu yang terkandung pada najis itu. Tetapi semata-mata hanya ritual dimana Allah SWT ingin disembah dengan cara itu.

Maka penggunaan tanah tidak bisa diganti dengan sabun, deterjen, pemutih, pewangi atau bubuk-bubuk lainnya yang didesain mengandung zat ini dan itu.
Dasar dari semua ini adalah hadits Rasulullah SAW :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذْ وَلَغَ فِيهِ اَلْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاهُنَّ بِالتُّرَابِ - أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
sucinya wadah air kalian yang diminum anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali, salah satunya dengan air. (HR. Muslim)

Dalam mazhab Asy-Syafi'i, najis berat hanya dua saja, yaitu anjing dan babi.

2.3. Najis Pertengahan
Najis yang pertengahan sering disebut dengan mutawassithah متوسطة. Disebut pertengahan lantaran posisinya yang ditengah-tengah antara najis ringan dan najis berat.
Untuk mensucikan najis ini cukup dihilangkan secara fisik 'ain najisnya, hingga 3 indikatornya sudah tidak ada lagi. Ketiga indikator itu adalah : warna لون, rasa طعم dan aroma ريح.
Semua najis yang tidak termasuk ke dalam najis yang berat atau ringan, berarti secara otomatis termasuk ke dalam najis pertengahan ini.

3. Kenajisan Tubuh Manusia
Tubuh manusia pada dasarnya adalah benda yang suci, sebagaimana firman Allah SWT :

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS. Al-Isra' : 70)

Bahkan termasuk tubuh orang kafir sekalipun, karena ayat yang menyatakan bahwa orang kafir (musyrik) itu najis sesungguhnya tidak terkait dengan najis secara hakiki atau 'ain, melainkan secara hukmi.

إِنَّمَا المُشْرِكِيْنَ نَجَسٌ
Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (QS. At-Taubah : 28)

Secara hukum thaharah, orang kafir tidak suci dari hadats kecil dan besar, karena mereka tidak berwudhu atau mandi janabah. Sebagian yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud najis adalah aqidahnya.
Dasar bahwa tubuh orang kafir itu tidak merupakan najis adalah ketika Nabi SAW menerima utusan dari Tsaqif yang nota bene adalah orang kafir, di dalam masjid.

عَنْ عُثْمَانَ ابْنِ أَبيِ العَاصِ ض : أَنْزَلَ النَّبِيُّ ص وَفْدَ ثَقِيفٍ فيِ المَسْجِدِ - رواه أبو داود
Dari Utsman bin Abil Ash bahwa Rasulullah SAW menerima utusan dari Tsaqif di dalam masjid (HR. Abu Daud)

Dengan pandangan para fuqaha ini, maka apa yang dilakukan oleh sebagian aliran sesat di Indonesia yang menganggap saudara-saudara muslim sebagai orang kafir, telah menyalahi dua hal sekaligus :
Pertama, mengkafirkan sesama muslim.

Dalam pandangan aliran sesat umumnya, semua orang yang tidak bersyahahadat ulang di depan imam mereka, dianggap belum muslim. Tentu saja pandangan ini keliru, karena pada dasarnya setiap orang dilahirkan dalam keadaam muslim, dan akan tetap menjadi muslim tanpa harus bersyahadat lagi. Adapun syahadat hanya dibutuhkan ketika orang yang kafir mau masuk Islam. Sementara orang yang lahir dari ayah dan ibu yang muslim, lalu tumbuh besar dan dewasa sebagai muslim, tentu saja hukumnya muslim.

Kedua, menganggap orang kafir itu najis
Ini kesalahan mereka yang kedua. Padahal Nabi SAW menerima utusan dari Tsagif yang notabene kafir justru di dalam masjid.

3.1. Darah

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. An-Nahl : 115).

Darah manusia itu najis hukumnya, yaitu darah yang mengalir keluar dalam jumlah yang besar dari dalam tubuh. Maka hati, jantung dan limpa tidak termasuk najis, karena bukan berbentuk darah yang mengalir.
Sedangkan hewan air (laut) yang keluar darah dari tubuhnya secara banyak tidak najis karena ikan itu hukumnya tidak najis meski sudah mati.
Sedangkan darah yang mengalir dari tubuh muslim yang mati syahid tidak termasuk najis.

3.2. Air Kencing Manusia, Muntah dan Kotorannya
Kenajisan ketiga benda ini telah disepakati oleh para ulama. Kecuali bila muntah dalam jumlah yang sangat sedikit. Dan juga air kencing bayi laki-laki yang belum makan apapun kecuali susu ibunya. Dalilnya adalah hadits berikut ini

عَنْ أُمِّ قَيْسٍ أَنَّهَا أَتَتْ بِابْنٍ لَهَا صَغِيْرٍ لَمْ يَأْكُلِ الطَّعَامَ إِلَى رَسُولِ الله s فَبَالَ عَلىَ ثَوْبِهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ عَلَيْهِ وَلَمْ يَغْسِلْهُ - رواه الجماعة
Dari Ummi Qais ra bahwa dia datang kepada Rasulullah SAW dengan membawa anak laki-lakinya yang belum bisa makan. Bayi itu lalu kencing lalu Rasulullah SAW meminta diambilkan air dan beliau memercikkannya tanpa mencucinya`. (HR. Bukhari 223 dan Muslim 287)

عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبيِ طَالِبٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ s قَالَ : بَوْلُ الغُلاَمِ الرَّضِيعِ يُنْضَحُ وَبَوْلُ الجَارِيَةِ يُغْسَلُ قَالَ قَتَادَة : وَهَذَا مَالَمْ يُطْعِمَا فَإِذَا طُعِمَا غُسِلاَ جَمِيْعًا - رواه أحمد والترمذي وقال : حديث حسن
Dari Ali bin Abi Thalib ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Kencing bayi laki-laki itu cukup dengan memercikkanya saja. Sedangkan kencing bayi wanita harus dicuci". Qatadah berkata,"Dan ini bila belum makan apa-apa, tapi bila sudah makan makanan, maka harus dicuci". (HR. Tirmizi)

3.4. Nanah
Nanah adalah najis dan bila seseorang terkena nanah, harus dicuci bekas nanahnya sebelum boleh untuk melakukan ibadah yang mensyaratkan kesucian (wudhu` atau mandi).

3.5. Mazi dan Wadi
Mazi adalah cairan bening yang keluar akibat percumbuan atau hayalan, keluar dari kemaluan laki-laki biasa. Mazi itu bening dan biasa keluar sesaat sebelum mani keluar. Dan keluarnya tidak deras atau tidak memancar. Mazi berbeda dengan mani, yaitu bahwa keluarnya mani diiringi dengan lazzah atau kenikmatan (ejakulasi), sedangkan mazi tidak. Wadi adalah cairan yang kental berwarna putih yang keluar akibat efek dari air kencing.

3.6. Tubuh Jenazah Manusia
Jenazah adalah tubuh manusia muslim atau kafir yang telah kehilangan nyawa. Dalam pandangan jumhur ulama selain Al-Hanafiyah bahwa jenazah muslim atau kafir hukumnya suci.
Sedangkan dalam pandangan Al-Hanafiyah, Ibnu Sya'ban, Ibnu Abil Hakam dan Iyadh, jenazah manusia muslim itu najis, karena itu disyariatkan pemandian jenazah untuk mensucikannya. Sedangkan jenazah orang kafir tetap najis dan tidak bisa disucikan dengan memandikannya.

3.7. Potongan Anggota Tubuh Manusia
Jumhur ulama umumnya mengatakan bahwa bagian tubuh manusia yang terlepas dari tubuhnya, hukumnya bukan najis. Seperti orang yang mengalami amputasi, maka potongan tubuhnya bukan benda najis. Baik potongan tubuh itu terpisah pada saat masih hidup atau pun pada saat sudah meninggal dunia.

Hal itu lantaran dalam pandangan jumhur ulama bahwa potongan tubuh itu tetap dishalatkan, sehingga dianggap bukan benda najis.
Namun pendapat yang berbeda kita temukan dalam pandangan Al-Qadhi dari Al-Hanabilah yang mengatakan bahwa potongan tubuh manusia itu tidak perlu dishalatkan. Karena potongan tubuh itu dianggap najis dalam pandangannya.

4. Hewan Yang Masih Hidup
Dalam bagian ini kita akan membahas terlebih dahulu tentang kenajisan hewan yang masih hidup.

4.1. Babi (Khinzir)
Al-Hanafiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah sepakat mengatakan bahwa babi yang masih hidup itu najis pada keseluruhan tubuhnya. Termasuk juga bagian yang terlepas darinya seperti bulu, keringat, ludah dan kotorannya.
Dasarnya adalah firman Allah SWT :

قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. (QS. Al-An'am : 145)

Kalau babi hidup dianggap najis apalagi babi yang mati menjadi bangkai. Bahkan meski pun seekor babi disembelih dengan cara yang syar`i, namun dagingnya tetap haram dimakan karena daging itu najis hukumnya.
Meskipun nash dalam Al-Quran Al-Kariem selalu menyebut keharaman daging babi, namun kenajisannya bukan terbatas pada dagingnya saja, namun termasuk juga darah, tulang, lemak, kotoran dan semua bagian dari tubuhnya.

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disebut selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah : 173)

Namun pandangan mazhab Al-Malikiyah agak sedikit berbeda. Mereka menganggap 'ain tubuh babi itu tidak najis, lantaran mereka berpegang pada prinsip bahwa hukum asal semua hewan itu suci. Begitu juga dengan ludahnya, dalam pandangan mereka bukan najis.

a. Kulit Babi
Para ulama sepakan bahwa babi yang mati, maka hukum kulitnya tetap najis, meski pun sudah mengalami penyamakan (الدباغ). Sementara hewan-hewan lain yang mati menjadi bangkai, apabila kulitnya disamak, hukumnya menjadi suci kembali.

Dan mazhab Al-Malikiyah yang tidak menganggap babi yang hidup itu najis, ketika bicara tentang kulit babi yang sudah mati, mereka mengatakan hukumnya tetap najis.
Satu-satunya pendapat yang mengatakan bahwa kulit babi itu tidak najis bila telah disamak adalah sebuah riwayat dari Abu Yusuf.

b. Berubah Wujudnya 'Ain Babi
'Ain suatu benda maksudnya adalah wujud pisik, hakikat dan dzat benda itu. 'Ain suatu benda bisa berubah wujud dengan proses tertentu. Misalnya, minyak bumi yang kita pakai untuk bahan bakar, menurut pada ahli dahulu berasal dari hewan atau tumbuhan yang hidup jutaan tahun yang lalu. Disini terjadi perubahan 'ain dari hewan menjadi 'ain minyak bumi.

Proses perubahan 'ain suatu benda menjadi 'ain yang lain disebut : istihalah.
Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah mengatakan bahwa benda yang najis apabila telah mengalami perubahan 'ain dengan istihalah, maka pada hakikatnya benda itu sudah berubah wujud, sehingga hukumnya sudah bukan lagi seperti semua, tetapi berubah menjadi suci.

Jadi bila kita ikuti logika pandangan kedua mazhab itu, apabila babi sudah berubah menjadi benda lain, misalnya menjadi tanah, garam, fosil, batu atau benda lainnya yang sama sekali tidak lagi dikenali sebagai babi, maka hukumnya tidak najis.
Dengan logika ini, insulin dan benda-benda kedokteran yang disinyalir berasal dari ekstrak babi, secara nalar telah mengalami perubahan 'ain lewat proses istihalah. Sehingga hukumnya tidak lagi najis.

Namun dalam pandangan mazhab Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah, meski pun benda najis sudah berubah 'ain-nya dan beristihalah menjadi 'ain yang lain, tetap saja hukum najis terbawa serta. Dengan pengecualian dua kasus saja, yaitu penyamakan kulit bangkai dan berubahnya khamar menjadi cuka. Selebihnya, semua perubahan 'ain tidak berpengaruh pada perubahan hukum, termasuk babi yang diekstrak menjadi insulin dan sebagainya.

c. Nilai Harta dan Kepemilikan Babi
Lantaran babi dikategorikan benda najis secara 'ain, maka hukumnya berpengaruh kepada hukum kepemilikan dan nilai jualnya.
Para ulama mengatakan bahwa babi itu tidak sah untuk dimiliki karena kenajisannya. Dan berarti juga tidak sah untuk diperjual-belikan. Dalilnya adalah hadits berikut ini :

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اَللَّهِ يَقُولُ عَامَ اَلْفَتْحِ وَهُوَ بِمَكَّةَ: إِنَّ اَللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ اَلْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ. فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ اَلْمَيْتَةِ فَإِنَّهُ تُطْلَى بِهَا اَلسُّفُنُ وَتُدْهَنُ بِهَا اَلْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا اَلنَّاسُ؟ فَقَالَ لا هُوَ حَرَامٌ . ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ عِنْدَ ذَلِكَ قَاتَلَ اَللَّهُ اَلْيَهُودَ إِنَّ اَللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ عَلَيْهِمْ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ - مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu bahwa beliau mendengar Rasulullah SAW berkata pada hari fathu Mekkah,"Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan jual beli khamar, bangkai, babi dan berhala". Seseorang bertanya,"Ya Rasulallah, bagaimana hukumnya dengan minyak (gajih) bangkai? minyak itu berguna untuk mengecat (merapatkan) lambung kapal, juga untuk mengeringkan kulit dan digunakan orang buat bahan bakar lampu". Rasulullah SAW menjawab,"Tidak, tetap haram hukumnya". Kemudian beliau SAW meneruskan,"Semoga Allah memerangi Yahudi ketika diharamkan atas mereka, malah mereka perjual-belikan dan makan keuntungan jual-beli itu. (HR. Bukhari dan Muslim)

Para ulama sepakat, dengan diharamkannya kepemilikan dan jual-beli seorang muslim atas babi, maka apabila ada seorang muslim yang mencuri babi milik orang lain yang muslim, atau menghilangkannya, tidak perlu menggantinya dan juga dipotong tangan meski tetap berdosa.

Namun bila babi itu milik selain muslim, maka hukumnya wajib mengganti atau mengembalikannya, sebagaimana pendapat Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah.

4.2. Anjing
Para ulama mengatakan bahwa seluruh tubuh anjing merupakan hewan najis berat (mughallazhah). Namun ada juga pendapat sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa najis anjing itu hanya air liurnya dan mulutnya saja.

a. Mazhab Al-Hanafiyah
Dalam mazhab ini, yang najis dari anjing hanyalah air liurnya, mulutnya dan kotorannya. Sedangkan tubuh dan bagian lainnya tidak dianggap najis. Kedudukannya sebagaimana hewan yang lainnya, bahkan umumnya anjing bermanfaat banyak buat manusia. Misalnya sebagai hewan penjaga atau pun hewan untuk berburu. Mengapa demikian ?

Sebab dalam hadits tentang najisnya anjing, yang ditetapkan sebagai najis hanya bila anjing itu minum di suatu wadah air. Maka hanya bagian mulut dan air liurnya saja (termasuk kotorannya) yang dianggap najis.

عَنْ أَبيِ هُرَيْرَةَ ض‏ ‏‏أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ s قَالَ إِذَا شَرِبَ الكَلْبُ فيِ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعًا‏-‏متفق عليه ‏‏ ‏
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Bila anjing minum dari wadah air milikmu, harus dicuci tujuh kali.(HR. Bukhari dan Muslim).

طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُم إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ
Rasulullah SAW bersabda,"Sucinya wadah minummu yang telah diminum anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya dengan tanah.(HR. Muslim dan Ahmad)

b. Mazhab Al-Malikiyah
Mazhab ini juga mengatakan bahwa badan anjing itu tidak najis kecuali hanya air liurnya saja. Bila air liur anjing jatuh masuk ke dalam wadah air, wajiblah dicuci tujuh kali sebagai bentuk ritual pensuciannya.

c.Mazhab As-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah
Kedua mazhab ini sepakat mengatakan bahwa bukan hanya air liurnya saja yang najis, tetapi seluruh tubuh anjing itu hukumnya najis berat, termasuk keringatnya. Bahkan hewan lain yang kawin dengan anjing pun ikut hukum yang sama pula. Dan untuk mensucikannya harus dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya dengan tanah.

Logika yang digunakan oleh mazhab ini adalah tidak mungkin kita hanya mengatakan bahwa yang najis dari anjing hanya mulut dan air liurnya saja. Sebab sumber air liur itu dari badannya. Maka badannya itu juga merupakan sumber najis. Termasuk air yang keluar dari tubuh itu juga, baik kencing, kotoran dan juga keringatnya.

Pendapat tentang najisnya seluruh tubuh anjing ini juga dikuatkan dengan hadits lainnya antara lain :
Bahwa Rasululah SAW diundang masuk ke rumah salah seorang kaum dan beliau mendatangi undangan itu. Di kala lainya, kaum yang lain mengundangnya dan beliau tidak mendatanginya. Ketika ditanyakan kepada beliau apa sebabnya beliau tidak mendatangi undangan yang kedua, beliau bersabda,"Di rumah yang kedua ada anjing sedangkan di rumah yang pertama hanya ada kucing. Dan kucing itu itu tidak najis". (HR. Al-Hakim dan Ad-Daruquthuny).
Dari hadits ini bisa dipahami bahwa kucing itu tidak najis, sedangkan anjing itu najis.

4.3. Hewan Buas
Hewan buas atau dalam bahasa Arab disebut dengan siba' (السباع). Kita menemukan beberapa hadits yang shahih tentang hewan buas ini, antara lain :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ اَلنَّبِيِّ قَالَ:كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ اَلسِّبَاعِ فَأَكَلَهُ حَرَامٌ. وَزَادَ: وَكُلُّ ذِي مِخْلَبٍ مِنْ اَلطَّيْرِ- رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Abi Hurairah radhiyallahu anhu dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda,"Semua hewan yang punya taring dari hewan buas, maka haram hukumnya untuk dimakan". Dan ditambahkan :"Semua yang punya cakar dari unggas" (HR. Muslim)

Keharaman memakan hewan yang bertaring dan cakar maksudnya adalah hewan yang memakan makanannya dengan cara membunuh mangsanya dengan taring atau cakarnya. Bukan sekedar hewan itu punya gigi taring atau kuku. Sapi dan kambing juga punya gigi taring dan kuku, sebagaimana ayam dan burung dara juga punya kuku, yang tidak disebut cakar dari ceker.

Namun meski pun demikian, kalau kita lihat catatan para ulama mazhab, ternyata tetap ada perbedaan pandangan disana sini, yang menandakan mereka belum bulat menyepakati kenajisannya.
Al-Hanafiyah mengatakan bahwa semua hewan buas hukumnya najis, seperti singa, macam, srigala, harimau, kera, termasuk juga burung buas yang memakan bangkai seperti elang (صقر), falcon (شاهن) dan lainnya.
Al-Malikiyah mengatakan bahwa meski pun haram dimakan, namun bukan berarti najis. Karena pada dasarnya semua hewan yang hidup itu pada dasarnya tidak najis.

As-Syafi'iyah juga sepedapat bahwa meski haram memakannya, namun mereka mengatakan bahwa semua hewan hidup itu hukumnya tidak najis, kecuali anjing dan babi. Termasuk najis adalah hewan yang lahir dari perkawinan anjing, atau dari perkawinan babi atau dari perkawinan kedua.

5. Hewan Mati (Bangkai)
Al-Jashshash dalam Ahkamul Quran menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan bangkai (ميتة) adalah : الحيوان الميت غير المذكى, hewan yang matinya tidak disembelih dengan cara disembelih .
Hewan yang menjadi bangkai hukumnya najis., sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran Al-Kariem tentang hukum bangkai

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disebut selain Allah . Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. Al-Baqarah : 173)

قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor (najis)".(QS. Al-An'am : 145)


Keempat mazhab yaitu Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah telah sampai kepada level ijma' bahwa bangkai itu selain haram dimakan, juga merupakan benda yang berstatus najasatul 'ain (نجاسة العين). Maksudnya, dari sisi dzat-nya, bangkai itu memang benda najis.

Ada dua macam kematian bangkai. Pertama, bangkai itu mati oleh sebab tindakan manusia. Dalam hal ini, yang cara penyembelihannya tidak sesuai dengan syariah Islam. Kedua, mati bukan karena tindakan manusia, seperti terbunuh, mati karena tua, atau dimangsa hewan lain, dan seterusnya.


4.1. Disembelih Untuk Selain Allah
Di dalam Al-Quran disebutkan bahwa yang termasuk bangkai adalah hewan yang disembelih untuk selain Allah, atau juga untuk berhala.

وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ
(Diharamkan bagimu) yang disembelih atas nama selain Allah (QS. Al-Maidah 3)

وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ
(Diharamkan bagimu) yang disembelih utnuk berhala (QS. Al-Maidah 3)

Meski pun ayam itu halal, tetapi jika saat disembelihnya ditujukan untuk selain Allah, maka ayam itu hukumnya adalah bangkai. Termasuk bila disembelih untuk dijadikan sesaji kepada roh-roh tertentu, atau untuk jin dan makhluk halus lainnya.
Daging hewan yang dijadikan persembahan untuk dewa, atau untuk penunggu laut kidul, termasuk dalam bab ini.

4.2. Disembelih Tidak Syar'i
Hewan yang disembelih dengan jalan dipukuli, dibanting, diracun atau ditabrakkkan adalah bangkai. Sebab penyembelihan yang syar'i adalah dengan cara pemutusan aliran darah di leher, baik dengan cara dzabh (sembelih) atau pun nahr (ditusuk dengan tombak).

Sebagaimana firman Allah SWT :

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Dan lakukan shalat untuk tuhanmu dan lakukanlah an-nahr (penyembelihan). (QS. Al-Kautsar :2)

Namun bila hewan itu mati karena diburu oleh muslim atau ahli kitab, meski dengan tombak, anak panas, peluru atau sesuatu yang melukai badannya, hukumnya bukan termasuk bangkai.
Karena berburu adalah salah satu cara penyembelihan yang syar'i, meski bukan dengan cara penyembelihan. Bahkan di dalam Al-Quran dijelaskan tentang kebolehan berburu dengan menggunakan hewan pemburu yang sudah pasti termasuk hewan buas.

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُم مِّنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللّهُ فَكُلُواْ مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُواْ اسْمَ اللّهِ عَلَيْهِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?". Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu . Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu . Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.(QS. Al-Maidah : 4)

4.3. Disembelih Kafir Non Kitabi
Hewan yang disembelih oleh orang yang bukan muslim hukumnya adalah bangkai. Penyembelihan yang syar'i mensyaratkan penyembelihnya harus muslim atau setidaknya ahli kitab. Sebagaimana firman Allah SWT :

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُم
Sembelihan ahli kitab itu halal untukmu dan sembelihanmu halal untuk mereka. (QS. Al-Maidah : 5)

Sedangkan bacaan basmalah hanya sunnah bukan merupakan syarat atau kewajiban, sebagaimana dikemukakan oleh mazhab

4.3. Mati Tanpa Disembelih
Yang termasuk bangkai adalah hewan yang matinya tidak disembelih tetapi mati terbunuh. Ada yang mati karena tercekik, terpukul, jatuh, ditanduk, atau diterkam binatang buas. Termasuk juga hewan yang biarkan mati karena serangan wabah penyakit tertentu. Sebagaimana firman Allah SWT :

وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ
Yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas (QS. Al-Maidah : 3)

Namun bila sebelum mati, hewan itu sempat disembelih secara syar'i, hukumnya bukan bangkai, karena secara sah mati akibat penyembelihan.

إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ
Kecuali yang sempat kamu sembelih. (QS. Al-Maidah : 3)

4.4. Potongan Tubuh Dari Hewan Yang Masih Hidup
Anggota tubuh hewan yang terlepas atau terpotong dari tubuhnya termasuk benda najis dan haram hukumnya untuk dimakan.

4.5. Bangkai Yang Tidak Najis

a. Lalat dan Nyamuk
Hewan yang tidak punya nafas seperti nyamuk, lalat, serangga dan sejenisnya, tidak termasuk bangkai yang najis. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW dalam masalah lalat yang jatuh tercebur masuk ke dalam minuman, dimana ada isyarat bahwa lalat itu tidak mengakibatkan minuman itu menjadi najis :

عَنْ أَبيِ هُرَيْرَةَ ض قَالَ قَالَ النَّبِيُّ ص : إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فيِ شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزَعَهُ فَإِنَّ فيِ إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءٌ وَالأُخْرَى شِفَاءٌ - رواه البخاري
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Bila ada lalat jatuh ke dalam minumanmu, maka tenggelamkanlah kemudian angkat. Karena pada salah satu sayapnya ada penyakit dan salah satunya kesembuhan. (HR. Bukhari)

b. Bangkai Hewan Laut
Semua hewan laut pada dasarnya halal dimakan, oleh karena itu para ulama juga mengatakan bahwa hewan-hewan itu tidak merupakan hewan yang najis, baik dalam keadaan hidup atau mati.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :

عَنِ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَأَلَ رَجُلٌ رَسُوْلَ اللهِ s فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّا نَرْكَبُ البَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا القَلِيْلَ مِنَ المَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ بمِاَءِ البَحْرِ ؟ فَقَالَ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم : هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ الحِلُّ مَيْتَتُهُ - رواه الخمسة .
Dari Abi Hurairah ra bahwa ada seorang bertanya kepada Rasulullah SAW,`Ya Rasulullah, kami mengaruhi lautan dan hanya membawa sedikit air. Kalau kami gunakan untuk berwudhu, pastilah kami kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut ?`. Rasulullah SAW menjawab,`(Laut) itu suci airnya dan halal bangkainya. (HR. Abu Daud 83, At-Tirmizi 79, Ibnu Majah 386, An-Nasai 59, Malik 1/22) .

c. Hewan Darat dan Laut (Barma'i)
Para fuqaha' tidak sepakat ketika menemukan ada hewan laut yang dapat bertahan lama hidup di darat, begitu juga sebaliknya, hewan darat yang dapat bertahan lama hidup di air. Istilah yang sering digunakan untuk hewan yang seperti ini adalah barma'i (برمئي), yang merupakan gabungan dari dua kata, barr (برّ) darat dan maa' (ماء) air.
Al-Hanafiyah mengatakan hewan yang asalnya di laut atau air, apabila dia dapat hidup sementara waktu ke daratan dalam waktu yang lama dan mati di darat, hukumnya tetap suci dan tidak najis.

Bahkan meski pun misalnya hewan itu mati di dalam cairan, seperti susu atau cuka, maka dalam murid Abu Hanifah yaitu Muhammad, cuka dan susu itu hukumnya tetap tidak najis, lantaran hewan itu tidak najis. Kecuali bila hewan itu punya darah yang mengalir keluar dan merusak cairan itu, barulah dianggap najis.

Al-Malikiyah mengatakan bahwa hukum hewan laut yang bisa lama hidup di darat sama dengan hewan laut. Dalam hal ini mereka mencontohkan kodok laut dan penyu laut. Keduanya boleh dibilang sebagai hewan laut yang bisa lama bertahan di darat. Keduanya tetap dikatakan sebagai hewan laut, dan kemampuannya bisa bertahan hidup lama di darat tidak mengeluarkannya sebagai hewan laut.

Sehingga hukum-hukum yang berlaku bagi hewan itu sama persis dengan hukum hewan laut 100%.
Asy-Syafi'iyah mengatakan bahwa hewan yang hidup di air dan di darat seperti bebek dan angsa hukumnya halal dimakan, tapi bangkainya tetap tidak halal.
Sedangkan kodok dan kepiting dalam pandangan masyhur mazhab ini termasuk yang haram dimakan. Demikian juga bila hewan itu punya bisa (racun). Termasuk ke dalam yang diharamkan adalah buaya dan kura-kura.
Al-Hanabilah mengatakan bahwa hewan laut yang bisa bertahan hidup lama di darat, seperti kodok dan buaya, bila mati maka termasuk bangkai yang hukumnya najis.
Dan karena tubuh bangkai itu najis, maka bila mati di air yang sedikit, otomatis air yang sedikit itu juga ikut tercemar dengan kenajisannya. Dan bila air itu banyak sekali serta tidak tercemar dengan bangkai itu, maka air itu tidak dianggap terkena najis.

6. Benda Yang Kenajisannya Tidak Disepakati Ulama
Meski jumhur ulama mengatakan bahwa khamar itu hukumnya najis, namun ada sebagian dari mereka yang mengatakan bahwa khamar bukan termasuk najis.
Sedangkan istilah najis yang ada dalam ayat Al-Quran Al-Kariem tentang khamar, bukanlah bermakna najis hakiki, melainkan najis secara maknawi.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, berhala, mengundi nasib dengan panah , adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.(QS. Al-Maidah : 90)

Dan masih banyak lagi benda-benda yang kenajiasannya tidak disepakati para ulama. Misalnya bangkai hewan air atau tidak punya darah, potongan tubuh hewan yang tidak punya darah, kulit bangkai, air kencing bayi, air kencing dan susu hewan yang halal dagingnya, air mani (sperma), mayat manusia, air liur orang tidur, dan seterusnya.

7. Najis-najis Yang Dimaafkan
Najis-najis yang dimaafkan adalah benda yang pada hakikatnya najis atau terkena najis, namun karena kadarnya sangat sedikit atau kecil, sehingga dimaafkan.
Para ulama mengatakan bahwa termasuk ke dalam najis yang dimaafkan adalah najis yang padat (bukan cair) yang hanya sedikit sekali yaitu hanya selebar uang dirham (3,17 gram) atau setara 20 qirath.
Sedangkan untuk najis yang berbentuk cair, seluas lebar tapak tangan saja. Namun dalam pandangan mereka, meski najis itu dimaafkan, tetap saja haram melakukan shalat bila badan, pakaian atau tempatnya terkena najis yang dimaafkan

a. Mazhab Al-Hanafiyah
Mereka juga mengatakan bahwa yang termasuk najis yang dimaafkan adalah beberapa tetes air kencing kucing atau tikus yang jatuh ke dalam makanan atau pakaian karena darurat. Juga akibat percikan najis yang tak terlihat oleh mata telanjang.

b. Mazhab Malik
Mereka mengatakan bahwa yang termasuk najis yang dimaafkan adalah darah manusia atau hewan darat yang sangat sedikit jumlahnya, juga nanah dan muntah yang sedikit. Kira-kira selebar titik hitam pada uang dirham. Baik najis itu berasal dari dirinya atau dari orang lain, termasuk dari hewan. Bahkan termasuk darah dari babi.

Juga air kencing yang sedikit sekali yang keluar tanpa mampu dijaga karena penyakit, termasuk di dalamnya adalah air mazi, mani dan yang keluar dari anus. Juga air kencing anak kecil dan kotorannya buat ibu yang sedang menyusuinya, karena nyaris mustahil tidak terkena sama sekali dari najis yang mungkin hanya berupa percikan atau sisa-sisa yang tak nampak.

c. Mazhab Syafi`i dan Hanbali
Kedua mazhab ini dalam masalah najis yang dimaafkan ini nampak lebih keras, sebab yang dimaafkan bagi mereka hanyalah yang tidak nampak di mata saja. Atau darah nyamuk, kutu, bangsat atau serangga lain yang tidak punya darah cair. Juga sisa bekas berbekam (hijamah), bekas lalat, dan lainnya.


Related Posts:

0 Response to "4 Fiqih Taharah - An Najasah"

Posting Komentar