Bab 6 Al-Quran


A. Sumber-sumber Ilmu Fiqih1. Sumber Utama
2. Sumber-sumber Tambahan

B. Definisi Al-Quran
1. Bahasa
2. Istilah

C. Mengapa Al-Quran Berbahasa Arab?
1. Bahasa Abadi
2. Kaya Kosa Kata

D. Keaslian Al-Quran
1. Ditulis Sejak Turun
2. Dijilid Dalam Satu Bundel
3. Distandarisasi Penulisannya
4. Dihafal Berjuta Manusia

E. Ayat-ayat Hukum
1. Pengertian Ayat Hukum
2. Jumlah Ayat Hukum

F. Kitab Tafsir Ayat-ayat Hukum
1. Tafsir Ayat Al-Ahkam oleh Al-Imam Al-Qurtubi
2. Fathul Qadir oleh Al-Imam Asy-Syaukani.
3. Tafsir Ahkam Al-Quran Al-Kariem
4. Tafsir Al-Jashshash
5. Tafsir Ayat Al-Ahkam oleh Ali Ash-Shabuni
6. Tafsir Ayat Al-Ahkam oleh As-Sayis


A. Sumber-sumber Ilmu Fiqih

Fiqih bukan murni hasil produk manusia, tetapi fiqih adalah merupakan produk yang dihasilkan dari sumbersumber agama Islam yang benar.

Sumber-sumber fiqih Islam itu bisa kita bagi menjadi dua macam, sumber-sumber yang utama (primer) serta sumber yang merupakan turunan (sekunder).

1. Sumber Utama
Sumber utama fiqih Islam ada empat hal yang sudah menjadi hal yang baku dan aksiomatis di kalangan para ahli fiqih. Tidak ada satu pun yang menolak keberadaan serta implementasi dari keempat sumber utama fiqih ini. Artinya, keempat sumber itu sudah menjadi sesuatu yang bulat disepakati sebagai sumber fiqih tanpa ada pengecualian. Keempat sumber itu adalah Al-Quran Al-Kariem, As-Sunnah An-Nabawiyah, Al-Ijma’ dan Al-Qiyas.

Mulai dari bab ini dan bab-bab selanjutnya, kita akan membahas tentang sumber-sumber fiqih satu per satu, mulai dari Al-Quran sebagai sumber utama, kemudian kita akan membahas As-Sunnah sebagai sumber kedua, lalu kita juga akan membahas Ijma’ dan Qiyas sebagai sumber fiqih berikutnya.

2. Sumber-sumber Tambahan
Sebenarnya sumber-sumber fiqih tidak hanya terbatas pada 4 hal itu saja, tetapi masih ada banyak lagi sumbersumber hukum fiqih, yang memang banyaka digunakan oleh para ulama, meski pun detailnya bisa saja terjadi beberapa perbedaan. Di antara sumber-sumber fiqih Islam yang sifatnya tambahan antara lain adalah Al-Masalih Al-Mursalah, Al-Istidlal, Al-Istishab, Saddu Adz-Dzari’ah, Al-Istihsan, Al-'Urf, Syar'u Man Qablana serta Amalu Ahlil Madinah.

Pada bab ini kita khusus akan membahas tentang Al-Quran Al-Kariem sebagai sumber utama fiqih Islam yang berada pada nomor urut satu.


B. Definisi Al-Quran

1. Bahasa
Secara bahasa, Al-Quran adalah bentuk mashdar dari kata dasar dalam fi’il madhi : qara’a قرأ . Maknanya menggabungkan atau mengumpulkan. Kata itu di dalam Al-Quran sendiri bisa kita dapati pada ayat :

إنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْاٰنَهُ فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْاٰنَهُ
Mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. (QS. Al-Qiyamah : 17-18)


2. Istilah
Para ulama mendefinisikan Al-Quran dengan sangat detail. Definisi yang detail itu berguna untuk membedakannya dengan kitab suci lain, atau dengan berbagai macam wahyu Allah, atau dengan hadits nabawi dan hadits qudsi. Definisi itu adalah :

كَلَامُ اللّٰهِ الْمُنَزَّلُ عَلَى مُحَمَّد صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَ سَلَم المَنْقُولُ بِالتَّوَاتُر بِلَفْظِهِ العَرَبِي وَيُتَحَدَّى بِهِ العَرَبُ وَالمُتَعَبَّدُ بِتِلَاوَتِهِ
Perkataan Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang sampai kepada kita dengan periwayatan yang mutawatir, dengan berbahasa Arab, dimana dengan ayat itu Allah menantang orang Arab untuk membuat tandingannya, dan membacanya merupakan ibadah.


Dari definisi di atas, maka kita bisa membedakan Al-Quran dari berbagai kitab suci yang lain.


a. Perkataan Allah
Al-Quran pada hakikatnya adalah perkataan Allah. Namun perkataan Allah kepada manusia tentu bukan hanya Al-Quran, tetapi ada banyak jenisnya. Karena itu tidak cukup untuk mendefinisikan Al-Quran hanya dengan perkataan Allah. Tetapi harus ada pembatasan lainnya agar menjadi tepat.

Secara umum kalau manusia itu seorang nabi atau rasul, perkataan itu dinamakan wahyu. Tetapi kalau manusia itu bukan nabi melainkan orang biasa, sering disebut ilham.

Contohnya Allah SWT pernah berkata kepada para pengikut Nabi Isa alaihissam, tentunya mereka bukan nabi. Maka hal itu disebut ilham.

وَإِذْ أوْحَيْتُ إِلَى الْحَوَارِيِّينَ أَنْ اٰمِنُوا بِي وَبِرَسُولِى قَالُوا اٰمَنَّا وَاشهَدْ بِأَنَّنَا مُسْلِمُونَ
Dan ketika Aku ilhamkan kepada hawariyin (pengikut Isa yang setia),"Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku". Mereka menjawab,”Kami telah beriman dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh ". (QS. Al-Maidah : 111)


Allah SWT juga pernah berbicara kepada ibunda Nabi Musa alaihissalam, yang tentunya juga bukan seorang nabi.


إِذْ أَوْ حَيْنَا إِلَى أُمِّكَ مَا يُوْحَى أنِ اقْذِفِيْهِ فِي التَّابُوتِ فَاقْذِفِىْهِ فِي الْيَمِّ
Ketika Kami mengilhamkan kepada ibumu suatu yang diilhamkan agar meletakkan bayi itu di dalam peti dan melemparkannya ke sungai. (QS. Thaha : 38-39)


Namun dari dua ayat di atas kita tahu bahwa tidak semua orang yang diajak bicara oleh Allah berarti dia menjadi nabi atau rasul.


b. Diturunkan Kepada Nabi Muhammad SAW
Al-Quran adalah perkataan Allah kepada seorang Nabi. Dalam hal ini yang dimaksud dengan nabi hanyalah Nabi Muhammad SAW saja.

Sedangkan perkataan Allah kepada nabi-nabi yang lain, bisa saja merupakan perkataan Allah dan menjadi kitab suci, seperti Taurat, Injil, Zabur, Shuhuf Ibrahim dan Shuhuf Musa. Tetapi tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, maka kitab-kitab itu bukan Al-Quran.


c. Diriwayatkan Dengan Tawatur
Poin ketiga dari definisi Al-Quran adalah bahwa seluruh Al-Quran itu diriwayatkan dengan sanad yang mutawatir. Yang dimaksud dengan mutawatir adalah bahwa jumlah perawi itu sangat banyak dan tersebar luas dimana-mana, sehingga mustahil mereka kompak untuk berdusta.Al-Imam As-Suyuthi menyebutkan minimal riwayat yang mutawatir itu adalah 10 perawi dalam setiap thabaqat (level).

Poin ini berfungsi membedakan Al-Quran dengan hadits, baik hadits itu merupakan hadits nabawi maupun hadits qudsi. Sebab hadits itu kadang ada yang diriwayatkan secara mutawatir, tetapi kebanyakannya ahad.

Yang dimaksud dengan riwayat ahad bukan berarti hanya ada satu perawi, melainkan jumlahnya bisa banyak tetapi belum mencapai derajat mutawatir.


d. Berbahasa Arab
Al-Quran ketika diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, turun dalam bahasa Arab yang benar, sebagaimana bahasa yang digunakan oleh Rasulullah SAW.

إِنَّا أنْزَلْنَاهُ قُرْ اٰنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.(QS. Yusuf : 2)

وَكَذَلِكَ أَنْزَلْنَاهُ حُكْمًا عَرَبِيًّا
Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al Quraan itu sebagai peraturan dalam bahasa Arab . (QS. Ar-Ra’d : 37)


وَهَذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُّبِيْنٌ
Sedang Al-Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang.(QS. An-Nahl : 103)


وَكَذَلِكَ أَنْزَلْنَاهُ قُرْاٰنًا عَرَبِيًّا وَصَرَّفْنَا فِيْهِ مِنَ الْوَعِيْدِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ أَوْ يُحْدِثُ لَهُم ذِكْرًا
Dan demikianlah Kami menurunkan Al-Quran dalam bahasa Arab, dan Kami telah menerangkan dengan berulang kali, di dalamnya sebahagian dari ancaman, agar mereka bertakwa atau Al-Quran itu menimbulkan pengajaran bagi mereka.(QS. Thaha : 113)


Yang disebut Al-Quran hanyalah apa yang Allah turunkan persis sebagaimana turunnya. Adapun bila ayatayat Al-Quran itu dijelaskan atau diterjemahkan ke dalam bahasa lain, maka penjelasan atau terjemahannya itu tidak termasuk Al-Quran. Maka kalau ada buku yang berisi hanya terjemahan Al-Quran, buku itu bukan Al-Quran.

Dengan kerangka logika seperti itu, maka injil yang ada di tangan umat Kristiani, seandainya memang benar diklaim asli sebagaimana yang diterima Nabi Isa alaihissalam dari Allah, bagi umat Islam tetap saja bukan Injil. Mengapa? Karena Injil itu tidak berbahasa asli sebagaimana waktu diturunkan kepada Nabi Isa alaihissalam. Para sejarawan menyebutkan bahwa Nabi Isa berbahasa Suryaniyah, dan hari ini tidak ada lagi Injil yang berbahasa Suryaniyah.


e. Menantang Orang Arab
Hadits Qudsi pada dasarnya juga perkataan Allah juga, namun untuk membedakan Al-Quran dengan hadis Qudsi secara mudah, maka kita sebut bahwa Al-Quran adalah mukjizat.

Letak kemukjizatan Al-Quran terletak pada keindahannya dari segi sastra Arab. Hadits Qudsi yang walau pun merupakan perkataan Allah, tidak punya keistimewaan seperti Al-Quran.

Al-Quran dijadikan sebagai tantangan kepada orang Arab untuk menciptakan yang setara dengannya. Dan tantangan itu tidak pernah bisa terjawab. Karena tak satupun orang Arab yang mengklaim ahli di bidang sastra yang mampu menerima tandangan itu.


وَإِنْ كُنْتُم فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَاُتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ إِنْ كُنْتُم صَادِقِيْنَ
Dan jika kamu dalam keraguan tentang Al-Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami, buatlah satu surat yang semisal Al-Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (QS. Al-Baqarah : 23)


أَمْ يَقُوْلُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُم مِنْ دُونِ اللّٰهِ إِنْكُنتُمْ صَادِقِيْنَ
Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad telah membuatbuat Al-Quran itu". Katakanlah,”Datangkan sepuluh suratsurat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar". (QS. Hud : 13)


f. Membacanya Merupakan Ibadah Yang Berpahala
Identitas yang tidak kalah penting dari Al-Quran adalah ketika dibaca menjadi ibadah tersendiri, di luar dari mengerti atau tidak. Rasulullah SAW telah menegaskan bahwa tiap huruf dari Al-Quran merupakan pahala tersendiri ketika dibaca. Bahkan ada kelipatan 10 kali lipat dari masing-masing huruf.

Sampai beliau SAW menegaskan bahwa bacaan alif lam mim itu bukan satu huruf tetapi tiga huruf yang berdiri sendirisendiri. Sedangkan hadits tidak mendatangkan pahala kalau hanya sekedar dibaca, kecuali bila dipelajari dan dijalankan pesannya.


C. Mengapa Al-Quran Berbahasa Arab?

Bahasa Al-Quran adalah bahasa Arab, bukan bahasa universal seperti yang diasumsikan oleh segelintir orang. Bahasa Arab dipilih Allah SWT karena punya banyak kelebihan dibandingkan dengan bahasa yang lain :


1. Bahasa Abadi
Para ahli sejarah bahasa sepakat bahwa sebuah bahasa itu tumbuh , berkambang dan punah bersama dengan eksistensi sebuah peradaban. Sehingga bahasa-bahasa di dunia ini banyak yang dahulu pernah dipakai banyak orang, tetapi pada generasi berikutnya, sudah tidak ada lagi orang memakai bahasa itu, karena peradabannya telah berganti.

Namun para ahli sepakat bahwa bahasa Arab merupakan pengecualian. Tidak tidak hilang dari muka bumi meski telah berusia cukup tua. Ada sebagian kalangan yang menyebutkan bahwa bahasa Arab telah digunakan di zaman Nabi Ibrahim alaihissalam.

Bahkan ada yang mengatakan bahwa Nabi Adam alaihissalam pun berbahasa Arab sewaktu diturunkan ke muka bumi. Dasarnya, karena dalam salah satu hadits disebutkan bahwa bahasa Arab adalah bahasa penghuni surga. Dan Adam itu penghuni surga sejak pertama kali diciptakan. Maka amat wajar dan masuk akal kalau ketika Adam diturunkan ke bumi, beliau masih menggunakan bahasa yang sebelumnya dipakai di dalam surga.

Lalu apa hubungannya bahasa Arab yang sudah berusia tua itu dengan pilihan bahasa Al-Quran? Penjelasannya begini, kalau seandainya Al-Quran diturunkan oleh Allah dengan bahasa Inggris, maka kemungkinan besar dua ratus tahun kemudian orang tidak ada lagi yang bisa memahaminya. Karena bahasa Inggris itu mengalami perubahan mendasar, seiring dengan perjalanan waktu.

Jangankan bahasa Inggris, bahasa Sansekerta yang dahulu menjadi bahasa nenek moyang kita, hari ini sudah punah. Tidak ada yang bisa memahaminya dengan sempurna, kecuali hanya ahli bahasa. Itu pun dengan asumsiasumsi yang belum tentu benar.

Seandainya Patih Gajah Mada hidup kembali di abad 21ini, maka tak seorang pun yang mampu berbicara dengannya, lantaran kendala bahasa. Kendala bahasa inilah yang tidak terjadi pada Al-Quran. Meski sudah turun sejak 14 abad yang lalu, bahasa Arab masih dipakai oleh ratusan juta umat manusia di muka bumi.

Sehingga bangsa-bangsa yang berbahasa Arab, pada hakikatnya sama sekali tidak menemukan kesulitan untuk mengerti Al-Quran.


2. Kaya Kosa Kata
Salah satu kekuatan bahasa Arab adalah kekayaan kosa kata yang dimiliki. Meski bangsa Arab banyak yang tinggal di gurun pasir, namun bukan berarti mereka tertinggal dalam masalah seni dan budaya. Sebaliknya, justru orang-orang Arab yang tinggal di gurun itu punya kemampuan yang amat sempurna dalam mengungkapkan perasaannya lewat kata-kata.

Boleh dibilang mereka umumnya adalah pujangga yang pandai merangkai kata. Dan rahasia keindahan sastra Arab terletak pada jumlah kosa katanya yang nyaris tak ada batasnya.

Seorang ahli bahasa Arab pernah menjelaskan kepada Penulis, bahwa orang Arab punya 800 kosa kata yang berbeda untuk menyebut unta. Dan punya 200 kosa kata yang berbeda untuk menyebut anjing.

Dengan perbendaharaan kata yang luas ini, Al-Quran mampu menjelaskan dan menggambarkan segala sesuatu dengan lincah, indah, dan kuat, tetapi maknanya tetap mendalam.

Bahasa yang lain bisa dengan mudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dan begitu diterjemahkan, ternyata maknanya semakin kuat. Contohnya adalah semua kisah para nabi dan umat terdahulu diceritakan kembali oleh Allah SWT di dalam Al-Quran dalam ungkapan bahasa Arab.

Sebaliknya, seorang penerjemah profesional dengan jam terbang yang tinggi masih saja sering kebingungan untuk menterjemahkan berbagai ungkapan dalam bahasa Arab ke bahasa lain, dengan cara yang mudah dan rinci, tanpa harus kehilangan kekuatan maknanya.

Oleh karena itu, sesungguhnya kita tidak pernah bisa menterjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa lain, dengan tetap masih mendapatkan kekuatan maknanya. Selalu saja terasa ada kejanggalan dan kekurangan yang menganga ketika ayat-ayat Al-Quran diterjemahkan ke dalam bahasa lain.


D. Keaslian Al-Quran
Kebenaran Al-Quran adalah sesuatu yang pasti. Karena Al-Quran merupakan perkataan Allah SWT yang Maha Benar. Dan Allah SWT menjamin keaslian Al-Quran :


إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُوْنَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al -Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya .(QS. Al-Hijr : 9)


Tidak ada seorang pun yang bisa memalsukan ayat-ayat Al-Quran, karena jaminan dari Allah SWT yang memang bisa kita lihat buktinya secara langsung. Dan secara teknis, kemustahilan pemalsuan Al-Quran itu masuk akal, mengingat beberapa hal :


1. Ditulis Sejak Turun
Tidak seperti kitab lainnya, Al-Quran itu langsung ditulis seketika begitu turun dari langit. Rasulullah sendiri punya para penulis wahyu yang spesial bertugas untuk menuliskannya setiap saat. Tidaklah Rasulullah SAW meninggal dunia kecuali seluruh ayat Al-Quran telah tertulis di atas berbagai bahan, seperti pelepah kurma, kulit, dan lainnya.

Kalau kita bandingkan dengan kitab-kitab yang disucikan agama lain seperti Injil, Taurat, Zabur dan kitab suci lainnya, memang amat jauh perbedaannya. Kitab-kitab itu tidak pernah ditulis saat turunnya, meski kebudayaan yang berkembang di masa itu cukup maju dalam bidang tulis menulis.

Kalau pun saat ini ada musium yang menyimpan naskah Injil, naskah itu bukan naskah asli yang ditulis saat Nabi Isa alahissalam masih hidup. Tetapi merupakan naskah yang ditulis oleh orang lain, dan ditulis berabad-abad sepeninggal Nabi Isa alaihissalam.

Jangankah umat Islam, umat Kristiani pun masih berselisih paham tentang keaslian kitab mereka sendiri.


2. Dijilid Dalam Satu Bundel
Di masa khilafah Abu Bakar ash-shiddqi radhiyallahuanhu berbagai tulisan ayat Al-Quran yang masih terpisah-pisah itu kemudian disatukan dan dijilid dalam satu bundel.

Saat itu dikhawatirkan ada 70 penghafal Al-Quran telah gugur sebagai syuhada, sehingga Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu mengusulkan agar proyek penulisan ulang Al-Quran segera dijalankan. Hasilnya berupa satu mushaf standar yang sudah baku.

3. Distandarisasi Penulisannya
Di masa khalifah Utsman bin Al-Affan radhiyallahuanhu, dilakukan standarisasi penulisan Al-Quran, karena telah terdapat perbedaan teknis penulisan yang dikhawatirkan akan menjadi bencana di masa yang akan datang.

Sekedar untuk diketahui, bangsa Arab sebelumnya tidak terlalu menonjol dengan urusan tulis menulis, karena mereka tidak merasa membutuhkannya. Mengingat mereka mampu menghafal ribuan bait syair dengan sekali dengar, sehingga tidak merasa perlu untuk mencatat atau menuliskan sesuatu kalau tidak penting-penting amat.

Kalau pun ada tulis menulis, belum ada standarisasi teknis penulisan. Oleh karena itulah maka dibutuhkan sebuah standarisasi penulisan di masa khalifah Utsman. Dan dengan adanya penulisan yang standar itu, maka semua mushaf yang pernah ditulis dikumpulkan dan dimusnahkan dengan cara dibakar. Sehingga yang ada hanya yang sudah benar-benar mendapatkan pentashihan dalam teknis penulisannya. Dan dikenal dengan istilah rasam Utsmani.

4. Dihafal Berjuta Manusia
Selain ditulis, Al-Quran sampai kepada kita lewat hafalan yang merupakan keunggulan bahasa Arab. Sejak diturunkan di masa Rasulullah SAW, sebenarnya Al-Quran itu lebih dominan dihafal ketimbang ditulis. Bukan hanya dihafal saja, tetapi Al-Quran dibaca tiap hari lima kali dalam shalat fardhu.

Kenapa lebih dominan dihafal? Karena Al-Quran itu turun dalam format suara dan bukan dalam format teks. Dan kelebihan bahasa Arab itu mudah dihafal dibandingkan menghafal kalimat dalam bahasa lainnya.

Saat ini di permukaan bumi ini ada bermilyar manusia yang menghafal ayat-ayat Al-Quran sebagiannya, dan ada ribuan umat Islam yang menghafal seluruh ayatnya yang lebih dari 6 ribuan. Mereka membacanya berulang-ulang setiap hari, setidaknya lima kali sehari.

Sekali saja ada orang yang salah membaca Al-Quran, akan ada ribuan orang yang mengingatkan kesalahan itu. Semua itu menjelaskan firman Allah SWT bahwa Al-Quran itu memang dijaga keasliannya oleh Allah SWT. Tidak mungkin Al-Quran ini punah atau dipalsukan.

Al-Quran dari segi periwayatannya sangat pasti benarnya, sehingga para ulama menyebut hal ini dengan ungkapan : qat’iyu ats-tsubut قطعي الثبوت Selain Al-Quran, di dunia ini tidak ada satu pun kitab suci yang bisa dihafal oleh pemeluknya. Selain karena kitabkitab suci mereka agak rancu sebagaimana kerancuan perbedaan doktrin dan perpecahan sekte dalam agama itu, juga karena kitab-kitab itu terlalu beragam versinya. Bahkan seringkali mengalami koreksi fatal dalam tiap penerbitannya.

Oleh karena itu kita belum pernah mendengar ada Paus di Vatican sebagai pemimpin tertinggi umat Kristiani sedunia, yang pernah menghafal seluruh isi Injil atau Bible di luar kepala.

Para pendeta Yahudi tertinggi tidak ada satu pun yang mengklaim telah berhasil menghafal seluruh isi Talmud atau Taurat secara keseluruhan dari ayat pertama hingga ayat yang penghabisan.

Dan tidak ada satu pun dari para Biksu Budha di seluruh dunia yang dikabarkan pernah menghafal Tripitaka. Dan tak satu pun petinggi dari agama Hindu yang pernah dinyatakan menghafal Veda.


E. Ayat-ayat Hukum

Al-Quran adalah sumber utama dalam masalah hukum atau fiqih. Namun dalam kenyataannya kalau kita perhatikan, tidak semua ayat Al-Quran selalu mengandung hukum-hukum fiqih. Banyak dari ayat itu yang terkait juga dengan masalah keimanan dan aqidah, akhlaq, nasehat tentang sikap dan perilaku yang baik, isyarat tentang ilmu pengetahuan dan sains, kisah-kisah tentang kehidupan umat di masa lalu, dan lainnya.


1. Pengertian Ayat Hukum
Para ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ayat hukum adalah :


الايات التي تُبّين الأحكام الفقهية وتدل عليْها نصا أوْ استنباطا
Ayat-ayat yang menjelaskan hukum-hukum fiqhiyah dan menjadi dalil atas hukum-hukumnya baik secara nash atau secara istimbath.11


Dengan definisi ini, maka ayat-ayat Al-Quran yang tidak menjelaskan tentang hukum-hukum fiqih dianggap bukan ayat ahkam. Ayat-ayat yang menjelaskan tentang aqidah, akhlaq, kisah-kisah dan lainnya, tidak dimasukkan ke dalam ayat hukum.


2. Jumlah Ayat Hukum
Para ulama berbeda pendapat tentan apakah ayat-ayat hukum itu terbatas atau tidak terbatas.


a. Terbatas Beberapa Ayat
Pendapat pertama mengatakan bahwa jumlah ayat hukum itu terbatas pada beberapa ayat saja. Mereka mendasarkan pendapatnya berangkat dari definisi di atas, dimana kenyataannya bahwa ayat-ayat Al-Quran yang terkait dengan hukum-hukum fiqih memang terbatas pada ayat-ayat tertentu saja. Dan tidak semua ayat Al-Quran yang enam ribuan-an ayat itu otomatis menjadi ayat hukum.

Mereka yang mendukung pendapat ini antara lain adalah Al-Imam Al-Ghazali termasuk salah satu dari mereka yang menegaskan hal ini dalam kitab beliau, Al-Mustashfa.

Juga Al-Imam Ar-Razi dalam kitab beliau Al-Mahshul. Dan juga Al-Mawardi dalam kitab Adabul Qadhi.12

Sebagian ulama mengatakan bahwa jumlah ayat hukum itu hanya sekitar 150 ayat saja. Sebagian lainnya mengatakan bahwa jumlahnya kurang lebih 200-an ayat saja. Sebagian lain mengatakan bahwa jumlahnya sekitar 500-an ayat. Al-Imam As-Suyuti mengatakan di dalam kitab Al-Itqan bahwa jumlahnya ayat-ayat Al-Quran yang mengandung hukum mencapai 500-an ayat. Hal yang sama juga disebutkan oleh Ibnu Qayyim di dalam kitab Madarijussalikin, bahwa jumlah ayat-ayat hukum mencapai 500-an ayat.


b. Tidak Terbatas
Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa ayatayat hukum itu tidak terbatas hanya pada ayat terentu saja. Najmuddin At-Thufi mengatakan bahwa benar bahwa ayat-ayat hukum itu tidak terbatas hanya pada angka-angka itu saja. Dalam pandangan beliau dan ulama yang sependapat, bahwa seluruh atau sebagian besar ayat-ayat Al-Quran mengandung hukum yang menjadi sumber utama fiqih Islam. Meski hanya terselip secara implisit dimana kebanyakan orang kurang menyadarinya.

Al-Qarafi mengatakan bahwa tidak ada satu pun ayat kecuali terkandung di dalamnya suatu hukum.13


F. Kitab Tafsir Ayat-ayat Hukum
Untuk bisa mendapatkan penjelasan fiqih dari ayat-ayat Al-Quran, kita membutuhkan kitab tafsir yang mengkhususkan pada pembahasan hukum. terbatas jumlahnya atau tersebar di sebagian besar ayat Al-Quran, para ulama banyak yang berkarya membuat kitabkitab tafsir yang berkonsetrasi pada hukum-hukum fiqhiyah

di dalam Al-Quran, baik dengan jumlah ayat yang terbatas, atau pun tafsir lengkap 30 juz. Namun semuanya menitikberatkan pada kajian hukum.


1. Tafsir Ayat Al-Ahkam oleh Al-Imam Al-Qurtubi
Al-Imam Al-Qurtubi telah menyusun satu kitab tafsir yang amat kuat membahas dari segi hukum. Kitab itu berjudul Al-Jami' li Ahkamil Quran الجامع لأحكام القرآن Kitab ini membahas tafsir dari tiap ayat Al-Quran sesuai dengan urutannya, mulai dari surat Al-Fatihah hingga surat terakhir, An-Nas, total menjadi 30 juz 114 surat.


2. Fathul Qadir oleh Al-Imam Asy-Syaukani.
Al-Imam Asy-Syaukani juga menyusun kitab tafsir yang lebih menekankan aspek hukum fiqih. Kitab beliau berjudul Fathul Qadir فتح القدیر


3. Tafsir Ahkam Al-Quran Al-Kariem

Ibnul Arabi (bukan Ibn Arabi) telah menulis kitab

dengan judul Tafsir Ahkam Al-Quran Al-Kariem.


4. Tafsir Al-Jashshash

5. Tafsir Ayat Al-Ahkam oleh Ali Ash-Shabuni
Dan ada juga para ulama yang menyusun tafsir berdasarkan hanya pada ayat-ayat tertentu yang secara tegas menjelaskan hukum fiqih. Tafsir seperti ini sering juga disebut tafsir maudhu'i (tematik).

Salah satunya yang cukup masyhur adalah Tafsir Rawa’iul Bayan Tafsir Ayat Al-Ahkam minAl-Quran, karya muhammad Ali Ash-Shabuni. Beliau tidak menulis tasfir 30 juz, tetapi hanya ayat-ayat yang ada kandungan hukumnya

6. Tafsir Ayat Al-Ahkam oleh As-Sayis
Tafsir ini ditulis oleh Muhammad Ali As-Sayis, merupakan kitab tafsir modern yang mengkhususkan diri pada ayat-ayat yang dipandang mengandung penjelasan detail masalah fiqhiyah.

Kitab setelah 829 halaman banyak disebut cukup baik untuk dijadikan rujukan dalam membahas tafsir ayat hukum.

Related Posts:

0 Response to "Bab 6 Al-Quran"

Posting Komentar