Wajah Sejarah


Kejadian sejarah memuat kesinambungan zaman yang saling mengikat, memposisikan peristiwa sebagai jembatan manusia dalam melangkahkan hidup, menuju muara yang dinamakan: kebijaksanaan. Itulah puncak tertinggi bagi pembelajar sejarah, demikian kata Ahmad Syafii Ma’arif, atau dengan kata lain, kejadian sejarah mempunyai pengaruh yang menentukan (decisive).

Pemahaman sejarah yang mendalam hanya dimungkinkan oleh empati yang akrab dengan hari lampau. Dan keakraban ini hanyalah mungkin jika kita tidak melihat “pelaku sejarah” hanya sebagai “aktor” yang bermain, bukan sebagai manusia biasa, yang bercita-cita, bermimpi, bercinta, dan tak jarang pula dilanda ketakutan dan keraguan.

Sejarah bukan icon kaku tanpa ekspresi. Pergulatan manusia dalam melawan nasib adalah kerja manusiawi yang sarat pergolakan batin dan jiwa. Situasi ini akan hidup jika muncul muatan psikologis. Secara kolektif menurut Kuntowijoyo, akan memunculkan genre baru: sejarah mentalitas.

Sejarah mentalitas adalah sejarah yang mau menuliskan tidak hanya peristiwa dari kejadian sebagai fakta, tetapi mencoba menunjukkan pula struktur nilai; bingkai makna yang memberi roh bagi strukturalisasi sosial, sistem politik, perilaku ekonomi pelaku-pelakunya, baik individual maupun kolektif. Sejarah mentalitas sebenarnya merupakan jalan tengah ketika dikotomi pendekatan sejarah sosiologi empirik berdasarkan fakta-fakta yang positivistik mengalami kekeringan dan keterbatasan dalam mengungkap nilai mental di balik peristiwa. Max Weber pernah menulis–menyangkut sejarah mentalitas itu–peranan mentalitas etika Protestan Kristen di balik sukses kapitalisme modern.

Al-Ghozali melihat sejarah sebagai lintasan waktu yang melebihi segalanya. Sejarah bagaikan mozaik yang menggambarkan pertarungan dua hati manusia, hati yang bersinar (nurani) atau hati yang diselimuti kabut hitam (sanubari). Tergantung manusia yang menentukan pilihan, hati yang baik atau hati yang buruk.

Syari’ati melihat keseluruhan sejarah sebagai sebuah konflik kekuatan-kekuatan, sementara itu manusia sendiri menjadi medan perang antara asal jasmaniahnya yang rendah dan semangat Ketuhanannya. Dialektika sejarah seperti ini sangat mudah diidentifikasi meminjam konsep dialektika sejarah Marxis, meskipun tidak secara keseluruhan. Meskipun demikian, Syari’ati mengklaim bahwa analisisnya mengenai dialektika Qabil dan Habil sebagai sebuah simbol pertentangan yang terus-menerus adalah pemikiran orisinil dalam konteks pemahaman Islam yang diambil dari intisari beberapa ayat dalam al-Qur’an.

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ ۖ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
لَئِنْ بَسَطْتَّ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِيْ مَا أَنَا بِبَاسِطٍ يَّدِيَ إِلَيْكَ لِأَقْتُلَكَۚ إِنِّيْ أَخَافُ اللّٰهَ رَبَّ الْعٰلَمِيْنَ
إِنِّيْ أُرِيْدُ أَنْ تَبُوْءَ بِإِثْمِيْ وَإِثْمِكَ فَتَكُوْنَ مِنْ أَصْحٰبِ النَّارِۚ وَذٰلِكَ جَزَاءُ الظّٰلِمِيْنَ
فَطَوَّعَتْ لَهٗ نَفْسُهٗ قَتْلَ أَخِيْهِ فَقَتَلَهٗ فَأَصْبَحَ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ
“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil), `Aku pasti membunuhmu.’ Berkata Habil, `Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa. Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu, aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam. Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan demikian itulah pembalasan bagi orang-orang zhalim.’ Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah. Maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi.” (Qs. al-Maidah : 27-30)

Kutub Qabil  Kelas Penguasa

Kutub Qabil adalah kutub penguasa atau raja, pemilik (owner), dan aristokrat. Kutub Qabil merupakan pemilik kekuasaan, yaitu kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi dan kekuasaan religius. Kemudian, manifestasi ketiga kekuasaan kutub Qabil tersebut dalam pentas sejarah sosial mengambil bentuk yang berbeda-beda, tergantung tingkat perkembangan masyarakatnya.

Pada tahap-tahap perkembangan sosial yang masih primitif dan terbelakang, kutub ini memanifestasikan diri dalam bentuk pemusatan kekuasaan pada seorang individu. Individu tersebut menyerap ketiga kekuasaan (raja, pemilik dan aristokrat) pada dirinya. Ia mewakili wajah sejarah Qabil. Sementara itu, dalam tahap evolusi sosial yang lebih maju, ketiga kekuasaan tersebut dipisahkan, yaitu kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi dan kekuasaan religius.

Al-Quran, sebagai salah satu dasar epistemologis filsafat sosial Syari’ati, menyinggung ketiga wajah kekuasaan tersebut dengan memperkenalkan simbol-simbol khas untuk ketiga manifestasi Qabil tersebut. Ada tiga istilah yang melukiskan sifat tiga wajah kekuasaan tersebut, yaitu mala’ (yang serakah dan kejam), mutraf (yang rakus dan bermewah-mewahan), dan rahib (kependetaan). Personifikasi ketiga sifat tersebut disimbolkan dengan nama-nama tokoh. Kekuasaan politik disimbolkan dengan tokoh Fir’aun, kekuasaan ekonomi dilambangkan oleh tokoh Qarun (Croesus), dan kekuasaan religius dilambangkan oleh tokoh Balaam (Bauri). Ketiganya merupakan manifestasi tritunggal dari Qabil.

Di sepanjang sejarah, anak-cucu Qabil telah berperan sebagai pemimpin umat manusia. Begitu masyarakat-masyarakat manusia bertambah besar, berubah dan sistem-sistemnya menjadi lebih rumit; dan begitu timbul pembagian-pembagian, spesialisasi-spesialisasi, dan klasifikasi-klasifikasi, Qabil, sang pemimpin, mengubah wajahnya! Sementara mempertahankan kekuatan-kekuatannya di tiga buah basis, di dalam masyarakat-masyarakat modern Qabil menyembunyikan wajah aslinya di balik topeng politik, ekonomi dan agama. Qabil menciptakan tiga buah kekuatan untuk menindas: kekayaan dan kemunafikan yang melahirkan despostisme; eksploitasi; dan teknik-teknik indoktrinasi. Ketika kekuatan ini dapat dijelaskan dengan istilah-istilah monoteisme (tauhid). Fir’aun: lambang penindas; Qarun (Kroesus): lambang kapital dan kapitalisme; Bal’aam: lambang kemunafikan (religius).

Dalam realitas konkret, Fir’aun diwujudkan oleh orang-orang yang berkepentingan dengan politik, dan hidup di bawah despotisme, militerisme dan fasisme. Qarun diwujudkan oleh orang-orang yang berkubang dalam ekonomi pasar. Mereka memandang ekonomi sebagai dewa penentu nasib masyarakat. Sedangkan Balaam diwujudkan oleh kaum intelektual yang yakin bahwa perubahan sosial tidak mungkin tercipta tanpa melawan kebodohan, kelemahan, dan kondisi yang menyebabkan manusia menganut politeisme yang berselimutkan monoteisme.

Ketiga poros kekuasaan tersebut saling menunjang. Fir’aun merestui perampokan sistematis dan prosedural yang dilakukan Qarun. Lalu, Qarun pun mendukung kerja intelektual Balaam dengan sarana finansial kekayaannya. Fir’aun menyokong Balaam dengan jaminan politisnya. Sedangkan Balaam menyediakan basis doktrin untuk melegitimasikan rezim Fir’aun, bahwa keberadaan Fir’aun kekuasaan Tuhan. Ketiga komponen penopang kekuasaan Qabil itu disebut trinitarianisme-sosial.

Kutub Habil Kelas yang Dikuasai
Berseberangan dengan kutub Qabil, kutub Habil adalah representasi kelas yang dikuasai, yang ditindas. Kutub Habil merupakan penjelmaan kelas rakyat (al-nas).

Konsep utama tentang kutub Habil adalah konsep al-nas. Kata al-nas memiliki makna yang dalam dan khas.  Menurut Syari’ati, rakyat merupakan wakil-wakil Allah (the representatives of God) sekaligus keluarga-Nya (al-nas iyalu ‘Llah). Syari’ati menandaskan pula dengan adanya fakta bahwa al-Quran dibuka dengan nama Allah dan diakhiri dengan nama rakyat (al-nas).  Lalu, Ka’bah, kiblat umat Muslim saat shalat, adalah rumah Allah (house of God), tapi juga sekaligus disebut sebagai rumah rakyat (house of people) dan rumah kebebasan (free house atau al-bayt al-’atiq).

Kata al-nas, meskipun berbentuk tunggal, namun bermakna jamak. Kata al-nas tidak berarti kumpulan perorangan, namun dalam pengertian masyarakat atau, lebih tepat, massa. Oleh karena itu, kata al-nas, bagi Syari’ati, memiliki konotasi unik yang mewakili konsep rakyat.

Pertarungan abadi sepanjang sejarah manusia, yang akan diakhiri dengan kematian sistem Qabil dan “hidupnya lagi sistem Habil”.

Mencari Wajah Sejarah Masa Depan
Angkuh ialah dosa perdana dalam sejarah. Sombongnya iblis terhadap Adam. Wajah sejarah adalah kisah totalitas pertarungan antara figur kontradiktif di dalam dunia kemanusiaan. Seolah pertarungan antara keduanya bagaikan sandiwara dalam panggung kehidupan anak manusia sepanjang zaman. Di mana ada malaikat di situ ada iblis. Dimana ada raja yang mencapai puncak kedhaliman di situ Nabi Tuhan diutus. Pemandangan sehari-hari di sekitar kita sesungguhnya merupakan reaktualisasi dari kehidupan Habil-Qabil, Nabi Syuaib-Raja Tsamud Nabi Ibrahim-Raja Namrud, Nabi Musa-Raja firaun. Nabi Muhammad-Abu Ja-hal, dan seterusnya.

Menghadirkan sebuah benih kehidupan dalam suasana yang dialektis historis sebagai suatu rekayasa agung untuk mencari manusia-manusia paripurna. Dimulai dari penciptaan seorang Adam dengan dua komponen utama, yaitu tanah liat dan ditiupkannya roh suci ke dalam hatinya. Tanah liat yang kotor merupakan gambaran simbolik dari keburukan. Sedangkan roh suci sebagai simbolik sebuah kebaikan.

Keduanya menyatu ke dalam diri Adam dan diderivasikan kepada diri kita, manusia hari ini menjadi bentuk pertarungan yang dialektis dan mencoba menggapai kemenangan dalam sejarah kehidupan manusia. Selain itu Sang Pencipta juga telah memberikan dengan penuh keikhlasan komponen lain dalam hati manusia sebagai jalan pembeda yang baik dan yang jahat. Komponen ini ditiupkan ke seluruh unsur rasa manusia, yaitu rasa “cinta”.

Diteruskannya rekonstruksi dialektika historis Habil dan Qabil, sebagai gambaran pertentangan manusia pertama di muka bumi. Kehidupan awal manusia yang menyebabkan terbunuhnya Habil karena hedonisme dan cinta yang membabi buta. Sejarah terus berulang dan terus ditiru sampai hari ini oleh Qabil dan Habil yang lain.

Sejarah perlu dikaji dalam kerangka masa kini dan masa depan, bukan hanya digali demi terungkapnya masa lalu saja. Dengan demikian, sejarawan ataupun pembaca sejarah dapat memahami dan membantu pemecahan masalah masa kini dan turut merencanakan kebijakan masa depan. Meminjam ucapan Bung Karno, “Janganlah melihat masa depan dengan mata buta! Masa lampau berguna sekali menjadi kaca bengala meneropong masa datang.”

Sejarah  adalah persoalan masa depan. Sejarah dibuat oleh manusia dan bukannya manusia dibuat sejarah. Jika manusia tidak mengenali masa depan dan tidak mempunyai rencana tentangnya serta tidak memberikan perhatian pada tanggung jawabnya untuk membuat sejarah, maka manusia berhak mendapatkan celaan dari generasi mendatang.

Persoalan masa depan adalah persoalan mendefinisikan masa kini. Bila masa kini adalah buah masa lalu, maka kau akan merasakan buah yang sama terus menerus di masa depan. Bila masa kini adalah batang pohon, ranting dan daun-daun kehidupan yang sedang tumbuh berkembang, maka kau akan punya harapan manis buah di masa depan. Dan bila masa kini kau tanam kuat-kuat akar kehidupan, maka kau adalah manusia baru dengan hidup yang baru “seperti” tanpa masa lalu.


Related Posts:

0 Response to "Wajah Sejarah"

Posting Komentar