Sejarah Lisan Orang Biasa


SEBUAH PENGALAMAN PENELITIAN

Oleh : Abdul Syukur ; Dosen Sejarah UNJ

Pengantar
Sejarah lisan sebenarnya telah lama dikenal oleh umat manusia di seluruh dunia karena lisan adalah alat komunikasi utama yang digunakan untuk mewarisi pengetahuan masa lalu kepada generasi selanjutnya. Fungsi lisan ini tergantikan oleh tulisan setelah umat manusia menuliskan pengetahuan masa lalunya pada tulang, batu, kulit binatang, pelepah pohon, kertas dan media lainnya. Di dalam ilmu sejarah, muncul penilaian bahwa sumber tertulis lebih obyektif, lebih akurat, lebih otentik, dan lebih dapat dipercaya kebenarannya daripada sumber lisan. Alasannya, karena sumber tulisan bersifat tetap dari mulai ditulis hingga ditemukan dan dipergunakan oleh para sejarawan untuk melakukan rekonstruksi masa lalu. Sebaliknya sumber lisan bersifat tidak tetap akibat adanya penambahan atau pengurangan informasi sehingga justeru dapat menyesatkan kerja para sejarawan. Paradigma ini menimbulkan kepercayaan yang berlebihan terhadap sumber tertulis. Tanpa disadari pekerjaan sejarawan identik dengan mengumpulkan, menyeleksi, dan menafsirkan sumber-sumber tertulis menjadi sebuah rekonstruksi masa lalu. Agaknya sebagian besar sejarawan sempat bersepakat dengan pemikiran Charles-Victor Langois dan Charles Seignobos dari Universitas Sorbone, Paris-Perancis bahwa tidak ada yang bisa menggantikan fungsi sumber tertulis untuk melakukan rekontsruksi masa lalu. Secara demonstratif kedua sejarawan ini mempopulerkan adagium n o d o cume n ts,  n o  hi sto ry (tidak ada sumber tertulis, tidak ada sejarah).

Pemikiran dan adagium yang memuja sumber tertulis tersebut digugat oleh para sejarawan Amerika. Mereka menyadari bahwa sebagian besar masa lampuanya tidak ada dalam catatan-catatan tertulis, sehingga timbul usaha untuk merekam pengalaman para orang tua dalam membangun wilayah Amerika.

Dari sinilah cikal bakal kelahiran kembali sejarah lisan yang dimulai tahun 1930 dan 18 tahun kemudian (1948) berdirilah pusat sejarah lisan di Universitas Columbia, New York. Selanjutnya menyusul pendirian pusat sejarah lisan di beberapa negara seperti Kanada, Inggris, dan Italia.

Sejarah Lisan di Indonesia
Pengakuan kembali terhadap sejarah lisan juga bergaung ke Indonesia, meskipun terlambat 34 tahun, yakni dimulai pada tahun 1964 oleh sejarawan dari Universitas Indonesia, Nugroho Notosusanto dengan proyek Monumen Nasionalnya yang mengumpulkan data-data sejarah Revolusi Indonesia 1945-1950.

Kerja sejarah lisannya lalu dipusatkan pada keberhasilan para perwira TNI Angkatan Darat menggagalkan kudeta Gerakan 30 September 1965 sebagaimana terlihat dalam karyanya, “40 Hari Kegagalan G-30-S”. Sejak tahun itu Notosusanto memfokuskan kerja sejarah lisannya pada upaya menulis riwayat hidup para tokoh militer atau tentang sejarah militer Indonesia.

Sejarah lisan semakin kokoh di Indonesia terutama setelah ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) melaksanakan proyek sejarah lisan. Penanggung jawabnya adalah Soemartini, Kepala ANRI periode 1971-1991. Ia dibantu tim Panitia Pengarah Sejarah Lisan dengan ketua Harsja W. Bachtiar, seorang guru besar sosiologi dan sejarah perkembangan masyarakat pada Universitas Indonesia. Panitia Pengarah beranggotakan empat sejarawan, yaitu Sartono Kartodirdjo, Taufik Abdullah, Abdurrachman Surjomihardjo, dan A.B. Lapian. Pada saat itu Kartodirdjo sudah berpredikat sebagai guru besar sejarah pada Universitas Gajah Mada, Jogjakarta.

Meski Notosusanto merupakan perintis sejarah lisan di Indonesia, namun yang paling berjasa menyebarluaskan perkembangan sejarah lisan di Indonesia adalah Soemartini dan Harsja Bachtiar. Ini terjadi karena keduanya banyak melibatkan sejarawan dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia dengan memberikan pelatihan dan membentuk pusat sejarah lisan di beberapa daerah antara bulan Juni hingga Desember 1981.

Hasilnya adalah 9 kelompok sejarah lisan daerah, yaitu Medan (Sumatera Utara), Pekanbaru (Riau), Palembang (Sumatera Selatan), Jakarta, Bandung (Jawa Barat), Jogjakarta, Banjarmasin (Kalimantan), Ujung Pandang (sekarang Makasar, Sulawesi Selatan), dan Menado (Sulawesi Utara). Perwakilan dari masing- masing kelompok sejarah lisan daerah inilah yang diundang pada acara Lokakarya Sejarah Lisan ANRI pada tanggal 14-17 Juni 1982 di Jakarta.

Sejumlah kursus singkat seputar sejarah lisan diadakan misalnya oleh Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Jogjakarta bekerja sama dengan Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada pada tahun 1988 dan 1990 serta MSI Cabang Sulawesi Selatan dengan Fakultas Sastra Universitas Hasanudin pada tahun 1990. Peserta kursus singkat ini terdiri dari para sejarawan dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.

Meningkatnya minat sejarawan Indonesia terhadap penelitian sejarah lisan mendorong pihak ANRI pada tahun 1992 untuk membentuk divisi khusus yang menangani sejarah lisan, yaitu Sub Bidang Sejarah Lisan.  ANRI melalui Proyek Sejarah Lisannya mempunyai peranan sebagai motor penggerak dalam mengembangkan sejarah lisan di Indonesia yang telah dirintis oleh Nugroho Notosusanto dengan proyek Monumen Nasionalnya.  Dalam kurun waktu 1964-1992, sejarah lisan di Indonesia telah mengalami masa pasang surut. Tahun 1964 – 1975 merupakan era pertumbuhan awal yang dipelopori oleh dua lembaga pemerintah, yakni Pusat Sejarah ABRI yang dipimpin Nugoroho Notosusanto dan ANRI yang dipimpin Soemartini. Namun para sejarawan Indonesia lebih mendukung Proyek Sejarah Lisan ANRI daripada yang dikembangkan oleh Pusjarah ABRI. Oleh karena itu cukup penting menyimak hasil laporan Panitia Pengarah Proyek Sejarah Lisan ANRI pada konferensi Sarbica di Kuala Lumpur, Malaysia, 16-21 Juli 1990 yang menyebutkan dua periode program sejarah lisan, yaitu 1973-1979 dan 1980-1990.

Selama periode 1973-1979 menghasilkan 313 kaset rekaman wawancara dengan 121 pengkisah (istilah yang perlu dipertimbangkan kembali) dari 21 kota oleh 31 pewawancara. Dalam periode ini terjadi peningkatan jumlah kaset rekaman wawancara dan pengkisah yang cukup signifikan pada tahun 1976, yakni 103 kaset rekaman wawancara dengan 56 pengkisah. Jumlahnya menurun drastis pada tahun 1979 karena hanya mampu melakukan wawancara kepada 6 pengkisah yang tersimpan dalam 23 kaset rekaman wawancara. Kegairahan program sejarah lisan meningkat kembali pada periode 1980-1990, terutama untuk tahun 1982 dan 1983 yang berhasil menghimpun 637 kaset rekaman wawancara dari 214 pengkisah dari 12 kota oleh 62 pewawancara. Setelah itu terjani penurunan. Pada tahun 1989 tercatat 197 kaset rekaman wawancara dari 48 pengkisah dari 2 kota oleh 13 pewawancara. Agaknya sejarah lisan di Indonesia telah mengalami ‘orgasme’ pada tahun 1982-1983. Setelah itu, segera memasuki era kelesuan sebagaimana terlihat dalam tabel dibawah ini.


Sejarah Lisan Orang Biasa
Kelesuan sejarah lisan di Indonesia pernah juga terjadi antara tahun 1977-1981 sebagaimana dilaporkan  redaksi Lembaran Berita Sejarah Lisan pada edisi nomor 8 bulan Maret 1982, “Panitia Pengarah Sejarah Lisan Arsip Nasional R.I telah memulai lagi berbagai kegiatannya. Mungkin karena sudah begitu lama terhenti seolah-olah kegiatan sekarang ini seperti mulai dari bawah lagi.” Memasuki tahun 1990-an, sejarah lisan di Indonesia juga seperti mulai dari bawah lagi karena bergantinya model, yakni dari sejarah lisan para tokoh menjadi sejarah lisan orang biasa.

Berbeda dengan Amerika, sejarah lisan di Indonesia tumbuh dengan kesadaran untuk menyimpan pengalaman para tokoh yang mempunyai peranan besar dalam perjuangan mendirikan dan membangun negara RI. Sebagian sejarawan, terutama dari Universita Gajah Mada di Yogjakarta sejak awal mengkritisi kecenderungan tersebut sebagaimana diungkap oleh anggota Panitia Pengarah Sejarah Lisan ANRI, Abdurrahman Surjomihardjo dalam pengarahannya pada pertemuan sejarah lisan sub kegiatan Palembang, Sumatera Selatan, “Salah seorang sejarawan dari Yogya mengamati selama 20 tahun ini sejarah kita terlalu berorientasi kepada elite, kepada pemimpin-pemimpin, yang kemudian dianggap pahlawan.”

tahun 1991, redaksi Lembaran Berita Sejarah Lisan akhirnya menurunkan tiga tulisan sejarawan dari UGM yang menganjurkan perlunya sejarah lisan orang biasa.

Gayung pun bersambut sehingga terjadi penguatan kesadaran perlunya merekonstruksi peristiwa masa lalu berdasarkan penuturan orang- orang biasa yang selama ini terabaikan dalam penulisan sejarah Indonesia. Perkembangan sejarah lisan orang biasa dipercepat setelah kehancuran pemerintahan Orde Baru “daripada” Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Sebagaimana diketahui bahwa Orde Baru telah menggunakan sejarah untuk memperkuat legitimasi kekuasaan. Akibatnya muncul gerakan penolakan terhadap seluruh rekonstruksi masa lalu yang dibuat selama Orde Baru.

Gerakan ini lebih populer dengan nama pelurusan sejarah. Pelopornya adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka berusaha membeberkan kejahatan-kejahatan HAM pada masa lalu dengan menjadikan Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S 1965) sebagai titik pusatnya. Kasus ini bagaikan membuka kotak pandora terhadap berbagai misteri sejarah Indonesia lainnya. Salah satu contoh terbaiknya adalah buku T ah u n  Ya n g  T ak  Pe rn ah  Bera kh ir yang ditulis John Rossa, Ayu Ratih dan Hilmar Farid. mewawancarai 260 bekas tahanan politik G30S 1965. Buku ini menggunakan metode sejarah lisan orang biasa dengan Buku ini merupakan hasil kerja Instutut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI),

Melacak dan Membujuk
Sebelum ISSI berdiri, penulis telah melakukan penelitian sejarah lisan orang biasa. Penelitian dilakukan pada tahun 1999 dan 2000 dengan mewawancarai 26 orang yang mengalami, menyaksi dan mengetahui Peristiwa Lampung 1989, yakni sebuah operasi penghancuran oleh pemerintah Orde Baru pada 7 Februari 1989 terhadap kelompok pengajian di Cihideung yang masuk Dukun Talangsari, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Tengah, Propinsi Lampung. Oleh karena itu peristiwa ini juga dikenal sebagai Peristiwa Talangsari, sesuai nama dusunnya.

Sebagian besar dari mereka meninggal dunia pada saat kejadian, dan lainnya dipenjerakan. Sepuluh tahun kemudian (1999) mereka dibebaskan setelah Presiden B.J. Habibie yang menggantikan Presiden Soeharto pada tahun 1998 memberikan amnesti umum kepada seluruh tahanan politik. Kesulitan pertama yang dihadapi penulis adalah tidak adanya informasi tentang lokasi keberadaan mereka. Satu-satunya yang diketahui penulis adalah alamat Riyanto di sekitar terminal bus Tanjung Priok, Jakarta Utara. Dia menulis surat pembaca di majalah Sabili edisi tahun 1999. Namun, ternyata alamat yang tertera adalah alamat lama. Para tetangganya — termasuk saudaranya Riyanto– tidak mengetahui tempat tinggal Riyanto yang baru setelah bebas dari penjara. Namun saudaranya bersedia membantu penulis untuk menyampaikan surat permohonan wawancara.

Oleh karena itu penulis menitipkan surat permohonan wawancara dengan menyertakan nomor telepon penulis kepada saudaranya Riyanto. Sambil menunggu kabar dari Riyanto, penulis melacak alamat yang lainnya. Beruntung sekali sebagian dari mereka secara rutin mendatangi kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta. Mereka didampingi para aktivis KontraS mengadukan pelanggaran HAM yang dialaminya pada tahun 1989 kepada Komnas HAM. Oleh karena itu penulis mengirim surat permohonan wawancara melalui pengurus KontraS. Permohonan diterima sehingga penulis dapat mewawancarai Azwar Kaili, Suparmo, Wahidin, Fauzi Isman, dan Sukardi.

Dari mereka penulis memperoleh sejumlah nama lainnya. Ternyata bekas tahanan politik Peristiwa Lampung terbelah menjadi dua kelompok. Ironi terjadi karena kawan menjadi lawan. Pertentangan di antara mereka bersumber pada sikap mereka terhadap tawaran islah (damai) dari Letjen (Purn) Hendropriyono, mantan Komandan Resort Militer Garuda Hitam yang menjadi penanggungjawab pertahanan dan keamanan di seluruh Lampung.  Ditengarai bahwa Hendropriyono mempunyai peranan menentukan dalam menghancurkan kelompok pengajian di Cihideung pada 7 Februari 1989. Penulis sendiri kurang tertarik meneliti peranannya. Penulis lebih tertarik pada latar belakang sosial, budaya, ekonomi dan politik orang- orang yang terlibat Peristiwa Lampung 1989. Dari mana asal mereka? Mengapa tidak ada satupun organisasi Islam di Indonesia yang mengakuinya? Mengapa mereka berkumpul di Cihideung? Apa yang mereka lakukan di sana? Benarkah mereka sedang mempersiapkan pendirian sebuah negara Islam sebagaimana tuduhan pemerintah Orde Baru? Jadi penulis tidak menanyakan keputusan mereka untuk menerima atau menolak islah dengan Hendropriyono.

Oleh karena itu kedua belah pihak menerima permohonan wawancara yang penulis ajukan. KontraS menjadi pintu masuk penulis untuk mewawancarai kelompok yang menolak islah. Untuk masuk ke dalam lingkaran kelompok yang menerima islah, penulis menghubungi Hendropriyono dan pimpinan Gerakan Islam Nasional (GIN) Sudarsono yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan kelompok pengajian Cihideung. Meski Hendropriyono tidak bersedia diwawancarai, tetapi dia mengizinkan kelompok penerima islah untuk diwawancarai penulis. Seluruh wawancara dilakukan di Jakarta pada waktu dan tempat yang berbeda-beda. Waktu dan tempat ditentukan oleh orang yang akan diwawancarai. Mereka paling sering memilih mesjid dan waktu wawancara menjelang sholat duhur (siang hari).

Wawancara biasanya berlangsung hingga menjelang sholat maghrib (senja hari). Lokasi wawancara selalu berpindah-pindahi. Dalam arti bahwa mereka tidak pernah menggunakan lokasi yang sama untuk beberapa kali wawancara. Ada sejumlah kesulitan yang dialami penulis selama melakukan penelitian sejarah lisan orang biasa, yaitu melacak alamat sebagaimana telah diuraikan dan membujuk mereka agar bersedia diwawancarai. Tidak semua orang bersedia diwawancarai dengan berbagai pertimbangan yang bersifat pribadi, misalnya mantan istrinya Fauzi Isman yang bekerja di Badan Pusat Statistik (BPS) karena khawatir akan merusak kehidupan barunya.

Jadi, penulis sebenarnya tidak sepenuhnya berhasil pada tahap membujuk, meski yang menolak hanya sebagian kecil, yakni 3 orang. Penulis membutuhkan beberapa kali pertemuan dengan calon orang yang akan diwawancarai untuk menyakinkan betapa penting mereka dalam memahami Peristiwa Lampung 1989.

Secara umum penulis memerlukan waktu tiga bulan pada tahap membujuk para calon orang yang akan diwawancarai. Mereka yang semula tertutup menjadi sangat terbuka. Dari pengalaman ini, penulis berkesimpulan bahwa seorang peneliti sejarah lisan harus mampu menciptakan suasana kekeluargaan yang wajar hingga tidak lagi dipandang sebagai orang lain. Penulis sendiri tidak selamanya berhasil dalam menciptakan suasana kekeluargaan yang wajar tersebut. Selalu saja ada kegagalan akibat hal-hal yang di luar dugaan. Dalam pertemuan pertama, penulis tidak langsung mengadakan wawancara, meskipun telah berhasil menciptakan keakraban. Menunda wawancara ternyata memberikan keuntungan tersendiri, yakni menumbuhkan kepercayaan mereka terhadap penulis.

Menurut penulis bahwa peneliti sejarah lisan harus menempatkan diri sebagai pendengar yang baik, bukan teman diskusi apalagi bertindak sebagai pemberi nasehat. Mereka akan bertambah semangat apabila kita mendengarkannya dengan penuh perhatian. Ada hal penting lain yang perlu diperhatikan, yakni jangan pernah melakukan  bantahan  terhadap  informasi  yang  diterima  atau mengkonfrontasikan dengan informasi dari orang lain. Jika ini dilakukan maka orang bersangkutan tidak lagi bersemangat memberikan informasi atau bahkan tidak bersedia melanjutkan wawancara. Oleh karena itu penulis memilih metode wawancara indivual daripada wawancara simultan.

Melalui wawancara individual itulah penulis dapat menjaga konsistensi semangat mereka menuturkan kisah hidupnya hingga terlibat Peristiwa Lampung 1989.

Mengalami, Menyaksikan dan Mengetahui
Pada awal tulisan ini sudah dijelaskan bahwa sejarah lisan muncul lagi pertama kali di Amerika yang berkebudayaan Inggris. Oleh karena itu banyak istilah padanan kata atau terjemahan dari bahasa Inggris, seperti o ral  h ist ory (sejarah lisan), i n te rvie w (wawancara), i n te rvie w er (pewawancara) dan i nt ervi e we e (pengkisah). Di antara istilah ini yang cukup menarik diperhatikan adalah pengkisah. Berasal dari kata dasar kisah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kisah mengandung arti cerita tentang kejadian atau riwayat dalam kehidupan seseorang. Kata turunannya adalah me n g isa h kan ,  t erki sah ,  kisa h a n, dan pengisahan .

Tidak disebutkan tentang turunan kata pengkisah. Jadi pengkisah merupakan hasil kreasi dari Panitia Pengarah. Hal ini terjadi karena di berbedanya variasi turunan kata i n te rvie w (i nt ervi e we r dan i nt ervi e we e ) dengan wawancara (berwawancara, mewawancarai, dan pewawancara). Jadi tidak ada padanan turunan kata wawancara yang tepat untuk menggantikan i nt ervi e we e . Sebenarnya pembentukan kata pengkisah sendiri menyalahi kelaziman dalam bahasa Indonesia. Seharusnya bukan pengkisah tapi pengisah mengikuti pembentukan kata pelaku dalam kata kirim (pengirim) dan kumpul (pengumpul).

Namun dalam makalah ini yang paling menarik adalah pengertian difinisi pengkisah, yaitu orang yang mengisahkan pengalamannya sendiri atau ingatan dari yang mengalaminya. Berdasarkan difinisi ini maka pengalaman atau ingatan orang lain harus ditolak. Menurut penulis cakupan difinisi pengkisah terlalu sempit dan akan menyulitkan dalam melakukan rekonstruksi masa lalu melalui metode sejarah lisan.

Karena setiap pengkisah sesungguhnya mempunyai tiga bentuk kisah, yaitu kisah yang dialaminya sendiri, kisah yang disaksikan, dan kisah yang diketahuinya. Sudah menjadi tugas peneliti untuk menyeleksi kisah tersebut menjadi kisah yang dialami, disaksikan atau diketahui oleh seorang pengkisah. Sebagai contoh dalam Peristiwa Lampung. Untuk merekonstruksi peristiwa 7 Februari 1989 penulis susun berdasarkan hasil wawancara dari orang yang mengalami (Arifin bin Karyan), orang yang menyaksikan (Fadilah dan Riyanto) dan orang yang mengetahui (Nur Hidayat dan Sudarsono). Pemanfaatan kisah dari orang yang menyaksikan dan mengetahui juga sangat membantu penulis dalam menelusi latar belakang pimpinan maupun anggota kelompok-kelompok pengajian yang terlibat Peristiwa Lampung 1989.

Kesimpulan
Perintis sejarah lisan di Indonesia adalah Nugroho Notosusanto yang kemudian memimpin Pusjarah ABRI. Namun Panitia Pengarah Proyek Sejarah Lisan ANRI yang menjadi motor penggerak pengembangan sejarah lisan di Indonesia. Keduanya (Pusjarah ABRI dan ANRI) sama-sama mengembankan sejarah lisan para tokoh yang dianggap mempunyai peranan menentukan dalam pembentukan negara Republik Indonesia. Tahun 1990 menandai perkembangan baru sejarah lisan di Indonesia, yaitu munculnya perhatian terhadap sejarah lisan orang biasa yang terutama dipelopori para sejarawan dari UGM Yogyakarta. Perkembangan sejarah lisan orang biasa cukup memukau setelah kehancuran pemerintahan Orde Baru d a rip a d a Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Pihak lain di luar komunitas sejarawan yang juga berjasa dalam mengembangkan sejarah lisan orang biasa di Indonesia adalah para aktivis LSM yang memperjuangkan penegakan HAM.

Tujuan sejarah lisan bukanlah untuk melengkapi kekurangan data tertulis sebagaimana yang dikerjakan oleh Proyek Sejarah Lisan ANRI. Rekonstruksi masa lalu dapat dilakukan melalui sejarah lisan, meskipun tidak ada data tertulis sebagaimana penulis alami dalam merekonstruksi Peristiwa Lampung 1989. Di sini data tertulis justeru berperan sebagai pelengkap dari data lisan yang penulis kumpulkan. Secara garis besar, data lisan dapat dipisahkan menjadi tiga bentuk, yaitu kisah yang dialami, kisah yang disaksikan, dan kisah yang diketahui. Ketiga bentuk kisah ini dapat berasal dari satu pengkisah. Untuk itu peneliti sejarah lisan harus melakukan penyeleksian kisah tersebut sebelum merangkaikannya menjadi sebuah kisah yang utuh terhadap satu tema penelitian.


Related Posts:

0 Response to "Sejarah Lisan Orang Biasa"

Posting Komentar