Kegagalan Historiografi Indonesia Sentris
Penulisan sejarah Indonesia pada masa kolonial umumnya hanya ditulis berdasarkan sumber-sumber Barat peninggalan administrasi kolonial. Kecenderungan para sejarawan yang terlalu menggantungkan sumber-sumber kolonial ini ternyata “menjadi salah satu penyebab gagalnya historiografi Indonesiasentris yang telah dirintis sejarawan Sartono Kartodirdjo.”
Perspektif sejarah indonesiasentris menunjukkan dua babak baru dalam sejarah Indonesia. Pertama, sebagai titik balik historiografi tentang Indonesia yang selama ini bersifat netherlandsentris, kemudian selanjutnya digantikan dengan indonesiasentris. Kedua, dimulainya historiografi Indonesia moderen oleh orang Indonesia dan di negerinya sendiri, dengan ditandai berlangsungnya Seminar Sejarah Nasional Indonesia pertama di Yogyakarta tahun 1957.
Sejak tahun 1957, ketika kongres pertama sejarah nasional Indonesia digelar hingga akhir abad 20, historiografi Indonesia mengalami pekembangan yang kurang membanggakan, dengan meminjam istilah Geertz; involusi, sejarah Indonesia seakan masih “dijaman kolonial”. Historiografi indonesiasentris yang mampu menghadirkan pandangan dan orang Indonesia menjadi aktor utama dalam sejarah nasional yang juga dilandasi kaedah keilmuan moderen, ternyata tak ubahnya seperti sejarah yang ditulis kolonialis Belanda. Artinya, tetap saja rezim kolonial yang menjadi fokus penulisan biarpun dalam arti yang negatif (Purwanto 2005; 22).
Indonesiasentris dalam historiografi dapat berarti sejarah yang ditulis, menjadikan orang Indonesia sebagai fokus utamanya, dan dilihat dari sisi pandang bangsa tersebut. Secara teoritik dan filosofis, didalam tradisi indonesiasentris, sejarah Indonesia dipahami dari dalam yang berorientasi pada masyarakat Indonesia sebagai sebuah keutuhan bangsa (Purwanto 2006;11). Dengan kata lain, perspektif yang digunakan ialah perspektif Indonesia (Ali 2005; 263). Oleh karena Indonesia masih tergolong negara yang baru merdeka, bangsa Indonesia harus membikin sejarahnya lagi yang bertolak pangkal dari bangsa dan negaranya, dan berujung pada politik masa depan (Gazalba 1981; 184).
Historiografi Indonesia tidak menjadi media pencerahan, kecuali sebagai antithesa dari kolonialisme yang melekat pada historiografi masa sebelumnya. Sehingga tidak mengherankan, historiografi yang diproduksi hanya melihat “hitam-putih” untuk menghasilkan mereka yang benar di satu sisi, dan mereka yang salah disisi lain. Selanjutnya “mengkerdilkan” peran pihak yang diposisikan sebagai musuh dan selalu jadi pecundang dengan “menggemukkan” peran pihak pemenang sebagai pahlawannya. Tidak hanya sampai disini, pelukisan masa lalu ditandai oleh pengingkaran elemen tertentu dalam sejarah Indonesia, atau menjadikan kelompok tertentu sebagai pesakitan sejarah yang menjadi tempat dimana segala kesalahan dan kegagalan ditimpakan. Sejarah benar-benar telah menjadi sebuah ideologi praktis, historiografi bukan lagi sebagai representasi dari realitas masa lalu, melainkan lebih menyerupai topeng, yang menutupi dan memberi citra yang berubah-ubah untuk melegitimasi kekuasaan (Purwanto 2008; xxiii, xxiv, xxvii). Dengan kata lain, kerja historiografis di Indonesia selama ini cenderung menghasilkan mitos-mitos baru, baik dalam arti membuat interpretasi baru atas mitos lama yang sudah ada maupun memproduksi mitos-mitos baru, daripada menghadirkan kenyataan dari masa lalu (Purwanto 2008; xxi). Jenis historiografi ini, dilabelkan oleh Bambang Purwanto sebagai “historiografi kambing hitam dan historiografi oknum” (Purwanto 2005; 11-12, 2008; xxiv).
Prof Dr Bambang Purwanto dalam kata pengantar bukunya GAGALNYA HISTORIOGRAFI INDONESIASENTRIS. mengatakan :
‘Apakah ciri historiografi Indonesia saat ini? Kemana arah historiografi Indonesia akan berkembang? Dua pertanyaan sederhana itu ternyata tidak mudah untuk dijawab. Bagi sebagian orang, disorientasi mungkin merupakan kata yang paling tepat untuk dilabelkan pada historiagrafi Indonesia saat ini. Indonesiasentrisme yang selama ini dianggap sebagai identitas historiografi Indonesia ternyata tidak lebih dari sebuah label tanpa makna yang jelas, kecuali sebagai antitesa dari kolonialsentrisme yang melekat pada historiografi yang ada sebelumnya. Dekolonisasi yang menjadi prinsip dasar dari Indonesiasentrisme yang merupakan cara pandang orang Indonesia tentang masa lalunya sendiri, seolah-olah telah membangun wacana sekaligus perspektif yang menjadikan historiografi sekedar sebagai alat penghujat dan menggunakan masa lalu sebagai tameng pembenaran’.
Tulis Purwanto selanjutnya:
”Tidak banyak yang menyadari bahwa prinsip dekolonisasi itu telah mengakibatkan sebagian besar pemahaman tentang sejarah Indonesia cenderung anakronis. Mereka menafikan banyak realitas yang dikatagorikan sebagai bagian dari kultur kolonial, dan menganggap hal itu hanya sebagai bagian dari sejarah Belanda atau sejarah para penjajah yang tidak ada hubungannya dengan sejarah Indonesia. Padahal sebagai sebuah proses, realitas-realitas itu sebenarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah Indonesia’.
Kata Purwanto selanjutnya dalam kata pengantar bukunya:
‘Sebaliknya tradisi itu menganggap realitas-realitas lain sebagai realitas Indonesia hanya karena sebagai masa lalu realitas itu terjadi di Indonesia sebagai sebuah unit geografis. Padahal secara konseptual, realitas itu tidak dapat dikatagorikan sebagai masa lalu Indonesia. Selain itu, prinsip dekolonisasi yang sebenarnya hanya tepat digunakan untuk merekonstruksi masa lalu yang berkaitan dengan periode dominasi Barat di Indonesia ternyata yang digunakan untuk merekonstruksi masa lalu di luar periode itu, baik periode prakolonial maupun masa pascakolonial. Cara pandang itu telah mengakibatkan perkembangnya historiografi Indonesia yang menjauh dari tradisi sejarah kritis, dan sebaliknya menghadirkan historiografi parsial yang penuh dengan muatan politis-ideologis yang tidak mengakui keragaman pandangan dalam konstruksi dan pemaknaan terhadap masa lalu’.
‘Dari kenyataan itu tentu saja timbul pertanyaan, apakah tradisi historiografi Indonesiasentris telah gagal merekonstruksi masa lalu Indonesia? Seperti dua pertanyaan di atas, pertanyaan ini juga tidak mudah untuk dijawab. Mengatakan Indonesiasentrisme gagal secara keseluruhan tentu saja berlebihan, karena sampai tingkat tertentu historiografi ini telah berhasil menghadirkan unsur keindoneisaan baik sebagai aktor masa lalu mapun perspektif dalam konstsruksi dan makna yang dibangun. Sementara itu berbeda dengan perkiraan banyak orang, buku Sejarah Nasional Indonesia yang banyak dikritik itu pun sebenarnya mampu menghadirkan secara konseptual prinsip keindonesiaan yang dilandasi oleh kaedah keilmuan. Periodisasi dan kerangka berfikir teoritik konseptual yang dirumuskan secara jelas oleh editor utama yang dimotori oleh Sartono Kartodirdjo, menunjukkan kematangan intelektual daripada sekedar emosional, terlepas dari persoalan yang ada, terutama pada jilid 6 dan keberadaan jilid 7 yang terkesan malu-malu’.
Historiografi indonesiasentris yang nasionalis, lokal, dan sosial yang didukung pemerintah, bertahan sampai tahun 1977, ketika pemimpin penulis buku sejarah nasional Indonesia, Sartono Kartodirjo, menerbitkan untuk terakhir kalinya “buku babon” tersebut dengan sambul berwarna biru. Historiografi indonesiasentris ketika itu tetap bernuansa “hitam-putih” dengan model sejarah sosial yang menguat. Sejarah nasional dilihat sebagai hasil pergulatan bersama elit dan rakyat, dengan Soekarno sebagai pusatnya. Sikap hati-hati presiden pertama republik terhadap geliat militer, melahirkan sebuah tatanan negara yang normal, yakni militer dibawah wewenang politikus sipil, militer sebagai alat negara, dan militer tidak terlibat dalam kancah politik. Keadaan ini pula menghasilkan historiografi indonesiasentris yang non-militer, artinya eksistensi militer diakui namun tidak mendominasi panggung sejarah Indonesia sebagai satu-satunya faktor penentu arah bangsa.
Ketika Orde Baru benar-benar berkuasa, yakni tahun 1980-an, historiografi indonesiasentris mengalami revisi. Nuansa “hitam-putih” masih dipertahankan dan sejarah nasional digantikan dengan sejarah militer yang dipolitisir. Inilah perspektif sejarah yang dikembangkan pada masa Orde Baru. Ciri utama historiografi nasional yang dibangun selama Orde Baru adalah sentralisasi negara yang diejawantahkan oleh militer. Sejarah nasional disamakan dengan sejarah militer dan produk sejarah dikendalikan oleh negara dan militer. Negara terwakilkan oleh Suharto, dan militer didelegasikan kepada Nugroho Notosusanto. Bersama penggagas dwi fungsi ABRI, A.H. Nasution, mereka membangun sejarah nasional yang militeristik. Masa lalu Indonesia direduksi selayaknya norma militer yang “satu komando”, dan sejarah nasional berubah menjadi (ber)seragam-tunggal. Sehubungan dengan itu, Katherine E. Mc Gregor menyatakan bahwa bangunan historiografi yang menyeragamkan cara orang Indonesia memaknai dan merekonstruksi masa lalunya merupakan buah dari keberhasilan militer menempatkan ideologinya sebagai pusat berpikir historis. Militer sebagai sebuah institusi dan ideologinya telah berhasil membangun citra baik untuk melegitimasi dirinya sendiri maupun kekuatan yang didukungnya melalui pemaknaan tunggal dan naratif tunggal pada konstruksi masa lalu Indonesiasentris (Mc Gregor 2008; xxiii).
Setelah pakar sejarah militer-politis Orde Baru meninggal dunia secara tiba-tiba akibat pendarahan otak di bulan Juni 1985, keberlanjutan sejarah nasional tidak mengalami perubahan yang berarti. Perspektif sejarah Orde Baru yang seragam-tunggal tetap bertahan sampai akhir abad 20, keadaan itu disebabkan: bukan karena sejarawan Indonesia tidak produktif menghadirkan tulisan yang menantang dominasi militer dalam sejarah atau melawan versi sejarah Orde Baru, akan tetapi kekuatan represif militer diberbagai bidang yang membuat historiografi di Indonesia tetap dalam narasi besar yang telah digariskan dalam “buku babon” enam jilid karya Nugroho Notosusanto (editor), terutama jilid V-VI.
Dimanipulasinya oleh penguasa Orba, — disulapnya suatu fiksi menjadi fakta, menjadikannya suatu fakta sejarah, yang dianggap pula sebagai kebenaran umum sejarah, —- bukankah ini manipulasi fakta sejarah yang perlu dikoreksi?
Betapapun, menegakkan kebenaran dalam sejarah bangsa kita adalah urusan kita semua. Usaha Rekonsiliasi Nasional atas dasar Kebenaran dan Keadilan tak akan bisa dicapai, bilamana fakta-fakta sejarah yang telah dimanipulasi oleh rezim Orba tidak dikoreksi. Selama itu belum dikoreksi, tak terhindarkan hal itu akan selalu merupakan api dalam sekam.
Itulah pula sebabnya mengapa penulisan sejarah bangsa seyogianya dilakukan oleh seluruh masyarakat. Tentu para pakar dan sejarawan punya peranan penting dan terkemuka. Namun, tanpa kepedulian dan keikutsertaan masyarakat, media, lapisan cendekiawan yang luas, tujuan untuk bisa belajar dari sejarah bangsa kita, sulit untuk tercapai.
Catatan renungan :
KALAU dalam sebuah uraian sejarah ada kisah tentang betapa musuh bebuyutan tampil sebagai pembela di saat yang dibutuhkan, maka orang pun bisa berkata bahwa sebuah “ironi sejarah” telah terjadi.
KATA ironi dipakai ketika keharusan logika mengalami masalah dalam sistem wacana yang ingin menyalin realitas seutuh mungkin. Bukankah lebih masuk akal kalau musuh mengambil keuntungan, bukannya malah menolong? Tetapi apakah istilah yang bisa dipakai kalau terjadi pertentangan antara gambaran yang dibuat tentang masa lalu dan realitas yang sesungguhnya? Pemalsuan sejarah? Pasti bukan, sebab gambaran atau image bukan kronikel, yang harus memberikan fakta yang “pasti” tentang “apa, siapa, di mana, dan bila”. Image hanyalah gambaran mental tentang situasi atau peristiwa masa lalu. Dan, apa pula istilahnya kalau image tentang peristiwa atau situasi di masa lalu itu dijadikan pula sebagai landasan legitimasi dari ideologi kekuasaan? Mitologisasi?
Dari berbagai sumber diantaranya :
– SEJARAWAN BAMBANG PURWANTO, Dan SEJARAH KITA. APA ITU SEJARAH? Oleh : Ibrahim Isa Alias Bramijn
– INDONESIASENTRIS DAN PERSPEKTIF SEJARAH ORDE BARU : Perbedaan dan Contohnya, dalam suciptoardi.wordpress.com
– Prof Dr Bambang Purwanto, Bangkitkan Minat Sejarah Hubungan Indonesia-Belanda oleh Renne Kaliwarang
– RESENSI BUKU “Membaca Ulang Sejarah Jawa” oleh Eddy Daryono
0 Response to "Kegagalan Historiografi Indonesia Sentris"
Posting Komentar