oleh : Irhash A. Shamad, Lektor Kepala Sejarah Islam dan Ilmu Sejarah pada jurusan SKI/Dekan Fakultas Ilmu Budaya-Adab, IAIN Imam Bonjol Padang
Kesadaran sejarah, yang dalam ilmu sejarah disebut dengan historisitas, adalah gambaran tingkat kesadaran suatu kelompok masyarakat terhadap arti penting masa lalu. Gambaran ini akan terlihat dari cara memandang masa lalu itu sebagai suatu hal yang penting untuk diungkapkan secara benar. Berbagai kepentingan dapat saja memboncengi pengungkapan masa lalu itu, seperti untuk kepentingan politik dalam menjaga legitimasi suatu golongan dalam masyarakat, mungkin untuk tujuan mengukuhkan keberadaan suatu ideologi atau kepercayaan tertentu ataupun sekedar memperoleh kenikmatan kenangan masa lalu. Pengungkapan sejarah masa lalu (historiografi) dari suatu masyarakat sangat ditentukan oleh kesadaran sejarah yang mereka miliki, karena, baik bentuk ataupun cara pengungkapannya, akan selalu merupakan ekspressi kultural dan pantulan keprihatinan sosial masyarakat yang menghasilkan sejarah itu sendiri (Taufik Abdullah,1985:XX ; Sartono, 1982:16).
Periode-periode awal dari sejarah Islam telah memperlihatkan kepada kita bahwa sebagai agama yang universal, Islam ternyata memberikan tempat tersendiri bagi penulisan sejarah. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya muncul karya-karya sejarah yang cukup penting pada abad-abad permulaan Islam. Hal yang lebih penting dari itu adalah bahwa wawasan kesejarahan yang diperlihatkan oleh sejarawan-sejarawan muslim itu membuktikan pula bahwa pengungkapan masa lalu itu haruslah benar-benar faktual. Sisi lain perlu kita catatkan ialah bahwa dari sekian banyak literatur Yunani yang diserap oleh umat Islam, tidak satupun karya historiografi yang sampai ke tangan mereka (Muin Umar,1988:36).
Kenyataan ini memberikan kesimpulan kepada kita bahwa wawasan kesejarahan itu lahir dari aspek-aspek kultural Islam yang dimotivasi oleh ajaran-ajarannya yang universal itu. Namun dalam bentuk apa Islam telah memberikan kesadaran bersejarah bagi penganutnya, akan kita kemukakan pada pembahasan berikut ini.
Masa pertumbuhan Islam di Jazirah Arabia, pada dasarnya dapat dipahami sebagai awal kesadaran sejarah bagi penganutnya. Kesadaran sejarah ini tumbuh seiring dengan kesadaran akan keberadaan Islam sebagai suatu agama yang merupakan rangkaian akhir dari agama-agama samawy sebelumnya. Pengakuan terhadap Muhammad sebagai “khatimunnabiyyin” (nabi penutup) merupakan gambaran yang jelas dari sikap muslim terhadap masa lalu. Kendatipun demikian, di dalam Islam banyak hal yang menuntut seorang muslim itu harus berurusan dengan masa lalu, sekaligus merupakan faktor yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya kesadaran sejarah di dalam Islam. Di antara faktor-faktor itu ialah :
Pertama, Al-Qur`an sebagai konsepsi dasar falsafah yang mendorong bagi pengungkapan sejarah.
Sebagai pegangan utama umat Islam, Al-Qur`an mengandung ayat-ayat yang merupakan sumber hukum dan pedoman dasar dalam setiap aspek kehidupan masyarakat muslim. Ayat-ayat Al-Qur`an mencakup berbagai segi kehidupan manusia, kaidah-kaidah kauniyyah serta kisah-kisah masa lalu manusia yang merupakan tamsil untuk diambil sebagai pelajaran. Kisah-kisah masa lalu itu menempati berbagai surat, seperti kisah masyarakat Arab pra Islam (Arab kuno), kisah Musa dan Fir’aun, kisah kaum ‘Ad dan Tsamud, kisah Luqman, kisah kerajaan Yaman dan kisah-kisah lainnya.
Pengungkapan Al-Qur`an tentang kisah para rasul dan nabi-nabi sebelum Muhammad lebih memperlihatkan esensi pandangan Islam terhadap keberadaan masa kini sebagai suatu rangkaian yang saling sambung bersambung sampai kepada kelahirna Muhammad sebagai rasul yang terakhir. Yang demikian dipahami bahwa pada tahap awal, Al-Qur`an telah memberikan wawasan kesejarahan dengan menekankan arti penting masa lalu. Di dalam pengungkapan masa lalu itu, Al-Qur`an seringkali mengemukakan bahwa kisah masa lalu seyogianya diambil sebagai pelajaran moral (mau’izhah/’ibrah). Diantara ayat-ayat yang berkaitan dengan apada yang telah dikemukakan itu adalah :
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ ۗ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَىٰ وَلَٰكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur`an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yan sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman (Q.S. Yusuf: 111)Dalam surah lainnya Allah memberi peringatan atas tingkah laku umat Musa yang masih bekerja pada hari Sabtu :
فَجَعَلْنَاهَا نَكَالًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهَا وَمَا خَلْفَهَا وَمَوْعِظَةً لِلْمُتَّقِينَ
Maka Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang di masa lalu dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang taqwa (Q.S.Al-Baqarah:66).Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur`an yang memberikan perhatian terhadap kepentingan masa lalu. Masih dalam surah Al-Baqarah Allah mengingatkan secara berulang sebagai berikut :
تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ ۖ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ ۖ وَلَا تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Itu adalah umat masa lalu, baginya apa yang sudah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggung jawaban tetang apa yang telah mereka kerjakan (Q.S.Al-Baqarah:134).Pengetahuan tentang masa lalu adalah bagian yang mendasar bagi pendidikan dan moralitas dalam Islam. Aspek-aspek kesejarahan yang terdapat di dalam ayat-ayat Al-Qur`an tidak hanya menekankan tentang perlunya sejarah sebagai pengetahuan (kognitif), akan tetapi lebih mengutamakan pada substansi pengambilan pelajaran dari peristiwa sejarah itu (afektif) dan sekaligus penerapannya ke dalam tingkah laku masa kini (psikomotorik).
Sisi lain dari Al-Qur`an yang menuntut kesadaran awal terhadap studi tentang masa lalu ialah penelitian tentang asbabunnuzul setiap ayat terkandung di dalamnya. Kepentingan ini sangat dirasakan sekali terutama beberapa waktu setelah ayat terakhir diturunkan. Ayat-ayat Al-Qur`an tidak semuanya dapat begitu saja diambil sebagai sumber hukum dan pedoman hidup, tanpa terlebih dahulu mengetahui dengan benar sebab-sebab diturunkannya ayat itu. Oleh karena itu, para mufassirin dan para mujtahid melakukan studi-studi yang cermat dan sungguh-sungguh dalam menggali kembali peristiwa (konteks) yang melatar belakangi diturunkannya setiap ayat Al-Qur`an. Usaha ini pada gilirannya telah memberikan tawaran bagi para pakar muslim terhadap suatu bidang lagi, yaitu studi terhadap fakta masa lalu, walaupun untuk tahap awal dilakukan terhadap peristiwa-peristiwa di seputar Rasulullah sebagai penerima wahyu, namun hal itu membawa pengaruh yang sangat besar terhadap kesadaran bersejarah umat Islam, terutama dalam hal kecermatan dalam mengemukakan validitas fakta masa lalu.
Kedua, Hadits, sebagai konsepsi dasar metodologi pengungkapan sejarah dalam Islam.
Kata hadits secara logawy berarti : khabar (riwayat lisan), baik mencakup masalah keagamaan, maupun masalah keduniaan. Pengertian hadits secara khusus dalam konsepsi Islam adalah : perkataan Rasulullah. Di samping kata hadits, juga dikenal kata sunnah. Sunnah dalam bahasa Arab mempunyai pengertian sebagai “proses perubahan tradisi” terutama dalam segi kemasyarakatan, kegamaan, hukum dan perundang-undangan (Kasyif, 1976:19). Pengertian ini sudah dikenal di kalangan masyarakat Arab sebelum Islam. Setelah Islam, kata Sunnah digunakan khusus untuk pengertian “kebiasaan Rasulullah”, yang meliputi apa yang dilakukannya, apa yang ditetapkannya dan apa yang tidak dibantahnya.
Hadits dan Sunnah adalah sumber hukum kedua setelah Al-Qur`an. Pada masa rasul masih hidup, segala bentuk persoalan keagamaan tidak perlu diperdebatkan, karena semua persoalan itu dapat dipertanyakan langsung kepadab Rasul sendiri. Kepentingan akan Hadits dan Sunnah barulah dirasakan setelah Rasulullah wafat. Masalah-masalah yang menyangkut hukum, tidak semuanya dapat dirujuk kepada AlQur`an secara langsung, karena tidak semua ayat dalam Al-Qur`an yang secara jelas menetapkan suatu hukum ; untuk sebahagian perlu penjabaran. Pada dasarnya, disinilah peranan hadits dan sunnah itu. Kehidupan Rasulullah yang menjadi pola anutan dalam setiap aspek kehidupan muslim, dijadikan patokan dalam mengistinbathkan hukum yang tidak dinyatakan secara jelas oleh Al-Qur`an. Dengan demikian, semakin banyak persoalan yang muncul, maka akan semakin banyak pula sisi kehidupan Rasulullah yang perlu direkonstruksikan.
Merekonstruksi masa lalu –pada dasarnya ini adalah kerja sejarah– dari kehidupan Rasulullah secara benar, bukanlah pekerjaan yang mudah, apalagi –karena menyangkut hukum–, ia akan mendatangkan konsekuensi-konsekuensi terhadap pelaksanaan hukum-hukum Tuhan bagi umat manusia. Maka oleh karena itu para ulama dan mujtahid dituntut bekerja keras menggali kembali setiap aspek kehidupan Rasul itu dengan cermat dan teliti. Pekerjaan ini makin dirasakan lebih sulit lagi dengan kenyataaan tidak banyaknya terdapat pencatatan-pencatatan tentang itu. Di masa Rasul masih hidup, para sahabat secara resmi dilarang untuk menuliskan segala ucapannya, selain yang berupa wahyu. Ini ditujukan untuk menjaga kemurnian setiap ayat Al-Qur`an agar tidak tercampur dengan ucapan yang bersumber dari Rasul sendiri.
Kekurangan bukti-bukti tertulis tentang kehidupan Rasulullah, telah menuntut para muhadditsin berpuas diri dengan mengandalkan data yang diperoleh secara lisan (oral transmition) dari rangkaian para perawi. Kenyataan bahwa pengungkapan Hadits haruslah benar-benar akurat, telah pula mendorong dilakukannya pengujian-pengujian terhadap kesaksian para perawi itu. Metode isnad, dalam ilmu Hadits, mengembangkan proses pengujian eksternal melalui naqd ar-ruwah (kritik perawi) dan dan pengujian internal melalui naqd al-matan (kritik isi). Kesaksian masing-masing rangkaian periwayatan haruslah teruji kebenarannya dengan menerapkan standar akurasi dengan kriteria jarh (cacat) dan ta’dil(jujur). Demikianpun otentisitas isi haruslah benar-benar dapat dipertanggung jawabkan melalui pengujian yang cermat dengan menerapkan beberapa metode yang dikembangkan dalam ilmu Mushthalah al-Hadits, seperti ilm al-tahsif wa at-tahrif, untuk meneliti tentang adanya perobahan-perobahan yang terjadi pada matan (teks hadits). ‘Ilm Gharibil Hadits meneliti tentang penggunaan lafazh-lafazh (kata-kata) dan istilah-istilah yang sulit dipahami dan jarang digunakan, demikianpun beberapa sub bidang penelitian hadits lainnya dalam ilmu Dirayat al-Hadits.
Semua formula-formula metodologi yang diciptakan dalam disiplin ilmu Hadits ditujukan untuk menjaga agar semua peristiwa yang diriwayatkan itu benar-benar faktual. Hal ini telah memberikan kontribusi yang besar terhadap dasar-dasar penelitian sejarah dalam Islam. Meskipun pada awalnya penelitian hadits, bukanlah ditujukan sebagai penelitian sejarah, namun metode-metode penelitian dan pengujian yang dikembangkan dalam ilmu Hadits, telah diterapkan dalam pengungkapan-pengungkapan tentang berbagai aspek kehidupan sosial di masa-masa sesudahnya.
Dengan demikian disimpulkan bahwa sejak masa-masa awal, Islam telah mewariskan kesadaran akan arti penting masa lalu dan bagaimana masa lalu itu harus diungkapkan secara benar dan obyektif tanpa diwarnai oleh bias-bias pribadi atau golongan, pengungkapan sejarah yang membedakan antara peristiwa-peristiwa faktual dengan peristiwa fiktif. Kesadaran sejarah seperti ini telah sangat mempengaruhi penulisan-penulisan sejarah dalam Islam pada masa-masa kemudian. Bahkan sulit untuk dipungkiri juga bahwa beberapa aspek metodologi penelitian Hadits ini telah dikembangkan oleh sejarawan-sejarawan Eropa pada abad ke sembilan belas.
0 Response to "Islam dan Awal Kesadaran Sejarah"
Posting Komentar