Aksi Sejarah



~ Aksi adalah hak hidup dan sejarah mencatatnya !!! ~

Aksi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki empat arti, yaitu 1 gerakan; 2 tindakan; 3 sikap (gerak-gerak, tingkah laku) yang dibuat-buat; 4 elok sekali (tentang pakaian, tingkah laku, dan sebagainya). ber·ak·si artinya ; v 1 bergerak melakukan sesuatu; 2 bertindak; 3 bertingkah laku yg dibuat-buat; 4 berlagak. Ada aksi, ada reaksi. Reaksi, menurut KBBI memiliki tiga arti, yaitu 1 kegiatan (aksi, protes) yang timbul akibat suatu gejala atau suatu peristiwa; 2 tanggapan (respon) terhadap suatu aksi; 3 perubahan yang terjadi karena bekerjanya suatu unsur (obat).

Tidak semua aksi menjadi sejarah, tetapi sejarah lahir dari suatu aksi. Esensi sejarah adalah perubahan, maka setiap gerakan, tindakan, aksi yang membuat perubahan bernilai sejarah. Setiap kali membaca atau mempelajari sejarah, biasanya kita berpikir tentang orang-orang yang hebat, para pemimpin, atau very important person yang menggerakkannya. Secara umum sejarah memang hampir selalu diwakili oleh sosok-sosok semacam ini. Namun, ada kalanya perubahan sejarah justru dipelopori oleh orang biasa-biasa saja, malah oleh mereka yang terlibat kejahatan sekalipun.

Aksi sejarah dalam filsafat sejarah speklulatif disebut sebagai “gerak sejarah” yang mengkaji sifat tabiat gerak sejarah sehingga diketahui struktur terdalam yang terkandung dalam proses gerak sejarah secara keseluruhan. Menurut Arkersmit (1987), umumnya terdapat tiga hal yang menjadi kajian filsafat sejarah spekulatif , yaitu pola gerak sejarah, motor yang menggerakan proses sejarah dan tujuan gerak sejarah.

Mengenai motor penggerak sejarah, al-Khudhari (1987) menyebutkan bahwa para pemikir berbeda pendapat mengenai faktor utama yang mengendalikan perjalanan sejarah. Dalam hal ini ia mencatat ada tiga pendapat, yaitu:
Allah-lah faktor satu-satunya yang mengendalikan perjalanan sejarah.
Tokoh-tokoh yang pahlawanlah yang membuat dan menggerakkan sejarah.
Faktor ekonomi.

Berkaitan dengan ini muncul pertanyaan lanjutan, apakah sejarah atau kondisi-kondisi historis merupakan realitas objektif yang mandiri dari akal manusia, dari konsepsinya, dari tindakan-tindakannya? Ataukah ada suatu determinisme sejarah yang paripurna dan memaksakan dirinya dari luar terhadap manusa dan manusia ini sendiri tidak mampu mengubahnya? Ataukah manusialah yang membuat sejarah dan mengendalikan perjalanannya? Kaum materialis mempercayai pendapat pertama. Mereka merujukkan segala perubahan historis pada kondisi-kondisi ekonomis dan bentuk serta sarana produksi dalam masyarakat. Lebih jauh lagi mereka menyatakan tentang adanya determinisme historis. Pendapat yang kedua dipegangi para filosof idealis yang menolak determinisme sejarah dan menyatakan bahwa manusialah yang menggerakkan sejarah.

Di dalam al-Qur’an surat ar-Ra’du [13] ayat 11; “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah kondisi (objektif) suatu bangsa, hingga bangsa tersebut mau mengubah kondisi (subjektif) yang ada pada mereka sendiri ” menggambarkan bahwa manusia memainkan peran penting dalam aksi sejarah. Aksi sejarah merupakan kesadaran umat manusia. Manusia adalah makhluk budaya. Pikiran dan kesadaran manusia berkembang dari tingkat yang bersahaja ke tingkat yang tinggi. Perkembangan pikiran dan kesatuan manusia ini menjadi tenaga penggerak kemajuan manusia.

Bagaimana Sejarah Bergerak?

Menurut para filosof sejarah pengikut metode kontemplatif terdapat tiga pola gerak di mana sejarah berjalan sesuai dengannya, yaitu:

Sejarah berjalan menelusuri garis lurus lewat jalan kemajuan yang mengarah ke depan (Gerak Sejarah Maju) atau kemunduran yang bergerak ke belakang (Gerak Sejarah Mundur).
Sejarah berjalan dalam daur kultural yang dilalui kemanusiaan, baik daur saling terputus, dan dalam berbagai kebudayaan yang tidak berkesinambungan atau daur-daur itu saling berjalin dan berulang kembali.
Gerak sejarah tidak selalu mempunyai pola-pola tertentu.

Para filosof sejarah sendiri sering mencampur-adukkan ketiga pola ini dalam menginterpretasikan gerak sejarah.

Gerak sejarah maju terucap dari mulut para filsof yang cenderung mengukuhkan manusia dalam pencapaian – pencapaian dalam sejarah dan dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam filsafat Comte kemajuan diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu kemajuan intelektual, kemajuan material, dan kemajuan moral. Filsafat Comte itu terpengaruh oleh ide perkembangan dalam ilmu pengetahuan alam, namun ia mempergunakan sejarah dalam kajian­nya tentang perkembangan intelek (pikiran) manusia dan fase-fase yang dilaluinya.

Gerak sejarah mundur adalah pesimisme historis yang timbul dari perasaan manusia yang merasakan kebrutalan di masanya dan runtuhnya nilai-nilai estetis dan etis dalam kalangan banyak orang. Keluhan terhadap zaman dan kerinduan terhadap masa lalu dengan kebaikan, kemuliaan, kejayaan dan keutamaan yang dimilikinya.

Di samping ide gerak sejarah yang maju dan mundur, kelompok filsafat kontemplatif sejarah ada yang menyatakan gerak sejarah daur kultural yang menyatakan bahwa sejarah mempunyai daur kultural yang mengulang kembali dirinya sendiri dalam satu bentuk atau lainnya. Tokoh seperti Ibn Khaldun, Vico, Spengler dan Toynbee dipandang sebagai para tokoh teori ini, meskipun sesama mereka tidak seiring pendapat.

Arnold J. Toynbee mengarang buku A Study of History tahun 1933. Kesimpulan Toynbee ialah bahwa gerak sejarah tidak terdapat hukum tertentu yang menguasai dan mengatur timbul tenggelamnya kebudayaan-keudayaan dengan pasti. Yang disebut kebudayaan (civilization) oleh Toynbee ialah wujud kehidupan suatu golongan seluruhnya. Menurut Toynbee gerak sejarah berjalan menurut tingkatan-tingkatan seperti berikut :

genesis of civilizations, yaitu lahirnya kebudayaan
growth of civilizations, yaitu perkembangan kebudayaan
decline of civilizations, yaitu keruntuhan kebudayaan :
breakdown of civilizations, yaitu kemerosotan kebudayaan
disintegration civilization, yaitu kehancuran kebudayaan
dissolution of civilization, yaitu hilang dan lenyapnya kebudayaan
Sementara Ibnu Kholdun berpendapat bahwa kehendak Tuhan sebagai pangkal gerak sejarah seperti Santo Agustinus, akan tetapi Ibnu Kholdun tidak memusatkan perhatiannya kepada akhirat. Baginya sejarah adalah ilmu berdasarkan kenyataan, tujuan sejarah ialah agar manusia sadar akan perubahan-perubahan masyarakat sebagai usaha penyempurnaan peri kehidupannya. Dengan tegas Ibnu Kholdun menunjukkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat karena qadar Tuhan, yang terdapat dalam masyarakat adalah “naluri” untuk berubah. Justru perubahan-perubahan itu berupa revolusi, pemberontakan, pergantian lembaga, dsb, maka masyarakat dan negara akan mengalami kemajuan. Manusia dan semua lembaga-lembaga yang diciptakannya dapat maju karena perubahan. Menurut Ibnu Khaldun yang memandang proses sejarah dalam kerangka siklus ketimbang proses linear ataupun dialektikal.

Mencatatkan “Aksi” Menjadi “Tulisan Sejarah”.
Sejarah menjadi kebutuhan intelektual di saat masyarakat dalam ketidakpastian. Dalam keadaan itu, kita menjadi ingin bertanya, mengapa bisa begini. Untuk menjawabnya, kemudian kita menengok ke masa lalu, mencari pangkal persoalan sekaligus cermin untuk melihat persoalan kontemporer.

Dalam sejarah “serba teori” atau tentang ilmu sejarah yang menyelidiki tentang arti, tujuan sejarah, gerak sejarah, isi, bentuk, makna, tafsiran sejarah, dsb. Karena ilmu sejarah menyelidiki tentang dasar-dasar pengertian sejarah. Dalam ilmu sejarah ini ada kaidah “no document no history” seperti mengsyaratkan bahwa aksi yang menyejarah adalah aksi yang terdokumentasi, sehingga jika tidak ada data, fakta sejarah maka tak ada sejarah.

Dalam penulisan sejarah konvensional, sejarah merupakan sebuah narasi. Filsuf Perancis Michel Foucault mengatakan, tidak ada narasi tanpa adanya kekuasaan. Kekuasaan selalu melekat pada narasi itu. Ketika seseorang membuat narasi, seketika itu juga dia melakukan penaklukan atas narasi-narasi ‘yang lain’. Bahkan secara ekstrem filsuf Jerman Frederick Nietzche menyebutkan, semua keinginan untuk mengetahui kebenaran sudah merupakan bentuk keinginan akan kekuasaan.

Menurut Keith Foulcher, seorang peneliti berkebangsaan Australia, sejarah merupakan alat untuk memberikan “sense of continuity” terhadap masa kini, karena kemampuannya dalam menjelaskan ingatan kolektif yang berhubungan dengan identitas bangsa yang dapat dibanggakan. Oleh karena itu, kata dia, sangat penting adanya penjelasan sejarah yang sesuai dengan bukti-bukti kongkritnya yakni dokumen asli sebagai sumber-sumber primer narasi dan penjelasan sejarah.

Penulisan sejarah (Historiografi) diharapkan bisa menunaikan tugas untuk “mengadili masa lalu, mengajar masa kini, untuk kepentingan masa yang akan datang“. Masalahnya, tulisan-tulisan sejarah (historiografi) yang berkembang di negeri ini memang tidak lebih dari prosopografi dari “orang-orang besar” yang pernah hidup dalam momen-momen besar di masa lalu. Dalam perspektif Sartono Kartodirdjo (1982), umumnya karya sejarah Indonesia itu masih berada dalam suasana kolonial-sentris dan istana-sentris. Meskipun gairah penulisan dan penerbitan karya-karya sejarah tengah mengalami gelombang pasang, namun secara esensi sedikit sekali kemajuan-kemajuan –khususnya secara metodologi– yang bisa dilihat dan dirasakan secara inklusif.

Historiografi Indonesia masih cenderung berada dalam atmosfer kolonial dan istana sentris dengan konsekuensi terciptanya “sejarah tanpa rakyat” (history without people) yang memunculkan keadaan rakyat yang seolah tidak memiliki basis sejarah (people without history). Akibatnya, tidak salah bila rakyat cenderung absen dalam berbagai momentum yang menentukan.

Menurut Guru Besar pada Jurusan Sejarah Universitas Gajah Mada (UGM) Prof. Dr. Bambang Purwanto, menilai bahwa historiografi yang menghadirkan Indonesia secara optimal masih gagal. Menurutnya : “Satu hal yang pasti yang dapat disebut sebagai kegagalan adalah ketidakmampuan tradisi Indonesiasentris menghadirkan masa lalu rakyat secara optimal, sejarah kehidupan sehari-hari, sejarah yang manusiawi, keragaman eksplanasi, keragaman epistemologis, dan tidak mampu lepas dari jeratan warisan sejarah kolonial dan pandangan bahwa sejarah adalah sejarah politik”. Sehingga “Historiografi tanpa rakyat dan masyarakat dan rakyat tanpa sejarah adalah tulisan sejarah yang mengingkari proses menyejarahnya masa lalu itu sendiri”.

Secara kelembagaan, penulisan sejarah adalah tugas sejarawan akademik, kelompok yang sebenarnya mempunyai tanggung jawab terbesar dalam perkembangan historiografi. Alasannya, sejarawan akademis adalah mereka yang paling sadar tentang apa yang dikerjakan, mempunyai pendapat yang penuh pertimbangan tentang yang ditulis, tetapi kenyataannya mereka mungkin yang paling sedikit berproduksi.

~ Kelompok kecil yang “terpilih” selalu diandalkan sebagai “agen perubahan” ~

Aksi sejarah bukan hanya ada pada tulisan sejarah, tetapi aksi sejarah adalah masa kini yang memberikan perubahan di masa depan. Sejarah adalah perubahan, maka merencanakan sejarah adalah merencanakan perubahan masa depan yang tentunya siapapun menginginkan hal yang lebih baik dari masa kini ataupun masa lalu.

Dalam sejarah gerakan politik di Indonesia, pemuda selalu menjadi katalisator yang dapat melakukan perubahan dan mengangkat harkat dan martabat sebagai bangsa yang berdaulat dan demokratis. Kaum muda bukan hanya sebagai agent of change dalam setiap momentum perubahan, akan tetapi merupakan kebutuhan kehadiran pemimpinan muda yang memiliki integritas dan kemampuan dalam memimpin. Kaum muda bukan hanya sebagai alat perubahan yang menjadi pelayan bagi tampilnya pemimpin-pemimpin baru yang tidak memahami spirit perubahan itu sendiri. Anak muda bukan hanya sebagai tumbal revolusi tapi wajib tampil sebagai pemimpin revolusi. (lihat)

Aksi sejarah adalah ~ deus ex machina ~ yang siap mengubah nasib orang. “any active agent who appears unexpectedly to solve an insoluble difficulty“.
Referensi :
Refleksi Tentang Sejarah (Pendapat-pendapat Modern Tentang Filsafat Sejarah, Ankersmit F.R., (Terjemahan Dick Hartoko), Gramedia, Jakarta, 1987.
Gerak Sejarah, Mumuh Muhsin Z, Bahan Ajar Mata Kuliah Filsafat Sejarah II, Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra Unpad, 2007
Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, Al-Khudhari, Zainab, Pustaka, Bandung, 1987.De-Kolonisasi Penulisan Sejarah Indonesia, Muhammad Ilham Blog


Related Posts:

0 Response to "Aksi Sejarah"

Posting Komentar