Masa Lalu yang Membunuh Masa Depan
Buku lawas buah karya Yudi Latif sengaja aku baca kembali, bukan karena Kang Yudi udah jadi selebriti politik yang wara-wiri di layar TV, tetapi karena penasaran melihat judul buku yang selalu mengusik satu pertanya’an tentang apa maksud “Masa lalu yang membunuh masa depan”?. Buku yang diterbitkan oleh Mizan di awal masa reformasi tahun 1999 dengan sub judul “Krisis Agama, Pengetahuan, dan Kekuasaan dalam Kebudayaan Teknokrasi”.
Jangan-jangan ada cerita besar di balik kata “masa lalu” ini, pengantar Kang Yudi atas judul buku yang dipilih sobatnya Idi Subandy Ibrahim. Di setiap masyarakat memang kerap terjadi gap antar generasi. Di banyak tempat, kesilaman (senioritas), misalnya, sering dijadikan sebagai kebenaran dan legitimasi. Demi sukses karier kesenimanan atau kecendikiawanan, seseorang tidak cukup mengandalkan qua kualitas, tetapi perlu ditopang oleh faktor ”kecemerlangan karena berhubungan”. Yang muda perlu menjalin patronase dengan ”singa-singa tua”, pemberi tuah kredibilitas. Tetapi dalam kasus Indonesia, mengapa persoalan masa lalu menjadi lebih rumit, mengapa menjadi kata kunci dari banyak kekecewaan?.
Problem Indonesia adalah problem ingatan. Ketika sebuah rezim tumbang, visi politik tidak diarahkan untuk memenangkan masa depan, melainkan ditarik mundur ke belakang, ke arah ”kutukan” masa lalu. Masa lalu dalam ingatan kita, bukanlah sekedar reservoir dari pengalaman ”mentah” praktik politik, yang harus diteorisasikan dari keberjarakan dan terang perspektif hari ini. Masa lalu, dengan segala pahit getir ingatan terpinggirkan, adalah sumber pencarian identitas diri, suatu jangkar bagi historical self-invention. Ingatan, dengan demikian adalah jembatan yang perlu tapi berbahaya antara pengalaman getir masa silam dengan persoalan identitas kultural.
Diantara kegetiran ”masa lalu yang membunuh masa depan”, Kang Yudi masih memiliki optimisme ” masa lalu bukanlah kutukan, dengan sikap yang lebih arif, ia bisa menjadi bahan pelajaran, sekaligus ukuran bagi gerak maju ke masa depan. Pengalaman buruk bukanlah untuk ditekan dan dimusuhi, tetapi untuk dikenang dan didamaikan”.
Bagaimanapun, orang yang hidup tanpa kenangan atau ingatan adalah ibarat patung, batu atau tubuh tanpa jiwa. Namun, orang yang hidup dengan kenangan akan masa lalu yang terluka memang terasa perih. Keperihan sejarah inilah yang direkam oleh Kang Yudi dalam ”kontemplasi” anak negeri yang lahir dan dibesarkan oleh orde yang menjadikan masa lalu sebagai landasan legitimasi sebuah kekuasaan, sumber kutukan bahkan ”teror kognitif” yang melumpuhkan ingatan. Masa lalu menjadi sebuah proyek yang direkayasa dalam mesin giling pembengkokan sejarah semata-mata untuk menopang status quo. Ingatan, imajinasi, dan kesadaran dengan pelbagai cara ditaklukan oleh ”rezim kebenaran” dibalik terali kenangan yang berlumuran darah.
Kata Ali Syari’ati, jika kita mau melihat masa depan suatu masyarakat, maka kita harus melihat pada karakteritik kelompok ”para pemikir yang tercerahkan”. Merekalah yang bakal membentuk masa depan. Siapa mereka? Ali Syaria’ti menyebutnya raushanfekr, kelompok yang bukan kelompok masa bukan pula kelompok elite, mereka memiliki pengetahuan yang tinggi, memiliki gagasan-gagasan yang menyimpang dari mainstrem, melenceng dari Zeitgeist, dari nada zaman dan kontroversial yang sering membuat ”merah kuping” banyak kalangan.
Hipotesis Syaria’ti ada benarnya. Dalam konteks Indonesia misalnya kelompok inilah yang selalu bertindak sebagai avant garde dalam momentum-momentum penting sejarah perjuangan bangsa. Merekalah yang mengilhami gerakan-gerakan kebangkitan nasional, merekayasa sumpah pemuda, mendesak percepatan proklamasi kemerdekaan, menggayang orde lama, membuat orde baru yang congkak terpental dari sejarah. Celakanya, kelompok ini jualah yang belakangan sering mengilhami dan memotori aksi-aksi mahasiswa, berani melontarkan ”hinaan” terhadap ”bapak-bapak”, doyan mengungkit-ungkit kemapanan, serta terampil membongkar aib banyak pihak. Hingga kemudian mereka pun sering disumpahserapahi, dimusuhi, dan digelari ”anak-anak kurang ajar”.
Lalu, munculah semacam pertanyaan etis; sedemikian besarkah dosa mereka sehingga perlu ”dikucilkan”?. Tidakkah ini juga sebagai kila-kila bahwa logika penguasa seringkali terlalu agung mendefinisikan kualitas generasi masa lalu sebagai cara menutup-nutupi impotensi masa kini serta kiat pembenaran untuk mewariskan (baca:memaksakan) kepentingan-kepentingan kita terhadap generasi masa depan, yang pada akhirnya menganggap tuntutan sebagai ancaman, koreksi sebagai subversi dan kreativitas baru sebagai mempermalukan masa lalu?. Minoritas kreatif yang selalu peduli dan memperingatkan, yang resah dalam ketidakseimbangan, haruskah kita kucilkan? Atas nama masa lalu, tegakah kita membunuh masa depan? Lantas, kalau demikian halnya, masih adakah sisa harapan yang tersimpan di laci impian, bila atas nama ambisi masa lalu orang-orang tega membunuh masa depan?
Seperti kata Khalil Gibran : Mereka lahir dari kamu tetapi bukan milikmu. Mereka adalah putra-putri sang hidup yang melesat ke masa depan.
Sebuah catatan dari membaca buku Kang Yudi Latif ” Masa lalu yang membunuh masa depan”
0 Response to "Masa Lalu yang Membunuh Masa Depan"
Posting Komentar