Membuat Bangsa ini Melek Sejarah
Oleh Reiza D. Dienaputra
Menarik sekaligus menyengat membaca tulisan Y. Herman Ibrahim berjudul, “Kezaliman Dalam Penulisan Sejarah Islam”, yang dimuat harian ini, Rabu (18/2). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995: 556, 1135), zalim yang merupakan akar kata kezaliman memiliki arti yang sama dengan lalim, sehingga kezaliman identik dengan kelaliman. Kelaliman berarti kebengisan, kekejaman, dan ketidakadilan. Dengan pengertian seperti itu, maka jelaslah tulisan Bung Herman Ibrahim menjadi penting ditanggapi, terlebih manakala menyinggung tentang eksistensi ilmu sejarah dan komunitas sejarawan.
Bila dicermati dengan baik, setidaknya ada empat hal penting yang menjadi substansi tulisan Bung Herman Ibrahim. Pertama, tudingan bahwa ilmu sejarah adalah ilmu yang paling tidak ilmiah. Kedua, menggugat tentang kezaliman dalam penulisan sejarah nasional yang tidak memberikan tempat semestinya kepada Islam, bahkan dipandang Bung Herman Ibrahim sebagai anti dan menegasikan Islam. Ketiga, tudingan bahwa metodologi sejarah sarat kepentingan kekuasaan. Keempat bahwa ilmuwan sejarah bisu atau membisukan diri atas penulisan sejarah, yang tidak berpihak kepada kebenaran.
Tudingan bahwa ilmu sejarah merupakan ilmu yang paling tidak ilmiah lahir dari vonis, didasarkan atas tiga konsepsi Bung Herman Ibrahim tentang parameter ilmiah yakni, objektif, proses, atau hasilnya harus terukur secara kualitatif maupun kuantitatif, dan kebenarannya dapat dibuktikan secara empiris atau paling tidak secara laboratoris. Parameter Bung Herman Ibrahim tentang konsep ilmiah, sebenarnya sangat menantang untuk diperdebatkan dan digugat, terutama bila didekati dari ranah filsafat. Namun, karena keterbatasan ruang, satu komentar singkat perlu dikemukakan bahwa parameter tersebut terlalu sederhana, untuk tidak mengatakan terlalu tendensius, sehingga bila itu diterima sebagai satu ukuran untuk menyatakan sesuatu ilmiah atau tidak ilmiah, akan banyak ilmu lain yang nasibnya sama atau bahkan lebih tragis dari ilmu sejarah. Bisa jadi, satu di antaranya ilmu yang digeluti Bung Herman Ibrahim. Konsekuensinya, Bung Herman Ibrahim, mau tidak mau, harus berapologi pula dengan ilmuwan di luar ilmu sejarah.
Rekonstruksi sejarah
Di dalam ilmu sejarah dikenal adanya dua konstruk. Pertama, sejarah dalam arti objektif atau sebagai peristiwa. Kedua, sejarah dalam arti subjektif atau sebagai satu kisah. Konstruk pertama, dengan demikian merupakan peristiwa sejarah itu sendiri. Konstruk kedua adalah sejarah sebagai satu hasil rekonstruksi atas peristiwa yang telah atau pernah terjadi.
Satu peristiwa sejarah baru dapat direkonstruksi, apabila peristiwa tersebut meninggalkan jejak berupa sumber sejarah. Ada empat jenis sumber sejarah, tulisan, lisan, benda, dan sumber visual. Tanpa adanya sumber sejarah, mustahil satu sumber sejarah dapat direkonstruksi. Dengan demikian, satu rekonstruksi sejarah haruslah selalu didasarkan atas sumber-sumber sejarah. Tidak ada sejarah yang didasarkan atas alkisah, konon, atau katanya. “The historian works with documents…There is non substitute for documents: no documents, no history”, begitu ujar Charles-Victor Langlois dan Charles Seignobos.
Dalam melakukan rekonstruksi sejarah, ada empat tahapan kerja yang perlu dilalui sejarawan, yakni tahapan heuristik atau pengumpulan sumber. Kedua, tahapan kritik atau seleksi sumber. Ketiga, tahapan interpretasi atau penafsiran fakta sejarah. Keempat, tahapan historiografi atau penulisan sejarah.
Jelaslah bahwa setiap rekonstruksi sejarah atau bangunan kisah sejarah, akan selalu memuat unsur-unsur subjektivitas penulis. Subjektivitas dalam penulisan sejarah, bisa diakibatkan sikap berat sebelah pribadi, prasangka kelompok, ataupun penggunaan teori, dan pendekatan yang berbeda. Untuk meminimalisasi timbulnya subjektivitas dalam penulisan sejarah, sejarawan haruslah mampu melakukan distansiasi (penjarakan) terhadap objek yang ditulisnya. Untuk dapat mendekati seoptimal mungkin objektivitas sejarah, ilmu sejarah memiliki metodologi yang di dalamnya memberi ruang bagi digunakannya konsep, teori, dan pendekatan dari ilmu-ilmu lainnya. Untuk itu, rekonstruksi sejarah bisa didekati dari sosial, politik, ekonomi, budaya, seni rupa dan desain, teknologi informasi, dan sebagainya. Pendekatan tersebut bisa bersifat monodisiplin atau multidisplin.
Mencermati ketatnya alur bagi satu rekonstruksi sejarah, jelaslah apa yang dilihat Bung Herman Ibrahim sebagai kezaliman sejarah nasional terhadap Islam pada dasarnya tidaklah tepat. Penulisan (peran) Islam dalam sejarah nasional hingga saat ini, masih terus berproses dan bila diperhatikan dengan seksama justru memperlihatkan perkembangan yang semakin menggembirakan. Bahkan, bila cerdas membaca sejarah nasional, akan tampaklah bahwa pentas sejarah nasional Indonesia sesungguhnya adalah pentas sejarah Islam Indonesia. Masalah belum utuhnya rekonstruksi sejarah tentang Islam di Indonesia, termasuk contoh-contoh yang diangkat Bung Herman Ibrahim sebagai kezaliman, semata-mata lebih diakibatkan keterbatasan sumber sejarah yang dapat digunakan sebagai bahan dasar rekonstruksi. Selama sumber sejarah tersedia, sangat terbuka kemungkinan dilakukan rekonstruksi atas peristiwa sejarah. Satu peristiwa yang telah menjadi kisah sejarah, baik yang telah tampak utuh dan terlebih yang belum utuh, sangat mungkin berubah konstruksinya apabila ditemukan sumber baru tentang peristiwa tersebut.
Entah sumber apa yang digunakan Bung Herman Ibrahim sehingga menyatakan bahwa usia Sarekat Dagang Islam (SDI) 25 tahun lebih tua dari Boedi Oetomo. Sejauh yang penulis ketahui, berdasarkan sumber-sumber sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan, SDI didirikan Samanhudi pada 16 Oktober 1905. Jadi, kurang lebih tiga tahun sebelum berdirinya BU dan bukannya 25 tahun. Kehati-hatian seperti inilah yang harus dimiliki dalam memahami, membaca, dan menggunakan sumber sejarah.
Upaya membangun sejarah nasional bisa merekonstruksi secara lengkap berbagai peristiwa, yang terjadi di tanah air dan sekaligus mewakili semua aspirasi masyarakat Indonesia. Yang demikian kompleks tentu bukan hal yang mudah. Secara metodologis pun, rekonstruksi sejarah dibangun atas sumber sejarah yang sama bisa jadi akan tampil dengan postur yang berbeda. Jadi, kalaulah terjadi perbedaan kontruksi atau bangunan sejarah atas satu peristiwa sejarah, bukanlah karena metodologinya sarat akan kepentingan kekuasaan tetapi besar kemungkinan adanya pendekatan berbeda dalam merekonstruksi peristiwa sejarah. Tampilan konstruksi yang berbeda dari suatu peristiwa sejarah, sah-sah saja selama rekonstruksi tersebut didasarkan atas sumber-sumber sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Bangunan sejarah nasional bisa dipastikan, senantiasa mengalami pengayaan dan pengembangan seiring dengan ketersediaan dan penemuan sumber sebagai bahan dasar rekonstruksi. Pada ranah akademik, riset-riset yang dilakukan di berbagai perguruan tinggi memiliki Jurusan Sejarah, tentunya pula secara aktif terus dilakukan para sejarawan. Substansi produk riset tidak saja berupa konstruksi kisah sejarah atas berbagai peristiwa yang belum terungkap, baik lokal maupun nasional, tetapi tidak sedikit yang berupa pengkajian kembali atas berbagai peristiwa sejarah telah direkonstruksi tetapi masih menyisakan banyak pertanyaan dan keraguan. Dari kenyataan tersebut, yakinlah bahwa sejarawan tidak bisu atau membisukan diri atas kebenaran sejarah. Para sejarawan terus bekerja dan berupaya menampilkan rekonstruksi sejarah yang utuh.
Realitas amnesia sejarah yang kini menghinggapi bangsa besar ini, tidak terkecuali para pemimpinnya, menjadikan perjuangan para sejarawan untuk membuat bangsa ini melek sejarah menjadi semakin terjal dan berliku. Untuk itu, agar dapat memahami dengan baik postur ilmu sejarah dan atmosfir yang berkembang di kalangan sejarawan, ada baiknya Bung Herman Ibrahim memperbanyak interaksi dengan sejarawan dan karya-karya sejarawan. Sudah banyak buku yang dihasilkan, sudah banyak peristiwa sejarah yang berhasil direkonstruksi, dan tentunya sudah banyak peristiwa sejarah yang dikaji kembali sebagai akibat ditemukannya sumber-sumber baru. Dengan cara itu, mudah-mudahan Bung Herman Ibrahim tidak lagi bersikap lalim terhadap ilmu sejarah dan para sejarawan. Apa pun, Bung Herman Ibrahim, terima kasih atas cemetinya. Terima kasih pula atas kecintaannya terhadap sejarah. Salam!***
Penulis, Lektor Kepala pada Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.
0 Response to "Membuat Bangsa ini Melek Sejarah"
Posting Komentar