Macam-macam Shalat Sunnah


Shalat Sunnah Rawatib
A. Sunnah Rawatib Muakkadah dan Ghairu Muakkadah
Shalat sunnah rawatib yang selalu dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah :
1. Dua rakaat sebelum zhuhur
2. Dua rakaat sesudah zhuhur
3. Dua rakaat sesudah maghrib
4. Dua rakaat setelah ‘Isya’
5. Dua rakaat sebelum shubuh.

Adapun yang selain itu memang tidak menjadi kebiasaan beliau meski tetap ada dalil masyru’iyahnya. Derajat kesunnahannya sedikit di bawah yang 10 rakaat itu namun tetap berpahala dan menjadi dari ibadah tambahan yang bila dikerjakan akan memberikan nilai tambah tersendiri. Pada dasarnya semua sholat rawatib adalah dianjurkan hanya saja para ulama membaginya menjadi dua bagian; sholat sunnah Mu’akkadah dan sholat sunnah Ghair Mu’akkadah. Yang termasuk sholat rawatib mu’akkadah adalah dua rakaat sebelum shubuh, dua rakaat atau empat rakaat sebelum Dzuhur dan dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah Maghrib, dua rakaat setelah Isya.

Dari Ummu Habibah Ramlah Ra ia berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada seorang hamba muslim yang melaksanakan sholat karena Allah dalam setiap hari dua belas rakaat berupa tathowwu’ bukan sholat fardhu melainkan Allah akan membangunkan bagi orang tersebut sebuah istana di surga atau melainkan akan dibangubn bagi orang tersebut istana di surga” (HR. Muslim No. 728)

Sedangkan yang dimaksud dengan sholat rawatib ghair mu’akkaddah dan sebagian ulama menyebutnya sebagai sholat sunnah muthlaqah adalah

a. Dua rakaat sebelum Ashar.
Dari Abdullah bin Mughaffal Ra ia berkata: Nabi SAW bersabda: “Diantara adzan dan iqomah ada sholat, diantara adzan dan iqomah ada sholat (kemudian dikali ketiga beliau berkata:) bagi siapa yang mau” (HR. Bukhari No. 627 dan Muslim No. 838)

b. Dua rakaat sebelum Maghrib
Dari Abdullah bin Mughaffal Ra dari Nabi SAW bersabda: “Shalatlah kalian sebelum Maghrib (beliau mengulangnya tiga kali). Diakhirnya beliau bersabda: Bagi siapa saja yang mau melaksankannya. Beliau takut hal tersebut dijadikan oleh orang-orang sebagai sunnah. (HR. Bukhori No. 1183)

Dan dalam riwayat Abu Daud : “Sholatlah kalian sebelum Maghrib dua rakaat”. Kemudian beliau bersabda: “Sholatlah kalian sebelum Maghrib dua rakaat bagi yang mau” Beliau takut prang-orang akan menjadikannya sholat sunnah. (HR. Abu Daud No. 1281)

Dari Abdullah bin Mughaffal Ra ia berkata: Nabi SAW bersabda: “Diantara adzan dan iqomah ada sholat, diantara adzan dan iqomah ada sholat (kemudian dikali ketiga beliau berkata:) bagi siapa yang mau” (HR. Bukhari No. 627 dan Muslim No. 838)

c. Dua rakaat sebelum Isya.
Dari Abdullah bin Mughaffal Ra ia berkata: Nabi SAW bersabda: “Diantara adzan dan iqomah ada sholat, diantara adzan dan iqomah ada sholat (kemudian dikali ketiga beliau berkata:) bagi siapa yang mau” (HR. Bukhari No. 627 dan Muslim No. 838)

B. Keutamaan Shalat Sunnah Rawatib
Ada sejumlah keterangan dari Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang keutamaan melaksanakan sholat sunah rawatib. Antara lain:
Dari Aisyah Ra dari Nabi SAW belaiu bersabda: “Dua rakaat fajar (qbliyah shubuh) adalah lebih baik dari dunia dan segala isinya” (HR. Muslim No. 725)

Dari Ummu Habibah Ramlah Ra ia berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada seorang hamba muslim yang melaksanakan sholat karena Allah dalam setiap hari dua belas rakaat berupa tathowwu’ bukan sholat fardhu melainkan Allah akan membangunkan bagi orang tersebut sebuah istana di surga atau melainkan akan dibangubn bagi orang tersebut istana di surga” (HR. Muslim No. 728)

Dari Ummu Habibah Ra dari Nabi SAW beliau bersabda: “Barangsiapa yang melaksankan sholat sebelum dzuhur empat rakaat (qabliyah dzuhur) dan setelahnya empat rakaat (ba’diyyah dzuhur) Allah akan mengharamkan orang tersebut masuk neraka” (HR. Abu Daud/shohih sunan Abu Daud No. 1130, Tirmidzy/shohih sunan Tirmidzi No. 352, Nasai/shohih sunan An-Nasai No. 1708 dan Ibnu Majah/shohih sunan Ibnu Majah No. 951)

Demikianlah sebagian dalil dari hadis yang menjelaskan tentang fadhilah melaksanakan sholat rawatib, baik qabliyah maupun ba’diyyah.

C. Hukum Berpindah Tempat
Ada sejumlah riwayat yang menjelaskan bahwa berpindah tempat ketika akan melaksanakan sholat rawatib, baik qabliyah maupun ba’diyyah adalah disunahkan.
Bahkan lebih afdholnya lagi, sholat sunnah rawatib dilaksanakan di dalam rumah sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dari Zaid bin Tsabit Ra sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda:
“Sholatnya seseorang di rumahnya adalah lebih baik daripada sholatnya di masjidku ini keculai sholat fardhu” (HR. Abu Daud/Shaih sunan Abi Daud N0.22)

Dari Al-Mughiroh bin Syu’bah Ra, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Seorang imam tidak boleh sholat di tempat dimana ia sholat sehingga ia berpindah tempat” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Dari Abu Hurairoh Ra dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Apakah kamu merasa lemah (keberatan) apabila kamu sholat untuk maju sedikit atau mundur, atau pindah ke sebelah kanan atau ke sebelah kiri ?” (HR. Ibnu Majah)

Hadits-hadits di atas menunjukan bahwa berpindah tempat ketika melaksanakan sholat adalah masyru’
Dan diantara alasan disyariatkanya hal tersebut adalah untuk memperbanyak tempat sujud atau ibadah, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Bukhori dan Al-Baghowi. Karena tempat-tempat ibadah tersebut akan memberi kesaksian di hari akhir nanti sebagaimana firman Allah Swt:”Pada hari itu bumi menceritakan khabarnya“ (QS. Al-Zalzalah : 4)

Penejelasan ini dapat anda rujuk pada kitab ‘Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Daud 2/227-228.
Namun jika masjid atau musholanya sempit, bisa saja seseorang meminta jamaah yang lain untuk bergeser ke tempatnya dan melaksanakan sholat sunnah rawatib di tempatnya. Tetapi jika memang tidak memungkinkan juga untuk bertukar tempat, maka tidak mengapa untuk melaksanakan sholat rawatib di tempat yang sebelumnya digunakan untuk melaksanakan sholat fardhu.

Shalat Tarawih
Jumlah Rakaat
Hadits tentang sholat tarawih 20 rakaat memang bukan sekedar dhaif jiddan tapi sampai pada derajat mungkar, matruk dan maudhu‘.
Teks hadis ini adalah dari Ibn Abbas, ia berkata:
“Nabi SAW melakukan shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan witir”.

Hadis ini diriwayatkan Imam al-Thabrani dalam kitabnya al-Mu‘jam al-Kabir. Dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman yang menurut Imam al-Tirmidzi, hadis-hadisnya adalah munkar. Imam al-Nasa‘i mengatakan hadis-hadis Abu Syaibah adalah matruk. Imam Syu‘bah mengatakan Ibrahim bin Utsman adalah pendusta. Oleh karenanya hadis shalat tarawih dua puluh rakaat ini nilainya maudhu (palsu) atau minimal matruk (semi palsu).

Tetapi yang jumlahnya delapan pun tidak kurang derajatnya dari yang 20 rakaat.
“Rasulullah SAW melakukan shalat pada bulan Ramadhan sebanyak delapan rakaat dan witir”.

Hadis ini diriwayatkan Ja‘far bin Humaid sebagaimana dikutip kembali lengkap dengan sanadnya oleh al-Dzahabi dalam kitabnya Mizan al-I‘tidal dan Imam Ibn Hibban dalam kitabnya Shahih Ibn Hibban dari Jabir bin Abdullah. Dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama ‘Isa bin Jariyah yang menurut Imam Ibnu Ma‘in, adalah munkar al-Hadis (Hadis-hadisnya munkar). Sedangkan menurut Imam al-Nasa‘i, ‘Isa bin Jariyah adalah matruk (pendusta). Karenanya, hadis shalat tarawih delapan rakaat adalah hadis matruk (semi palsu) lantaran rawinya pendusta. Jadi bila disandarkan pada kedua hadits di atas, keduanya bukan dalili yang kuat untuk rakaat 8 atau 20 dalam tarawih. Namun, perlu diketahui, hal itu bukan berarti shalat delapan rakaat atau dua puluh rakaat itu tidak boleh. Sebab yang dibahas di sini adalah bahwa hadis shalat tarawih delapan rakaat dan hadis tarawih dua puluh rakaat itu kedua-duanya maudhu atau minimal matruk. Jadi shalat tarawih dengan delapan rakaat atau dua puluh rakaat, kedua-duanya boleh dilakukan karena tidak ada keterangan yang konkret tentang jumlah rakaat shalat tarawih Nabi. Keterangan yang shahih, Nabi Saw tidak membatasi jumlah rakaat shalat Tarawih (Qiyam al-Lail). Misalnya hadis riwayat Imam al-Bukhari dari Abu Hurairah r.a dimana Nabi mengatakan, ‘‘Siapa yang shalat pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala Allah, maka allah akan mengampuni dosanya (yang kecil-kecil).‘‘ Dan khusus bagi yang menjalankan shalat tarawih dua puluh rakaat, ada dalil tambahan, yaitu ijma (konsensus) para sahabat Nabi SAW, di mana pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab, Ubay bin Ka‘ab menjadi imam shalat tarawih dua puluh rakaat, dan tidak ada satu pun dari sahabat Nabi yang memprotes hal itu.

Apakah shalat Tarawih Sama Dengan Tahajjud ?
Shalat tarawih dikenal sebagai shalat yang dilakukan pada malam bulan Ramadhan. Dahulu Rasulullah SAW pernah melakukannya di masjid bersama dengan beberapa shahabat. Namun pada malam berikutnya, jumlah mereka menjadi bertambah banyak. Dan semakin bertambah lagi pada malam berikutnya. Sehingga kemudian Rasulullah SAW memutuskan untuk tidak melakukannya di masjid bersama para shahabat. Alasan yang dikemukakan saat itu adalah takut shalat tarawih itu diwajibkan. Karena itu kemudian mereka shalat sendiri-sendiri. Hingga datang masa kekhalifahan Umar bin Khattab yang menghidupkan lagi sunnah Nabi tersebut serayas mengomentari,”Ini adalah sebaik-baik bid‘ah”. Maksudnya bid‘ah secara bahasa yatiu sesuai yang tadinya tidak ada lalu diadakan kembali. Semenjak itu, umat Islam hingga hari ini melakukan shalat yang dikenal dengan sebutan shalat tarawih secara berjamaah di masjid pada malam Ramadhan. Adapun tahajjud atau qiamullail, adalah shalat yang biasa dilakukan Rasulullah SAW baik di malam Ramadhan atau diluar Ramadhan. Dan shalat itu bukan shalat Tarawih itu sendiri. Maka dapat disimpulkan bahwa pada malam Ramadhan, Rasulullah SAW shalat tarawih di awal malam ba‘da isya‘ lalu tidur dan pada akhir malam beliau melakukan shalat tahajjud/lail hingga sahur. Nampaknya hal itu pula yang hingga kini dilakukan oleh sebagian umat Islam di berbagai belahan dunia.

Yang Dibaca Saat Tarawih
Doa atau wirid yang dibaca diantara sela atau jeda di dalam rakaat-rakaat shalat tarawih sebenarnya tidak memiliki dasar masyru`iyah dari Rasulullah SAW. Baik wirid itu dalam bentuk doa atau zikir atau syair-syair yang biasa dilantunkan oleh para jamaah, kesemuanya tidak ada kaitannya dengan apa yang diajarkan langsung oleh Rasulullah SAW maupun para shahabat. Sehingga bila anda mendapati di setiap shalat tarawih ada perbedan bacaan, karena memang tidak ada dasarnya, sehingga masing-masing penyelenggara shalat tarawih berimprofisasi sendiri-sendiri. Terkadang mereka meniru ucapan-ucapan dari tempat lain yang tidak mereka sendiri tidak tahu dasar masyru`iyahnya. Apalagi maknanya sehingga semua itu berlangsung begitu saja tanpa kejelasan hukumnya. Disinilah sesungguhnya kita umat Islam dituntut untuk belajar secara serius tentang praktek ibadah kita langsung dari sumber yang muktamad dan kepada para ulama yang faqih di bidangnya.

Shalat Tarawih Sendirian di Rumah
Sholat tarawih disunahkan untuk dilaksanakan secara berjama’ah sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW . Adapun persolaan kenapa Rasulullah SAW selanjutnya tidak melaksankan sholat tersebut secara berjama’ah bersama para sahabat ?, Berdasarkan sejumlah hadis, hal tersebut dilatarbelakangi kekhawatiran Rasulullah SAW bahwa sholat tarawih tersebut akan difardukan kepada kaum muslimin.

Dari Aisyah Ra sesungguhnya Rasulullah SAW pada suatu malam pernah melaksankan sholat kemudian orang-orang sholat dengan sholatnya tersebut, kemudian beliau sholat pada malam selanjutnya dan orang-orang yang mengikutinya tambah banyak kemudian mereka berkumpul pada malam ke tiga atau keempat dan Rasulullah SAW tidak keluar untuk sholat bersama mereka. Dan di pagi harinya Rasulullah SAW berkata: “Aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar (sholat) bersama kalian kecuali bahwasanya akau khawati bahwa sholat tersebut akan difardukan” Rawi hadis berkata: Hal tersebut terjadi di bulan Ramadhan” (HR. Bukhori 923 dan Muslim 761)

Dan sekarang kekhawatiran tersebut telah hilang dengan wafatnya Rasulullah SAW setelah Allah SWT menyempurnakan syariat-Nya. Dengan demikian, hilang pula Al-Ma’lul yaitu meninggalkan jama’ah dalam Qiyam Ramadhan dan hukum yang terdahulu berlaku lagi yakni disyariatkanya sholat tersebut berjama’ah sebagaimana yang dihidupkan kembali oleh Umar Ra.

Permasalahan selanjutnya apakah tarawih secara berjama’ah adalah bid’ah? Sebelum kita membahas masalah tersebut, kita perjelas makna bid’ah terlebih dahulu. Sheikh Ali Mahfudz di dalam kitabnya Al Ibda` fi Madharil Ibtida` berkata bahwa bid`ah bisa ditinjau dari segi bahasa dan istilah. Dari segi bahasa ia bermakna: `Segala sesuatu yang diciptakan dengan tidak didahului contoh-contoh`Sedangkan menurut istilah adalah sebagai berikut:`Bid`ah ialah suatu ibarat yang berkaitan dengan masalah-masalah agama. Dilakukannya menyerupai syariat dengan cara yang berlebihan dalam mengabdikan kepada Allah swt.` Dari definisi di atas, tidaklah tepat jika kita mengatakan bahwa sholat tarawih berjama’ah setelah isya adalah bid’ah karena beberapa alasan:

Pertama: Sholat tarawih adalah termasuk sholat sunah malam dan pelaksanaannya boleh dilaksanakan setelah pelaksanaan sholat isya sampai terbit fajar atau sholat shubuh. Meskipun memang waktu yang paling utama adalah sepertiga malam terakhir. Zaid bin Wahab berkata: “Abdulloh pernah melaksankan sholat Qiyam ramadhan bersama kami dan pulang di waktu malam (Ini menunjukkan pelaksanaannya di permulaan malam)” (HR. Abdurrazaq No 7741 dan sanadnya Shahih)

Kedua: Sebagaimana kami kemukakan di atas, sholat tarawih disunahkan dilaksanakan secara berjama’ah sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan dihidupkan kembali oleh Umar ra. Kemudian jika ada yang bertanya lebih afdhol mana sholat tarawih sendiri di sepertiga malam terakhir dengan sholat tarawih berjama’ah ba’da isya? Husen Al-Uwaesyah mengutip perkataan Al-Bani berpendapat:
“Jika permasalah berkisar anta sholat di permulaan malam secara berjama’ah dan sholat diakhir malam sendirian maka sholat secara berjama’ah adalah lebih utama karena ia kan dihitung melaksankan sholat sepanjang malam” (Al-Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassaroh II/149).

Shalat Tahajjud
Sholat sunnah yang dilaksanakan di waktu malam hari, memiliki sejumlah nama. Ia bisa disebut qiyamul lail sesuai dengan pelaksanaan waktunya malam hari, sholat tahajjud kalau dilaksanakan setelah tidur dahulu, karena kata tahajjud dalam bahasa Arab berarti bergadang, atau sholat witir karena jumlah rakaatnya ganjil.
Jadi kalau ada pendapat yang menyatakan bahwa sholat tahajjud boleh dilaksanakan sebelum tidur, pendapat tersebut adalah benar karena inti dari sholat tahajud dan qiyamul lail adalah sama. Hanya saja secara bahasa mungkin kurang tepat. Meskipun sholat malam boleh dilaksanakan sebelum tidur –setelah pelaksanan sholat Isya-, akan tetapi waktu yang paling utama untuk melaksanakan sholat malam atau tahajjud ini adalah sepertiga malam terakhir atau menjelang fajar. Hal tersebut berdasrakan sejumlah hadit, antara lain;
Dari Abu Hurairoh RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Rabb kita akan turun setiap malam ke langit dunia ketika sepertiga malam terakhir. Dia pun berfirman: “Barang siapa yang berdo’a pada-Ku, Aku akan mengabulkannya. Barang siapa yang minta pada-Ku, Aku akan memberinya dan barangsiap yang memohon ampunan pada-Ku, Aku akan mengampuninya”(HR. Bukhori 1145, Muslim 758)

Dari Abu Hurairoh RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Kalaulah tidak memberatkan umatku, aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak (menggosok gigi) setiap kali wudhu dan aku akan mengakhirkan sholat Isya sampai sepertiga malam atau setengahnya. Dan apabila telah berlalu sepertiga malam atu setengahnya. Alloh SWT turun ke langit dunia, Dia pun berfirman: “Barang siapa yang berdo’a pada-Ku, Aku akan mengabulkannya. Barang siapa yang minta pada-Ku, Aku akan memberinya dan barangsiap yang memohon ampunan pada-Ku, Aku akan mengampuninya. Adakah orang yang bertaubat sehingga pasti Aku menerima taubatnya” (HR Ahmad)

Dari Abdullah bin Amr ian berkata: Rasulullah SAW berkata padaku: “Shaum yang paling dicintai oleh Alloh adalah shaum Daud, beliau shaum satu hari dan berbuka tiga hari. Dan sholat yang paling disenangi oleh Allah adalah sholat Daud, beliau tidur sepertengah malam dan sholat sepertiganya dan tidur seperenamnya”(HR Bukhori 3420 Muslim 1159)

Dari Al-Aswad ia berkata: Aku bertanya kepada Aisyah RA; “bagaimana sholat Nabi SAW di waktu malam?” Aisyah berkata: “Beliau biasa tidur di awal malam dan bangun di akhir malam kemudian beliau sholat, kemudian beliau kembali ke tempat tidurnya. Apabila adzan telah berkumandang beliau bangkit. Jika beliau junub, beliau mandi jika tida beliau hanya berwudhu” (HR. Bukhori 1146)

A. Sholat tahajjud lebih diutamakan dilaksanakan pada pertengahan atau sepertiga malam terakhir, Hal tersebut berdasarkan sejumlah hadis antara lain :

Dari Abu Hurairoh RA, sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda: “Rabb kita Tabaaroka Wa Ta’aala turun setipa malam ke langit dunia kita spertiga malam terakhir sambil berfirman : “Siapa yang berdo’a padaku akau akan mengabulkannya, siapa yang meminta padaku aku akan memberikannya dan siapa yang meminta ampunan padaku aku akan mengampuninya” (HR. Bukhori : 1145 dan Muslim : 785)

Dari Abdulloh bin Amr RA, ia berkata: Rasulullah SAW telah bersabda: “Shaum yang paling dicintai Alloh adalah shaum Daud AS, ia shaum satu hari dan berbuka satu hari. Dan sholat yang paling dicintai oleh Alloh adalah sholat Daud AS, ia tidur setengah malam dan beribadah sepertiganya serta tidur lagi seperenamnya” (HR Bukhori : 3420 dan Muslim 1159)

B. Sholat Tahajud diperbolehkan dilaksanakan secara berjama’ah dan imam diperbolehkan untuk mengeraskan bacaannya sebagaimana dalam pelaksanaan sholat qiyam Ramadhan, Hanya saja para ulama mensyaratkan bahwa pelaksanaan sholat malam secara berjamah agar tidak dijadikan suatu kebiasaan dan tidak boleh di tempat yang terkenal dan hal tersebut dilakukan karena kebetulan saja.

Dari Abu Hurariroh Dan Abu Said Al-Khudri RA mereka berkata : Rasulullah SAW telah bersabda: “Apabila seorang laki-laki membangunkan istrinya di waktu malam, maka keduanya sholat atau sholat dua rakaaatberjam,ah, maka keduanya akan dicatat sebagai Adz-Dzakiriin wa Dzakiroot (laki-laki dan perempuan yang selalu mengingat Alloh SWT” (HR Abu Daud : 1288 dan Ibnu Majah 1098)

C. Sholat yang dilakukan oleh orang tersebut adalah sah. Hanya yang perlu anda ketahui adalah banyak sekali pemahaman yang salah mengenai masalah ini. Sebenarnya para ulama tidak membeda-bedakan antara Qiyamul Lail, tahajjud, dan sholat witir. Dinamakan sholat malam, karena memang pelakasannannya adalah malam hari. Disebut tahajjud karena pelaksanaannya dilakukan setelah bangun tidur (tahjjud dalam bahsa arab berarti bergadang) sedang dinamakan sholat witir karena memang jumlah rakaatnya ganjil.

Tahajjud Berjamaah
Kalau kita membolak-balik kitab-kitab fiqih dari setiap mazhab, maka kita mendapati bahwa ternyata para ulama memang berbeda pendapat tentang masalah shalat tahajuud berjamaah ini. Sebagian mereka memakruhkannya dan sebagian lagi membolehkannya. Diantara pendapat yang memakruhkan shalat tahajjud dengan berjamaah adalah para ulama dari kalangan Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi`iyah. Mereka berpendapat bahwa ijtima` (berkumpulnya) manusia untuk menghidupkan malam hanya dibenarkan untuk shalat tarawih di bulan Ramadhan. Di luar itu menurut mereka disunnahkan untuk melakukannya dengan secara sendiri sendiri.

Namun sebaliknya, para ulama dari kalangan Al-Hanabilah membolehkan untuk melakukan shalat tahajjud dengan cara berjamaah yang terdiri dari banyak orang. Meski demikian, mereka tetap membolehkan untuk melakukannya dengan sendiri-sendiri. Hal itu karena Rasulullah SAW pernah melakukannya dengan berjamaah dan juga pernah melakukannya dengan sendiri. Namun bila dihitug-hitung, memang benar bahwa frekuensi dimana Rasulullah SAW shalat tahajjud sendirian lebih banyak dibadingkan dengan berjamaah. Rasulullah SAW pernah melakukannya sekali dengan Huzaifah, sekali dengan Ibnu Abbas, dan sekali dengan Anas dan ibunya. Sehingga Al-Malikiyah memberikan kesimpulan bahwa bila jamaah shalat tahajjud itu tidak terlalu banyak dan bukan di tempat yang masyhur, hukumnya boleh tanpa karahah. Sedangkan bila ada dalil yang yang membid’ahkan untuk menghidupkan malam dengan shalat tahajjud berjamaah, maka hukumnya tidak tidak dianjurkan. Seperti shalat tahajjud berjamaah pada malam nisfu sya’ban atau malam asyuro’. Sedangkan untuk membid’ahkannya, para ulama tidak ada yang sampai melakukannya, kecuali hanya memakruhkan saja. Karena tuduhan bid’ah itu lumayan dahsyat sehingga biasanya para ulama tidak terlalu mudah untuk mengeluarkannya kecuali memang benar-benar sudah melampaui batas. Apalagi masih ada riwayat dimana Rasulullah SAW pernah berjamaah ketika melakukan shalat tahajjud. Semoga kita semua terhindar dari fitnah lisan dan dari sikap terlalu mudah membid’ahkan orang lain sebelum mendapatkan ilmu dan keterangan yang yakin.

Shalat `Iedul Fithri dan `Iedul Adha
I. Hukum Shalat 'Ied
Sholat sunnah Ied menurut jumhur ulama hukumnya adalah sunnah mu’akkadah. Hal ini dikarenakan Rasulullah SAW selalu melaksanakan sholat sunah tersebut dan tidak pernah meninggalkannya. Bahkan dalam salah satu hadis Rasulullah SAW memerintahkan agar semua wanita baik itu yang haidh, yang dipingit, dan budak belian agar berangkat ke tempat pelaksanaan sholat Ied. Semua itu menujukkan bahwa hukum shoat Ied adalah sunnah mu’akkadah.

وَعَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : { أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ الْعَوَاتِقَ ، وَالْحُيَّضَ فِي الْعِيدَيْنِ : يَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ ، وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ الْمُصَلَّى } . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Ummu ‘Athiyyah Ra ia berkata: “Rasulullah SAW memerintahkan kepada kami untuk mengeluarkan pada hari Iedul Fithri dan Iedul Adhaa: Wanita-wanita yang dipingit, Wanita-wanita dan Hamba sahaya. Adapaun wanita-wanita yang sedang haidh hendaklah mereka menjaughi tempat sholat dan menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin” Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, salah seorang diantara kami tidak memiliki jilbab” Beliau menjawab: “Hendaklah saudaranya memberikan pakaian kepadanya” (HR. Bukhori 324 dan Muslim 890)

وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : { كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ } . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Ibnu Abbas Ra ia berkata: “Aku pernah menyaksikan sholat Ied bersama Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar dan Utsman Ra. Dan mereka semuanya melaksanakan sholat sebelum khutbah” (HR. Bukhari No. 989 dan Muslim 884)

Dari Abu Umair bin Anas bin Malik ia berkata: “Paman-pamanku dari kalangan Anshor yang termasuk sahabat Rasulullah SAW pernah menceritakan padaku: Mereka berkata : “Hilal bulan Syawal pernah tertutupi sehingga kami tidak bisa melihatnya, kemudian besoknya kami melaksanakan shaum, kemudian menjelang sore datang sekelompok kafilah dan bersaksi di hadapan Nabi SAW bahwa mereka melihat hilal kemarin. Maka Rasulullah SAW memerintahkan mereka untuk berbuka dan pergi untuk melaksankan sholat Ied esok harinya” (HR. Abu Daud/ Shohih Sunan Abi Daud No. 1026 dan Ibnu Majah/Shohih Sunan Ibnu Majah No. 634)

II. Waktu Pelaksanaan Sholat
Sholat Iedul fitri dilaksanakan pada saat matahari telah meninggi seukuran dua tumbak sedangkan pelaksanaan sholat iedul Adha dilakukan lebih awal, yaitu seukuran satu tombak.
Dari Abdullah bin Bisr Ra, bahwasanya ia pernah keluar bersama orang-orang untuk melaksanakan sholat iedul fithri dan iedul Adhaa, kemudian ia mengecam imam yang selalu terlambat dan berkata: “Sesunguhnya ketika kami bersama Nabi SAW maka pada saat ini kami telah selesai” dan hal tersebut terjadi ketika sholat sunat dhuha. (HR Abu Daud lihat Shohih Sunan Abu Daud No. 1005)

III. Shifat Sholat
a. Jumlah Rakaat
Jumlah rakaat shalat ied 2 rakaat sebagaimana hadits berikut :

وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى يَوْمَ الْعِيدِ رَكْعَتَيْنِ ، لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهُمَا وَلا بَعْدَهُمَا } . أَخْرَجَهُ السَّبْعَةُ
Dari Dari Ibni Abbas ra bahwa Nabi SAW melakukan shalat 'Ied 2 rakaat, beliau tidak melakukan shalat sebelumnya atau sesudahnya” (HR. As-Sab'ah)

b. Takbir 7 kali dan 5 kali
Dalam pelaksanaan sholat Ied disunahkan untuk melaksanakan takbir 7 kali di rakaat pertama dan 5 kali di rakaat yang kedua.

Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash ia berkata: Nabi SAW bersabda: “Takbir ketika sholat Ied 7 kali di rakaat yang pertama dan 5 kali di rakaat yang kedua” (HR Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi. Lihat Shohih Sunan Abu Daud No. 1020 dan Shohih Sunan Ibnu Majah 1056)

وَعَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ قَالَ : قَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { التَّكْبِيرُ فِي الْفِطْرِ سَبْعٌ فِي الْأُولَى وَخَمْسٌ فِي الْأُخْرَى وَالْقِرَاءَةُ بَعْدَهُمَا كِلْتَيْهِمَا } أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد ، وَنَقَلَ التِّرْمِذِيُّ عَنْ الْبُخَارِيِّ تَصْحِيحَهُ
Dari Amr bin Syu'aib dari ayahnya dan dari kakeknya radhiyallahu 'anhum berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Takbir di sholat Iedul Fithri tujuh kali di rakaat pertama dan lima kali di rakaat yang kedua. Dan membaca ayat Al-Quran sesudah takbir pada keduanya” (HR Abu Daud, lihat Shohih Sunan Abu Daud No. 1018)

Menurut Imam Malik ra dan Auza’i tidak disunnahkan untuk membaca zikir apapun di antara takbir-takbir tersebut karena tidak ada keterangan dari Rasulullah SAW yang menyatakannya. Namun Imam Abu Hanifah ra dan Imam As-Syafi’i ra menyunnahkan untuk membaca zikir di antara takbir itu dengan lafaz yang tidak ditentukan.

c. Tidak Disyariatkannya Sholat sunnah, baik sebelum atau sesudahnya.

وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى يَوْمَ الْعِيدِ رَكْعَتَيْنِ ، لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهُمَا وَلا بَعْدَهُمَا } . أَخْرَجَهُ السَّبْعَةُ
Dari Ibnu Abbas Ra, berkata : “Sesungguhnya Nabi SAW keluar untuk melaksanakan sholat Ied, kemudian beliau melaksankan sholat dua rakaat (sholat Ied), beliau tidak melaksanakan sholat apapun baik sebelum atau sesudahnya dan Bilal Ra ada bersama beliau” (HR. Bukhari 989 dan Muslim 884)

d. Tidak Disyariatkan Adzan dan Iqomah Ketika Sholat Ied.
Dalam pelaksanaan sholat Ied, tidak disyariatkan dikumandangkannya adzan, iqomah maupun bentuk panggilan-panggilan yang lainnya.

وَعَنْهُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الْعِيدَ بِلَا أَذَانٍ ، وَلَا إقَامَةٍ } . أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد ، وَأَصْلُهُ فِي الْبُخَارِيِّ
Dari Ibnu Abbas ra berkata bahwa Nabi SAW melaksanakan sholat Ied tanpa ada adzan maupun iqomah” (HR. Abu Daud dan berasal dari Bukhari)

Dari Jabir bin Samuroh Ra ia berkata: “Aku pernah melaksanakan sholat Ied bersama Rasulullah SAW bukan sekali atau dua kali, tanpa ada adzan maupun iqomah” (HR Muslim 887)

e. Dilanjutkan dengan 2 khutbah
Khutbah Idul Fithri dan Idul Adha sebenarnya tidak berbeda dengan khutbah jumat. Kecuali memang ada beberapa hal yang berbeda hukumnya. Ada beberapa urusan yang diwajibkan dalam khutbah Jumat namun tidak diwajibkan dalam khutbah Ied.

وَعَنْهُ قَالَ : { كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إلَى الْمُصَلَّى وَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ - وَالنَّاسُ عَلَى صُفُوفِهِمْ - فَيَعِظُهُمْ وَيَأْمُرُهُمْ } . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Bahwa Nabi SAW keluar pada hari 'Iedul Fithr dan 'Iedul Adha ke mushalla, beliau memulai pertama kali dengan shalat, kemudian beranjak dan berdiri menghadap orang-orang, sementara orang-orang masih dalam shaf masing-masing, beliau menasehati mereka dan memerintahkan mereka.

Para ulama Asy-Syafi`iyah menyebutkan bahwa dalam masalah keharusan duduk antara dua khutbah, bila pada khutbah Jumat diharuskan ada duduk antara dua khutbah, maka pada khutbah Ied tidak diwajibkan untuk duduk diantara dua khutbah, hanya disunnahkan. Begitu juga bila dalam khutbah Jumat, disyaratkan kondisi imam yang suci dari hadats kecil (dalam keadaan berwudhu’), dalam khutbah Ied tidak disyaratkan. Begitu juga dengan berdiri, bila pada khutbah diwajibkan untuk berdiri saat menyampaikan khutbah, maka pada khutbah Ied tidak diwajibkan, hanya disunnahkan. (Silahkan periksa pada kitab Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu oleh Dr. Wahbah Zuhaili hal 1405). Dengan demikian, bila dalam kesempatan khutbah Idul Fitri maupun Idul Adh-ha, Anda mendapati ada khatib yang khutbah hanya sekali, hukumnya boleh karena hanya sunnah saja. Namun tentu saja lebih baik bila khutbah itu dilakukan secara lengkap dengan sunnahnya.

IV. Tempat Shalat `Ied
Para fuqoha telah sepakat bahwa semua tempat yang bersih dan bisa menampung jama’ah yang banyak jumlahnya bisa dipergunakan sebagai tempat untuk melaksankan sholat Ied. Baik itu di Masjid atau di tanah lapang. Namun demikian, mereka menyatakan pelaksanaan sholat tersebut di tanah lapang adalah lebih utama.
Dari Ummu ‘Athiyyah RA ia berkata: “Rasulullah SAW memerintahkan supaya kami mengeluarkan di hari Iedul Fitri dan Iedul Adha, para gadis yang belum menikah, wanita-wanita haidh dan wanita-wanita dalam pingitan. Adapun wanita yang sedang haidh diperintahkan untuk menjauhi tempat sholat, supaya mereka dapat menyaksikan kebaikan dan da’wah kaum muslimin”. Aku bertanya : “Wahai Rasulullah salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab?” Beliau menjawab: “Hendaklah saudaranya yang perempuan memakaikan jilbab untuknya” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hanya saja fuqoha madzhab Syafi’i menyatakan bahwa keutamaan sholat 'Ied di tanah lapang berlaku jika memang masjid yang biasa digunakan untuk melakukan shalat terlalu sempit. Tetapi jika masjid tersebut adalah luas, maka melaksanakan shalat di masjid adalah lebih utama sebagaimana yang biasa dilakukan di Masjidil Haram. Karena masjid adalah lebih bersih dan lebih mulia. (Al-Mausu’ah Al-Fiqghiyyah 27/245). Sedangkan kebiasan membaca tahlilan seusai melaksanakan sholat 'Ied, belum kami dapatkan dalil yang sharih dan tegas yang menyatakan pensyariatan hal tersebut. Oleh karena itu kami sarankan anda untuk tidak melakukannya sampai ada keterangan yang shohih dari Rasulullah SAW, bahwa beliau pernah melakukan atau memerintahkan hal tersebut.Sedangkan yang disyariatkan setelah pelaksanaan sholat Iedain tersebut adalah mengucapakan tahni'ah Ied sebagaimana diriwayatakan dari Jubair bin Nufair Ra, ia berkata: “Para sahabat Nabi SAW apabila bertemu di hari raya (Ied) sebagian dari mereka berkata kepada yang lain: “Taqobbalallohu Minnaa Wa Minkum (Semoga Alloh menerima ibadah kita semua)” (HR Al-Muhamili)

Tertinggal / Masbuk Pada Shalat Ied
Salah satu yang membedakan shalat ‘Ied dengan shalat lainnya adalah adanya beberapa kali takbir di awal rakaat. Baik rakaat pertama atau pun rakaat kedua. Di dalam hadits Rasulullah SAW, memang ada disebutkan masalah ini :

Dari Katsir dari Ayahnya dari Kakeknya bahwa Rasulullah SAW dalam shalat Iedain dalam rakaat pertama melakukan takbir 7 kali sebelum qiraah dan dalam rakaat kedua bertakbir 5 kali sebelum qiraah.(HR. Turmuzi, Abu Daud, Ibnu Majah)

Juga ada keterangan yang menyebutkan bahwa disunnahkan untuk mengangkat tangan pada saat takbir-tabkir itu dilakukan. Dalilnya adalah :

Dari Umar ra berkata bahwa Rasulullah SAW mengangkat tangan pada setiap takbir dalam shalat ‘Ied.(HR. Baihaqi dalam hadits mursal dan munqathi’)

Sedangkan pada setiap jeda antara satu takbir dengan takbir lainnya, disunnahkan untuk membaca tasbih, tahmid dan tahlil seperti lafaz ‘Subhanallah, walhamdulillah, walaa ilaha illallah). Lafaz ini juga dikenal dengan istilah ‘al-baqiyatush shalihat’. Sebuah istilah yang ada dalam ayat Al-Quran Al-Karim :

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi ‘al-baqiyatush shalihat’(amalan-amalan yang kekal lagi saleh) adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.(QS. Al-Kahfi : 46)

Kasus Makmum Ketinggalan Takbir
Dalam mazhab Al-Malikiyah disebutkan bahwa bila seorang makmum ketinggalan dalam mengikuti imam dalam takbir shalat ‘Ied, maka selama imam masih bertakbir, hendaknya dia diam saja dan baru bertakbir saat imam sudah selesai membaca takbir atau sudah mulai membaca Al-fatihah. Tetapi bila seorang makmum bergabung dengan shalat sebagai masbuk, dimana imam sudah selesai bertakbir dan sudah membaca Al-Fatihah atau ayat Al-Quran Al-Karim, maka dia boleh bertakbir sendiri setelah takbiratul ihram lalu mengikuti imam. Hal seperti juga dikerjakan bila dia tertinggal satu rakaat dan baru ikut shalat dengan imam pada rakaat kedua. Khusus bagi makmum yang tertinggal dua rakaat, yaitu yang tidak sempat ikut rukuk bersama imam pada rakaat kedua, maka makmum itu harus mengqadha’ sendirian shalatnya itu dengan melakukan shalat dua rakaat setelah imam selesai salam. Juga dengan bertakbir 6 kali di rakaat pertama dan 5 di rakaat kedua. (Mazhab Al-Malikiyah berpendapat bahwa takbir pada rakaat pertama itu 6 kali selain takbirtaul ihram). Dalam mazhab Asy-Syafi`iyah disebutkan bahwa orang yang masbuk di dalam shalat ‘Ied atau tertinggal sebagian shalat hendaknya bertakbir pada saaat setelah selesai mengqadha’ apa yang dia tertinggal. Dalam mazhab Al-Hanabilah disebutkan bahwa makmum yang mendapati imam sudah selesai bertakbir atau sudah dalam bertakbir, maka dia tidak perlu bertakbir. Hal yang sama juga bila dia mendapati imam sudah rukuk. Hal itu karena tempat untuk takbir sudah terlewat. Dan makmum yang masbuk bertakbir bila makmum itu sudah menyelesaikan qadha’ atas apa yang tertinggal. Semua itu merupakan kesimpulan dari para ahli ilmu dengan dalil hadits :

Apa yang bisa kamu dapati bersama imam maka shalatlah, sedangkan apa yang terlewat/tertinggal, maka qadha’lah(HR. )

Shalat Dhuha`
A. Pensyariatan Shalat Dhuha`
Shalat dhuha adalah salah satu shalat sunnah yang dianjurkan untuk dikerjakan sebagai shalat tambahan. Hukumnya mustahabbah tapi tidak mencapai sunnah muakkadah. Dasar pensyariatannya adalah hadits berikut ini :

Dari Abu Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Beliau berwasiat kepadaku untuk mengerjakan 3 hal : puasa 3 hari tiap bulan, 2 rakaat shalat dhuha, dan shalat witir sebelum tidur. (HR. Muttaqun `alaihi)

Namun sebagian kalangan Al-Hanafiyah mengatakan bahwa membiasakan shalat dhuha` bukan termasuk hal yang dianjurkan. Alasannya ada beberapa hal, diantaranya adalah :
Karena Rasulullah SAW dahulu semasa hidupnya tidak melakukannya secara rutin. Sehingga tidak ada anjuran bagi kita untuk melakukannya secara rutin juga.
Bila amal sunnah dilakukan secara rutin akan menimbulkan kemiripan dengan shalat wajib. Sehingga hal ini akan menyalahi hukum dasarnya.
Mereka juga mengungkapkan hadits dari Aisyah ra ummul mukminin.

Dari Aisyah ra berkata,"Aku belum pernah melihat Rasulullah SAW shalat dhuha`. (HR. Muttafaqun `alaihi)

Namun sebagian ulama lainnya seperti Abul KHattab mengatakan bahwa dianjurkan untuk merutinkan shalat dhuha` meski hukumnya hanya sunnah. Alasannya ada beberapa faktor, diantaranya adalah :
Karena Rasulullah SAW berwasiat kepada kita untuk melakukannya sebagaimana hadits Abu Hurairah ra di atas.
Selain itu mereka juga mengatakan bahwa amal yang paling dicintai oleh Allah SWT adalah yang dilakukan secara rutin meski hanya sedikit. Sehingga meski Rasulullah SAW sendiri tidak melakukannya bukan berarti tidak dianjurkan untuk melakukannya secara rutin.
Mereka juga mengajukan sebuah hadits meskipun menjadi bahan kritik ahli hadits, yaitu :Siapa yang memelihara untuk mengerjakan shalat dhuha`, maka dosa-dosanya akan diampuni meski seperti buih di laut.

At-Tirmizy mengomentari hadits ini dengan ungkapan : Aku tidak mengenal hadits ini kecuali hanya melalui An-Nahas bin Qahm.

B. Jumlah Rakaat
Jumlah rakaat shalat dhuha tidak dibatasi jumlahnya, sedangkan paling sedikit adalah dua rakaat. Namun ada juga yang berpendapat bahwa bilangan rakaatnya delapan dan dua belas. Semua pendapat itu berdasarkan dalil yang berbeda-beda, diantaranya kami kutipkan dari Fiqih Sunnah Dr. Sayyid Sabiq bab Shalat Dhuha:
Dari Ummu Hani bahwa Rasulullah SAW shalat dhuha 8 rakaat dan bersalam tiap dua rakaat. (HR Abu Daud)

Dari Aisyah ra. Berkata bahwa Rasulullah SAW shalat dhuha 4 rakat dan menambahi sesuai dengan keinginannya. (HR Ahmad Muslim dan Ibnu Majah) Said bin Manshur mengeluarkan dari al-Hasan bahwa dia ditanya, Apakah para shahabat Nabi melakukan shalat dhuha?. Ya, mereka melakukannya ada yang mengerjakan 2 rakaat, ada yang 4 rakaat, ada yang shalat terus hingga tengah hari.
Dari Ibrahim an-Nakhai bahwa seseorang bertanya kepada Al-Aswan bin Yazid, Berapa rakaat saya shalat dhuha. Dijawab, terserah berapa saja.

C. Waktu Pelaksanaan Shalat Dhuha`
Sedangkan untuk shalat dhuha adalah waktu dhuha sesuai dengan namanya. Dan batasannya adalah mulai matahari sebatas tombak dan berakhir ketika tergelincirnya di cakrawala (tengah hari). Dalilnya adalah hadits berikut
Dari Zaid bin Arqam ra. Berkata, Nabi SAW keluar ke penduduk Quba dan mereka sedang shalat dhuha. Beliau bersabda, Shalat awwabin (duha) berakhir hingga panas menyengat (tengah hari).(HR Ahmad Muslim dan Tirmizy).

Shalat Istikharah
A. Pengertian dan Pensyariatan
Istikharah berasal dari kata Khiyar yang maknanya adalah pilihan. Istikharah artinya meminta dipilihkan atau meminta petunjuk atas beberapa alternatif pilihan. Jika salah seorang di antara kalian bermaksud melakukan suatu hal, hendaklah dia melaksanakan shalat dua rakaat selain fardhu, kemudian hendaklah ia berdoa : Allahumma Inni Astakhiruka bi 'ilmika wa astaqdiruka diqudratika wa as'alukan min fadhlikal 'azhiem, fainnaka taqdiru wa la aqdir, wa ta'lamu wa la a'lam. Wa anta 'allamul ghuyub. Allahumma inkunta ta'lamu anna hadzal amra khairun li fi dini wa ma'asyi wa 'aqibatu amri faqdurhu li wa yassirhu li tsumma baarikhu li. (HR. Bukhori, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai) Makna doa tersebut adalah :
Ya Allah, aku memohon dipilihkan dengan ilmu-Mu. Aku bermohon penilaian dengan kekuasaan-Mu. Dan meminta dengan keutamaan-Mu yang Agung. Sesungguhnya Engkau berkuasa dan aku tidak berkuasa. Engkau Maha Mengetahui dan aku tidak mengetahui. Dan Engkau Maha Mengetahui hal-hal yang ghaib. Ya Allah, bila Engkau mengetahui bahwa urusan ini baik untukku, untuk agamaku dan untuk kehidupanku, serta resikoku, taqdirkanlah hal itu untukku, mudahkanlah untukku, serta berkahilah aku pada hal itu.

B. Kapan Kita Dianjurkan Shalat Istikharah?
Disunnahkan untuk melakukan shalat Istikharah saat menghadapi dua pilihan atau lebih. Namun pilihan itu haruslah berada dalam hukum yang mubah. Tidak boleh beristikharah dengan pilihan yang sudah jelas dilarang atau diharamkan. Sebab sesuatu yang haram tidak boleh dijadikan pilihan. (Fiqhus Sunnah li As-Sayyid Sabiq jilid 1 halaman 178).
Demikian juga seharusnya seseorang belum punya kecenderungan pada salah satu pilihan tertentu. Kemungkinan atau kecenderungan untuk menjatuhkan pada salah satu pilihan haruslah sama imbang. Jangan sampai seseorag sudah cenderung pada salah satu pilihan, tapi masih melakukan istikharah juga. Kecuali bila seseorang memang sudah cenderung memilih suatu hal, namun untuk lebih meyakinkan lagi, bolehlah dia melakukan shalat istikharah. Demikian disebutkan oleh As-Sayyid Sabiq.
Shalat istikharah bisa dilaksanakan baik ketika menghadapi persoalan yang berat maupun yang ringan. Hal tersebut berdasarkan sabda Rasulullah SAW.

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdulloh ia berkata: Rasulullah SAW pernah mengajarkan kepada kami perihal meminta pilihan kepada Allah (istikharah) yang berkaitan dengan segala hal dan urusan, sebagaimana beliau mengajarkan kepada kami surat dari Al-Quran. Beliau bersabda: Jika salah seorang di antara kalian bermaksud melakukan suatu hal, hendaklah dia melaksanakan shalat dua rakaat selain fardhu, kemudian hendaklah ia berdoa : Allohumma Inni Astakhiruka. (HR. Bukhori, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai)

Oleh karena itu Imam An-Nawawi berkata dalam kitabnya, Al-Adzkar, bahwa shalat Istikharah disunnahkan dilaksanakan pada segala kondisi, sebagaimana dijelaskan oleh Nash hadis di atas. Hal ini juga dikemukakan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani (Fathul Bari 11/184)

Dalam hadis di atas Rasulullah SAW tidak menjelaskan kapan pelaksanaan shalat sunnah tersebut, yang dijelaskan hanyalah jumlah rakaatnya. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan shalat istikharah bisa kapan saja, pada saat kita akan melakukan suatu hal.

C. Cara Shalat Istikharah
Shalat Istikharah sebenarnya tidak ada bedanya dengan shalat sunnah lainnya. Dikerjakan dengan dua rakaat dengan bacaan surat yang bebas ditentukan sendiri. Tidak ada ketentuan khusus untuk membaca ayat-ayat tertentu dari Al-Quran. Kecuali niatnya memang untuk shalat Istikharah.
Kemudian setelah itu mulai berdoa dengan lafadz sebagai berikut :

اللهم إني أستخيرك بعلمك وأستقدرك بقدرتك وأسألك من فضلك العظيم فإنك تقدر ولا أقدر ، وتعلم ولا أعلم وأنت علام الغيوب. اللهم إن كنت تعلم أن هذا الأمر خير لي في ديني ومعاشي وعاقبة أمري فاقدره لي ويسره لي ثم بارك لي فيه.
وإن كنت تعلم أن هذا الأمر شرلي في ديني ومعاشي وعاقبة أمري فاصرفه عني واصرفني عنه واقدر لي الخير حيث كان ثم ارضني به
Allahumma Inni Astakhiruka bi 'ilmika wa astaqdiruka diqudratika wa as'alukan min fadhlikal 'azhiem, fainnaka taqdiru wa la aqdir, wa ta'lamu wa la a'lam. Wa anta 'allamul ghuyub. Allahumma inkunta ta'lamu anna hadzal amra khairun li fi dini wa ma'asyi wa 'aqibatu amri faqdurhu li wa yassirhu li tsumma baarikhu li.
Wa inkunta ta'lamu anna hadzal amra syarran li fi dini wa ma'asyi wa 'aqibatu amri, fashrifhu 'anni washrifni 'anhu, waqdu liyal khaira hatsu kaana tsummardhini bihi.
Ya Allah, aku memohon dipilihkan dengan ilmu-Mu. Aku bermohon penilaian dengan kekuasaan-Mu. Dan meminta dengan keutamaan-Mu yang Agung. Sesungguhnya Engkau berkuasa dan aku tidak berkuasa. Engkau Maha Mengetahui dan aku tidak mengetahui. Dan Engkau Maha Mengetahui hal-hal yang ghaib. Ya Allah, bila Engkau mengetahui bahwa urusan ini baik untukku, untuk agamaku dan untuk kehidupanku, serta resikoku, taqdirkanlah hal itu untukku, mudahkanlah untukku, serta berkahilah aku pada hal itu. Ya Allah, bila Engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk untukku, untuk agamaku dan untuk kehidupanku, serta resikoku, jauhkanlah hal itu untukku, jauhkan aku dari hal itu. Jadikanlah untukku kebaikan di manapun kebaikan itu berada. Kemudian ridhai aku pada hal itu. Kemudian dia menyebutkan hajatnya, yaitu pada kalimat hadzal amra.

D. Bentuk Jawaban
Dalam hadis tidak dijelaskan bagaimana jawaban akan diberikan, meskipun Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Adzkar menyatakan hendaklah orang tersebut memilih sesuai dengan pilihan hatinya (hatinya menjadi condong terhadap suatu pilihan setelah shalat). Tetapi pendapat tersebut ditentang oleh sejumlah ulama karena hadis yang menjadi rujukan Imam Nawawi adalah hadis dhaif. Para ulama hanya menegaskan bahwa jangan memilih pilihan yang ada sebelumnya yang hanya berdasarkan kepada hawa nafsu (Fathul bari 11/187) Jadi yang seharus dilakukan adalah, setelah kita melaksanakan shalat istikharah kita pilih mana yang terbaik (berazam) dan meyerahkan segala urusannya pada Allah. Karena kalau pilhan tersebut adalah pilihan yang terbaik, maka Allah akan memudahkannya bagi orang tersebut dan akan memberkahinya. Tetapi jika hal tersebut adalah sebaliknya maka Allah akan memalingkannya dan memudahkan orang tersebut kepada kebaikan dengan idzin-Nya. (Bughyatul Mutathowwi Fi Shalat At-Tathowwu hal 105) Tidak ada satu keterangan pun yang menjelaskan bahwa hasil dari shalat istikharah akan ada pada mimpi. Sejumlah ulama di antaranya Imam An-Nawawi menyatakan bahwa pilihan akan diberikan kepada orang yang melaksanakan shalat tersebut dengan dibukakan hatinya untuk menerima atau melakukan suatu hal. Tetapi pendapat ini ditentang oleh sejumlah ulama diantaranya Al-Iz bin Abdis-Salam, Al-Iroqi dan Ibnu Hajar. Bahwasanya orang yang telah melaksanakan shalat istikharah hendaklah melaksanakan apa yang telah diazamkannya, baik hatinya menjadi terbuka maupun tidak tidak.

Ibnu Az-Zamlakani berkata: Apabila seseorang melaksanakan shalat istikharah dua rakaat karena sesuatu hal, maka hendaklah ia mengerjakan apa yang memungkinkan baginya, baik hatinya menjadi terbuka untuk melakukannya atau tidak, karena sesungguhnya kebaikan ada pada apa yang dia lakukan meskipun hatinya tidak menjadi terbuka beliau berpendapat karena dalam hadis Jabir tidak dijelaskan adanya hal tersebut (Thobaqot Asy-Syafiiyah/ Ibnu As-Subki 9/206). Sedangkan hadis Anas bin Malik yang dijadikan alasan oleh Imam Nawawi didhoifkan oleh sejumlah ulama (Fathul Bari 11/187)

E. Batasan Jumlah Shalat Istikharah
Kami tidak mendapatkan dalil shohih yang menjelaskan tentang batasan minimum maupun maksimum pelaksanaan shalat istikharah. Sedangkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu sunni dari Anas RA ia berkata : Rasulullah SAW bersabda: Wahai Anas, Apabila engkau berniat melaksanakan suatu urusan, maka minta pilihan pada tuhanmu mengenai urusan tersebut tujuh kali, kemudian perhatikan mana urusan yang pertama dipilih oleh hatimu, karena kebikan ada padanya
Hadis di atas dhoif sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Hajar : Sanadnya dhoif sekali (Fathul Bari 11/187). Al-Iroqi berkata : Mereka (para rowi) memang terkenal tetapi di antara mereka ada rowi yang terkenal dengan kedhoifannya (bahkan sangat dhoif) yaitu Ibrohim bin Al-Baro ( Kitab Al-Adzkar An-Nawawi dan Tuhfatul Abror As-Suyuthi hal 162-163).

Shalat Gerhana
Gerhana Matahari
Shalat gerhana dalam bahasa arab sering disebut dengan istilah khusuf dan juga kusuf sekaligus. Secara bahasa, kedua istilah itu sebenarnya punya makna yang sama. Shalat gerhana matahari dan gerhana bulan sama-sama disebut dengan kusuf dan juga khusuf sekaligus.

Namun masyhur juga di kalangan ulama penggunaan istilah khusuf untuk gerhana bulan dan kusuf untuk gerhana matahari. (Lihat Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili jilid 2 halaman 1421).

Kusuf adalah peristiwa dimana sinar matahari menghilang baik sebagian atau total pada siang hari karena terhalang oleh bulan yang melintas antara bumi dan matahari.
Khusuf adalah peristiwa dimana cahaya bulan menghilang baik sebagian atau total pada malam hari karena terhalang oleh bayangan bumi karena posisi bulan yang berada di balik bumi dan matahari.

Gerhana Bulan
A. Pensyariatan Shalat Gerhana
Shalat gerhana adalah shalat sunnah muakkadah yang ditetapkan dalam syariat Islam sebagaimana para ulama telah menyepakatinya.
Dalilnya adalah firman Allah SWT :

Dan dari sebagian tanda-tanda-Nya adalah adanya malam dan siang serta adanya matahari dan bulan. Janganla kamu sujud kepada matahari atau bulan tetapi sujudlah kepada Allah Yang Menciptakan keduanya. (QS. Fushshilat : 37)

Maksud dari perintah Allah SWT untuk bersujud kepada Yang Menciptakan matahari dan bulan adalah perintah untuk mengerjakan shalat gerhana matahari dan gerhana bulan. Selain itu juga Rasulullah SAW bersabda :
Sesungguhnya matahari dan bulan adalah sebuah tanda dari tanda-tanda Allah SWT. Keduanya tidak menjadi gerhana disebabkan kematian seseorang atau kelahirannya. Bila kalian mendapati gerhana, maka lakukanlah shalat dan berdoalah hingga selesai fenomena itu.(HR. Bukhari Muslim dan Ahmad)

Shalat gerhana disyariatkan kepada siapa saja, baik dalam keadaan muqim di negerinya atau dalam keadaan safar, baik untuk laki-laki atau untuk perempuan. Atau diperintahkan kepada orang-orang yang wajib melakukan shalat Jumat. Namun meski demikian, kedudukan shalat ini tidak sampai kepada derajat wajib, sebab dalam hadits lain disebutkan bahwa tidak ada kewajiban selain shalat 5 waktu semata.

B. Pelaksanaan Shalat Gerhana
Shalat gerhana matahari dan bulan dikerjakan dengan cara berjamaah, sebab dahulu Rasulullah SAW mengerjakannya dengan berjamaah di masjid. Shalat gerhana secara berjamaah dilandasi oleh hadits Aisyah ra.
Shalat gerhana dilakukan tanpa didahului dengan azan atau iqamat. Yang disunnahkan hanyalah panggilan shalat dengan lafaz "As-Shalatu Jamiah".

Dalilnya adalah hadits berikut :
Dari Abdullah bin Umar ra berkata bahwa Rasulullah SAW mengutus orang yang memanggil shalat dengan lafaz : As-shalatu jamiah". (HR. Muttafaqun alaihi).

Namun shalat ini boleh juga dilakukan dengan sirr (merendahkan suara) maupun dengan jahr (mengeraskannya). Juga disunnahkan untuk mandi sunnah sebelum melakukan shalat gerhana, sebab shalat ini disunnahkan untuk dikerjakan dengan berjamaah
Shalat ini juga dilakukan dengan khutbah menurut pendapat As-Syafi`i. Khutbahnya seperti layaknya khutbah Idul Fithri dan Idul Adha dan juga khutbah Jumat.

Dalilnya adalah hadits Aisyah ra berikut ini :
Dari Aisyah ra berkata,"Sesungguhnya ketika Nabi SAW selesai dari shalatnya, beliau berdiri dan berkhutbah di hadapan manusia dengan memuji Allah, kemudian bersabda,"Sesungguhnya matahari dan bulan adalah sebuah tanda dari tanda-tanda Allah SWT. Keduanya tidak menjadi gerhana disebabkan kematian seseorang atau kelahirannya. Bila kalian mendapati gerhana, maka lakukanlah shalat dan berdoalah hingga selesai fenomena itu.(HR. Bukhari Muslim dan Ahmad)

Dalam khutbah itu Rasulullah SAW menganjurkan untuk bertaubatdari dosa serta untuk mengerjakan kebajikan dengan bersedekah, doa dan istighfar (minta ampun). Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa dalam shalat ini disunnahkan untuk diberikan peringatan (al-wa`zh) kepada para jamaah yang hadir setelah shalat, namun bukan berbentuk khutbah formal di mimbar. Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah juga tidak mengatakan bahwa dalam shalat gerhana ada khutbah, sebab pembicaraan nabi SAW setelah shalat dianggap oleh mereka sekedar memberikan penjelasan tentang hal itu.

C. Tata Cara Teknis Shalat Gerhana
1. Shalat gerhana dilakukan sebanyak 2 rakaat.
Masing-masing rakaat dilakukan dengan 2 kali berdiri, 2 kali membaca qiraah surat Al-Quran, 2 ruku` dan 2 sujud. Dalil yang melandasi hal tersebut adalah :Dari Abdullah bin Amru berkata,"Tatkala terjadi gerhana matahari pada masa nabi SAW, orang-orang diserukan untuk shalat "As-shalatu jamiah". Nabi melakukan 2 ruku` dalam satu rakaat kemudian berdiri dan kembali melakukan 2 ruku` untuk rakaat yang kedua. Kemudian matahari kembali nampak. . Aisyah ra berkata,"Belum pernah aku sujud dan ruku` yang lebih panjang dari ini.(HR. Muttafaqun alaihi)
Lebih utama bila pada rakaat pertama pada berdiri yang pertama setelah Al-Fatihah dibaca surat seperti Al-Baqarah dalam panjangnya. Sedangkan berdiri yang kedua masih pada rakaat pertamadibaca surat dengan kadar sekitar 200-an ayat, seperti Ali Imran. Sedangkan pada rakaat kedua pada berdiri yang pertama dibaca surat yang panjangnya sekitar 250-an ayat, seperti An-Nisa. Dan pada berdiri yang kedua dianjurkan membaca ayat yang panjangnya sekitar 150-an ayat seperti Al-Maidah.

Disunnahkan untuk memanjangkan ruku` dan sujud dengan bertasbih kepada Allah SWT, baik pada 2 rukuk dan sujud rakaat pertama maupun pada 2 ruku` dan sujud pada rakaat kedua. Yang dimaksud dengan panjang disini memang sangat panjang, sebab bila dikadarkan dengan ukuran bacaan ayat Al-Quran, bisa dibandingkan dengan membaca 100, 80, 70 dan 50 ayat surat Al-Baqarah.
Panjang rukuk dan sujud pertama pada rakaat pertama seputar 100 ayat surat Al-Baqarah, pada ruku` dan sujud kedua dari rakaat pertama seputar 80 ayat surat Al-Baqarah. Dan seputar 70 ayat untuk rukuk dan sujud pertama dari rakaat kedua. Dan sujud dan rukuk terakhir sekadar 50 ayat. Dalilnya adalah hadits shahih yang keshahihannya telah disepakati oleh para ulama hadits.
Dari Ibnu Abbas ra berkata,"Terjadi gerhana matahari dan Rasulullah SAW melakukan shalat gerhana. Beliau beridri sangat panjang sekira membaca surat Al-Baqarah. Kemudian beliau ruku` sangat panjang lalu berdiri lagi dengan sangat panjang namun sedikit lebih pendek dari yang pertama. Lalu ruku` lagi tapi sedikit lebih pendek dari ruku` yang pertama. Kemudian beliau sujud. Lalu beliau berdiri lagi dengan sangat panjang namun sidikit lebih pendek dari yang pertama, kemudian ruku` panjang namun sedikit lebih pendek dari sebelumnya....(Muttafaqun alaihi).

Shalat Jenazah
Shalat Jenazah termasuk shalat yang unik, karena barangkali itulah satu-satunya shalat yang tidak perlu ruku dan sujud. Bahkan tidak ada istilah berapa rakaat. Karena intinya hanya berdiri, takbir sebanyak empat kali dengan diselingi bacaan dan doa tertentu lalu salam.

A. Hukum Shalat Jenazah
Para ulama telah sepakat berdasarkan nash-nash yang kuat bahwa shalat jenazah termasuk jenis shalat yang hukumnya fardhu kifayah. Dimana bila sudah ada satu orang yang mengerjakannya, gugurlah kewajiban orang lain.

B. Pensyariatan Shalat Jenazah
Ada banyak dalil tentang pensyariatan shalat jenazah, salah satunya yang paling mashur adalah hadits berikut ini :

Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Shalatilah jenazah saudara kalian". (HR. Bukhari dan Muslim)

C. Keutamaan Shalat Jenazah
Ada beberapa hadits yang mengungkapkan keutamaan shalat jenazah. Antara lain :
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Siapa yang mengantar jenazah dan menshalatinya, maka dia akan mendapat balasan satu qirath. Siapa yang mengantarnya hingga selesai di kuburkan, maka dia mendapat 2 qirath. Yang paling kecil dari 1 qirath itu seperti gunung Uhur (HR. Jamaah)

Dalam kesehariannya nilai 1 Qirath setara dengan 1/16 dirham perak.
Dari Khabbab ra berkata,"Wahai Abdullah bin Umar, tidakkah Anda mendengar apa yang dikatakan Abu Hurairah?. Sesungguhnya dia mendengar Rasulullah SAW bersabda,"Siapa yang pergi bersama jenazah dari rumahnya, lalu menshalatinya, kemudian mengikutinya hingga dimakamkan, maka dia mendapat 2 qirath balasan. Setia satu qirath setara dengan gunung Uhud. Namun siapa yang menshalati jenazah kemudian pulang, maka dia mendapat satu gunung Uhud saja". (HR. Muslim)

Kemudian Ibnu Umar mengutus Khabbab kepada Aisyah ra untuk menanyakan kepada beliau tentang kebenaran riwayat Abu Hurairah itu. Aisyah ra berkata,"Abu Hurairah benar". Maka berkatalah Ibnu Umar ra,"Sungguh kita telah kehilangan banyak qirath".

D. Rukun Shalat Jenazah
Shalat jenazah itu terdiri dari 8 rukun. Rukun ini maksudnya adalah kerangka yang bila ditinggalkan, shalat itu menjadi tidak syah.

1. Niat
Shalat jenazah sebagaimana shalat dan ibadah lainnya tidak dianggap syah kalau tidak diniatkan. Dan niatnya adalah untuk melakukan ibadah keapada Allah SWT.
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam agama yang lurus , dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.(QS. Al-Bayyinah : 5).
Rasulullah SAW pun telah bersabda dalam haditsnya yang masyhur :
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya setiap amal itu tergantung niatnya. Setiap orang mendapatkan sesuai niatnya(HR. Muttafaq Alaihi).
Niat itu adanya di dalam hati dan intinya adalah tekad serta menyengaja di dalam hati bahwa kita akan melakukan shalat tertentu saat ini.

2. Berdiri Bila Mampu
Shalat jenazah tidak syah bila dilakukan sambil duduk atau di atas kendaraan (hewan tunggangan) selama seseorang mampu untuk berdiri dan tidak ada uzurnya.

3. Takbir 4 kali
Aturan ini didapat dari hadits Jabir yang menceritakan bagaimana bentuk shalat Nabi ketika menyolatkan jenazah.
Dari Jabir ra bahwa Rasulullah SAW menyolatkan jenazah Raja Najasyi (shalat ghaib) dan beliau takbir 4 kali. (HR. Bukhari : 1245, Muslim 952 dan Ahmad 3:355)
Najasyi dikabarkan masuk Islam setelah sebelumnya seorang pemeluk nasrani yang taat. Namun begitu mendengar berita kerasulan Muhammad SAW, beliau akhirnya menyatakn diri masuk Islam.

4. Membaca Surat Al-Fatihah

5. Membaca Shalawat kepada Rasulullah SAW

6. Doa Untuk Jenazah
Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :
Bila kalian menyalati jenazah, maka murnikanlah doa untuknya. (HR. Abu Daud : 3199 dan Ibnu Majah : 1947).

Diantara lafaznya yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW antara lain :
Allahummaghfir lahu warhamhu, wa aafihi wafu anhu, wa akrim nuzulahu, wa wassi madkhalahu, waghsilhu bil-mai watstsalji wal-baradi.

7. Doa Setelah Takbir Keempat
Misalnya doa yang berbunyi :
Allahumma Laa Tahrimna Ajrahu wa laa taftinnaa badahu waghfirlana wa lahu

8. Salam
Jadi secara urutannya adalah sebagai berikut :
Takbiratul Ihram [pertama]
Membaca surat Al-Fatihah
Takbir ke-2
Membaca Shalawat kepada Nabi SAW : Allahumma Shalli Alaa Muhamad
Takbir ke-3
Membaca Doa : Allahummaghfir lahu war-hamhu . . .
Takbir ke-4
Membaca Doa : Allahumma Laa Tahrimnaa Ajrahu
Mengucap Salam

Shalat Tasbih
Shalat ini sering kali dilakukan oleh sebagian masyarakat kita. Bagaimana sesungguhnya kedudukan shalat ini? Seberapa kuatkah landasan syar'i yang melatar-belakanginya? Kajian kita kali ini akan membahas masalah ini, karena sering menjadi bahan pembicaraan di tengah masyarakat.

A. Landasan Syariah
Para fuqoha berbeda pendapat tentang hukum sholat tasbih. Perbedaan tersebut dilatarbelakangi oleh perbedaan mereka dalam hal kedudukan hadis yang menjadi pensyariatan ibdah sholat tersebut.

1. Pertama: Sholat tashbih adalah mustahabbah (sunnah).
Pendapat ini dikemukakan oleh sebahagian fuqoha Syafi’iyyah. Pendapat mereka dilandasi oleh sabda Rasulullah SAW kepada paman beliau Abbas bin Abdul Mutholib yang diriwayatkan oleh Abu Daud.
Dari Ikrimah bin Abbas ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada Al-Abbas bin Abdul Muttalib,“Wahai Abbas pamanku, Aku ingin memberikan padamu, aku benar-benar mencintaimu, aku ingin engkau melakukan -sepuluh sifat- jika engkau melakukannya Alloh akan mengampuni dosamu, baik yang pertama dan terakhir, yang terdahulu dan yang baru, yang tidak sengaja maupun yang disengaja, yang kecil maupun yang besar, yang tersembunyi maupun yang terang-terangan. Sepuluh sifat adalah: Engkau melaksankan sholat empat rakaat; engkau baca dalam setiap rakaat Al-Fatihah dan surat, apabila engkau selesai membacanya di rakaat pertama dan engkau masih berdiri, mka ucapkanlah: Subhanalloh Walhamdulillah Walaa Ilaaha Ilalloh Wallohu Akbar 15 kali, Kemudian ruku’lah dan bacalah do’a tersebut 10 kali ketika sedang ruku, kemudian sujudlah dan bacalah do’a tersebut 10 kali ketika sujud, kemudian bangkitlah dari sujud dan bacalah 10 kali kemudian sujudlah dan bacalah 10 kali kemudian bangkitlah dari sujud dan bacalah 10 kali. Itulah 75 kali dalam setiap rakaat, dan lakukanlah hal tersebut pada empat rakaat. Jika engkau sanggup untuk melakukannya satu kali dalam setiap hari, maka lakukanlah, jika tidak, maka lakukanlah saru kali seminggu, jika tidak maka lakukanlah sebulan sekali, jika tidak maka lakukanlah sekali dalam setahun dan jika tidak maka lakukanlah sekali dalam seumur hidupmu” (HR Abu Daud 2/67-68, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaemah, dalam Shahihnya dan At-Thabarani.)

Mereka berpendapat bahwa hadits tersebut meskipun merupakan riwayat dari Abdul Aziz, ada sejumlah ulama yang mentsiqohkannya di antaranya adalah Ibnu Ma’in. An-Nasaiy berkata:
Ia tidak apa-apa. Az-Zarkasyi berpendapat: “Hadis shohih dan bukan dhoif”. Ibnu As-Sholah: “Hadisnya adalah Hasan”.
Al-Hafizh menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan lewat jalur yang banyak dan dari sekumpulan jamaah dari kalangan shahabat. Salah satunya hadits Ikrimah ini. Dan sejumlah ahli hadits telah menshahihkan hadits ini, diantaranya Al-Hafizh Abu Bakar Al-Ajiri, Abu Muhammad Abdurrahim Al-Mashri, Al-Hafizh Abul Hasan Al-Maqdisi rahimahullah. Ibnul Mubarak berkata,"Shalat tasbih ini muraghghab (dianjurkan) untuk dikerjakan, mustahab diulang-ulang setiap waktu dan tidak dilupakan". Lihat Fiqhus Sunnah oleh As-Sayyid Sabiq jilid 1 halaman 179.

2. Kedua: Sholat tasbih tidak apa-apa untuk dilaksanakan (boleh tapi tidak disunnahkan).
Pendapat ini dikemukakan oleh sebahagian fuqoha Hanbilah. Mereka berkata: “Tidak ada hadits yang tsabit (kuat) dan sholat tersebut termasuk Fadhoilul A’maal, maka cukup berlandaskan hadis dhoif.
Oleh karena itu Ibnu Qudamah berkata: “Jika ada orang yang melakukannya maka hal tersebut tidak mengapa, karena sholat nawafil dan Fadhoilul A’maal tidak disyaratkan harus dengan berlandaskan hadis shohih” (Al-Mughny 2/123)

3. Ketiga: Sholat tersebut tidak disyariatkan.
Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ berkata: “Perlu diteliti kembali tentang kesunahan pelaksanaan sholat tasbih karena hadisnya dhoif, dan adanya perubahan susunan sholat dalam sholat tasbih yang berbeda dengan sholat biasa. Dan hal tersebut hendaklah tidak dilakukan kalau tidak ada hadis yang menjelaskannya. Dan hadis yang menjelaskan sholat tasbih tidak kuat”. Ibnu Qudamah menukil riwayat dari Imam Ahmad bahwa tidak ada hadis shohih yang menjelaskan hal tersebut. Ibnuljauzi mengatakan bahwa hadits-hadits yang berkaitan dengan shalat tasbih termasuk maudhu` / palsu. Ibnu Hajar berkata dalam At-Talkhis bahwa yang benar adalah seluruh riwayat hadits adalah dhaif meskipun hadits Ibnu Abbas mendekati syarat hasan, akan tetapi hadits itu syadz karena hanya diriwayatkan oleh satu orang rawi dan tidak ada hadits lain yang menguatkannya. Dan juga shalat tasbih berbeda gerakannya dengan shalat-shalat yang lain. Dalam kitab-kitab fiqih mazhab Hanafiyah dan Malikiyah tidak pernah disebutkan perihal shalat tasbih ini kecuali dalam Talkhis Al-Habir dari Ibnul Arabi bahwa beliau berpendapat tidak ada hadits shahih maupun hasan yang menjelaskan tentang shalat tasbih ini.

Shalat Istisqa`
A. Pengertian
Istisqa` secara bahasa berasal dari makna meminta air. Dan secara istilah syariat adalah ibadah shalat yang secara khusus dilakukan agar Allah SWT segera menurunkan air hujan. Biasanya shalat ini dilakukan bila terjadi kemarau berkepanjangan yang mengakibatkan keringnya sumber-sumber air, mati tanaman, hewan kehausan dan manusia kesusahan.
Demikian syariat Islam memberikan ajaran bagi umat manusia manakala menghadapi masalah kekeringan. Bukan dengan pergi ke pawang hujan atau orang sakti. Sebab hal-hal yang demikian malah bisa membuatnya kita terperosok pada syirik dan dosa besar. Sebab orang-orang yang mengaku bisa menurunkan hujan dengan ilmu ghaibnya, tidak lain mendapat bantuan dari syetan.

B. Pensyariatan Shalat Istisqa`
Shalat istisqa` adalah shalat yang disyariatkan dalam agama Islam. Dimana dahulu Rasulullah SAW pernah melakukannya sebagaimana tercantum dalam hadits-hadits berikut ini.

Hadits pertama
Dari Aisyah ra berkata bahwa orang-oang datang mengadu kepada Rasulullah SAW atas tidak turunnya hujan (kemarau). Maka beliau memerintahkan orang-orang untuk menyiapkan mimbar pada tempat shalat (mushalla) dan berkumpul pada hari yang ditentukan. Beliau kemudian keluarrumah tatkala mahatari terik dan duduk di mimbar kemudian bertakbir dan memuji Allah lau bepidato, "Kalian telah mengadukan keringnya rumah dan Allah telah memerintahkan untuk meminta kepada-Nya serta berjanji untuk memberikan apa yang diminta".

Beliau meneruskan,
"Alhamdu lillahi rabbil `alamin, Arrahmanurrahim, Maliki Yaumiddin, Laa Ilaha Illalah Yang Maha Mengerjakan apa yang diinginkan, Ya Allah, tidak ada tuhan kecuali Engkau, Engkau Maha Kaya dan kami orang yang faqir. Turunkan kepada kami air hujan. Jadikan apa yang Engkau turunkan itu sebagai kekuatan yang lama".

Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya hingga nampak putihnya ketiaknya. Kemudian beliau membelakangi orang-orang dan membalik selendangnya dengan masih mengangkat tangannya. Kemudian berbalik lagi menghadap orang-orang dan turun lalu shalat dua rakaat. Maka Allah menciptakan awan hujan lengkap dengan guruh dan kilatnya. Kemudian turunlah hujan atas izin Allah SWT. Beliau belum lagi sampai masjid ketika sudha terjadi banjir air hujan. Ketika belliau menyaksikan kecepatan air masuk ke rumah beliau tertawa hingga nampak putihnya giginya. Beliau berkata,"Aku bersaksi bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan bahwa aku adalah hamba dan rasul-Nya. (HR. Hakim 1/328 dan Abu Daud 1173. Abu Daud menshahihkannya dengan komentar bahwa hadits ini gharib tapi isnadnya jayyid)

Hadits Kedua
Hadits lainnya adalah hadits dari Abdullah bin Zaid Al-Mazani
Dari Abdullah bin Zaid Al-Mazani bahwa Nabi SAW keluar kepada orang-orang untuk meminta diturunkan air hujan. Maka beliau shalat bersama mereka dua rakaat dengan mengeraskan bacaannya. (HR. Bukhari 1024, Muslim 1254, Abu Daud 1161, Tirmizy 557, Nasai 1521, Ibnu Majah 1267)

Hadits Ketiga
Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi SAW keluar pada suatu hari untuk meminta hujan. Beliau shalat bersama kami dua rakaat tanpa azan dan iqamat. Kemudian berkhutbah untuk kami, berdoa kepada Allah, memalingkan wajah ke kiblat dengan mengangkat kedua tangan. Lalu membalikkan selendangnya sehingga yang kanan di kiri dan yang kiri di kanan. (HR. Ahmad 4/41 dan Al-Baihaqi dalam Al-Kubra 3/347)

C. Tata Cara Shalat Istisqa`
Di dalam Fiqhus Sunnah pada jilid 1 halaman 182, As-Sayyid Sabiq menuliskan beberapa hal yang menjadi ketentuan dalam shalat Istisqa' antara lain :
Disunnahkan untuk dilakukan dengan berjamaah, minimal ada imam dan makmumnya.
Jumlah bilangan rakaatnya hanya dua rakaat saja
Dikerjakan kapan saja asalkan bukan di dalam waktu-waktu yang terlarang untuk shalat.
Shalat ini dilakukan dengan mengerasakan bacaan oleh imam (jahr).
Disunnahkan untuk membaca surat Al-A`la (Sabbhisma rabbikal a`la) pada rakaat pertama dan surat Al-Ghasyiah (Hal Attaka) pada rakaat kedua setelah membaca Al-Fatihah.
Disunnahkan untuk disampaikan khutbah baik sebelum atau sesudah shalat.
Disunnahkan untuk memanjatkan doa kepada Allah SWT setelah selesai shalat khususnya permintaan untuk segera diturunkan hujan, dengan mengangkat tangan.
Memindahkan rida' (selendang) dari bagian kanan tubuh ke bagian kiri atau sebaliknya.
untuk melakukan perbuatan dari atasan kepada bawahan dan bersifat harus dikerjakan, seperti firman Allah, ("Dirikanlah shalat") kedudukan Allah ta'ala diatas kedudukan.


Related Posts:

0 Response to "Macam-macam Shalat Sunnah"

Posting Komentar