Y. Zakat dan Pajak


Ikhtishar
A. Persamaan

B. Perbedaan
1. Sifat
2. Subyek
3. Obyek Alokasi Penerima
4. Harta yang Dikenakan
5. Imbalan
6. Sanksi

C. Tabel : Perbedaan Zakat dan Pajak

D. Zakat Tidak Akan Mengurangi Pajak

1. Zakat Menggantikan Pajak : Contoh Malaysia
Di negeri kita, setiap warga negara terkena kewajiban untuk membayar pajak. Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana hubungan antara pajak dan zakat? Adakah kolerasi antara keduanya, sehingga pajak bisa dikurangi bila sudah bayar zakat, dan juga sebaliknya? Kita tahu dan tidak bisa dipungkiri bahwa antara zakat dan pajak ada perbedaan yang sangat kontras, sehingga keduanya tidak bisa disamakan begitu saja. Meski pun memang juga ada sedikit kesamaan antara keduanya, pada wilayah yang sempit.

A. Persamaan
Memang dalam beberapa hal terdapat sedikit kesamaan antara zakat dengan pajak. Tetapi ada perbedaan yang sangat mendasar antara keduanya. Diantara persamaan antara keduanya adalah :

1. Kewajiban
Bersifat wajib dan mengikat atas harta penduduk suatu negeri, apabila melalaikannya terkena sanksi. Seorang muslim yang telah memiliki sejumlah syarat baik pada dirinya maupun pada hartanya, maka dia dikenakan kewajiban untuk mengeluarkan harta zakat. Kewajiban ini ditetapkan sebagai bagian dari rukun Islam, yang sangat berpengaruh pada status keislamannya. Demikian juga dengan pajak, setiap warga negara yang memiliki harta tertentu, maka atasnya diwajibkan untuk membayar pajak, yang juga merupakan kewajiban tiap warga negara.

2. Wewenang Negara
Memungut zakat dan pajak dalam prakteknya merupakan wewenang negara. Harta zakat dan paajk harus disetorkan pada lembaga resmi agar tercapai efisiensi penarikan keduanya dan alokasi penyalurannya. Dalam pemerintahan Islam, zakat dikelola oleh petugas negara. Di masa kenabian, Rasulullah SAW sebagai kepala negara telah mengangkat beberapa orang untuk melaksanakan wewenang pemerintah dalam menarik zakat dari orang-orang yang telah ditetapkan kriterianya, dan juga mendistribusikannya kepada yang berhak. Di masa para khulafa’ ar-rasyidin, kepala negara
memungut zakat dari rakyatnya yang kaya, untuk dikembalikan kepada fakir miskin dan mereka yang
termasuk ke dalam asnaf zakat. Dan sepanjang 14 abad perjalanan umat Islam, zakat dipungut oleh petugas negara secara resmi dan sah.

3. Sama-sama Mensejahterakan
Dari sisi tujuan, visi dan misi, antara zakat dan pajak ada persamaan-persamaan, yaitu sama-sama bertujuan untuk mensejahterakan rakyat, menyelesaikan problem ekonomi dan mengentaskan kemiskinan yang melanda mereka. Zakat diberikan kepada para fakir dan miskin, sebagaimana sabda Rasulullah SAW. Demikian juga pajak, salah satu tugas negara terhadap fakir miskin adalah menjamin hidup mereka.

B. Perbedaan
Namun dengan semua kesamaan di atas, bukan berarti pajak bisa begitu saja disamakan dengan zakat. Sebab antara keduanya, ternyata ada perbedaan-perbedan mendasar dan esensial. Sehingga menyamakan begitu saja antara keduanya, adalah tindakan yang fatal.

1. Masa Berlaku
Kewajiban syariat zakat bersifat tetap dan terus menerus sepanjang zaman hingga akhir dunia. Meski negara sudah kaya dan APBN negara berlebih, namun kewajiban zakat tetap berlaku. Sedangkan kewajiban membayar pajak atas rakyat dalam pandangan syariat Islam, harus disesuaikan dengan kebutuhan sesaat dari negara, sehingga pada kondisi tertentu dapat dihapuskan. Inilah yang membedakan pajak dalam pandangan syariah dengan pajak yang diberlakukan oleh negara-negara penindas rakyat umumnya. Sebagai contoh kasus, rakyat Arab Saudi dan negaranegara teluk umunya, mereka kaya dan berkecukupan tetap diwajibkan membayar zakat, meski negaranya sudah kaya raya. Namun ketika pendapat negara itu besar dari sektor minyak bumi, pemerintah negara itu membebaskan rakyatnya dari pungutan pajak. Saudi Arabia nyaris tidak pernah memungut pajak dari rakyatnya. Sebab negara sudah cukup kaya dan keuangannya sangat baik.

2. Wajib Zakat vs Wajib Pajak
Dalam syariat zakat, mereka yang terkena kewajibannya hanya terbatas pada rakyat yang beragama Islam saja. Orangorang yang agamanya bukan Islam, meski kaya raya, mereka tidak diwajibkan untuk membayar zakat. Maka bila sebuah perusahaan dimiliki secara patungan orang seorang muslim dan temannya yang non muslim, maka hanya yang muslim saja yang diwajibkan membayar zakat. Sedangkan temannya yang non muslim itu bebas dari kewajiban zakat. Sebab zakat adalah perintah agama, bukan kewajiban sebagai warga negara. Sebaliknya, dalam masalah pajak, semua warga negara terkena kewajiban membayar pajak, tanpa dibedakan berdasarkan agama.

3. Penerima
Allah SWT telah menetapkan lewat ayat Al-Quran bahwa harta zakat itu hanya boleh dialokasikan untuk 8 golongan saja, sebagaimana disebutkan di dalam surat At-Taubah ayat 60. Ketentuan itu sudah harga mati tidak bisa ditawar-tawar lagi. Bahkan seorang Rasulullah SAW sendiri pun tidak punya hak untuk mengubahkan. Sedangkan dana yang terkumpul dari pajak, merupakan hak preogratif pemerintah suatu negara, mau diapakan saja, terserah. Terkadang memang alokasi dana zakat dan pajak beririsan, namun tetap saja tidak sama. Misalnya, dana pajak dialokasikan buat fakir miskin, yang seperti ini memang sama. Tetapi dana zakat tidak untuk membangun jalanan, sarana air bersih, wc umum, penerangan, pembangkit listri dan sebagainya.

4. Kriteria Harta
Dari segi kriteria harta yang wajib dikeluarkan, antara zakat dan pajak punya berbedaan yang amat jauh. Misalnya, sebidang tanah yang dimiliki oleh seseorang terkena pajak bumi dan bangungan. Sedangkan dalam masalah zakat, tanah yang tidak produktif sama sekali tidak ada kewajiban zakatnya.

Mobil mewah yang kita miliki pasti terkena pajak besar, bahkan sejak dari membelinya pun sudah dikenakan pajak berlipat. Sedangkan dari kaca mata zakat, mobil mewah itu, berapa pun mahal dan mewahnya, selama tidak memberikan pemasukan kepada pemilknya, tentu tidak ada kewajiban untuk membayar zakat. Membelinya tidak terkena zakat, memilikinya juga tidak terkena zakat, dan menjualnya pun tidak ada zakatnya juga.

Sebaliknya, kalau dilihat dari kata mata pajak, membeli mobil kena pajak, menjualnya pun kena pajak lagi, bahkan sekedar memilikinya pun kena pajak juga. Padahal boleh jadi mobilnya teronggok rusak tidak bisa dikendarai. Buat petugas pajak, yang penting setoran masuk.

5. Imbalan
Membayar zakat itu kewajiban yang diperintahkan langsung oleh Allah kepada hanya orang-orang yang beriman. Meski diserahkannya kepada amil zakat, namun para pembayar zakat ini tidak pernah diiming-imingi balasan yang bersifat materi di dunia ini. Iming-imingnya hanya sekedar pahala dari Allah saja di akhirat serta janji keberkahan harta di dunia ini. Sedangkan pajak yang disetorkan kepada pemerintah, tentu wajib dipertanggung-jawabkan pengunaannya. Rakyat yang membayar pajak akan meminta jaminan bahwa uang pajak mereka harus jelas alokasinya, setidaknya harus tersedianya barang dan jasa untuk publik, baik sarana jalan, jembatan, saluran air, dan berbagai pelayanan sosial lainnya.

6. Sanksi
Orang yang tidak bayar zakat, selain sanksi di dunia juga ada sanksi di akhirat. Sanksi dari Allah buat yang tidak bayar zakat di dunia dari yang paling ringan adalah berdosa besar, hingga vonis kafir, halal darahnya dan juga halal hartanya. Sedangkan orang yang tidak bayar pajak, kalau pun ada sanksinya, maka sanksi itu bukan dari Allah, sanksi hanya dari negara atau penguasa. Belum tentu orang yang tidak bayar pajak itu berdosa, sebab pemerintah yang zalim dan mengambil pajak dari rakyat sambil menilep dan menggelapkan kekayaan negeri itu, tidak lain hanyalah perampok rakyat yang berkedok penguasa.

Di masa lalu, para raja terbiasa memeras rakyat dengan memungut pajak yang mencekik leher dan membunuh atau menindas rakyat. Rakyat diharuskan menyerahkan upeti kepada raja, kalau tidak maka raja punya wewenang untuk merampasnya begitu saja dari rakyat, lewat para algojo dan tentara kerajaan.

Di masa pemerintahan umat Islam, para khalifah nyaris tidak pernah memungut upeti dan pajak dari rakyat, karena keadaan keuangan negara sangat baik, hasil pertanian dan berbagai bentuk pemasukan negara berhasil membuat negara mampu menyelenggarakan pemerintahan tanpa harus mengemis atau memaksa rakyat membayar pajak. Sehingga dalam literatur sejarah Islam, kita tidak menemukan ada ketentuan yang mewajibkan rakyat membayar pajak oleh negara.

7. Hukum
Zakat adalah perintah agama yang hukumnya fardhu ‘ain bagi orang-orang yang telah terkena syarat kewajiban. Bahkan mengingkari kewajiban zakat, bisa beresiko sampai kehilangan status keislaman. Sedangkan membayar pajak, hukumnya relatif. Kadang memang menjadi kewajiban, namun kadang tidak wajib. Misalnya negara kolonialis datang menjajah dan berkuasa dengan cara merampas kedaulatan serta mendirikan pemerintahan. Rakyat ditindas dengan dikenakan pajak yang mencekik. Dalam konteks itu, maka membayar pajak bukan kewajiban agama, sebab pada hakikatnya pajak tidak lain adalah perampasan dan perampokan, atas nama negara.

Kolonialisme kadang bukan hanya dilakukan oleh penjajah asing saja, tetapi sering juga bangsa sendiri menjadi penjajah buat rakyat. Alih-alih mensejahterakan rakyat, pemerintah malah membebani rakyat dengan segudang pajak yang mencekik. Akibatnya rakyat menjadi sangat miskin dan tambah sengsara. Kalau pun rakyat membayar pajak, semata-mata karena mereka takut dikriminalisasi dan masuk penjara. Dalam konteks seperti itu, membayar pajak bukan kewajiban, sehingga bila rakyat kecil bisa mengelak dari membayar pajak, tentu tidak bisa disalahkan.

C. Tabel : Perbedaan Zakat dan Pajak
Untuk lebih jelasnya agar kita tidak sering keliru atau lupa tentang apa saja perbedaan yang paling esensial yang membedakan antara zakat dan pajak, Penulis buatkan sebuah tabel.

Tabel ini secara ringkas menegaskan detail-detail perbedaan antara zakat dengan pajak.



D. Zakat Bukan Pajak
Satu ciri yang amat khas antara pajak dan zakat adalah kesan yang amat kuat bahwa pajak itu didesain sedemikian juga agar bisa disedot sebesar-besarnya dari rakyat. Mulai dari undang-undang pajak, hingga para para petugasnya, semua sangat gigih dan mati-matian bekerja sangat serius untuk menguras kantong rakyat. Maka bisa kita saksikan, pajak itu ada di setiap lini kehidupan. Sementara esensi dan ruh dari syariat zakat tentu tidak bisa disamakan dengan pajak. Selain ada begitu perbedaan banyak antara keduanya, zakat memang tidak didesain sebagai upaya penyedotan dana rakyat untuk negara, tetapi sepenuhnya lebih merupakan pemerataan kesejahteraan yang sepenuhnya untuk rakyat.

1. Berbagai Jenis Pungutan Pajak
Di negeri ini kita mengenal ada lusinan jenis pajak. Ada pajak penghasilan85, ada pajak pertambahan nilai (PPN), ada pajak penjualan atas barang mewah86, dan juga ada yang disebut bea materai.87 Kendaraan yang kita miliki sebagai sarana penunjang kehidupan, justru dikenai pajak yaitu pajak kendaraan bermotor. Kalau kendaraan itu kita jual, maka ada kewajiban bayar pajak lagi, setidaknya untuk bea balik nama kendaraan bermotor. Untuk mengisi kendaraan itu dengan bahan bahkar seperti bensin dan sebagainya, ada pajak bahan bakar kendaraan bermotor. Bahkan ada juga pajak air permukaan dan pajak rokok.

85 Diatur dalam UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang diubah terakhir kali dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 86 Diatur dalam UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang diubah terakhir kali dengan UU No. 42 Tahun 2009 87 UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai

Hotel, restoran, tempat hiburan, reklame, penerangan jalan, semuanya kena pajak. Termasuk juga ada pajak mineral bukan logam dan batuan, pajak parkir, pajak air tanah, pajak sarang burung walet, pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan dan juga bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.

2. Target Penerimaan Pajak
Di dalam dunia pajak dikenal istilah target atau potensi penerimaan pajak. Angka-angkanya selalu menjadi aqidah dasar para petugas pajak dalam bekerja tanpa kenal lelah. Mereka diperintahkan dengan segala cara untuk dapat menyedot sebesar-besarnya uang rakyat. Misalnya dalam APBN 2011, pemerintah memasang target sebesar 850,3 triliun. Dengan berlindung di balik undang-undang pajak, padahal rakyat sama sekali tidak pernah diajak-ajak untuk membuatnya, para petugas pajak mulai dari Dirjen hingga yang paling bawah, semua aktif konsentrasi pada kerja bersama, menarik uang rakyat.

3. Zakat Tidak Butuh Target
Sayangnya, entah dapat ilham dari mana, zakat yang didesain Allah jauh berbeda dengan pajak, justru seolah-olah digiring ke satu titik untuk bisa sejajar dengan pajak, termasuk dalam urusan target-target penerimaannya. Sehingga muncul pula istilah target penerimaan zakat, juga diciptakan potensi penerimaan zakat. Sementara ketika Rasulullah SAW mengirim Muadz bin Jabal ke Yaman, sama sekali tidak ada urusan target-targetan. Beliau SAW hanya berpesan, ambillah harta zakat itu dari orang kaya di antara mereka, lalu kembalikan lagi kepada orang-orang miskin di antara mereka.

Bahwa di masa Abu Bakar memimpin, ada sebagian kaum yang menolak membayar zakat dan diperangi, bukan karena negara butuh uang. Negara saat itu sedang dalam keadaan kaya dengan dana belanja yang berlebih. Ada pun kenapa Abu Bakar memerangi mereka yang tidak mau bayar zakat, karena semata-mata kewajiban agama, dimana zakat itu sebuah kewajiban, dan negara diberi wewenang untuk memerangi pada pembangkang dari bayar zakat. Lucunya, impelmentasi zakat di negeri kita jauh melenceng dari desain asli yang Rasulullah SAW tetapkan.

Malah lewat Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) penerimaan zakat, infak dan sedekah tahun 2010 kemudian dibuatkan target-targetnya, bahkan sampai mencapai angka yang fantastis, menyentuh kisaran angka 1,5 triliun. Angka ini konon dianggap wajar, karena pada tahun 2007, jumlah zakat, infak, sedekah mencapai 420 miliar. Kemudian pada tahun 2008 meningkat menjadi 920 miliar. Lalu pada tahun 2009 menjadi 1,2 triliun. Kalau sudah begini, kita sulit membedakan semangat zakat dengan pajak. Artinya, syariat zakat diperkosa sedemikian rupa, agar mengalami transformasi menjadi pajak.

4. Zakat Jadi-jadian
Akibat dari adanya target-targetan ala dunia pajak ini, dan karena sudah jauh meninggalkan originalitas dasar syariahnya, lantas apapun aktifitas ekonomi di tengah masyarakat, kemudian dikenakan kewajiban zakat. Dengan begitu, maka munculnya jenis-jenis zakat jadijadian yang sepenuhnya aneh bin ajaib. Pastinya sepanjang 14 abad ini tidak pernah disebut-sebut dalam literatur fiqih.

Misalnya ketika orang jual rumah, tanah, atau kendaraan dan dapat uang banyak, lantas dikenakan zakat. Alasannya karena ada zakat perdagangan. Padahal zakat perdagangan itu adalah zakat atas kepemilikan barang yang didagangkan selama minimal setahun dalam keadaan melebihi nishab. Tentu sangat jauh hubungan antara zakat perdagangan dan zakat jual kekayaan.

Lucunya, seoang yang berniat pergi haji, ketika menyetorkan ongkos naik haji, tiba-tiba juga dikenakan pungutan liar haram, tetapi menggunakan istilah zakat. Alasannya, orang yang mau pergi haji pasti orang kaya, maka wajib bayar zakat terlebih dahlu. Seseorang yang beruntung mendapat hadiah undian kuis berhadiah, tiba-tiba ada kewajiban bayar zakat, yang ketentuannya dipaksakan dari zakat rikaz. Padahal rikaz itu harta milik orang kafir, yang sudah mati di zaman dulu, kemudian ditemukan secara tidak sengaja, di lahan kosong tanpa pemilik, oleh seseorang. Adapun hadiah undian kuis, jelas bukan harta milik orang kafir, juga pemiliknya belum mati, dan bukan didapat di lahan kosong tak bertuan.

E. Zakat Tidak Akan Mengurangi Pajak
Memang ada upaya yang dilakukan sebagian orang untuk dapat dipadukan antara zakat dan pajak. Hal itu mengingat warga negara yang baik dan muslim berarti harus membayar dua kali, yaitu bayar zakat juga dan bayar pajak juga. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah bisa keduanya dipadukan, dalam arti mungkinkah zakat dijadikan sebagai pengganti dari kewajiban membayar pajak? Atau dengan lebih sederhana lagi, bisakah zakat dijadikan elemen pengurang pembayaran pajak?

Jawabannya, kalau yang terjadi di negeri kita, sayang sekali jawabannya adalah : TIDAK!
Mengapa demikian? Karena kalau kita melihat realitasnya, memang ada kompromi dalam undang-undang zakat dan pajak, yang sekilas nampak menjadi solusi, namun ketika diterapkan dalam alam nyata, sesungguhnya undang-undang itu nyaris tidak memberikan arti yang nyata. Artinya, tetap saja seorang muslim wajib bayar keduaduanya, bayar zakat juga dan bayar pajak juga. Kalau ada pengurangan, nyaris hampir tidak ada artinya.

Mari kita lihat undang-undang yang bersifat dualisme kewajiban pajak dan zakat tersebut, yaitu Undang-undang nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dan Undangundang nomor 17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan. Kelemahan terbesar dari undang-undang ini adalah bahwa zakat hanya diakui sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Berarti zakat hanya diakui sebagai biaya, maka dampak bagi kewajiban pajak masih relatif kecil. Sehingga regulasi tersebut belum cukup efektif untuk meningkatkan pajak maupun zakat.

Hal yang menarik bila kita perhatikan penerapan masalah ini di negeri jiran, Malaysia. Disana ternyata apa yang menjadi tujuan sudah benar-benar terjadi, yaitu zakat yang dibayarkan telah diakui secara resmi sebagai pengurang pajak. Dengan insentif itu, para muzaki berlomba-lomba membayarkan zakatnya kepada lembaga (amil).

Lain halnya jika pembayaran zakat mengurangi kewajiban pajak, hilangnya kewajiban ganda itu tentu sangat melegakan umat Islam. Akhir-akhir ini, berkembang aspirasi untuk mengamandemen UU No. 38/ 1999 dan revisi UU No. 17 tahun 2000 yang sedang dalam pembahasan. Berbagai usulan telah disampaikan agar pembayaran zakat mengurangi kewajiban pajak (tax deductable).

Keinginan tersebut sama sekali bukan tanpa dasar. Di negara-negara Amerika dan Eropa, donasi yang dikeluarkan perseorangan atau perusahaan diterima pemerintah sebagai bagian pembayaran pajak. Ada kekhawatiran pada sebagian kalangan, bila zakat mengurangi pajak, maka perolehan pajak akan berkurang. Kekhawatiran tersebut tidaklah beralasan. Penerimaan zakat tidak akan banyak mengurangi penerimaan pajak. Khususnya PPh Pasal 21, karena perbedaan tarif pajak yang 30 persen dengan tarif zakat yang relatif sangat rendah yaitu 2.5 persen dari penghasilan. Selain itu, berdasarkan perhitungan perkiraan setoran penerimaan pajak penghasilan karyawan (PPh Pasal 21) nasional sebesar Rp. 25 triliun (dari perkiraan total penghasilan karyawan nasional sebesar Rr 125 triliun – tarif efektif 20 persen) maka perkiraan setoran zakat (2.5 persen dari Rp 125 triliun) hanya Rp 3.2 triliun.

Fakta empiris membantah kekhawatiran tersebut. Prof Didin Hafidhuddin menunjukkan data penerimaan zakat dan pajak di Malaysia selama tahun 2001-2006, terlihat bahwa peningkatan zakat ternyata seiring dengan peningkatan pajak. Artinya saat zakat mengurangi pajak, maka penerimaan zakat dan pajak justru meningkat. Beranikah kita mencontohnya?



Related Posts:

0 Response to "Y. Zakat dan Pajak"

Posting Komentar