Z2. Kekeliruan Memahami Zakat


Ikhtishar
A. Terlalu Menyempitkan Zakat
1. Tidak Mau Berzakat
2. Terbatas Hanya Zakat Fithr

B. Terlalu Meluaskan Zakat
1. Menyamakan Zakat Dengan Pajak
2. Mewajibkan Zakat di Luar Ketentuan

C. Kesalahan Pengelolaan Zakat
1. Dipungut Oleh Pihak Yang Tidak Kompeten
2. Amil Zakat Tidak Berkualitas
3. Disalurkan Kepada Yang di Luar Mustahik
4. Dijadikan Modal Usaha

D. Meluruskan Pandangan Masyarakat
1. Zakat Dibayarkan Langsung Kepada Mustahik
2. Zakat Dibayarkan Bukan Pada Waktunya
3. Zakat Dibayarkan Tidak Sesuai Besarannya
3. Zakat Dijadikan Pencucian Harta
4. Zakat Penentu Diterimanya Puasa Ramadhan?

Menarik untuk diamati perilaku masyarakat Indonesia yang mengalami keterpelesetan dalam masalah zakat. Istilah keterpelesetan ini sebenarnya hanya sebuah penghalusan saja, padahal yang terjadi sebenarnya adalah kekeliruan, yang terkadang sampai ke level yang fatal. Bab ini sengaja Penulis susun berdasarkan pengamatan sehari-hari dari fenomena yang berkembang di tengah umat
Islam.

A. Terlalu Menyempitkan Zakat
Ada dua keadaan yang bisa kita simpulkan dari fenomena masyarakat yang termasuk pada kecenderungan pertama ini. Pertama, masih begitu besarnya jumlah umat Islam yang tidak sadar adanya kewajiban berzakat. Kedua, masih besarnya pemahaman bahwa zakat itu hanya sebatas zakat fithr saja, sehingga kalau pun umat ini membayar zakat, ramainya hanya di bulan Ramadhan saja.

1. Tidak Mau Berzakat
Kecenderungan paling umum yang sejak dahulu telah melanda umat Islam adalah kecenderungan tidak membayar zakat. Seolah-olah kewajiban beragama hanya sebatas melaksanakan ritual shalat dan upacara-upacara semacam maulid, berdzikir, selametan, kenduri, tahlilan, dan sejenisnya. Padahal zakat justru merupakan bagian dari rukun Islam yang bila diingkari kewajibannya, bisa beresiko gugurnya status keislaman.

Di masa kepemimpinan Abu Bakar ash-shiddiq radhiyallahuanhu sudah mulai ada gerakan yang mengingkari zakat. Oleh Abu Bakar, gerakan ini dianggap sebagai sebuah kekufuran yang diperangi secara tegas. Awalnya para shahabat pun memandang bahwa kaum yang tidak mau bayar zakat sepeninggal Rasulullah SAW itu tidak perlu dibunuh atau tidak perlu diperangi. Namun Abu Bakar melihat kasus itu lebih dalam dan menemukan bahwa pangkal persoalannya bukan semata-mata curang atau menghindar, melainkan sudah sampai kepada level pengingkaran adanya syariat zakat itu sendiri. Hal itu dijelaskan di dalam hadits berikut ini :

Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu bahwa ketika Rasulullah SAW wafat dan Abu Bakar menjadi khalifah, sebagian orang orang arab menjadi kafir. Umar bertanya,”Mengapa Anda memerangi mereka? Padahal Rasulullah SAW telah bersabda,”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan La Ilaaha Illallah, yang telah mengucapkannya maka terlindung dariku harta dan jiwanya dan hisabnya kepada Allah SWT ?”. Abu Bakar menjawab,”

وَاللّٰهِ لَأُقَاتِلَنَّ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ فَإِنَّ الزَّكَاةَ حَقُّ الْمَالِ وَاللّٰهِ لَوْ مَنَقُنِي عَنَاقًا كَانُوا يُؤَدُّوْنَهَا إِلَى رَسُولِ اللّٰهِ صلى اللّٰه عليه وسلم لَقَاتَلْتُهُمْ عَلَى مَنْعِهَا
Demi Allah, aku pasti memerangi mereka yang membedakan antara shalat dan zakat. Sebab zakat adalah hak harta. Demi Allah, seandainya mereka menolak membayar seekor kambing muda yang dahulu pernah dibayarkannya kepada Rasulullah SAW, pastilah aku perangi”. Umar berkata,”Demi Allah, hal ini tidak lain karena Allah SWT telah melapangkan dada Abu Bakar dan baru aku tahu bahwa hal itu adalah benar”. (HR. Bukhari Muslim Abu daud Tirmizi Nasai Ahmad)

2. Terbatas Hanya Zakat Fithr
Kalau pun kemudian muncul gejala mulai gemar berzakat, ternyata zakat itu sekedar zakat fithr yang dibayarkan setahun sekali hanya di bulan Ramadhan. Kalau hanya zakat fithr, orang kaya raya dengan orang miskin yang berpenghasilan pas-pasan, nyaris mengeluarkan nilai yang relatif sama besarnya, yaitu pada kisaran 15 s/d 20-an ribu rupiah saja.

Bukan bermaksud menafikan zakat fithr, tetapi gejala kekeliruan paham bahwa zakat hanya sebatas zakat fithr saja, adalah gejala yang amat mengkhawatirkan. Sebab di luar zakat fithr, masih ada begitu banyak kewajiban zakat yang harus ditunaikan, terkait dengan jenis kekayaan, nishab dan haul yang telah ditetapkan.

Uang tabungan di bank, serta emas atau perak timbunan, adalah dua jenis kekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya, meski hanya disimpan. Malah justru karena hanya disimpan itulah jadi terkena kewajiban zakat. Sebab emas dan uang yang disimpan itu sama dengan dengan ditimbum, sebagaimana firman Allah SWT :

وَالَّذِيْنَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُنَهَا فِى سَبِيْلِ اللّٰهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيْمٍ
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih (QS. At-Taubah : 34)

يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِى نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ
Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu".(QS. At-Taubah : 35)

Demikian juga dengan harta berbentuk komoditas yang dimiliki dan distok untuk diperdagangkan, apabila nilainya melebihi nisab dan haul, tentu ada kewajiban zakat atasnya yang wajib dibayarkan. Di negeri kita ini, ada jutaan pedagang yang belum pernah membayar zakat, entah karena tidak tahu atau memang tidak mau tahu. Hewan ternak jenis tertentu, bila jumlahnya telah melebihi nisab dan telah dimiliki minimal selama masa setahun (qamariyah), ada kewajiban zakatnya. Sementara ada jutaan rakyat yang memiliki hewan-hewan ternak, justru tidak pernah tahu kalau ternaknya itu wajib dikeluarkan zakatnya.

Dan hasil panen petani jenis tanaman tertentu, bila jumlahnya melebihi nisab, tentu ada kewajiban untuk dikeluarkan zakatnya. Namun negeri dengan mayoritas penduduk yang berpenghasilan dari bercocok tanam, nyaris sama sekali tidak tahu urusan zakat atas hasil panennya. Padahal mereka rajin ibadah, puasa, bahkan rutin mengadakan selametan, syukuran, kaulan, hajatan, santunan, yang hukumnya sunnah. Sementara zakat yang fardhu ‘ain hukumnya serta bagian dari rukun Islam, sama sekali tidak dicolek.

Dan masih banyak lagi jenis kekayaan yang terkena kewajiban zakat, sesuai dengan jenis, kriteria, ketentuan dan hitungan yang telah ditetapkan syariah Islam. Namun sayangnya, masih begitu banyak umat Islam yang terlalu awam dengan kewajiban zakat, sehingga semua kekayaan itu nyaris sama sekali tidak tersentuh keberkahan zakat.

B. Terlalu Meluaskan Zakat
Di sisi yang lain, juga ada kecenderungan yang kedua dan agak berlebihan dalam memandang kewajiban zakat. Titik kesalahannya adalah meluas-luaskan kewajiban berzakat, sampai hal-hal yang bukan termasuk kewajiban zakat pun, akhirnya diseret-seret agar jadi zakat. Fenomena ini memang seiring dengan sudah semakin sadarnya umat Islam, khususnya di perkotaan, untuk berzakat. Kesadaran ini mirip dengan geliat semangat yang tidak terbendung berangkat pergi haji ke Baitullah, yang setiap tahunnya selalu berlimpah, bahkan sampai harus menyogok kanan kiri untuk mendapatkan kuota.

Untuk ibadah zakat, semangat yang sedemikian besar itu tentu amat menggembirakan, sehingga kalau sampai bermunculan ratusan bahkan ribuan lembaga yang ingin ikut menyerok ikan di waduk zakat ini, rasanya bukan hal yang aneh lagi. Prinsipnya dimana ada gula, disitu ada semut. Dimana ada ikan, disitulah para pemancing ikan akan berkerumun.

Namun sayangnya, semangat berzakat ini seringkali terjebak dengan berbagai kekeliruan. Tentu menjadi tugas kita semua untuk meluruskannya, agar jangan sampai syariat Islam ini mengalami penyimpangan. Di antara sekian banyak kekeliruan di tengah umat Islam dalam memahami syariat zakat adalah :

1. Menyamakan Zakat Dengan Pajak
Kesahalan yang teramat fatal dalam memposisikan zakat di antaranya adalah menganggap zakat sama dengan pajak. Memang sekilas ada beberapa titik kesamaan, namun dibandingkan dengan perbedaan antara zakat dan pajak, perbedaan itu sangat besar ibarat jurang yang menganga. Perbedaan yang asasi antara zakat dan pajak, sebagaimana Penulis terangkan pada bab sebelumnya dari buku ini dapat kita lihat pada tabel berikut :



Tentu pandangan untuk menyamakan posisi zakat dengan pajak adalah pandangan yang perlu diluruskan, agar tidak menjadi sebuah preseden buruk. Logika dan doktrin pajak 180 derajat berbeda dengan logika dan doktrin zakat. Keduanya tidak mungkin

digabungkan, karena ada begitu banyak esensi yang berbeda. Dimana perbedaan itu memang telah sejak awal ditetapkan di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Sayangnya, berbagai ijtihad yang sekarang berkembang, cenderung ingin memposisikan zakat seolah-olah pungutan pajak. Ciri utamanya adalah mengotak-atik dalil sedemikian rupa, agar bisa semakin banyak jenis harta yang bisa ditarik zakatnya.

Maka yang terjadi adalah kerancuan semata. Contoh kecil saja, dalam logika pajak, bila seseorang menerima sejumlah uang, misalnya hasil dari menjual rumah, maka orang itu harus bayar pajak. Demikian juga, ketika ada orang membeli rumah, dia pun kena pajak. Tidak jual dan tidak beli rumah pun, dia kena pajak juga, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan.

Sedangkan di dalam logika zakat, ketika seseorang menjual rumah, tidak ada kewajiban membayar zakat. Demikian juga bagi orang yang membeli rumah, dia pun tidak wajib membayar zakat. Dan orang yang tidak menjual atau memberi rumah, juga tidak wajib membayar zakat. Namun ketika rumahnya disewakan, uang hasil penyewaan itulah yang terkena zakat.

Ketika ada upaya agar orang yang menjual rumah harus bayar zakat, atau yang membeli rumah juga kena zakat, jelas sekali ini adalah upaya ‘pemerkosaan’ syariat zakat dengan logika pajak. Dan ini sebuah penyimpangan hukum agama yang perlu diluruskan kembali.

2. Mewajibkan Zakat di Luar Ketentuan
Sungguh aneh rekayasa-rekayasa yang sering dibuat dalam rangka menarik dana dari masyarakat, sampai-sampai harus menciptakan zakat jadi-jadian, yang sama sekali tidak pernah diperintahkan, demi sekedar untuk menyedot dana segar dari umat Islam, dengan mengatas-namakan zakat.

Misalnya muncul istilah zakat haji, zakat dapat warisan, zakat jual tanah, rumah, kendaraan, zakat ketika mendapat hadiah, uang kaget dan sejenisnya.

a. Rekayasa Zakat Haji
Sungguh terlalu beberapa oknum di Dirjen Haji Kementerian Agama Republik Indonesia yang telah melakukan berbagai pungutan liar dengan mengatasnamakan zakat.

Ada beberapa kasus memalukan. Misalnya di Jakarta, setiap jemaah dipungut Rp. 300 ribu untuk infaq, meskipun tidak wajib tapi kenyataannya infaq itu dipungut berdasarkan surat edaran gubernur. Bila rata-rata tiap jemaah dipungut Rp. 300 ribu dikalikan jumlah jemaah haji tahun ini sekitar 210 ribu maka nilainya mencapai Rp. 63 miliar. Kalau dihitung sudah berlangsung puluhan tahun maka angkanya bisa trilyunan rupiah.

Kepala Bidang Haji Kantor Wilayah Kementerian Agama DKI Marhus Umar membenarkan adanya pungutan infaq itu. Dia menyebutkan infaq sebesar Rp. 300 ribu merupakan kesepakatan Forum Komunikasi KBIH. Uang infaq yang sudah terkumpul disetorkan ke Kankemenag dan selanjutnya disetor kepada Bazis.

Abdul Karim, Direktur Pemberdayaan Zakat Kementerian Agama menyatakan pemungutan infaq Rp. 300 ribu kepada setiap calhaj merupakan anjuran bukan suatu kewajiban. Jadi pungutan itu bukan zakat melainkan infaq. Namun pada kenyataannya, bukan hanya infaq tapi juga zakat sebesar 2,5 persen bagi calhaj yang belum membayar zakat.

b. Rekayasa Zakat Atas Harta Warisan
Zakat yang seringkali ditagih adalah zakat pada saat pembagian warisan. Mungkin karena para ahli waris itu sedang banyak uang, maka tiba-tiba muncul rekayasa dari pihak yang tidak bertanggung-jawab, yaitu adanya kewajiban zakat atas harta yang dibagi warisan. Padahal dalam ilmu faraidh sama sekali tidak dikenal kewajiban atas ahli waris untuk membayar zakat. Kalau pun ada anjuran untuk mengeluarkan harta, namanya bukan zakat, melainkan sedekah yang sifatnya uang kerahiman yang sifatnya hanya anjuran.

وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُوْلُوا الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِيْنُ فَارْزُقُوهُمْ مِّنْهُ
Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. (QS. An-Nisa’ : 8)

c. Rekayasa Zakat Hadiah
Rekayasa zakat yang lain lagi adalah zakat atas penerimaan hadiah, yang sering diidentikkan dengan zakat atas harta rikaz. Padahal hadiah bukan rikaz dan begitu juga sebaliknya.

Sayangnya, kewajiban membayar zakat atas mereka yang menerima hadiah sudah terlanjur dipopulerkan oleh pihakpihak yang tidak bertanggung-jawab, padahal tidak ada dalil yang qath’i atas hal itu. Namun fatwa yang kurang punya dasar itu kemudian dicopy-paste begitu saja, tanpa pernah dilakukan penelitian mendalam atas masyru’iyahnya. Maka jadilah satu nama cabang zakatbaru, yaitu zakat atas uang hadiah, undian, bonus, THR dan sejenisnya.

Sudah merupakan kelaziman di negeri kita, pada tiap kesempatan datangnya hari raya Idul-fithr, para majikan dan pimpinan perusahaan akan membagikan hadiah khusus, yang disebut Tunjangan Hari Raya (THR). Namun ada saja pihak-pihak yang mewajibkan THR ini untuk dikeluarkan zakatnya, dengan menganggapnya sebagai bagian dari zakat rikaz, atau zakat hasil temuan.

Padahal zakat rikaz itu tidak bisa disamakan dengan tunjangan, dengan beberapa titik perbedaan yang nyata, antara lain :

. Milik Orang Kafir
Para ulama sepakat bahwa harta rikaz itu asalnya milik orang kafir (jahiliyah). Sedangkan THR itu asalnya bukan milik orang kafir, tetapi milik instansi atau perusahaan yang tidak ada kaitannya dengan keislaman atau kekafiran.

. Pemiliknya Telah Meninggal
Syarat kedua adalah pemilik asli harta itu sudah meninggal dunia, sehingga hak kepemilikan atas harta itu sebenarnya sudah hilang dengan kematiannya. Demikian juga para ahli warisnya sudah tidak ada lagi. Sedangkan pemilik harta yang memberikan THR itu tentu masih hidup, sebab kalau sudah mati justru malah tidak bagi-bagi THR.

. Sebelumnya Tidak Ada Pemiliknya
Harta rikaz sebelum ditemukan tidak ada pemiliknya. Karena pemiliknya sudah lama wafat di masa lalu. Sedangkan uang THR jelas-jelas ada pemiliknya sebelum dibagikan.

d. Rekayasa Zakat Atas Penjualan Barang Berharga
Rekayasa zakat yang lainnya adalah zakat atas uang yang diterima karena seseorang telah menjual harta bendanya, baik berupa tanah, rumah, kendaraan dan lain sebagainya.

Entah siapa yang memulai dan bertanggung-jawab atas tersebarnya rekayasa zakat yang satu ini, namun terlanjur muncul pemahaman di tengah masyarakat bahwa siapa saja yang menjual barang-barang berharga, maka atasnya diwajibkan untuk membayar zakat. Jadi ketika seseorang jual tanah, dia kena zakat. Pembelinya pun kena zakat. Dan selama memiliki tanah, juga ada zakatnya. Mobil dan sepeda motor pun demikian juga, membelinya kena zakat, menjualnya kena zakat, sekedar memilikinya pun kena zakat juga. Lama-lama, parkir mobil, makan di restoran, menginap di hotel dan naik pesawat pun kena zakat.

Kalau dipikir-pikir, paham seperti ini agaknya sangat dipengaruhi oleh gaya orang-orang pajak, yang inti akidah mereka adalah bagaimana menyedot dana dari masyarakat sebesar-besarnya. Logika pajak pun dipakai dalam logika zakat, sampai ada istilah potensi zakat, bahkan target penerimaan zakat.

Masalah dasar pensyariatannya sudah tidak penting lagi bagi mereka, pokoknya trend omset dan penerimaan dana zakat dari umat harus naik, karena sudah ditargetkan sedemikian rupa oleh pimpinannya. Kalau perlu menggunakan istilah zakat, maka tanpa malu-malu dipakailah istilah zakat, biar orang merasa bahwa pajak ini adalah kewajiban agama.

Paham ini jelas-jelas merupakan rekayasa atas zakat yang tidak punya dasar masyru’iyah, baik dari Al-Quran maupun dari As-Sunnah, bahkan tidak ada contoh nyatanya sepanjang 14 abad lamanya, sejak zaman Nabi Muhammad SAW sampai zaman nabi palsu.

Sederhaannya, istilah target penerimaan zakat, tidak dikenal di masa Rasulullah SAW. Kalau pun Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahuanhu memerangi orang yang tidak bayar zakat, karena mereka mengingkari kewajiban zakat, padahal sebelumnya mereka adalah pembayar zakat yang setia di masa Rasulullah SAW.

3. Zakat Yang Masih Kontroversi
Upaya meluas-luaskan ruang-lingkup zakat dalam beberapa hal memang tidak sepenuhnya keliru, mengingat seiring dengan perubahan zaman, pastilah harus ada perubahan-perubahan hasil ijtihad. Bukannya tidak setuju dengan zakat profesi, tetapi akan jauh lebih baik ketika kita menganjurkan masyarakat untuk mengeluar zakat gaji dan honor, penjelasannya diberikan dengan sepenuh amanah ilmiyah, adil dan proporsional. Maksudnya, umat ini harus diedukasi bahwa zakat semacam zakat profesi itu masih menjadi bagian dari perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Mereka harus dipahamkan bahwa ada sebagian ulama yang mendukung zakat profesi, namun ada juga dari sebagian yang lain, dimaan mereka menafikannya dan menolak keberadaan zakat profesi.

Tujuannya agar jangan sampai mereka merasa ”dibohongi” dengan hanya menjelaskan satu pendapat saja, tanpa mendapat penjelasan yang adil dari dua belah pihak. Maka tindakan atas yang main potong gaji pegawainya dengan alasan sebagai zakat profesi tentu bukan tindakan yang bijaksana.

C. Kesalahan Pengelolaan Zakat

1. Dipungut Oleh Pihak Yang Tidak Kompeten
Banyak pihak yang kurang berkompeten tapi memungut harta zakat. Mentang-mentang bisa menekan atau memaksa orang yang butuh tanda-tangan dan jalur birokrasinya. Salah satu dari ketidak-berkahan pekerjaan para Pegawai Negeri Sipil adalah seringnya mereka memungut dana dari
masyarakat, dengan seribu satu macam alasan.

Dalam kenyataan sehari-hari, apabila masyarakat butuh untuk mengurus surat izin ini dan itu, yang harus melewati sekian jalur birokrasi, ternyata semua harus pakai dana (baca: korupsi). Meski pemerintah selalu gembar-gembor kampanye anti korupsi dan pungli, tapi apa yang terjadi sesungguhnya tidak bisa dipungkiri.

Yang paling berdosa adalah memungut pungutan liar dari masyarakat dengan berkedok ibadah zakat. Dimana bila seseorang tidak bayar zakat kepada institusi itu, urusanurusannya menjadi tidak lancar.

Termasuk kekeliruan yang selalu terjadi di setiap bulan Ramadhan adalah keharusan bagi tiap panitia amil zakat untuk menyetorkan harta zakat yang telah berhasil dikumpulkan dari masyarakat ke berbagai instansi pemerintahan, baik kelurahan, kecamatan atau kotamadya/kabupaten. Biasanya institusi yang dipakai adalah Badan Amil Zakat (Bazis).

2. Amil Zakat Tidak Berilmu
Seharusnya zakat hanya boleh dipungut oleh amil zakat saja. Sebab amil zakat adalah orang-orang yang berkualitas, cakap, pintar, pandai, mampu, mau, dan tahu cara-cara mengatur zakat di tengah masyarakat.

Mereka adalah orang-orang profesional, yang diberikan hak penuh dari harta zakat untuk dikelola dan disalurkan kepada yang mereka anggap paling memenuhi kriteria umum mustahik zakat. Mereka tidak lain adalah para mujtahid, yang kita berikan kepercayaan penuh untuk berijtihad dalam banyak hal terkait dengan harta zakat.

Dan untuk itulah Al-Quran dengan tegas memberikan hak kepada mereka untuk menerima harta zakat, sebagai imbalan atas jerih payah dan kesabaran atas berbagai beban dan tekanan dalam menjalankan tugas-tugas mereka. Kesalahan yang kerap terjadi justru pada ilu dan kualitas amil, baik sebagai institusi atau pun juga sebagai sumber daya manusia (SDM) para amil zakat itu sendiri.

Sungguh amat menyedihkan kalau melihat realitas bahwa begitu banyak amil zakat yang hanya eksis di bulan Ramadhan saja. Begitu Ramadhan lewat, maka panitia zakat malah dibubarkan secara resmi. Dalam hal ini, amil zakat mengalami penurunan (degradasi) yang sangat signifikan, dari yang seharusnya sebuah institusi formal dan profesional, berubah hanya menjadi sebuah panitia sementara yang habis lebaran langsung dibubarkan, sambil makan-makan atau piknik ke luar kota.

Secara kualitas SDM pun kita harus banyak mengelus dada dan menghela nafas panjang. Jangankan petugas di lapangan yang duduk manis menjaga konter-konter zakat di berbagai pojok mal, pimpinan dan pejabat teras institusi amil zakat itu pun seringkali orang yang justru tidak tahu menahu urusan syariat zakat. Sehingga kebijakan-kebijakan dalam pengelolaan zakat, seringkali justru kontradiksi dan bertentangan 180 derajat dengan hukum-hukum zakat itu sendiri.

Kalau mereka ditanya, kenapa begini dan begitu, jawabannya selalu mengambang, tidak jelas, dan hanya sekedar ikut-ikutan institusi lain belaka. Mereka tidak pernah secara khusus mengaji dan kuliah syariah dengan langsung menelaah kitab-kitab syariah, atau menghadirkan ulama yang ahli dalam bidang fiqih zakat. Itu di level pimpinan, lantas bagaimana di level operator dan pelaksana lapangan?
Tentu keadaannya jauh lebih menyedihkan. Padahal di tangan mereka ada bermilyar dana umat, yang secara lugu merasa sudah menggugurkan kewajiban sebagai wajib zakat. Lantas, di akhirat nanti, bagaimana cara para amil zakat ini bertanggung-jawab di depan pengadilan Allah? Bagaimana mereka bisa lepas dari azab neraka, karenamengelola hak orang lain tanpa ilmu?

3. Disalurkan Kepada Yang di Luar Mustahik
Kesalahan yang juga amat fatal dan seringkali melanda para pemungut dan pengelola harta zakat adalah penyaluran harta zakat di luar dari apa yang telah ditetapkan Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Berbeda dengan ragam ibadah maliyah lainnya, syariat Islam membatasi alokasi harta zakat hanya untuk kalangan tertentu saja.

Ketentuan ini tentu saja bukan hasil ijtihad dari para ulama, namun ketentuan ini langsung datang dari Allah SWT yang difirmankannya lewat ayat Al-Quran.

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغَارِمِيْنَ وَفِى سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ فَرِيضَةً مِنَ اللّٰهِ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS. At-Taubah : 60)

Maka penyaluran harta zakat ini tidak boleh keluar dari ayat ini. Dan kita bisa merinci bahwa mustahiq zakat itu hanya ada 8 kelompok (asnaf) saja. Di luar mereka, haram hukumnya bila harta zakat ke tangan yang keliru. Mereka adalah :

. Orang-orang fakir
. Orang-orang miskin
. Pengurus-pengurus zakat
. Para mu'allaf (orang yang dibujuk hatinya masuk Islam)
. Untuk budak
. Orang-orang yang berhutang
. Untuk jalan Allah
. Mereka yang sedang dalam perjalanan

a. Keperluan Masjid
Namun sungguh amat disayangkan, seringkali harta zakat yang terkumpul itu oleh pengurus Masjid sering digunakan untuk biaya pembangunan masjid, baik keseluruhan biaya pembangunan atau sekedar untuk menambah bagian baru, termasuk juga untuk melakukan berbagai renovasi bangunan masjid.

Hal itu terjadi salah satunya karena pengurus masjid seringkali merangkap juga menjadi pengurus zakat dan menerima pemasukan zakat dari para jamaahnya. Jamaah masjid yang juga awam, seringkali menerima saja ketika dibuatkan laporan bahwa dana zakat telah disalurkan untuk membangun tempat wudhu, kamar mandi, beli pendingin ruangan atau memperbaiki sound system
masjid yang rusak.

Dan pengurus masjid yang awam serta tidak tahu menahu urusan pengelolaan harta zakat, dengan santainya mengalokasikan harta zakat kepada kebutuhan masjidnya. Tetapi adakah celah agar dana zakat bisa dipakai untuk pembangunan dan biaya operasional masjid? Dalam Fiqhuz Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradawi memberikan sebuah contoh yang memungkinkan antara lain masjid atau Islamic Center di berbagai negeri kafir yang tujuannya untuk mengislamkan mereka serta menyebarkan dakwah Islam disana, termasuk di antara institusi yang boleh dibiayai dari dana zakat.88
88 Dr. Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh Az-Zakah, Maktabah Wahbah Cairo, Edisi 25, 2006, jilid 2
hal. 680


Masjid seperti ini menurut beliau mirip dengan pasukan tentara yang ada di medan perang, berhadapan langsung dengan lawan untuk mempertahankan agama Islam. Keberadaan masjid di wilayah minoritas ini ibarat sepasukan tentara di mana mereka menjadi pioner dan agen keIslaman. Bedanya, kalau tentara menggunakan bedil dan mesiu, sedangkan masjid dengan dakwah dan pendidikan. Tetapi targetnya sama, mempertahankan agama Islam. Menurut beliau bila demikian kondisinya, masjid boleh dimasukkan ke dalam makna fi sabilillah. Namun tidak semua masjid menyandang misi itu. Betapa banyak masjid yang didirikan di tengah kemegahan, kenyamanan dan boleh dibilang tidak punya tantangan langsung dengan lawan. Maka sebaiknya masjid seperti ini tidak dibiayai dari sumber zakat. Tetapi tetap harus disumbang dari sumbersumber selain zakat, seperti infaq, waqaf, shadaqah jariah, hibah, saham dan seterusnya.

b. MTQ
Tidak ada yang menyangkal bahwa hajatan rutin Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) itu sangat besar
manfaatnya, khususnya untuk mensyiarkan Al-Quran Al-Kariem, lewat lomba membaca Al-Quran seindah-indahnya dan semerdu-merdunya.

Tidak ada yang menampik bahwa Al-Quran yang merupakan wahyu dari Allah SWT itu memang dianjurkan untuk dibaca dengan bacaan yang benar, suara merdu dan membuat orang tertarik.

Namun di sisi lain, hajatan seperti MTQ itu tidak bisa dipungkiri membutuhkan biaya yang tidak kecil. Sehingga panitia penyelenggara seringkali harus putar otak untuk mendapatkan anggaran. Lalu muncul ide, bagaimana kalau biaya yang amat besar itu dimintakan dari Badan Amil Zakat. Di bawah keawaman panitia MTQ dan pengurus Badan Amil Zakat, maka dana zakat pun dialokasikan untuk mengajakan hajatan MTQ. Itulah salah satu bentuk kekeliruan pengelolaan dana zakat.

c. Belanja Partai & Ormas
Yang lebih parah dalam penyimpangan pengelolaan zakat adalah penyalurannya untuk biaya operasional partai, atau pun organisasi masa lainnya, meski berafiliasi kepada Islam.

Seandainya partai, ormas dan institusi memang benarbenar menyalurkan harta ini kepada delapan asnaf yang telah ditetapkan Allah, maka lain lagi ceritanya. Sayangnya, yang sering kita lihat, bila sebuah partai butuh biaya operasional, entah untuk rapat, sewa gedung dan sebagainya, dananya diambilkan dari dana zakat. Kalau proyek yang dikerjakan oleh partai itu memang benar-benar murni dakwah, dalam arti yang sebenarbenarnya, bukan untuk sekedar membesarkan partai, kelompkok, organisasi atau lembaganya, memang ada pendapat dari beberapa ulama yang membolehkan.

Misalnya, Dr. Yusuf Al-Qaradawi membolehkan bila dana zakat digunakan untuk membina keimanan para pemuda di suatu tempat yang masih kurang kuat tingkat keimanannya. Atau untuk mengislamkan orang-orang kafir yang berada di suatu wilayah.

Tetapi yang lebih sering terjadi, sebuah partai lebih sering butuh dana untuk kampanye pemilihan kepala daerah (pilkada), ketimbang untuk benar-benar membiayai dakwah dalam arti secara langsung.

4. Dijadikan Modal Usaha
Seringkali dengan dalih pemberdayaan umat, oleh pengurusnya, harta zakat seringkali tidak diserahkan kepada mustahik, tetapi dijadilan modal usaha dimana para mustahik diikutkan dalam usaha itu. Seandainya dana itu bukan zakat, maka upaya untuk pemberdayaan seperti itu tentu sangat baik. Ibaratnya, kita tidak memberi orang miskin itu ikan, tetapi kita beri kail untuk mencari ikan.

Hanya saja masalahnya ini adalah harta zakat, dimana konsepnya memang pemberian ikan dan bukan pemberian kail. Sejatinya, ikan itu memang harus diberikan kepada fakir miskin agar segera dimakannya untuk mengganjal perutnya yang lapar.

Adapun niat mulia untuk memberdayakan umat lewat berbagai macam jenis usaha, tentu ada sumber pendanaannya tersendiri, tetapi yang pasti harus di luar harta zakat. Intinya dari larangannya adalah bahwa zakat itu memang harus diserahkan kepada para mustahiknya, sehingga terjadi perpindahan kepemilikan dari pemberi kepada penerima. Tapi kalau amil zakat kemudian menahan harta itu lalu diinvestasikan dalam berbagai jenis usaha perekonomian, tentu menjadi sesuatu yang menyalahi prinsip dasar dari kriteria harta zakat.

5. Dana Zakat Ditarik ke Pusat
Kesalahan fatal yang kerap dilakukan lembaga amil zakat adalah menarik dana zakat sebesar-besarnya dari suatu lingkungan masyarakat, lalu dana ini disetorkan ke kantor pusat, yang jaraknya beribu-ribu kilometer dari lokasi sumber zakat.

Dana zakat dari orang-orang kaya di nun jauh di Papua sana, kemudian seluruhnya disetorkan ke kantor pusat di Jakarta. Kemudian diolah sedemikian rupa, lalu didistribusikan ke Aceh. Padahal di Papua sana ada ribuan orang mati kelaparan tidak makan, sementara dana zakat dari wajib zakat mereka malah dikirim ke Aceh. Apesnya, dana itu sekedar untuk menggelar panggung gembira, menghadirkan musisi religi dan ustadz-ustadz TV yang kondang bertaraf national dan bertarif bak petinju profesional.

Seharusnya, setiap tempat dimana ada orang kaya yang wajib membayar zakat, maka tempat itu juga mendapat prioritas untuk distribusi zakat kepada fakir miskin. Sebab prinsip dasar operasi amil zakat adalah mengambil harta dari orang kaya di suatu tempat, untuk dikembalikan kepada orang miskin di tempat yang sama. Tidak perlu ada dana yang ditarik ke pusat.

D. Meluruskan Pandangan Masyarakat
Ada beberapa penyimpangan penerapan pelaksanaan syariat zakat di tengah masyarakat yang terlanjur sulit diluruskan, kecuali lewat berbagai edukasi yang tidak pernah berhenti. Dan ini menjadi sebuah proyek besar yang butuh keseriusan, dalam rangka meluruskan persepsi umat secara menyeluruh.

Di antara contoh pelurusan yang harus mendapatkan porsi agak lebih besar antara lain karena adanya beberapa kekuran-akuratan.

1. Zakat Dibayarkan Langsung Kepada Mustahik
Seorang kaya secara langsung mengeluarkan hartanya diberikan kepada orang miskin dengan niat ibadah zakat, bukan berarti zakatnya tidak sah. Namun kalau kita merujuk kepada contoh nyata apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, nampak jelas sekali perbedaannya. Beliau SAW telah mengangkat beberapa shahabat yang cakap dan mumpuni, untuk diserahkan tanggung-jawab memanage zakat secara profesional. Ibnu Sa’ad menerangkan nama-nama petugas zakat itu dan juga nama-nama sukusuku yang diatanginya, yaitu :

  • Uyayinah bin Hisn di utus ke Banu Tamim
  • Buraidah bin Hasib, ada juga yang menyatakan Ka’ab bin Malik, di utus ke Banu Aslam dan Banu Ghifar,
  • Abbad Ibnu Bisyr Asyhali diutus ke banu Sulaim dan Banu Muzainah
  • Rafi’ bin Makis diutus ke Bani Juhainah
  • Amr bin Ash diutus ke Banu Fazarah
  • Dhahhak bin Syufyan al kilabi diutus ke Banu Kilab
  • Burs bin Sufyan al Ka’bi diutus ka Banu Ka’ab
  • Ibnu Lutibah Azdi Azdi di utus ke Banu Zibyan
  • Seorang laki-laki dari Banu Sa’ad Huzaim diutus untuk mengambil zakat banu Sa’ad Huzaim.

Ibnu Ishaq mengemukakan tentang adanya golongan lain yang diutus Nabi SAW ke daerah dan suku lain di Jazirah Arabia, seperti :

  • Muhajir bin Umayyah yang diutus ke Sana’,
  • Zaid bin Labid ke Hadramaut,
  • ‘Adi bin Hatim ke Banu Thay dan Banu As’ad,
  • Malik bin Nuwairah ke Banu Hanzalah, Zabraqan bin Nadr dan
  • Qais bin Ashim ke Banu Sa’ad,
  • Ala’ bin Hadrami ke Bahrain dan Ali di utus ke Najran.

Beberapa hadits dan periwayatan diatas menunjukkan bahwa pengelolaan zakat oleh Negara sudah dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW dan diikuti oleh pemerintahpemerintah Islam sesudahnya dan masih banyak lagi hadits dan periwayatan yang menunjukkan akan hal itu. Tapi alasan sebagian kalangan yang tidak mau menyalurkan zakat lewat amil zakat kalau direnungkan, memang beralasan juga. Misalnya, zakat lewat amil itu kadang meninggalkan kekhawatiran apabila amil itu tidak amanah.

Selain itu juga seringkali amil zakat kurang bijaksana, mereka hanya menyedot dana zakat dari tengah masyarakat untuk disetorkan ke pusat, sementara orang-orang miskin di daerah itu sendiri malah tidak mendapatkan harta zakat. Padahal prinsip zakat itu bukan dana daerah disedot ke pusat, sebaliknya zakat adalah menarik sebagian harta milik orang kaya dan langsung dikembalikan kepada orang miskin, dalam satu lingkungan, komunitas atau lingkungan. Inilah yang ditekankan oleh Rasulullah SAW ketika beliau mengutus Muadz bin Jabal ke negeri Yaman :

خُذْهَا مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَرُدَّهَا فِى فُقَرَائِهِمْ
Ambillah harta zakat itu dari orang-orang kaya diantara mereka dan kembalikan kepada orang-orang faqir di antara mereka juga. (HR. Bukhari)

2. Zakat Dibayarkan Bukan Pada Waktunya
Fenomena datangnya bulan Ramadhan memang menarik, karena dimana-mana begitu banyak bermunculan stand dan outlet penerimaan zakat, khususnya di berbagai mal dan pusat perbelanjaan.

Keberadaan stand atau outlet zakat itu tentu menggembirakan, karena selain memudahkan mereka yang mau bayar zakat, nampak kesan bahwa bulan Ramadhan itu sedemikian syiar dan penuh suasana religi.

Tetapi di balik dari fenomena menarik itu, ada tertinggal sebuah pertanyaan, kenapa outlet-outlet zakat itu hanya bermunculan di bulan Ramadhan saja? Kenapa selesai lebaran dan 11 bulan berikutnya, kita tidak menemukan outlet-outlet seperti itu? Apakah hal itu berarti bahwa membayar zakat hanya dilakukan di bulan Ramadhan saja? Dan sayang sekali, ternyata kekhawatiran itu terbukti. Mereka yang bayar zakat di bulan Ramadhan ternyata memang tidak tahu menahu kalau ternyata zakat itu bukan hanya wajib dikeluarkan di bulan Ramadhan, tetapi tergantung jenis zakatnya, dan kapan mulai jatuh tempo haul dan nishab dari harta itu.

3. Zakat Dibayarkan Tidak Sesuai Besarannya
Dan sedikit sekali yang tahu tentang jenis-jenis zakat dari harta yang mana yang harus dikeluarkannya. Umumnya mereka hanya bilang bahwa zakat yang dikeluarkan adalah zakat mal.

Adapun bagaimana hitung-hitungannya, dan berapa yang harus dikeluarkan, ternyata yang bayar dan yang menerima pembayaran, sama-sama gelap alias tidak tahu. Petugas yang menerima zakat pun menerima begitu saja dan memberi tanda terima sambil tidak lupa membaca doa. Lucunya, dalam prakteknya pembacaan doa dan serah terima itu malah nyaris mirip orang lagi akad nikah, karena pakai acara bersalaman segala. Sesuatu yang sama sekali tidak penting untuk dikerjakan. Sementara yang jauh lebih penting, yaitu syarat dan ketentuan zakat, malah ditinggalkan begitu saja.

Ibarat orang shalat, tetap saja ada ketentuan dan syarat. Kita tidak boleh asal main shalat secara sembarangan. Shalat Dhuhur misalnya, tidak boleh dikerjakan di waktu Dhuha’, dan kalau dikerjakan juga, tentu shalat itu tidak sah. Shalat Dzhuhur juga tidak sah bila dikerjakan kurang atau malah lebih dari empat rakaat. Tidak mentang-mentang dikerjakan 12 rakaat, lantas dianggap shalat Dhuhur itu lebih besar pahalanya.

Demikian juga dengan zakat. Bila belum mencapai nisab dan haul, tentu belum mewajibkan zakat. Bila ada orang kebelet ingin bersedekah, tentu tidak boleh dilarang, tetapi bukan berarti disalurkan sebagai zakat. Seharusnya disalurkan lewat jalur sedekah yang lain, seperti wakaf, sumbangan sosial, sedekah sunnah, dan sejenisnya, yang penting bukan zakat. Sebab zakat punya ketentuan-ketentuan yang unik, yang hanya boleh dikerjakan bila semua syarat dan ketentuan itu terpenuhi.

3. Zakat Dijadikan Pencucian Harta
Kekeliruan persepsi yang juga sering melanda umat ini antara lain adalah menganggap berzakat itu sebagai bentuk pensucian harta. Sekilas pandangan ini kelihatannya benar, namun kalau ditelusuri lebih dalam, sesungguhnya ini merupakan sebuah kekeliruan fatal.

Sebab kalau dikatakan bahwa zakat itu mensucikan harta kita, akan terselip sebuah pesan bahwa harta yang kita miliki ini tidak bersih, alias harta yang haram. Dan karena harta itu haram, untuk membersihkannya lantas dikeluarkan zakatnya.

Akibatnya, zakat menjadi sebuah legalitas untuk upaya jahat dan licik, money laundring. Padahal sejatinya zakat itu bukan mesin pencuci harta haram, zakat bukan money laundring. Zakat tidak berfungsi sebagai pembersihkan harta yang haram agar menajdi halal. Sebaliknya, harta yang tidak halal justru hukumnya haram untuk dizakati.

Yang benar adalah bahwa zakat itu berfungsi untuk membersihkan diri dan jiwa orang yang melakukannya. Orang dapat mensucikan jiwa dan membersihkan hatinya dengan cara menunaikan zakat. Hal itu ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya :

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
Ambillah sedekah (zakat) dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan diri mereka. (QS. At-Taubah :103).

Ayat ini tidak mengatakan bahwa harta zakat berfungsi untuk mensucikan harta yang kita miliki, sebab harta yang kita miliki itu seharusnya memang sudah suci, karena kita dapat dengan jalan yang halal. Yang dimaksud di dalam ayat ini adalah disucikannya diri dan jiwa kita dengan cara berzakat.

4. Zakat Penentu Diterimanya Puasa Ramadhan?
Di tengah keawaman masyarakat Islam, beredar hadits palsu yang terlanjur dianggap sabda Rasulullah SAW, yaitu tentang pahala puasa yang menggantung di antara langit dan bumi, maksudnya tidak diterima Allah SWT, selama seorang hamba belum membayar zakat fithr. Lafadz hadits palsu itu kurang lebih demikian :

أَنَّ شَهْرَ رَمَضَانَ مُتَعَلِّقٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَا يَرْفَعُ إِلَّا بِزَكَاةِ الْفِطْرِ
(Pahala) bulan Ramadhan itu menggantung di antara langit dan bumi, tidak terangkat kepada Allah SWT kecuali dengan ditunaikannya zakat fihr.

a. Kritik Sanad
Al-Imam As-Suyuthi, seorang muhaddits besar dalam kitabnya, Al-Jami' Ash-Shaghir, menuturkan bahwa hadits ini adalah hadits yang dhaif meski tanpa menyebutkan alasannya.

Lafadz hadits diriwayatkan oleh Imam Ibnu Syahin dalam kitabnya, At-Targhib. Juga diriwayatkan oleh Imam Al-Dhiya''. Kedua orang ini meriwayatkan dari Jabir. Ibnul Jauzi dalam kitabnya, Al-Wahiyat, mengatakan bahwa di dalam sanad hadits itu adalah seorang perawi yang bernama Muhammad bin Ubaid Al-Bishri. Orang ini termasuk orang yang tidak dikenal identitasnya.89

89 Al-Minawi dalam Faidhul Qadir jilid 4 halaman 166
Fithr


Ibnu Hajar Al-Asqalani menguatkan penjelasan dari Ibnul Jauzi bahwa hadits ini tidak memiliki muttabi'. Maksudnya, tidak ada hadits lain yang senada dengan hadits itu secara esensi namun dengan sanad yang berbeda. Prof. Ali Mustafa Ya’qub, MA menyebutkan bahwa dirinya juga tidak menemukan penjelasan tentang orang ini. Jadi kesimpulan hadits ini tidak dapat dinilai karena ada perawi yang tidak dikenal alias majhul.

b. Kritik Matan Hadits
Selain lewat kritik sanad hadits, kita bisa melakukan kritik suatu hadits lewat matannya. Bila matannya bertentangan dengan ushul dan aqidah atau dengan dalildalil qoth’i yang lain secara berseberangan dan tajam, maka kritik dari segi matan bisa dilakukan. Secara matan hadits ini bertentangan dengan pendapat para ulama. Dan memang belum pernah kita mendengar ada ulama yang mengatakan bahwa amal-amal di bulan Ramadhan menjadi sia-sia selama belum mengeluarkan zakat. Hubungan antara zakat dengan puasa tidak terkait sebagaimana hubungan antara wudhu' dengan shalat.

Kalau dalam masalah shalat, kita memang mengakui bahwa salah satu syarat sah-nya adalah suci dari hadats. Sehingga bila seseorang shalat dalam keadaan hadats kecil tanpa berwudhu', para ulama sepakat bahwa shalat itu tidak sah.

Namun hubungan antara zakat dengan puasa tidak terjalin sebagai hubungan syarat dan masyrut. Masingmasing berdiri sendiri dan tidak saling menjadi syarat atas sah-nya ibadah yang lain.

Artinya, seorang yang melakukan berbagai aktifitas ibadah di bulan Ramadhan, asalkan dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukunnya, insya Allah SWT telah sah secara hukum di sisi Allah SWT. Tidak ada kaitannya apakah dirinya sudah menunaikan zakat atau belum.


Related Posts:

0 Response to "Z2. Kekeliruan Memahami Zakat"

Posting Komentar