Z1. Mengapa Hanya Zakat ?


Ikhtishar
A. Zakat Hanya Salah Satu Instrumen

B. Kelemahan Zakat
1. Sumbernya Terbatas
2. Alokasinya Terbatas
3. Pengelolaannya Terbatas

C. Wakaf : Potensi Yang Masih Perawan
1. Al-Azhar Mesir
2. Singapore

D. Perbedaan Waqaf Dengan Zakat
1. Manfaat Yang Terus Menerus
2. Pahala Yang Terus Menerus
3. Adanya Pengelola


A. Zakat Hanya Salah Satu Instrumen
Syariat Islam punya konsep pembiayaan yang amat banyak, zakat hanya salah satunya saja. Di luar zakat, kita mengenal banyak metode berbagi harta dalam rangka beraqarrub kepada Allah, seperti sedekah atau infaq sunnah, nafkah, mahar, wakaf, hibah, fidyah, kaffarah, cicilan, pinjaman, pembebasan hutang, memelihara anak yatim, membebaskan budak, qurban, aqiqah, dan lainnya. Semua merupakan jenis ibadah maliyah, yaitu ibadah yang bentuknya memberi atau berbagi harta, yang ditujukan agar bermanfaat buat yang menerima.

Umat Islam butuh pembiayaan di segala sektor, mengingat secara umum umat Islam di dunia ini termasuk mereka yang masih berada di bawah garis kemiskinan.

B. Kelemahan Zakat
Zakat memang sedikit banyak bisa dijadikan alternatif yang menawarkan solusi dari pembiayaan kebutuhan umat. Namun mengingat zakat merupakan syariat yang penuh dengan aturan dan ketentuan syariah yang sulit dilanggar, maka memaksakan zakat untuk menjadi satu-satunya solusi keuangan umat, termasuk perbuatan yang agak memaksakan diri.

Sebagai contoh sederhana, ketika wacana zakat profesi digulirkan oleh para ulama kontemporer, ternyata di sisi lain muncul berbagai resistensi dan keberatan dari sesama ulama yang berpengaruh juga. Sehingga upaya untuk menggalakkan zakat profesi masih tersandung-sandung dengan adanya ikhtilaf secara syar’i yang mengandung dan sekaligus mengundang perdebatan.

1. Sumbernya Terbatas
Zakat punya keterbatasan dalam hal sumbernya, mengingat bahwa tidak semua kekayaan yang dimiliki oleh seseorang termasuk wajib dikeluarkan zakatnya. Bahkan meski nilai nominalnya tinggi, tetapi bila bentuk atau jenis harta itu tidak memenuhi kriteria kewajiban zakat, maka harta itu tidak bisa dipaksa untuk wajib dizakatkan.

a. Hanya Harta Produktif
Seorang yang punya koleksi puluhan mobil mewah yang tidak produktif, meski nilai kekayaannya milyaran, tidak bisa ditarik zakat atas kepemilikannya. Demikian juga seorang yang punya tanah berhektarhektar, meski nilai NJOP tanah itu ratusan milyar, selama tidak produktif tanah itu tidak ada kewajiban zakatnya. Hal ini mengingat bahwa di antara syarat harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah bahwa harta itu bersifat produktif, tumbuh, atau memberikan pemasukan. Istilahnya, harta itu bersifat an-nama’ ( النَّمَأ )

b. Hanya Yang Melebihi Kebutuhan Dasar
Para ulama sepakat bahwa hanya orang yang kebutuhan dasarnya telah terpenuhi saja yang wajib membayar zakat. Sebab kewajiban dasar seseorang terlebih dahulu adalah memenuhi kebutuhan dasar atau hajat dasar untuk berlangsungnya kehidupan. Dan hajat itu sering diistilahkan dengan al-hajah al-ashliyah ( الحاجة الأصلیة ) Mereka yang punya nominal gaji besar, namun punya kewajiban untuk memberi nafkah dasar kepada orang-orang yang menjadi tanggungannya, tentu belum wajib mengeluarkan zakat. Sehingga zakat profesi tidak berlaku untuknya.

Bila gajinya 3 juta, tetapi punya 4 istri dan dari masingmasing istri lahir 12 anak, maka mulut yang wajib diberi makan tidak kurang dari 52 buah, plus satu yaitu mulutnya sendiri. Gaji yang 3 juta itu jelas tidak akan cukup sekedar buat makan saja, belum lagi urusan sewa rumah, listrik, air, ongkos transportasi dan seterusnya. Alih-alih punya kelebihan, yang terjadi justru tombok. Pertanyaannya, apakah orang seperti itu mau diwajibkan untuk membayar zakat profesi?

c. Hanya Harta Pribadi
Dalam syariat Islam, harta yang wajib dikeluarkan zakatnya hanya harta yang dimiliki oleh orang per orang, atau harta milik pribadi. Sedangkan harta milik publik, dimana pemiliknya adalah sejumlah orang tanpa jelas prosentase kepemilikannya, tidak wajib dizakatkan.

Bahkan sebuah perusahaan tidak wajib untuk membayar zakat, sebab pemilik perusahaan itu bisa saja orang yang tidak wajib membayar zakat, karena kekafirannya. Dalam hal ini, yang bayar zakat setidaknya hanyalah mereka yang muslim yang menjadi pemilik saham di suatu perusahaan. Artinya, yang membayar zakat pada hakikatnya pribadipribadi, bukan dalam arti institusi.

d. Harta Yang Dimiliki Secara Sempurna
Hanya harta yang dimiliki secara sempurna saja yang wajib dikeluarkan zakatnya. Sedangkan harta yang kepemilikannya tidak sempurna, tidak diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya.

Emas yang dicuri dan tidak lagi jadi disimpan, tentu secara hukum masih menjadi miliknya, kalau ditemukan atau kembali. Tetapi kalau hilang seterusnya, maka pemiliknya sudah tidak perlu lagi mengeluarkan zakatnya. Demikian juga uang yang dipinjam pihak lain, dan hampir mustahil kembali, maka pemiliknya tidak lagi wajib membayarkan zakatnya.

Termasuk harta yang dimiliki tidak sempurna adalah harta milik negara, sehingga asset-asset milik negara meski pun bersifat produktif, jelas tidak ada kewajiban zakatnya.

e. Hanya yang Bebas Kewajiban Membayar Hutang
Seorang yang punya harta yang telah memenuhi kewajiban untuk membayar zakat, tetapi di sisi lain dia punya kewajiban untuk melunaskan hutangnya, maka yang harus diprioritaskan bukan membayar zakat, melainkan membayar hutang.

Membayar hutang lebih didahulukan dari membayar zakat, bila pilihannya satu di antara keduanya. Bahkan para ulama masih berbeda pendapat atas kewajiban zakat tanaman yang bukan merupakan makanan pokok, seperti petani buah-buahan segar, sayuran, jamur dan sejenisnya. Para ulama juga masih berbeda pendapat tentang kewajiban zakat atas hasil ternak di luar unta, sapi, dan kambing, seperti ternak ikan, kepiting, atau ulat sutera.

2. Alokasinya Terbatas
Di sisi lain, pihak-pihak yang berhak untuk menerima harta zakat pun juga terbatas. Al-Quran hanya membatasi kepada 8 ashnaf saja, yang bila ada usaha untuk meluaskan pengertiannya, selalu akan muncul penentangan dari para ulama.

Hal itu karena Al-Quran menegaskan bahwa alokasi harta zakat itu ditetapkan secara eksklusif.

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغَارِمِيْنَ وَفِى سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ فَرِيضَةً مِنَ اللّٰهِ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS. At-Taubah : 60)

Yang pasti dana zakat tidak dibenarkan begitu saja digunakan untuk membangun masjid, mushalla, pesantren, sekolah, dan sejenisnya, kecuali dengan jalan ijtihad yang tentu akan segera menimbulkan perdebatan fiqih. Dana zakat juga tidak dibenarkan bila diserahkan kepada anak-anak yatim atau para janda, kecuali bila mereka memang masuk dalam kategori miskin atau fakir.

3. Pengelolaannya Terbatas
Ketika dana zakat yang terkumpul untuk dialokasikan kepada mereka yang berhak, maka akan muncul kendala bila harta itu terlebih dahulu dikelola dengan cara diinvestasikan agar menjadi dana abadi. Apakah secara fiqih hal itu dibenarkan? Bukankah harta zakat itu sifatnya harus diserahkan apa adanya kepada para mustahiq-nya, ketimbang ditahan-tahan untuk diputar atau diinvestasikan? Pendek kata, secara hukum fiqih, banyak pendapat yang melarang pihak amil zakat untuk mengelola dana zakat sebagai bentuk perputaran uang dan sejenisnya.

C. Wakaf : Potensi Yang Masih Perawan
Ketimbang ‘memperkosa’ zakat dan memaksa zakat keluar dari ketentuan syariat dengan alasan ijtihad, yang hanya akan menimbulkan banyak perdebatan dan perbedaan pendapat di kalangan ulama, mengapa tidak sebaiknya kita beralih kepada bentuk pembiayaan dana umat yang lain, yang memang sejak lahirnya sudah dialokasikan sebagai bentuk dana produktif?

Yang dimaksud adalah pengelolaan harta wakaf, yang tidak terlalu ketat dalam ketentuannya, baik dari sisi jenis harta yang bisa dijadikan wakaf, atau pun siapa saja yang berhak untuk menerima manfaatnya, serta sistem pengelolaannya yang boleh diatur dengan bebas. Dalam zakat, harta yang wajib dikeluarkan zakatnya sangat terbatas, sedangkan dalam wakaf, apapun jenis dan bentuk hartanya, asalkan bisa disimpan pokoknya dan dimanfaatkan terus menerus, tetap bisa dijalankan. Kalau dana zakat masih diperdebatkan untuk membangun masjid atau mushalla, maka dana wakaf tentu saja tidak ada larangan atau keterbatasannya. Dana wakaf bisa digunakan untuk apapun, termasuk membangun jalan, membiayai pedagang kecil, membiayai rumah sakit, bea siswa, atau penciptakaan lapangan kerja buat kalangan miskin. Intinya, harta itu bisa bermanfaat, tanpa terikat dengan kriteria tertentu.

Wakaf adalah sebuah fenomena yang menarik untuk diamati, karena merupakan salah satu keunggulan sistem syariat Islam dalam mengelola harta demi kebaikan umat.

1. Universitas Al-Azhar Mesir
Salah satu bukti nyata yang masih bisa kita saksikan dari kedahsyatan wakaf adalah Universitas Al-Azhar di Mesir. Banyak orang salah kira, bahwa Al-Azhar yang sudah berusia lebih dari 1000 tahun itu milik pemerintah Mesir. Padahal jauh sebelum Republik Arab Mesir berdiri, Al-Azhar sebagai bentuk nyata wakaf umat Islam telah berdiri. Al-Azhar telah mengalami berbagai dinasti yang bergontaganti, sejak berdirinya di masa dinasti Bani Fathimiyah dan Bani Ayyubiyah. Sejarah Al-Azhar mengukir indah namanama besar yang membentang dari Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi hingga Dr. Yusuf Al-Qaradawi.

Yang menarik, Al-Azhar bukan hanya sekedar mampu bertahan selama seabad, tetapi juga masih mempertahankan tradisi menggratiskan puluhan ribu mahasiswanya yang datang dari berbagai penjuru dunia. Amat kontras dengan dunia pendidikan di negeri kita yang sudah menjadi kewajiban negara, tetapi masih rakyat masih harus membayar dengan harga yang bersaing dengan kampus swasta, Al-Azhar di Mesir tidak punya sejarah menarik uang SPP dan sejenisnya.

Yang ada justru para mahasiswa ini menerima beasiswa dari Al-Azhar. Saat ini saja jumlah mahasiswa Indonesia di Masir tidak kurang dari 5.000 orang. Malaysia jiran kita punya mahasiswa tidak kurang 15.000 orang yang menimba ilmu di institusi ini. Dan kalau ditotal akan ada puluhan ribu mahasiwa dari berbagai belahan dunia yang menerima beasiswa dari lembaga swasta ini. Semua yang belajar ilmu agama tidak perlu membayar uang SPP atau pungutanpungutan lainnya. Kalau toh butuh biaya hanyalah biaya untuk hidup, makan dan segala kebutuhan pribadi.

Dan yang harus dicatat, para mahasiswa ini kalau sudah lulus diberi hadiah berupa tiket pesawat untuk pulang ke negerinya. Dan di berbagai negeri, ada ribuan para ulama Al-Azhar yang ditanam untuk mengajarkan berbagai ilmu agama, dengan biaya dari Al-Azhar Mesir. Semua itu dalam satu kerangka bahwa Al-Azhar bukan lembaga milik negara Mesir. Tetapi merupakan lembaga swasta yang hidupnya dari harta wakaf. Cuma dari wakaf?

Ya, memang cuma dari wakaf. Tetapi wakaf tidak bisa dibilang "cuma". Seba total harta wakaf milik Al-Azhar memang luar biasa besar. Begitu banyak aset yang sudah menjadi milik Al-Azhar, ada sawah, perusahaan, dan berbagai usaha yang produktif, sehingga mampu menggerakkan roda lembaga yang sudah berusia 1000 tahun ini.

Bahkan konon di masa lalu saat keuangan negeri Mesir mengalami krisis, salah satu yang menyelamatkannya justru Al-Azhar. Maka wajarlah bila Al-Azhar di Mesir punya kedudukan tersendiri di mata pemerintahan, bahkan di mata berbagai pemerintahan Islam di berbagai negara. Syaikul Azhar adalah pemimpin tertinggi di lembaga itu, kalau berkunjung ke berbagai negeri Islam disambut layaknya seorang kepala negara. Sebab boleh dibilang hampir semua ulama besar di dunia ini dahulu menimba ilmu di lembaga ini. Kalau pun tidak secara langsung, guru dari para ulama itulah yang termasuk abnaul-azhar.

Al-Azhar baru sebuah contoh kecil bagaimana harta wakaf kalau dikelola secara profesional, sungguh dahsyat hasilnya. Bahkan penulis yakin, dibandingkan dengan pengelolaan harta zakat yang agak terlalu banyak aturan, mengelola harta wakaf justru amat fleksible, mudah dan elastis. Sebab wakaf tidak mengikatkan diri hanya untuk mengurusi fakir miskin seperti zakat, tetapi bisa masuk ke wilayah manapun, termasuk yang bersifat pengembangan dan penelitian.

Karena itulah di berbagai negara Islam, umumnya ada kementerian khusus yang mengurusi harta wakaf ini, mulai dari urusan regulasinya hingga aturan dan ketentuan serta perundang-undangannya. Sehingga di berbagai negara, wakaf menjadi sangat bagus berkembang dan memberi manfaat yang luas serta mampu menjawab berbagai tantangan.

2. Singapore
Bahkan di Singapore, negeri yang boleh dibilang sekuler dan dipimpin oleh non muslim, sistem wakafnya berkembang dengan baik. Salah satunya yang Penulis pernah dikenalkan adalah Waaris, yaitu lembaga yang banyak mengelola berbagai hotel mewah bertaraf international. Yang menarik, modal yang dipakai untuk bisnis kelas international ini justru datang dari harta wakaf umat Islam. Sehingga wakaf dapat memberikan pemasukan yang cukup besar dan amat signifikan.

Sayangnya di Indonesia, wakaf malah kurang terurus dengan baik. Yang justru mendapat porsi lebih besar adalah zakat. Memang zakat juga termasuk bagian dari syariat Islam, namun menurut hemat Penulis, mengelola harta zakat terasa lebih rumit, karena di dalamnya banyak khilaf dan perbedaan pendapat, serta perdebatan yang tiada habisnya. Mulai dari kontroversi masalah zakat profesi yang ternyata tidak bulat disepakati para ulama, sampai perbedaan dalam masalah distribusi harta zakat yang tidak pernah selesai. Sedangkan mengelola harta wakaf justru sangat menantang, karena selain wakaf juga bagian dari syariat Islam, ternyata amat mudah ketentuannya dan amat luwes, sedangkan bidangnya justru lebih ke arah pengembangan usaha dan bisnis.

Sebenarnya menurut heman Penulis, yang lebih tepat dikembangkan di Indonesia ini adalah pengelolaan wakaf, sebab umumnya mereka yang mengurusi lembaga amil zakat lebih sering bermain di bidang usaha dan bisnis dari harta zakat, padahal masalah ini mendapat banyak resistensi dari para ulama.

Sedangkan harta wakaf, sejak dari awalnya memang diniatkan untu pengembangan usaha. Lihat saja harta wakaf pertama yang disumbangkan dalam sejarah Islam, berupa kebun kurma yang punya nilai ekonomis yang tinggi. Seorang teman pernah mengitung-hitung, berapa penghasilan petani kurma Madinah. Ternyata hasilnya tidak main-main. Sebab kurma ternyata merupakan buah termahal di dunia. Sekilo kurma Nabi atau yang lebih dikenal dengan kurma ajwa bisa mencapai 100 riyal Saudi, kalau dirupiahkan satu Riyal Saudi bisa mencapai 3000-an rupiah. Berarti harga sekilo kurma ajwa antara Rp. 250.000 hingga Rp. 300.000.

Padahal ada teman yang bilang, satu pohon kurma sekali panen bisa mencapai 500 kg. Anggaplah kurma itu masih basah dan kalau sudah kering akan menyusut separuhnya menjadi 250 kg, tetap saja nilainya luar biasa tinggi. Coba kalikan Rp. 300.000 dengan 250 Kg, hasilnya berapa? Ya, ternyata satu pohon kurma sekali panen bisa menghasilkan Rp. 75.000.000,-. Bayangkan bila Umar bin Al-Khattab saat itu punya 1000 batang pohon, maka sekali panen beliau akan memiliki 75 milyar. Nilai itu untuk sekali panen dalam satu tahun. Artinya, setiap setahun sekali seorang bisa berinfak dengan nilai 75 milyar. Luar biasa bukan?

Tetapi kembali lagi, pengelolaan harta wakaf di Indonesia justru malah kebalikannya. Umumnya wakaf adalah istilah yang digunakan untuk benda-benda yang sudah kurang layak dimiliki dan kurang
berharga. Entah dari mana seolah harta yang diwakafkan juga merupakan harta yang sudah tidak ada harganya lagi, seperti kipas dari anyaman bambu yang butut dan sudah terurai, atau berbentuk tikar shalat yang usang dan jamuran, bahkan harta wakaf sering berbentuk karpet bekas yang sudah bulukan dan bau tidak sedap, yang diwakafkan untuk sebuah musholla, dimana mushollanya itu memang sudah reyot, menunggu ambruk karena tak terurus.

Ya, harta wakaf lebih dikenal sebagai harta tak terurus yang memang seringkali tidak ada manfaatnya. Misalnya sebidang tanah di balik gunung yang tidak ada penghuninya. Memang dalam waktu lama, nanti tanah itu akan berharga. Tetapi biasanya, orang mewakafkan tanah yang sekiranya harganya amat murah, dan tidak ada peradaban manusia kecuali setelah 100 tahun lagi.
Itulah tipologi harta wakaf di negeri kita, sungguh jauh dari kesan maju dan menjanjikan, sebagimana dikelola di Mesir dan di Singapore.

D. Perbedaan Waqaf Dengan Zakat
Sebagaimana zakat, waqaf juga merupakan bagian dari ibadah maliyah. Namun wakaf punya beberapa spesifikasi yang unik dan membedakannya dengan sedekah lainnya, khususnya zakat. Di antara keunikan wakaf antara lain :

1. Manfaat Yang Terus Menerus
Harta yang diwaqafkan adalah harta yang punya manfaat yang terus menerus bisa dirasakan oleh mereka yang telah diberi hak untuk mendapatkannya. Sedangkan zakat umumnya merupakan sedekah yang manfaatnya langsung habis sekali pakai. Sebab prinsip zakat itu memang menyerahkan harta sepenuhnya kepada mustahik. Berbeda dengan wakaf, dimana harta itu tetap dipelihara agar bisa terus berproduksi, manfaatnya saja yang nanti diberikan kepada mereka yang berhak. Sehingga manfaatnya akan terus menerus bisa dinikmati, tidak habis sekali pakai. Pohon yang tiap tahun berbuah adalah jenis benda yang bisa diwakafkan, yaitu buah-buahan yang tumbuh dari pohon itu. Seperti yang dilakukan oleh Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu ketika menerima sebidang kebun kurma. Oleh Rasulullah SAW beliau disarankan untuk mewakafkan kebun kurma itu, agar tiap kali panen hasilnya bisa disedekahkan demi kepentingan orang-orang yang membutuhkan.

Demikian juga dengan sumur yang airnya banyak dibutuhkan orang banyak, apalagi sumur yang ada di tengah padang pasir, dimana setiap musafir pasti akan membutuhkan air untuk minum dan keperluan lainnya. Sumur seperti itu termasuk harta yang bisa diwakafkan, karena manfaatnya terus bisa dirasakan orang. Utsman bin Al-Affan radhiyallahuanhu pernah membeli sebuah sumur dari seorang Yahudi yang menjual air di sumur itu dengan harga yang mahal. Setiap ada orang ingin minum atau mengambil air di sumur itu, harus membayar dengan harga yang mencekik.

Lalu sumur itu pun dibelinya dan diwaqafkan buat kepentingan khalayak. Siapa saja boleh minum dari air sumur itu dan mengambil manfaat dari airnya, termasuk si yahudi yang tadinya menguasai sumur itu. Sedangkan sepiring nasi tidak bisa diwakafkan, karena begitu dimakan, habislah manfaatnya dan tidak bisa dimanfaatkan lagi. Demikian juga satu sha' kurma yang dijadikan sebagai pembayar zakat fithr di hari Idul Fithr, punya manfaat yaitu mengenyangkan perut yang menerimanya, namun manfaat itu habis sekali pakai. Begitu makanan itu ludes masuk perut, maka manfaatnya pun habis, tidak bisa tebarukan lagi.

Ketika kita datang ke daerah bencana untuk membagibagikan ransum makanan, tentu tindakan itu berpahala besar, karena memang dibutuhkan oleh banyak orang. Tetapi kalau kita membangun kembali fasilitas umum yang manfaatnya bisa terus menerus dirasakan oleh para korban bencana, tentu pahalanya akan terus menerus kita terima.

2. Pahala Yang Terus Menerus
Karena manfaat wakaf itu terus bisa didapat dan dirasakan, maka setiap kali ada manfaat yang didapat, pahalanya pun diberikan oleh Allah. Dan demikian terus, selama masih bisa dimanfaatkan harta itu, maka selama itu pula pahalanya akan didapat. Maka sering disebut dengan sedekah yang pahalanya terus mengalir, atau shadaqah jariyah.

Kalau benda atau harta yang kita wakafkan terus masih aktif memberikan manfaat kepada orang banyak selama 100 tahun misalnya, maka kita akan terus menerus menerima pahala selama 100 tahun itu.

Dan kalau apa yang telah kita wakafkan itu bisa terus terawat dengan baik, sehingga bisa berumur lebih panjang lagi hingga seribu tahun, seperti Masjid dan Universitas Al-Azhar di Mesir, maka pahalanya tentu akan tidak terhingga. Sebab orang yang mewakafkan mungkin sudah jadi tanah, tetapi pahalanya terus menerus mengalir.

3. Adanya Pengelola
Sama seperti zakat yang ada amilnya, wakaf pun demikian juga, harus ada nadzir atau pengelola harta wakaf. Keberadaannya dibutuhkan untuk memastikan apakah harta wakaf itu tetap terus bisa memberikan manfaat yang sebesarbesarnya kepada pemberi wakaf atau tidak.

Di pundak pengelola wakaf itulah ada beban dan tanggung-jawab yang berat, sebab dirinya diberi amanah yang tidak kecil dari pemberi harta wakaf, untuk bisa terus menerus mengirimkan pahala kepadanya, baik ketika masih hidup atau pun setelah meninggalnya.

Perbedaannya dengan amil zakat sederhana sekali, yaitu amil zakat tidak bertanggung-jawab urusan pemeliharaan atau pengelolaan harta yang telah dikumpulkan, karena tugas berikutnya hanya sekedar membagi-bagikan saja, amil zakat tidak diwajibkan mengelola harta zakat dalam arti yang bertanggung-jawab untuk memelihara. Semua harta zakat itu harus diberikan kepada mereka yang membutuhkan dengan utuh dan bulat apa adanya. Kalau pun ada hak dari pengelola zakat, itu memang telah dijamin Allah SWT, sebagai upah bagi amil. Tetapi selebihnya, harta itu diserahkan kepada yang berhak menerimanya, dengan menyerahkan ‘ain dari harta itu.



Related Posts:

0 Response to "Z1. Mengapa Hanya Zakat ?"

Posting Komentar