V. Yang Berhutang



Ikhtishar
A. Pengertian
1. Bahasa
2. Istilah

B. Motivasi Berhutang

C. Syarat Gharim
1. Beragama Islam
2. Bukan Ahli Bait
3. Untuk Kebutuhan Mendasar
4. Bukan Maksiat
5. Sudah Jatuh Tempo
6. Tidak Mampu Mencicil

D. Anjuran Tidak Berhutang
1. Haram Berhutang Dengan Bunga
2. Menghalangi Masuk Surga
3. Setara Kufur
4. Mudah Berdusta

Mustahik yang kita bahas sekarang ini adalah orang
yang berhutang. Al-Quran menyebutkannya dengan istilah
al-gharimin ( الغارمین )

A. Pengertian
1. Bahasa
Secara bahasa, kata gharim bermakna orang yang wajib membayar hutangnya. Dalam bahasa Arab, kata gharim juga sering disebut dengan istilah al-madin.

2. Istilah
Tetapi dalam istilah hukum syariat, istilah al-gharim punya definisi yang lebih spesifik, yaitu :

اَلْمَدِينُونَ الْعَاجِزُونَ عَنْ وَفَاءِ دُيُونِهِمْ
Orang yang berhutang dan tidak mampu untuk membayar hutangnya.

Jadi sekedar seseorang punya hutang, belum termasuk ke dalam kategori gharim, kecuali sampai dia tidak mampu untuk membayar hutangnya yang tetap masih menjadi kewajiban yang ada di atas pundaknya.

Al-Mujahid juga mendefinisikan istilah gharim dengan redaksi :

هُمْ قَوْمٌ رَكِبَتْهُمُ الدُّيُونُ مِنْ غَيْرِ فَسَادٍ وَلَا تَبْذِيْرٍ
Kaum yang ditunggangi oleh hutang yang bukan karena fasad atau tabdzir.

B. Motivasi Berhutang
Dalam hal ini As-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah mengatakan ada dua kemungkinan orang yang berhutang. Pertama, seseorang berhutang untuk keperluan dirinya sendiri. Dalam hal ini, bila pada dasarnya dia adalah orang kaya dan berkecukupan, tidaklah berhak atas dana zakat. Kedua, seseorang berhutang untuk kepentingan pihak lain, seperti untuk mengishlah pihak-pihak yang bersengketa, maka dia berhak atas dana zakat untuk menutupi hutangnya itu, tanpa melihat apakah dia miskin atau kaya. Meski dia kaya, tapi tetap berhak atas dana zakat. Sedangkan Al-Hanafiyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan gharim adalah orang yang sudah dikejar oleh penagih hutang, namun tidak punya harta untuk membayarnya.

C. Syarat Gharim
Gharim yang pertama adalah orang yang berhutang karena kemashlahatan diri sendiri. Di antara contohnya adalah orang yang berhutang untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Para ulama sepakat bahwa orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, lalu terpaksa berhutang dan dia tidak mampu membayarnya, maka orang itu berhak mendapatkan harta dari zakat. Namun tentu saja ada persyaratan yang harus dipenuhi, sebagaimana syarat yang diajukan oleh para ulama. Syaratsyarat itu antara lain :

1. Beragama Islam
Syarat kemusliman adalah syarat mutlak yang sebenarnya berlaku untuk semua orang yang berhak atas zakat. Namun dalam bab ini ditegaskan lagi, mengingat orang sering lupa bahwa hanya umat Islam saja yang bila berhutang boleh dibayarkan hartanya itu dari dana zakat. Sedangkan hutang-hutang yang menjadi tanggungan seorang non muslim, maka tidak boleh diambilkan dari dana zakat. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :

فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللّٰهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ فِى فُقَرَائِهِمْ
Beritahukan kepada mereka bahwa Allah SWT telah mewajibkan zakat yang diambil dari orang-orang kaya dan dikembalikan kepada orang-orang faqir di antara mereka (HR. Bukhari Muslim)

2. Bukan Ahli Bait
Ahlul-bait adalah keluarga Rasulullah SAW dan keturunan beliau. Hukumnya haram menerima harta zakat, meski mereka miskin atau pun terlibat hutang. Kalau pun ada pihak-pihak yang ingin membantunya, tidak dilarang, tetapi tidak boleh diambilkan dari harta zakat. Dalilnya adalah hadits berikut ini :

Sesungguhnya shadaqah itu tidak pantas untuk keluarga
Muhammad, karena itu adalah kotoran harta manusia."

Cucu Rasulullah SAW, Hasan bin Ali bin Abi Thalib radiallahuanhu mengambil korma shadaqah, maka Nabi SAW berkata:

"Kuh, kuh (supaya Hasan membuangnya), Tidakkah kau tahu bahwa kita tidak memakan shadaqah." (Muttafaq alaih)

3. Untuk Kebutuhan Mendasar
Syarat ini adalah syarat yang paling penting, yaitu bukan hutang sembarang hutang, melainkan hutang untuk memenuhi hajat yang paling dasar. Demikian menurut mazhab Al-Malikiyah. Adapun hutang bisnis atau untuk kebutuhan yang sudah melewati kebutuhan paling mendasar, maka tidak termasuk dalam syarat ini.

Dan di masa sekarang, tidak ada pengusaha yang sukses kecuali punya hutang. Begitu juga, di masa sekarang, tidak ada orang kaya kecuali punya hutang. Bahkan berhutang justru menjadi simbol kekayaan di masa kini. Orang-orang yang didompetnya ada sederet kartu kredit sering diasumsikan sebagai orang kaya. Padahal kalau kita teliti, orang yang menggunakan kartu kredit untuk berbelanja atau membayar ini dan itu, pada hakikatnya dia sedang berhutang. Lantas apakah orangorang yang punya sederet kartu kredit itu otomatis berhak menerima harta zakat?

Jawabnya tentu saja tidak. Sebab hutang yang membolehkan seseorang berhak menerima zakat adalah hutang yang dilakukan karena keterpaksaannya untuk menyambung hajat hidup yang paling dasar. Karena saking miskinnya sudah tidak punya apa-apa lagi untuk sekedar menghilangkan rasa lapar, maka terpaksa dia berhutang.

4. Bukan Maksiat
Syarat yang juga tidak kalah pentingnya adalah bahwa hutangnya itu bukan hutang dalam rangka bermaksiat kepada Allah. Maka orang yang berhutang untuk berzina, membunuh orang, mencuri atau modal untuk melakukan korupsi dan seterusnya, maka hutangnya itu tidak boleh dibayar dengan harta zakat.

5. Sudah Jatuh Tempo
Sudah jatuh tempo berarti bila hutang itu masih lama jadwal pembayarannya, maka belum boleh diambilkan dari harta zakat. Misalnya seseorang berhutang 10 juta rupiah untuk masa waktu 5 tahun. Maka harta zakat tidak boleh dikeluarkan saat ini, karena masih ada waktu panjang bagi orang yang berhutang untuk bekerja mencari nafkah dan menabung untuk membayar hutang-hutangnya. Juga bisa dilakukan dengan mencicil hutangnya itu.

6. Tidak Mampu Mencicil
Syarat berikutnya adalah bahwa orang yang berhutang itu tidak mampu membayarnya walau pun dengan mencicilnya. Di masa sekarang ini, hampir semua orang berhutang dalam arti membeli secara kredit, untuk memenuhi kebutuhan hidup, baik kebutuhan yang mendasar atau pun kebutuhan yang bersifat tambahan. Membeli secara kredit itu hutang, tetapi bukan termasuk hutang yang membuat seseorang berhak untuk menerima harta zakat.

D. Anjuran Tidak Berhutang
Adanya ketentuan dari syariah untuk membantu orang yang terjerat hutang adalah solusi yang cerdas. Namun fasilitas bantuan dari syariah Islam ini bukan untuk disalahgunakan. Ketentuan untuk membantu orang yang berhutang tidak boleh dijadikan alasan pembenar bagi umat Islam untuk lebih leluasa berhutang.

Sebab pada dasarnya berhutang itu perbuatan yang kurang terpuji, dan tentunya punya banyak resiko. Apalagi bila hutang itu diiming-imingi lewat fasilitas pinjaman berbunga para rentenir, termasuk lewat kartu kredit yang tidak punya kepentingan.

1. Haram Berhutang Dengan Bunga
Hampir semua hutang yang ada di masa sekarang ini memberlakukan sistem bunga. Padahal bunga, apa pun nama dan istilah yang dipakai, tetap merupakan dosa besar yang nyata diharamkan dalam agama. Maka seseorang yang meminjam uang dengan sistem bunga, meski pun dia mampu untuk membayarnya, tetap saja dia berdosa, walaupun dia ikhlas dan ridha untuk mengeluarkan harta membayar bunga.

Sebab haramnya riba sama dengan haramnya zina, sekali dikatakan terlarang, walau pun dilakukan dengan samasama suka, sama-sama ikhlas dan sama-sama ridha, tetap merupakan dosa besar. Pelakunya termasuk orang yang wajib bertaubat secara khusus, bukan sekedar beristighfar. Riba memiliki sejarah yang sangat panjang dan prakteknya sudah dimulai semenjak bangsa Yahudi sampai masa Jahiliyah sebelum Islam dan awal-awal masa ke-Islaman. Padahal semua agama Samawi mengharamkan riba karena tidak ada kemaslahatan sedikitpun dalam kehidupan bermasyarakat.

Riba adalah bagian dari 7 dosa besar yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Sebagaimana hadits berikut ini :

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صلى اللّٰه عليه وسلم قَالَ : اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَلُوا : وَمَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللّٰهِ؟ قَالَ : السِّرْكُ بِاللّٰهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللّٰهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحصَناتِ الْغَافِلاتِ الْمُؤْمِنَاتِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Jauhilah oleh kalian tujuh hal yang mencelakakan". Para shahabat bertanya,"Apa saja ya Rasulallah?". "Syirik kepada Allah, sihir, membunuh nyawa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, makan riba, makan harta anak yatim, lari dari peperangan dan menuduh zina. (HR. Muttafaq alaihi).

Tidak ada dosa yang lebih sadis diperingatkan Allah SWT di dalam Al-Quran, kecuali dosa memakan harta riba. Bahkan sampai Allah SWT mengumumkan perang kepada pelakunya. Hal ini menunjukkan bahwa dosa riba itu sangat besar dan berat.

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰه وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنْ الرِّبَا إِنْ كُنْتُم مُؤْمِنِيْنَ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللّٰهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman.Maka jika kamu tidak mengerjakan , maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat , maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak dianiaya. (QS. Al-Baqarah : 278-279)

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ : لَعَنَ رَسُولُ اللّٰهِ صلى اللّٰه عليه وسلم اٰكِلَ اَلرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ : هُمْ سَوَاءٌ - رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Ibnu Mas'ud ra bahwa Rasulullah SAW melaknat pemakan riba’, yang memberi makan, kedua orang saksinya dan pencatatnya.(HR Muslim)

عَنْ عَبْدِ اللّٰهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ عَنْ اَنَّبِيِّ صلى اللّٰه عليه وسلم قَالَ : اَلرِّبَا ثَلَاثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ اَلرَّجُلُ أُمَّهُ
Dari Abdullah bin Masud RA dari Nabi SAW bersabda,"Riba itu terdiri dari 73 pintu. Pintu yang paling ringan seperti seorang laki-laki menikahi ibunya sendiri. (HR. Ibnu Majah dan Al-hakim)

عَنْ عَبْدِ اللّٰه بْنِ حَنْظَلَة غَسِيْلُ الْمَلَائِكَةِ قَلَ : قَالَ رَسُولُ اللّٰه صلى اللّٰه عليه وسلم دِرْهُمُ رِبَا يَأْ كُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتٍّ وَثَلَاثِيْنَ زَنِيَّة-رواه أحمد
Dari Abdullah bin Hanzhalah ghasilul malaikah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Satu dirham uang riba yang dimakan oleh seseorang dalam keadaan sadar, jauh lebih dahsyah dari pada 36 wanita pezina. (HR. Ahmad)

2. Menghalangi Masuk Surga
Namun meski hutang itu tanpa bunga, tetap saja hutang itu akan memberatkan seseorang dari masuk surga. Sebab hutang yang belum dibayarkan itu urusannya bukan kepada Allah, melainkan kepada sesama manusia. Bahkan orang yang mati syahid pun terhalang dari masuk surga. Berkesempatan untuk berjihad di jalan Allah, lalu mendapat kehormatan untuk menemui Allah dalam keadaan syahid, tentu merupakan dambaan banyak semua hamba Allah. Bahkan orang yang mati syahid selalu berkeinginan untuk bisa dihidupkan kembali ke dunia, untuk sekedar bisa berjihad lagi, lalu mati syahid lagi. Namun bila seorang mati dalam keadaan syahid itu masih punya hutang kepada orang lain, tetap saja dia tidak bisa langsung masuk surga. Sebab hutangnya itu akan menghalanginya masuk surga. Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya melainkan hutang." (HR. Muslim)

3. Setara Kufur
Orang yang berhutang nyaris setara dengan kufur. Hal itu tercermin dari doa Rasulullah SAW yang ketika berdoa, beliau meminta perlindungan kepada Allah dari kufur dan hutang. Biasanya dua buah permintaan yang diucapkan berdampingan, tentu punya hubungan yang erat. Dan hal itu pula yang ditanyakan oleh seorang shahabat ketika mendengar lafadz doa Rasulullah SAW seperti itu. Aku berlindung diri kepada Allah dari kekufuran dan hutang. Kemudian ada seorang laki-laki bertanya: Apakah engkau menyamakan kufur dengan hutang ya Rasulullah? Beliau SAW menjawab: Ya!" (HR. Nasa'i dan Hakim)

4. Mudah Berdusta
Rasulullah SAW sering meminta perlindungan dari Allah SWT agar tidak berhutang. Ketika ditanyakan kepada beliau tentang hikmah tidak berhutang, jawaban beliau ternyata ada kaitan antara orang yang berhutang dengan sikap suka berdusta.

Rasulullah mengajarkan kepada kita agar berdoa :
"Ya Tuhanku! Aku berlindung diri kepadaMu dari berbuat dosa dan hutang. Kemudian ia ditanya: Mengapa Engkau banyak minta perlindungan dari hutang ya Rasulullah? Ia menjawab: Karena seseorang kalau berhutang, apabila berbicara berdusta dan apabila berjanji menyalahi." (HR. Bukhari)

Dan tentu masih banyak alasan yang pada intinya mengajurkan kita untuk menjauhkan diri dari berhutang, baik hutang tanpa bunga, apalagi hutang dengan bunga. Kalau semua orang sudah sadar dan mengerti betapa tidak terpujinya berhutang, lalu masih saja tersisa orang yang celaka karena satu dan lain hal, dia terpaksa berhutang, dan sudah jatuh tempo untuk membayar hutang-hutangnya, sementara dia sama sekali tidak mampu membayar, pada saat itulah sesungguhnya baituz-zakah berperan besar untuk mengentaskan seseorang yang sedang terhimpit hutang, untuk diselamatkan dari jurang kehancurannya.

Akan tetapi ketika yang berkembang di tengah masyarakat adalah keadaan sebaliknya, dimana semua orang hobi berhutang, dan malah bangga kalau bisa berhutang, maka jelas alokasi dana zakat buat meringankan orang yang berhutang menjadi tidak jelas manfaatnya. Sebab semua orang jadi seolah-olah berhak untuk menjadi mustahik zakat, karena semua orang punya hutang.

Rumah yang ditempatinya adalah rumah hutang, alias kredit. Kendaraan yang dinaikinya, ternyata juga dibeli dengan cara hutang. Perabotan rumah tangga, sampai panci warna-warni ternyata juga dibeli dari tukang kredit keliling, dengan pembayaran tiga kali.

Walhasil, kita ini ternyata bangsa penghutang. Dan dalam skala negara, negara kita yang kita bangga-banggakan ini ternyata punya jumlah beban hutang yang maha dahsyat angkanya. Bunganya saja kalau buat memberi makan orang miskin, sudah bisa membuat kenyang bangsa ini berpuluhpuluh tahun.


Related Posts:

0 Response to "V. Yang Berhutang"

Posting Komentar