W. Fi Sabilillah
Ikhtishar
A. Pengertian
1. Bahasa
2. Istilah
B Masyru’iyah
C. Realitas di Masa Nabi
D. Batasan Fi Sabilillah
1. Pendapat Mudhayiiqin
2. Pendapat Muwassi’in
3. Dr. Yusuf Al-Qaradawi
E. Apakah pergi haji termasuk kategori fi sabilillah?
F. Tidak Harus Menggunakan Dana Zakat
A. Pengertian
1. Bahasa
Fi sabilillah terdiri dari tiga kata, yaitu fi yang artinya pada, sabil yang artinya jalan, dan Allah. Kalau diterjemahkan secara bebas maksudnya adalah untuk segala kepentingan pada jalan Allah. Jalan Allah artinya segala cara untuk mendekatkan diri kepada Allah.
2. Istilah
Sedangkan makna fi sabilillah dalam istilah fiqih adalah jihad, yaitu
B Masyru’iyah
C. Realitas di Masa Nabi
Di masa Nabi SAW, harta zakat diberikan untuk mereka yang ikut secara pertempuran fisik melawan musuh-musuh Allah dalam rangka menegakkan agama Islam. Meskipun mereka itu pada hakikatnya orang-orang yang cukup berada, menurut jumhur ulama. Sebab dalam hal ini memang bukan sisi kemiskinannya yang dijadikan objek zakat, melainkan apa yang dikerjakan oleh para mujahidin itu merupakan mashlahat umum.
Adapun para tentara yang sudah berada di dalam kesatuan, dimana mereka sudah mendapatkan gaji tetap dari kesatuannya, tidak termasuk di dalam kelompok penerima zakat.
Namun seorang peserta perang yang kaya, tidaklah berperang dengan mengguakan harta yang wajib dizakati dari kekayaannya. Sebagai seorang yang kaya, bila kekayaannya itu mewajibakan zakat, wajiblah atasnya mengeluarkan harta zakat dan menyerahkannya kepada amil zakat. Adapun bila kemudian dia ikut perang, dia berhak mendapatkan harta dari amil zakat karena ikut sertanya dalam peperangan. Tapi tidak boleh langsung di-bypass. Dia harus bayar zakat dulu baru kemudian menerima dana zakat. Namun Abu Hanifah mengatakan bahwa seorang kaya yang ikut serta dalam peperangan, maka dia tidak berhak menerima dana dari harta zakat.
D. Batasan Fi Sabilillah
Para ulama memang berbeda pendapat tentang makna mustahiq zakat yang satu ini, yaitu fi sabilillah. Perbedaan ini berangkat dari ijtihad mereka yang cenderung muwassain (meluaskan makna) dan mudhayyiqin (menyempitkan makna).
Ulama mudhayyiqin bersikeras untuk tidak memperluas maknanya, fi sabilillah harus diberikan tetap seperti yang dijalankan di masa Rasulullah SAW dan para shahabat, yaitu untuk para mujahidin yang ikut dalam perang secara fisik. Sedang ulama yang beraliran muwassa’in cenderung untuk memperluas maknanya sampai untuk biaya dakwah dan kepentingan umat Islam secara umum.
1. Pendapat Mudhayiiqin
Jumhur ulama termasuk di dalamnya 4 imam mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali) termasuk yang cenderung kepada pendapat yang pertama (mudhayyiqin), mereka mengatakan bahwa yang termasuk fi sabilillah adalah para peserta pertempuran fisik melawan musuhmusuh Allah dalam rangka menegakkan agama Islam. Kesepakatan keempat mazhab tentang fi sabilillah :
Jihad secara pasti termasuk dalam ruang lingkup fi sabilillah. Disyariatkan menyerahkan zakat kepada pribadi seorang mujahid, berbeda dengan menyerahkan zakat untuk keperluan jihad dan persiapannya. Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan mereka.
Tidak diperbolehkan menyerahkan zakat demi kepentingan kebaikan dan kemaslahatan bersama, seperti mendirikan dam, jembatan, masjid dan sekolah, memperbaiki jalan, mengurus mayat dan lain-lain. Biaya untuk urusan ini diserahkan pada kas baitul maal dari hasil pendapatan lain seperti harta fai, pajak, upeti, dlsb.
Mereka yang termasuk ke dalam pendapat ini adalah Jumhur Ulama. Dalilnya karena di zaman Rasulullah SAW memang bagian fi sabilillah tidak pernah digunakan untuk membangun masjid atau madrasah. Di zaman itu hanya untuk mereka yang jihad secara fisik saja. Jumhur ulama ini mengatakan bahwa para mujahidin di medan tempur mereka berhak menerima dana zakat, meskipun secara materi mereka cukup berada. Sebab dalam hal ini memang bukan sisi kemiskinannya yang dijadikan objek zakat, melainkan apa yang dikerjakan oleh para mujahidin itu merupakan mashlahat umum.
Adapun para tentara yang sudah berada di dalam kesatuan, di mana mereka sudah mendapatkan gaji tetap dari kesatuannya, tidak termasuk di dalam kelompok penerima zakat. Namun seorang peserta perang yang kaya, tidaklah berperang dengan menggunakan harta yang wajib dizakati dari kekayaannya. Sebagai seorang yang kaya, bila kekayaannya itu mewajibakan zakat, wajiblah atasnya mengeluarkan harta zakat dan menyerahkannya kepada amil zakat.
Adapun bila kemudian dia ikut perang, dia berhak mendapatkan harta dari amil zakat karena ikut sertanya dalam peperangan. Tapi tidak boleh langsung di-bypass. Dia harus bayar zakat dulu baru kemudian menerima dana zakat. Namun Abu Hanifah mengatakan bahwa seorang kaya yang ikut serta dalam peperangan, maka dia tidak berhak menerima dana dari harta zakat.
2. Pendapat Muwassi’in
Sedangkan para ulama yang lain cenderug meluaskan makna fi sabilillah, tidak hanya terbatas pada peserta perang fisik, tetapi juga untuk berbagai kepentingan dakwah yang lain.
Di antara yang mendukung pendapat ini adalah beberapa ulama lain telah meluaskan arti sabilillah ini seperti :
Imam Qaffal, Mazhab Ja'fari, Mazhab Zaidi, Shadiq Hassan Khan, Ar Razi, Syeikh Syaltut, Syeikh Muhammad Rasyid Ridha, Dr. Muhammad ‘Abdul Qadir Abu Faris dan Dr. Yusuf Al-Qaradawi.
Dasar pendapat mereka juga ijtihad yang sifatnya agak luas serta bicara dalam konteks fiqih prioritas. Di masa sekarang ini, lahan-lahan jihad fi sabilillah secara fisik boleh dibilang tidak terlalu besar. Sementara tarbiyah dan pembinaan umat yang selama ini terbengkalai perlu pasokan dana besar. Apalagi di negeri minoritas muslim seperti di Amerika, Eropa dan Australia. Siapa yang akan membiayai dakwah di negeri-negeri tersebut, kalau bukan umat Islam. Dan bukankah pada hakikatnya perang atau pun dakwah di negeri lawan punya tujuan yang sama, yaitu menyebarkan agama Allah SWT dan menegakkannya.
Kalau yang dibutuhkan adalah jihad bersenjata, maka dana zakat itu memang diperluakan untuk biaya jihad. Tapi kalau kesempatan berdakwah secara damai di negeri itu terbuka lebar, bagaimana mungkin biaya zakat tidak boleh digunakan. Bukankah tujuan jihad dan dakwah sama saja?
3. Dr. Yusuf Al-Qaradawi
Dalam kitab Fiqhuz Zakah, Dr. Yusuf al-Qaradawi menyebutkan bahwa pendapat yang dianggap kuat adalah bahwa tidak layak membuat makna fi sabilillah menjadi terlalu umum. Karena dengan begitu, keumuman ini akan meluas tanpa batas dan aspek-aspeknya akan menjadi banyak sekali.
Dan orang-orang yang akan menerima zakat lewat jalur fi sabilillah akan sangat beragam, bila tidak diberi batasan yang pasti. Kalau makna fi sabilillah dibuat menjadi sangat luas, maka akan meniadakan pengkhususan sasaran zakat delapan. Buat apa Allah SWT menyebutkan khusus asnaf fi
sabilillah kalau ternyata maksudnya bisa siapa saja asal berbau jalan dakwah?
Al-Quran yang sempurna dan mu'jiz pasti terhindar dari pengulangan yang tidak ada faedahnya. karenanya pasti yang dimaksud disini adalah makna yang khusus, yang membedakannya dari sasaran-sasaran lain. Makna yang khusus ini tiada lain adalah jihad, yaitu jihad untuk membela dan menegakkan kalimat Islam di muka bumi ini. Setiap jihad yang dimaksudkan untuk menegakkan kalimat allah termasuk sabilillah, bagaimanapun keadaan dan bentuk jihad serta senjatanya. Yusuf Al-Qaradhawi memperluas arti fi sabilillah ini tidak hanya terbatas pada peperangan dan pertempuran fisik dengan senjata saja, namun termasuk juga segala bentuk peperangan yang menggunakan akal dan hati dalam membela dan mempertahankan aqidah Islam. Karena itu mendirikan sekolah berdasarkan faktor tertentu adalah perbuatan shaleh dan kesungguhan yang patut disyukuri dan sangat dianjurkan oleh Islam, akan tetapi ia tidak dimasukkan dalam ruang lingkup fi sabilillah. Mengapa?
Karena belum tentu sekolah itu mengandung misi dakwah dan menegakkan kalimat Allah di dalam kurikulumnya secara langsung.
Namun demikian, apabila ada suatu negara dimana pendidikan Islam merupakan masalah utama, dan yayasan pendidikan telah dikuasai kaum kapitalis, komunis, atheis ataupun sekularis, maka jihad yang paling utama adalah mendirikan madrasah yang yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman yang murni, dimana sekolah itu khusus mendidik anak-anak kaum muslimin menjadi pejuang yang menegakkan syariat Islam.
Madrasah itu juga punya misi memelihara generasi muslim dari kehancuran ideologi dan akhlaq, serta menjaganya dari racun-racun yang ditiupkan melalui kurikulum dan buku-buku, pada otak-otak pengajar dan ruh masyarakat yang disahkan di sekolah-sekolah pendidikan secara keseluruhan. Sebaliknya, menurut Al-Qaradawi, tidak semua peperangan termasuk kategori fi sabilillah. Tidak termasuk fi sabilillah perang yang tujuannya bukan semata-mata ingin menegakkan syariat Allah atau membela agama Allah. Seperti halnya perang yang sekedar membela kesukuan, kebangsaan, kepentingan organisasi, partai politik tertentu atau membela kedudukan para politisi 'muslim, agar bisa naik ke puncak kekuasaan atau tetap duduk di kursi jabatannya.
Maka untuk itu Dr. Yusuf Al-Qaradawi menyebutkan contoh bentuk jihad non fisik yang bisa dilakukan, antara lain :
Membangun pusat-pusat dakwah (al-Markaz Al-Islami) yang menunjang program dakwah Islam di wilayah minoritas, dan menyampaikan risalah Islam kepada non muslim di berbagai benua merupakan jihad fi sabilillah. Membangun pusat-pusat dakwah (al-Markaz Al-Islami) di negeri Islam sendiri yang membimbing para pemuda Islam kepada ajaran Islam yang benar serta melindungi mereka dari pengaruh ateisme, kerancuan fikrah, penyelewengan akhlaq serta menyiapkan mereka untuk menjadi pembela Islam dan melawan para musuh Islam adalah jihad fi sabilillah.
Menerbitkan tulisan tentang Islam untuk mengantisipasi tulisan yang menyerang Islam, atau menyebarkan tulisan yang bisa menjawab kebohongan para penipu dan keraguan yang disuntikkan musuh Islam, serta mengajarkan agama Islam kepada para pemeluknya adalah jihad fi sabilillah. Membantu para da'i muslim yang menghadapi kekuatan yang memusuhi Islam di mana kekuatan itu dibantu oleh para thaghut dan orang-orang murtad, adalah jihad fi sabilillah.
Termasuk di antaranya untuk biaya pendidikan sekolah Islam yang akan melahirkan para pembela Islam dan generasi Islam yang baik atau biaya pendidikan seorang calon kader dakwah/ da’i yang akan diprintasikan hidupnya untuk berjuang di jalan Allah melalui ilmunya adalah jihad fi sabilillah.
E. Apakah pergi haji termasuk kategori fi sabilillah?
Al-Hanabilah dan sebagian Al-Hanafiyah mengatakan bahwa pergi haji ke baitullah itu masih termasuk kategori fi sabilillah. Mereka menggunakan dalil berikut ini:
Dari Ibnu Abbas ra bahwa seseorang menyerahkan seekor hewan untuk fi sabilillah, namun isterinya ingin pergi haji. Nabi SAW bersabda, "Naikilah, karena hajji itu termasuk fi sabilillah". (HR Abu Daud)
Maka seorang miskin yang berkewajiban haji berhak atas dana zakat, menurut pendapat ini. Asalkan hajinya haji yang wajib, yaitu haji untuk pertama kali. Sedangkan untuk haji yang sunnah, yaitu haji yang berikutnya, tidak termasuk dalam kategori ini.
F. Tidak Harus Menggunakan Dana Zakat
Karena perdebatan para ulama cukup hangat dalam masalah ini, antara yang pro dan kontra, maka tidak ada salahnya kita berpikir positif dan mencari jalan tengah yang aman dan selamat. Misalnya, ketimbang kita terlalu memaksakan hukum zakat untuk sekedar membiayai proyek dakwah, mengapa kita tidak pikirkan sumber-sumber dana lainnya? Sebenarnya di luar sistem zakat, dalam syariat Islam ini masih ada begitu banyak jenis infaq yang lebih fleksibel dan efektif untuk diterapkan, dan yang penting tidak akan menimbulkan masalah dari segi hukum dan aturannya.
Syariat zakat memang agak kaku dan kurang fleksible untuk digunakan dalam banyak kebutuhan. Setidaktidaknya, masih banyak kendala masalah khilafiyah di dalamnya, yang akan menimbulkan pertentangan. Sebagai contohnya adalah masalah zakat profesi, yang hingga kini para ulama tidak sepakat. Sebagian ulama menginginkan diberlakukannya zakat profesi namun sebagian lainnya tidak setuju dengan keberadaan zakat itu. Contoh yang paling aktual adalah apa yang anda tanyakan, yaitu tentang khilafiyah makna fi sabilillah.
Sebagian ulama bersikeras tidak memaknai keluar dari konteks di zaman nabi, yaitu hanya untuk mereka yang ikut dalam perang fisik dan pertempuran saja. Sebagian lainnya berusaha memperluas maknanya hingga segala bentuk dakwah dianggap sudah termasuk fi sabilillah. Maka pak ustadz meski sudah kaya, juga dapat dana dari zakat. Karena pak ustadz dianggap termasuk orang yang dalam kategori fi sabilillah.
Tentu saja masalah ini adalah masalah yang kontroversial, tetapi terjadi tarik menarik dari mereka yang setuju dan yang tidak. Dan kalau kita coba dalami argumentasi masing-masing kalangan, rasanya kok samasama benarnya. Sehingga sulit buat kita untuk menyalahkan salah satunya.
0 Response to "W. Fi Sabilillah"
Posting Komentar