Pengertian Ilmu Tauhid

A. Ilmu Tauhid

اَلدَّرْسُ الأَوَّلُ
فِيْ المُقَدِّمَةِ : اَلتَّوْحِيْدُ لُغَةً جَعْلُ الشَّيْىٍٔ وَاحِدًا وَاصْتِلَاحًا هُوَعِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ إِثْبَاتِ الْعَقَاىِٔدِ الدِّيْنِيَّةِ الْمُكْنَسَبِ مِنْ أَدِلْتِهَا اَلْيَقِيْنِيَّةِ.
ثَمْرُهُ : مَعْرِ فَةُ اللّٰهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِالْبَرَاهِيْنِ القَطْعِيَّةِ وَإِثْبَاتُ مَا يَجِبُ لَهُ مِنْ صِفَاتِ الْكَمَالِ وَتَنْزِيْهُهُ عَنْ سِمَاتِ النَّقْصِ وَالتَّصْدِيْقِ مِرُسُلِهِ عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ.
مَوْضُوْعُهُ : ذَاتُ اللّٰهِ تَعَالَى وَذَاتُ رُسُلِهِ مِنْ حَيْثُ مَا يَجِبُ وَمَا يَسْتَحِيْلُ وَمَا يَجُوْزُ وَالْمُمُكِنُ مِنْ حَيْثُ اَنَّهُ يَسْتَدِلُّ بِهِ عَلَى وُجُوْدِ صَانِعِهِ والسَّمْعِيَّاتُ مِنْ حَيْثُ اِعْتِقَادُهَا.
وَاضِعُهُ : أَوَّلُ مَنْ دَوَّنَ عِلْمَ التَّوْحِيْدِ وَرَتَّبَهُ وَأَلْفَ فِيْهِ الْإِمَامانِ : أَبُوْ الْحَسَنِ الأَشْعَرِيُّ وَمُتَابِعُوْهُ وَأَبُوْ مَنْصُوْرِ الْمَاتُوْرِيْدِيُّ وَمُتَابِعُوْهُ.
حُكْمُهُ : حُكْمُ الشَّارِعِ فِيْهِ الوُجُوْبُ الْعَيْنِيُّ عَلَى كُلِّ مُكَلَّفٍ ذَكَرٍا وَأُنْثَى وَلَوْ بِالدَّلِيْلِ الإِجْمَالِيِّ

Sumber : Web Fiqih Nabi: https://hasansaggaf.wordpress.com/

PELAJARAN PERTAMA: ILMU TAUHID
SYARAH:

Tauhid dalam bahasa artinya menjadikan sesuatu esa. Yang dimaksud disini adalah mempercayai bahwa Allah itu esa. Sedangkan secara istilah ilmu Tauhid ialah ilmu yang membahas segala kepercayaan-kepercayaan yang diambil dari dalil dalil keyakinan dan hukum-hukum di dalam Islam termasuk hukum mempercayakan Allah itu esa.

Seandainya ada orang tidak mempercayai keesaan Allah atau mengingkari perkara-perkara yang menjadi dasar ilmu tauhid, maka orang itu dikatagorikan bukan muslim dan digelari kafir. Begitu pula halnya, seandainya seorang muslim menukar kepercayaannya dari mempercayai keesaan Allah, maka kedudukannya juga sama adalah kafir.

Perkara dasar yang wajib dipercayai dalam ilmu tauhid ialah perkara yang dalilnya atau buktinya cukup terang dan kuat yang terdapat di dalam Al Quran atau Hadis yang shahih. Perkara ini tidak boleh dita’wil atau ditukar maknanya yang asli dengan makna yang lain.

Tujuan mempelajari ilmu tauhid adalah mengenal Allah dan rasul-Nya dengan dalil dalil yang pasti dan menetapkan sesuatu yang wajib bagi Allah dari sifat sifat yang sempurna dan mensucikan Allah dari tanda tanda kekurangan dan membenarkan semua rasul rasul Nya.

Adapun perkara yang dibicarakan dalam ilmu tauhid adalah dzat Allah dan dzat para rasul Nya dilihat dari segi apa yang wajib (harus) bagi Allah dan Rasul Nya, apa yang mustahil dan apa yang jaiz (boleh atau tidak boleh)

Jelasnya, ilmu Tauhid terbagi dalam tiga bagian:
1. Wajib
2. Mustahil

Wajib dalam ilmu Tauhid berarti menentukan suatu hukum dengan mempergunakan akal bahwa sesuatu itu wajib atau tidak boleh tidak harus demikian hukumnya. Hukum wajib dalam ilmu tauhid ini ditentukan oleh akal tanpa lebih dahulu memerlukan penyelidikan atau menggunakan dalil.

Contoh yang ringan, uang seribu 1000 rupiah adalah lebih banyak dari 500 rupiah. Artinya akal atau logika kita dapat mengetahui atau menghukum bahwa 1000 rupiah itu lebih banyak dari 500 rupiah. Tidak boleh tidak, harus demikian hukumnya. Contoh lainnya, seorang ayah usianya harus lebih tua dari usia anaknya. Artinya secara akal bahwa si ayah wajib atau harus lebih tua dari si anak.

Ada lagi hukum wajib yang dapat ditentukan bukan dengan akal tapi harus memerlukan penyelidikan yang rapi dan cukup cermat. Contohnya, Bumi itu bulat. Sebelum akal dapat menentukan bahwa bumi itu bulat, maka wajib atau harus diadakan dahulu penyelidikan dan mencari bukti bahwa bumi itu betul betul bulat. Jadi akal tidak bisa menerima begitu saja tanpa penyelidikan lebih dahulu. Contoh lainnya, sebelum akal menghukum dan menentukan bahwa ”Allah wajib atau harus ada”, maka harus diadakan dahulu penyelidikan yang rapi yang menunjukkan kewujudan atau keberadaan bahwa Allah itu wajib ada. Tentu hal ini perlu dibantu dengan dalil-dalil yang bersumber dari Al Quran.

2- MUSTAHIL
Mustahil dalam ilmu tauhid adalah kebalikan dari wajib. Mustahil dalam ilmu tauhid berarti akal mustahil bisa menentukan dan mustahil bisa menghukum bahwa sesuatu itu harus demikian.

Hukum mustahil dalam ilmu tauhid ini bisa ditentukan oleh akal tanpa lebih dahulu memerlukan penyelidikan atau menggunakan dalil. Contohnya , uang 500 rupiah mustahil lebih banyak dari 1000 rupiah. Artinya akal atau logika kita dapat mengetahui atau menghukum bahwa 500 rupiah itu mustahil akan lebih banyak dari1000 rupiah. Contoh lainnya, usia seorang anak mustahil lebih tua dari ayahnya. Artinya secara akal bahwa seorang anak mustahil lebih tua dari ayahnya.

Sebagaimana hukum wajib dalam Ilmu Tauhid, hukum mustahil juga ada yang ditentukan dengan memerlukan penyelidikan yang rapi dan cukup cermat. Contohnya: Mustahil bumi ini berbentuk tiga segi. Jadi sebelum akal dapat menghukum bahwa mustahil bumi ini berbentuk segi tiga, perkara tersebut harus diselidik dengan cermat yang bersenderkan kepada dalil kuat. Contoh lainnya: Mustahil Allah boleh mati. Jadi sebelum akal dapat menghukum bahwa mustahil Allah boleh mati atau dibunuh, maka perkara tersebut hendaklah diselidiki lebih dahulu dengan bersenderkan kepada dalil yang kuat.

3- JAIZ (MUNGKIN):
Apa arti Jaiz (mungkin) dalam ilmu Tauhid? Jaiz (mungkin) dalam ilmu tauhid ialah akal kita dapat menentukan atau menghukum bahwa sesuatu benda atau sesuatu dzat itu boleh demikian keadaannya atau boleh juga tidak demikian. Atau dalam arti lainya mungkin demikian atau mungkin tidak. Contohnya: penyakit seseorang itu mungkin bisa sembuh atau mungkin saja tidak bisa sembuh. Seseorang adalah dzat dan sembuh atau tidaknya adalah hukum jaiz (mungkin). Hukum jaiz (Mungkin) disini, tidak memerlukan hujjah atau dalil.

Contoh lainya: bila langit mendung, mungkin akan turun hujan lebat, mungkin turun hujan rintik rintik, atau mungkin tidak turun hujan sama sekali. Langit mendung dan hujan adalah dzat, sementara lebat, rintik rintik atau tidak turun hujan adalah Hukum jaiz (Mungkin).

Seperti hukum wajib dan mustahil, hukum jaiz (mungkin) juga kadang kandang memerlukan bukti atau dalil. Contohnya manusia mungkin bisa hidup ratusan tahun tanpa makan dan minum seperti terjadi pada kisah Ashabul Kahfi yang tertera dalam surat al-Kahfi. Kejadian manusia bisa hidup ratusan tahun tanpa makan dan minum mungkin terjadi tapi kita memerlukan dalil yang kuat diambil dari al-Qur’an.
Contoh lainnya: rumah seseorang dari di satu tempat mungkin bisa berpindah dengan sekejap mata ke tempat yang lain yang jaraknya ribuan kilometer dari tempat asalnya seperti terjadi dalam kisah nabi Sulaiman as telah memindahkan istana Ratu Balqis dari Yaman ke negara Palestina yang jaraknya ribuan kilo meter. Kisah ini sudah barang tentu memerlukan dalil yang diambil dari al-Qu’ran.

B. Pendiri Ilmu Tauhid
PENDIRI ILMU TAUHID
Orang yang pertama tama mendirikan atau menyusun ilmu tauhid ialah Abu Hasan Al-Asyari dan Abu Manshur al-Maturidi dan pengikut pengikut mereka. Tentu kita jangan hanya mengetahui nama nama mereka sebagai pendiri pendiri ilmu Tauhid tapi sekurang kurangnya harus mengetahui siapa mereka itu? Di bawah ini terlampir ringkasan sejarah mereka:

1- ABU AL-HASAN AL-ASY’ARI
Nama lengkapnya Abu Al-Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Bisyr Ishaq al-Asy’ari al-Yamani al-Bashri. Al-Asy’ari kabilah yang berasal dari Yaman, tapi beliau lahir dan besar di Bashrah – Iraq.

Abu al-Hasan Al-Asy’ari lahir di Basra tahun 260 H, namun sebagian besar hidupnya di Baghdad sampai beliau wafat tahun 324H. Beliau adalah seorang pemikir muslim pendiri paham Asy’ari. Sebelum mendirikan faham Asy’ari, beliau sempat berguru pada seorang Mu’tazilah terkenal, yaitu Abi Ali al-Jubba’i, namun pada tahun 299 H dia mengumumkan keluar dari faham Mu’tazilah, dan mendirikan faham baru yaitu faham atau thariqah Ahli Sunnah Wal Jamaah yang kemudian dikenal sebagai thariqah Asy’ariah. Banyak tokoh pemikir islam yang mendukung pemikiran-pemikiran beliau, salah satunya yang terkenal adalah Imam besar Al-Ghazali, terutama di bidang ilmu Kalam, Tauhid dan Ushuludin.

Walaupun banyak juga ulama yang menentang pamikirannya, tetapi banyak masyarakat muslim yang mengikuti pemikirannya. Orang-orang yang mengikuti dan mendukung pendapat dan faham beliau dinamakan pengikut “Asy’ariyyah”, bahkan tidak sedikit nama nama mereka dinisbatkan kepada nama imamnya (Al-Asy’ari). Diantaranya pengarang kitab ini ”Al’Aqaid Ad-Diniyyah”, Habib Abdurahman bin Saggaf Assagaf sangat menyenangi jika namanya dinisbatkan kepada nama Abu Hasan Al-Asy’ari.

Di Asia mayoritas penduduknya muslim banyak yang mengikuti faham imam Abu Hasan Al-Asy’ari, yang diserasikan dengan faham ilmu Tauhid yang dikembangkan oleh Imam Abu Manshur Al-Maturidi terutama pelajaran yang menyangkut pengenalan sifat-sifat Allah yang terkenal dengan nama “sifat 20”. Pelajaran ini banyak diajarkan di pesantren-pesantren di seluruh Indoneisa, dan di sekolah-sekolah formal pada umumnya seperti Jamiat Khair (dahulu) yang dipelopori oleh Habib Utsman bin Yahya dan Habib Ali Al-Habsyi.

2- ABU MANSHUR AL-MATURIDI
Abu Manshur Muhammad bin Muhammad al-Maturidi As-Samarqandi berasal diri daerah Maturid di Samarqand- Uzbekistan. Tidak diketahui dengan jelas tahun kelahiranya, tapi bisa dikatakan bahwa beliau lahir pada masa pemerintahan khalifah Al-Mutawakil Al-Abbasi, dan diperkirakan beliau lebih muda dari Abu al-Hasan Al-Asy’ari 20 tahunan.

Abu Manshur al-Maturidi sama dengan Abu al-Hasan Al-Asy’ari adalah pemikir muslim dan pendiri faham Ahli Sunnah Wal Jama’ah dengan dalil dalil yang diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw dan juga bersendarkan kepada dalil Aqli. sehingga dia diberi julukan “Imam Al-Huda” atau “Imam al-Mutakalimin”. Abu Mansur al-Maturidi dan Abu al-Hasan merupakan tokoh tokoh pertama yang mendirikan faham Ahli Sunnah Wal Jama’ah terutama dalam ilmu yang bersangkutan dengan Aqidah dan mengenal Allah.

Pemikiran Abu Manshur berkisar sekitar ilmu Ta’wil al-Qur’an, Usul Fiqih, Ilmu Kalam, Tauhid dll. Setelah beliau menerapkan pemikirannya kepada masyarakat, beliau mulai mencatatnya dan meluncurlah setelah itu beberapa buku beliau terutama tentang ilmu Akidah diantara kitab kitab beliau yang terkenal adalah “at-Tauhid”, “Ar-Rad ‘Ala Al-Qaramithah”, “Bayan Wahmi al-Mu’tazilah” dan masih banyak lagi kitab kitab beliau yang bertujuan untuk mempertahankan akidah Ahli Sunnah Wal Jama’ah.

Telah disebut dalam beberapa marja’ bahwa Abu Manshur Al-Maturidi wafat pada tahun 332H di Samarqand dan kuburannya sangat dikenal masyarakat setempat. Wallahu’alam

C. Hukum Mempelajari Tauhid
HUKUM MEMPELAJARI ILMU TAUHID

Hukum mempelajari ilmu tauhid adalah fardu ’ain atau wajib bagi setiap mukallaf (orang yang akil dan baliqh), laki laki dan perempuan. Jadi mempelajari ilmu tauhid adalah wajib atau satu keharusan bagi setiap orang baik laki laki atau perempuan yang memiliki akal sehat dan telah memasuki umur dewasa sebelum ia mempelajari ilmu ilmu agama lainnya. Karena ilmu ini bersangkutan dengan keimanan dan keberadaan Allah dan para rasul rasul-Nya.

Jelasnya mempelajari ilmu tauhid adalah wajib bagi setiap mukallaf dan muslim, karena hal ini bisa membawanya untuk mempercayai bahwa terdapat beberapa sifat kesempurnaan yang tidak terhingga bagi Allah dan mempercayai akan sifat wajib Allah yang dua puluh dan harus diketahui juga sifat mustahil bagi Allah.

D. Hukum (Syar’i, ‘Adi Dan Akli)

اَلدَّرْسُ الثَّانِي فِي الحُكْمِ اَلْحُكْمُ
هُوَ إِثْبَاتُ أَمْرٍ لِأَمْرٍ أَوْ نِفِيْهِ عَنْهُ وَهُوَ ثَلَاثَةُ أَقْسَامٍ : حُكْمُ شَّرْعِيُّ وَحُكْمُ عَادِيُّ وحُكْمُ عَقْلِيُّ.
حُكْمُ الشَّرْعِيُّ : هُوَ كَلَامُ اللّٰهِ الْمُتَعَلِّقُ بِفِعْلِ الشَّخْصِ مِنْ حَيْثُ التَّكْلِيْفِ أَوْ الوَضْعِ وَهُوَ خَمْسَةُ أَقْسَامٍ : واجِبٌ وَحَرَامٌ وَمَنْدُوْبٌ وَمَكْزُوْهٌ وَمُبَاحٌ.
اَلْحُكْمُ الْعَادِيُّ : هُوَ إِثْبَاتُ أَمْرٍ لِأَمْرٍ أَوْنَفْيُهُ عَنْهُ بِوَاسِطَةِ التِّكْرَارِ.
اَلْحُكْمُ الْعَقلِيُّ : هُوَ إِثْبَاتُ أَمْرٍ لِأَمْرٍ أَوْ نَفْيُهُ عَنْهُ مِنْ غَيْرِ تَوَقُّفٍ عَلَى وَضْعِ وَاضِعٍ أَوْ تَكْرَارٍ.
أَقْسَامُ الْحُكْمِ الْعَقْلِيِّ : يَنْقَسِمُ الْحُكْمُ الْعَقْلِيُّ اِلىَ ثَلَاثَةِ اَقْسَامٍ : وَاجِبٍ وَمُسْتَحِيْلٍ وَجَاىِٔزِ.
اَلْوَاجِبُ : هُوَ الأَمْرُ الَّذِيْ لاَ يَقْبَلُ الْاِنْتِفَاءَ لِذَاتِهِ وَ هُوَ قِسْمَانِ : ضُرُوْرِيٌّ كَالتَّحَيُّزِ لِلْجِرْمِ وَنَظَرِيٌّ كَالْقِدَمِ لِلْمَوْلَى سُبحَانَهُ وَتَعَالَى.
اَلْمُسْتَحِيْلُ : هُوَ الأَمْرُ الَّذِيْ لَايَقْبَلُ الثُّبُوْتَ لِذَاتِهِ وَهُوَ قِسْمَانِ : ضُرُوْرِيُّ كَخُلُوِّ الجِرْمِ عَنِ الْحَرَكَةِ وَالسُّكُوْنِ وَنَظَرِيُّ كَوُجُوْدِ الشَّرِيْكِ للّٰهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالى.
اَلْجَاىِٔزُ : هُوَ الأَمْرُ الَّذِيْ يَقْبَلُ الاِنْتِفَاءَ وَالثُّبُوْتَ عَلَى التَّنَاوِبِ فَيَسْتَوِي إِمْكَانُ وُجُوْدِهِ وَعَدَمِهِ.
وَهُوَ قِسْمَانِ ضُرُوْرِيُّ كَحَرَكَةِ الجِرْمِ أَوْ سُكُوْنِهِ وَنَظَرِيٌّ كَقَلْبِ الْحَجَرِ ذَهَبًا وَانْقِلاَبِ الْعَصَاثُعْبَانًا بِقُدْرَةِ اللّٰهِ تَعَالَى.
حُدُوْثُ العَالَمِ : اَلْعَالَمُ حَادِثٌ لِأَنَّهُ مُكَوِّنٌ مِنْ أَجْرَامٍ وَ أَعْرِاضٍ. فَالأعْرَاضُ كَالْحَرَكَةِ وَالسُّكُوْنِ وَالأَلْوَانِ حَادِثَةٌ لِأَنَّهَا مُتَغَيِّرَةٌ وَالأِجْرَامِ كَالذَّوَاتِ حَادِثَةٌ لِأَنَّهَا مُلاَزَمَةٌ لِأَعْرَاضِ الْحَادِثَةٌ وَمُلَازِمُ الحَادِثِ حَادِثٌ فَالْعَالَمُ حَادِثٌ

PELAJARAN KEDUA: HUKUM
SYARAH
Hukum artinya adalah sekumpulan peraturan yang menetapkan suatu perbuatan dan melarang suatu perbuatan. Jika seseorang telah melanggar salah satu dari hukum peraturan tersebut, maka ia akan dikenakan sanksi, atau diambil tindakan oleh undang-undang yang tertera dan tercatat di dalam peraturan itu sendiri.

Hukum yang dibicarakan di sini terbagi atas tiga bagian:

1. Hukum Syar’i (Syari’at / Fiqih) :
Hukum yang berkaitan dengan perintah dan larangan Allah.

2. Hukum ‘Adi (Adat/Kebiasaan) :
Hukum yang berkaitan dengan adat atau kebiasaan manusia.

3. Hukum ‘Akali:
Hukum yang berkaitan dengan akal manusia.

1- HUKUM SYAR’I
Hukum Syar’i adalah hukum yang berkaitan dengan perintah dan larangan Allah terhadap manusia. Hukum syar’i tentu bidangnya lebih lengkap dan luas. Kelengkapan ini timbul karena hukum syar’i tidak dibuat oleh manusia dan tidak dipengaruhi oleh perbuatan manusia, murni dari Allah. Hukum ini dibuat dan ditentukan oleh syara’ atau agama. Maka tidak ada suatu apapun dari kehidupan manusia yang tidak diatur oleh agama Islam.

Hukum Syar’i ialah hukum-hukum Islam yang merupakan perintah dan larangan Allah dan setiap muslim mukallaf yakni yang sudah akil baligh dan ber’akal sehat wajib baginya untuk mengetahui hukum-hukum tersebut.

PEMBAGIAN HUKUM SYAR’I
Hukum Syar’i dibagai menjadi 5 bagian:

a- Wajib / Fardhu
b- Haram
c- Mandub / Sunnah
d- Makhruh
e- Mubah

A- WAJIB (FARDHU)

Wajib merupakan suatu hal yang wajib atau harus dilakukan atas diri setiap muslim mukallaf (akil dan baligh) baik laki-laki atau perempuan. Wajib atau Fardhu ialah suatu hukum yang apabila dilakukan mendapat pahala atau balasan baik dari Allah dan jika ditinggalkan maka akan berdosa dan mendapat ganjaran siksaan di akhirat.

Wajib ada dua macam:

1- WAJIB/FARDHU ’AIN
Wajib ‘Ain atau Fardhu ‘Ain: ialah wajib yang harus dilakukan atas diri setiap muslim mukalaf (berakal sehat dan baligh) baik ia laki-laki atau perempuan. Karena ia mengandung wajib yang berat, maka harus dilakukan dan tidak boleh ditinggalkan terkecuali memiliki udzur yang kuat, itupun wajib dilakukan walaupun dengan isyarat, atau menggantinya pada hari yang lain, atau membayar fidhyah.

Contohnya sholat lima waktu sehari semalam. Sholat ini wajib dilakukan oleh setiap muslim akil dan baligh, laki laki atau perempuan dalam keadaan apapun sholat ini wajib dilakukan, jika memiliki udhur sholatnya wajib atau harus dilakukan, walaupun dengan isyarat hukum sholat ini wajib atau harus dilakukan.

Jika sudah tidak mampu sama sekali untuk dilakukan maka wajib diganti dengan membayar fidyah. Begitu pula puasa pada bulan Ramadhan, membayar zakat setelah sampai nisabnya dan melaksanakan ibadah haji jika mampu dan lain sebagainya.

2- WAJIB/FARDHU KIFAYAH
Wajib Kifayah atau Fardhu Kifayah: yaitu pekerjaan yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim mukallaf (berakal sehat dan baligh). Tetapi jika sudah ada satu diantara sekian banyak orang yang sanggup melaksanakannya, maka terlepaslah kewajibannya untuk dilakukan. Contohnya: mendirikan sholat jenazah. Sholat ini wajib dilakukan oleh setiap muslim. Jika tidak dilakukan sholat bagi mayat maka semua muslim akan berdosa dan jika salah seorang telah melakukanya maka terlepaslah kewajiban bagi semuanya.

B- HARAM
Haram ialah suatu larangan yang apabila ditinggalkan mendapat pahala dan jika dilakukan akan berdosa. Setiap pelanggaran dari perbuatan yang dilarang itu dinamakan perbuatan ma’siat dan dosa, diantaranya: minum arak, berzina, membunuh, berjudi, berdusta, menipu, mencuri, mencaci maki dan masih banyak lagi contoh contoh lainnya. Dengan sangsi, jika seorang muslim mati dan belum sempat bertaubat, menurut hukum syara’ ia akan disiksa karena dosa-dosa yang telah diperbuatnya.

C- MANDUB (SUNNAH)
Mandub atau Sunnah ialah suatu pekerjaan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa. Sesuatu yang mandub atau sunnah akan lebih baik jika dilaksanakan karena bisa menambal sulam kekurangan ibadah kita. Mandub atau Sunnat ini sering juga disebut Mustahab yaitu sesuatu perbuatan yang dicintai Allah dan Rasul Nya.

Hukum Mandub /Sunnat terbagi 4 bagian:

1- Sunnah Hai-at atau Sunnat ‘Ain:
yaitu suatu perbuatan yang dianjurkan untuk dilaksanakan oleh setiap muslim, seperti sholat sunat rawatib. (sebelum atau sesudah sholat fardhu), sholat tahajjut, sholat tasbih, sholat dhuha dan sholat-sholat yang banyak lagi.

2- Sunnah Kifayah:
yaitu suatu pekerjaan yang dianjurkan untuk dilaksanakan oleh setiap muslim, namun sunnah ini cukup jika telah dilaksanakan oleh satu orang. Misalnya memberi salam, menjawab orang yang bersin dan lain-lain.

3- Sunnah Muakkadah:
yaitu suatu pekerjaan yang selalu dilaksanakan oleh Rasulullah saw seperti sholat Idul Fitri dan sholat Idul Adhha dan sebagainya.

4- Sunnah Ghairu Muakkadah:
yaitu segala sunat yang tidak selalu dikerjakan oleh Rasulullah saw, misalnya puasa tasua’ pada tanggal 9 Muharram yang ingin dilaksanakan oleh Nabi saw namun belum sempat dilakukannya beliau keburu wafat, kemudian para sahabat melanjutkannya berpuasa pada tanggal tersebut. Dan masih banyak lagi yang kita bisa cari dalam kitab fiqih

Hikmah Dan Atsar:
Ada yang perlu diketahui bahwa di dalam Wajib ada yang terkandung Sunnah, contohnya, sebelum shalat dianjurkan untuk berwudhu’. Dan berwudhu’ itu wajib hukumnya, adapun meratakan air ke tempat anggota wudhu’ adalah sunah. Begitu pula sebaliknya di dalam Sunnah ada yang terkandung Wajib. Contohnya: jika seseorang melaksanakan sholat sunnat tanpa wudhu’, maka sudah pasti sholatnya tidak sah. Karena wudhu’ merupakan perbuatan yang wajib dilakukan oleh seseorang sebelum melaksanakan sholat, tidak perduli apakah itu sholat sunnat atau sholat wajib. Sebagaimana wajib Berwudhu’, wajib pula menghadap kiblat, wajib pula membaca surat Fatihah dalam sholat, wajib pula ruku’ dan sujud dan wajib pula salam. Demikian seterusnya.

D- MAKRUH
Makruh ialah sesuatu perbuatan yang dibenci didalam agama Islam, tetapi tidak berdosa jika dilakukan, dan berpahala jika ditinggalkan, misalnya memakan makanan yang membuat mulut menjadi bau seperti memakan bawang putih, jengkol dan petai, juga merokok dan lain sebagainya.

E- MUBAH
Mubah dalam Syara’ ialah sesuatu pekerjaan yang boleh dilakukan atau boleh juga ditinggalkan. Jika ditinggalkan tidak berdosa dan jika dikerjakan tidak berpahala, misalnya makan, minum, tidur, mandi dan masih banyak lagi contoh contoh lainya. Mubah dinamakan juga Halal atau Jaiz. Namun, kadang-kadang yang mubah itu, bisa menjadi sunnah. Umpamanya, kita makan tetapi diniatkan untuk menguatkan tubuh agar lebih giat beribadah kepada Allah, atau berpakaian yang bagus dengan niat untuk menambah bersihnya dalam beribadah kepada Allah, bukan untuk ria’ atau menunjukkan kesombongan dalam berpakaian, dan lain sebagainya. (lihat kitab Ad-Durusul Fiqhiyyah juz ke 4 oleh Habib Abdurahman bin Saggaf Assagaf)

2- HUKUM ’ADI (HUKUM ADAT/KEBIASAAN)
Hukum ‘Adi atau Hukum Adat/Kebiasaan ialah menetapkan sesuatu bagi sesuatu yang lain, atau menolak sesuatu karena sesuatu itu sudah ada karena kejadian yang berulang-ulang.

Misalnya api itu panas dan dapat membakar kertas. Jika orang berpegang teguh pada kebiasaan yang telah diketahui secara berulang-ulang itu, maka ditetapkan suatu hukum bahwa setiap api itu panas dan mesti dapat membakar segala macam kertas. Dan apabila dikatakan sebaliknya maka adalah muhal atau mustahil, atau hal yang aneh atau tidak bisa dipercaya dan tidak diterima oleh akal.

Kejadian diatas merupakan kepastian dari kebiasaan yang telah terbukti kepastiannya dengan berulang kali. Adapun menurut pendapat akal, kejadian itu masih harus disebut hal yang mungkin saja terjadi, dan mungkin saja tidak terjadi.

Maka dari itu, jelas bahwa hukum adat/kebiasaan tidak sama dengan hukum akal. Menurut akal, masih perlu diselidiki apakah yang menyebabkan adanya adat atau kebiasaan itu? Apakah yang menyebabkan api itu panas dan dapat membakar? Dan apakah yang menyebabkan air mengalir ke tempat yang rendah? Dan apa yang menyebabkan tiap-tiap zat mempunyai sifat dan tabiat yang berlainan? Demikian seterusnya.

3- HUKUM AKLI (HUKUM AKAL)
Arti hukum Akal itu, adalah menetapkan sesuatu keadaan untuk adanya sesuatu. Atau mentiadakan sesuatu karena ketidakadaanya sesuatu itu.

Misalnya, tidak mungkin ada sebuah rumah jika tidak ada tukang pembuat rumah tersebut. Maka jatuhlah hukum mustahil adanya. Karena tidak mungkin rumah itu bisa membentuk dirinya sendiri. Jadi harus ada yang membentuk rumah itu. Rumah merupakan bukti nyata akan keberadaanya tukang pembuat rumah. Demikian pula kayu tidak mungkin akan bisa menjadi kursi dengan sendirinya jika tidak ada tukang kayu yang memotong kayu lalu membuatnya menjadi kursi. Jadi kursi merupakan bukti nyata akan keberadaannya tukan kayu. Demikianlah suatu contoh pengambilan hukum akal. Dan kita bisa mengkiyaskan dengan contoh contoh yang lainya sehingga selanjutnya menjadi berkembang pengertiannya yang kemudian menjadi suatu cabang ilmu yang sangat penting bagi masyarakat.

Dari contoh contoh diatas kita bisa menggambil bukti akan keberadaan Allah. Allah itu ada karena adanya ciptaan yang diciptakan-Nya. Adanya langit, bumi dan seisi isinya merupakan bukti kuat akan keberadaan Allah. Tidak mungkin langit, bumi dan seisi isinya jadi dengan sedirinya. Sudah pasti ada yang menciptakannya.yaitu Allah.

Hikmah Dan Atsar
Ada satu kisah menarik. Seorang Arab Badui (Arab dari pegunungan) ditanya ”Dari mana kamu mengetahui bahwa Allah itu ada” . kebetulan di muka orang Badui tadi ada segunduk kotoran unta. Badui itu menjawab ”Kamu lihat kotoran unta ini! Setiap ada kotoran unta pasti ada untanya”.

Jadi yang dinamakan Akal yang sempurna ialah suatu cahaya yang gemilang dan terletak didalam hati seorang mukmin dan dengan Akal yang jernih itu kita akan bisa membagi Hukum Akal ini menjadi tiga bagian:

1- Wajib
2- Mustahil
3- Jaiz

1- WAJIB
Wajib yaitu sesuatu yang tidak dapat diterima oleh akal akan ketidakberadaanya. Wajib di sini terbagi atas dua bagian:

a- Wajib Dharuri yaitu:
sesuatu yang bisa dimengerti tanpa bukti, atau sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal akan ketidakberadaanya tanpa memerlukan dalil atau keterangan secara rinci. Contohnya setiap dzat yang hidup itu wajib ada nyawanya, jika tidak bernyawa maka sudah pasti ia tidak akan bisa hidup alias mati.

b- Wajib Nadhari yaitu:
sesuatu yang bisa dimengerti setelah menggunakan bukti, atau sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal akan ketidakberadaanya dengan bersenderkan kepada dalil atau keterangan. Misalnya Allah itu wajib ada. Hal ini memerlukan dalil dan keterangan yang kuat.

2- MUSTAHIL
Mustahil merupakan kebalikan dari wajib yaitu sesuatu yang tidak bisa diterima akal akan keberadaanya. Mustahil juga dibagai menjadi dua bagian:

A. Mustahil Dharuri
yaitu sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal akan keberadaanya tanpa memerlukan dalil atau keterangan. Misalnya mustahil seorang anak melahirkan Ibunya. Mustahil keberadaan sang ibu berasal dari anaknya. Bukankah ini sesuatu yang mustahil? Sudah pasti ini merupakan hal yang mustahil terjadi tanpa menggunakan dalil atau keterangan.

B. Mustahil Nadhari
yaitu suatu yang tidak bisa diterima oleh akal akan keberadanya dengan memerlukan dalil atau keterangan. Misalnya Allah itu mustahil mempunyai anak. Ini memerlukan dalil dan keterangan yang kuat.

3- JAIZ (MUNGKIN)
Jaiz yaitu sesuatu yang mungkin saja ada atau mungkin tidak adanya. Jaiz ini pula dibagi dua:

a- Jaiz Dharuri yaitu:
jaiz yang tidak memerlukan dalil atau keterangan, contohnya, ada seorang ibu melahirkan anak kembar sebanyak 4. Kejadian seperti ini mungkin saja bisa terjadi atau mungkin saja tidak terjadi tanpa menggunakan dalil atau keterangan lebih dahulu.

b- Jaiz Nadhari yaitu:
Jaiz yang memerlukan dalil atau keterangan yang kuat. Contohnya sebuah batu mungkin bisa berobah menjadi emas. Hal ini memerlukan dalil dan keterangan yang kuat. Contoh lainya sebuah tongkat mungkin bisa berobah mejadi ular. Kemungkinan ini memerlukan dalil dan keterangan yang kuat. Tentu semua ini terjadi dengan seizin Allah tapi harus menggunakan dalil dan keterangan yang kuat.

Yang tertera diatas adalah pengambilan contoh pada Hukum Akal. Dan kita bisa mengembangkannya jauh lebih luas lagi, sehingga benar-benar bisa menjadi pelajaran yang mendalam tentang ilmu tauhid.

Hikmah Dan Atsar
jika ada orang mengatakan wajib atas tiap tiap Mukallaf (akil dan baligh) maksudnya adalah wajib menurut hukum syara’. Dan jika orang mengatakan wajib bagi Allah dan Rasul-Nya maksudnya adalah wajib menurut hukum akal. Dan jika orang mengatakan wajib bagi makhluk Nya, maksudnya adalah wajib menurut hukum ‘adi atau hukum adat/kebiasaan, dan seterusnya. Wallahua’lam

E. Alam Adalah Hawadits
ALAM ADALAH HAWADITS
Alam disebut hadits atau baru, karena terdiri dari dzat atau sesuatu yang dahulunya tidak ada kemudian ada, kemudian tidak ada lagi, atau segala sesuatu yang dahulunya bergerak, kemudian diam, maka benda yang serupa itu namanya barang yang mungkin berobah, dan juga dinamakan barang baru atau ”hawadits”, artinya barang yang sifatnya berubah-ubah.

Dengan berubahnya sifat, dari tidak ada menjadi ada, dari diam menjadi bergerak, maka akal dapat memutuskan dengan pendapatnya, bahwa sesuatu itu adalah dzat atau barang yang mungkin berubah, bukan barang wajib atau mustahil berubah. Jika dikatakan wajib berubah, tentu akan terus keadaannya berubah. Dan jika dikatakan mustahil berubah, tentu tidak akan pernah terjadi.

Demikianlah segala alam seisinya ini, ternyata sebagai hawadits atau barang baharu, yang dahulunya tidak ada dan senantiasa berubah-ubah. Dan semua hawadits, atau barang baru yang senantiasa berubah-ubah itu, tidak akan terjadi dan berubah dengan tanpa sebab yang menyebabkan.


Related Posts:

0 Response to "Pengertian Ilmu Tauhid"

Posting Komentar