B. PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN/PERADABAN ISLAM PADA MASA DINASTI ABBASIYAH
1. Kemajuan Kebudayaan/Peradaban
Masa kekuasaan dinasti abbasiyah adalah zaman keemasan peradaban islam. berkembangnya pemikiran intelektual keagamaan pada periode ini antara lain karena kesiapan umat Islam dalam menerima khazanah peradaban yang besar dan mengembangkannya secara kreatif. Pada era ini, sikap umat Islam yang terbuka terhadap seluruh umat manusia mendorong orang-orang non-Arab (Mawali untuk masuk Islam). Kelompok ini ikut memberikan sumbangan bagi kemajuan peradaban. Para ilmuwan pada masa ini menduduki posisi penting, mereka dihargai karena kemuliaan ilmunya.
Ajaran Islam yang semula hanya dianut oleh minoritas para penguasa. Namun pada periode ini menjadi panutan massal. Mula-mula ada kecenderungan di kalangan Muslim Arab pendatang untuk membiarkan rakyat pribumi tetap menganut agama tradisi mereka. Mereka yang memeluk agama Islam melekatkan diri mereka dengan keluarga Arab tertentu (wali), karena itu mereka disebut mawali. Perluasan Islam tidak saja telah memperbanyak penganut Islam, tetapi juga ikut membangun bentuk peradaban Islam. Perluasan wilayah Islam ini dalam waktu yang begitu singkat telah memberikan kesempatan bagi umat Islam untuk belajar dari berbagai kelompok masyarakat yang telah memiliki tradisi keilmuan yang maju.
Dalam waktu yang bersamaan, hal ini juga menjadi tantangan bagi para ulama untuk mempertahankan dan membela agamanya. Serangan dan tantangan berbagai agama yang telah lama berkembang sebelum Islam, dengan sistem teologi dan tradisi keagamaannya yang khas, telah mendorong para ulama untuk menyusun dasar-dasar keyakinan (teologi) dan hukum Islam yang kokoh. Oleh karena itu, ilmu tauhid/kalam, fikih, usul fikih mengalami perkembangan. Kontak umat Islam dengan umat yang memiliki peradaban lain yang sangat maju, seperti India, Mesir, dan Yunani, mendorong umat Islam untuk menyerap khazanah peradaban tersebut.
Faktor ajaran Islam sendiri menjadi penting bagi pengembangan peradaban. Al-Qur’an sebagai sumber normatif, memiliki posisi yang sangat khusus dan memainkan peranan sentral dalam kehidupan kaum Muslimin karena senantiasa menjadi sumber inspirasi keagamaan dan keilmuan. Bahkan, pihak-pihak yang bertikai merujuk dan menggunakan ayat Al-Qur’an sebagai alasan pendirian dan tindakan mereka masing-masing. Di samping itu, pada abad ke-9, hadis juga telah mendapatkan kedudukan penting dalam kehidupan keagamaan Muslim. Pada masa ini, hadis rujukan telah dibukukan. Dalam rangka pembukuan hadis ini, sebagian ulama mempertahankan praktik musafir, yaitu melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain untuk mengumpulkan hadis.
Dari dua sumber utama ini (Al-Qur’an dan Al-Hadits), ilmu-ilmu lain kemudian berkembang. Baik ilmu-ilmu Al-Qur’an maupun Hadis merupakan dua serangkai pengetahuan yang menjadi pokok perhatian dan fokus pendidikan ketika itu. Pehatian terhadap Al-Qur'an dapat dilihat antara lain dengan banyaknya kitab yang dituli untuk menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an. Hampir setiap cabang ilmu yang berkembang diawali dengan mengutip dan menafsirkan ayat Al-Qur'an yang terkati.
Begitu pula ilmu tafsir berkembang dengan pesat. Ilmu tafsir adalah cabang ilmu yang sangat penting bagi perkembangan keagamaan dan keilmuan umat Islam. Di antara buku-buku tafsir yang ditulis pada periode ini dan masih menjadi rujukan hingga sekarang ialah kitab Al-Jami Al-Bayan yang ditulis oleh At-Tabari (225 H/839 M - 310 H/923M), Al-Kasysyaf oleh Az-Zamakhsyari (467 h/1075 M - 1144 M), dan Mafatih Al-Gaib oleh Fakhruddin Ar-Razi (543 H/1149 M - 606 H/1189 M). Di samping itu, berbagai koleksi hadis juga dilakukan oleh para ulama. Pada awalnya, hadis dikumpulkan tidak berdasarkan isinya, tetapi lebih menurut perawinya. Metode pengumpulan hadis seperti ini disebut Al-Musnad. Al-Musnad yang paling terkenal ialah yang dihimpun oleh Ahmad bin Hanbal (241 H/855 M).
Tetapi pada masa belakangan, hadis juga disusun sesuai dengan isinya dan dibagi atas bab-bab tertentu yang terkait dengan pembahasan fikih. Kumpulan seperti ini sering disebut Musannaf. Ada enam dari kitab jenis ini yang secara umum diakui oleh mayoritas umat Islam, yang dikenal dengan Al-Kutub As-Sittah (kitab yang enam). Keenam pengumpulan hadis yang hidup pada zaman Dinasti Abbasiyah ini yaitu :
1. Bukhari (256 H/870 M)
2. Muslim (261 H/875 M)
3. Abu Daud (275 H/888 M)
4. At-Tirmidzi (279 H/892 M)
5. An-Nasa'i (303 H/915 M)
6. Ibnu Majah (273 H/886 M)
Sejak itu, bangunan peradaban Islam era Abbasiyah sangat diwarnai oleh pesatnya pekembangan berbagai cabang ilmu pengetahuan.
2. Kemajuan Sastra dan Sejarah
Masyarakat Arab sangat membanggakan kesastraan dan asal-usul cabang ilmu pengetahuan yang menjadi fokus perhatian mereka, yaitu ilmu bahasa Arab dan Sejarah. Ilmu bahasa Arab tumbuh karena ada Al-Qur'an. Mempelajari berbagai cabang ilmu bahasa Arab utlak perlu bagi umat Islam, terutama yang non-Arab. Cara ini, umat Islam bisa lebih menghayati sekaligus menyempurnakan pemahaman dan menerapkan secara praktis ajaran ibadah dan aktivitas keagamaan lain. Masyarakat tidak saja merasa perlu untuk memiliki pengetahuan tentang para pujangga terkenal yang syairnya banyak menggambarkan pergaulan sosial, tetapi justru banyak dari mereka yang kemudian menghasilkan karya baru di bidang kebahasaan. Mesipun budaya tutur sebetulnya masih menjadi pola umum. Pelestarian karya bahasa dan sastra yang berbentuk manuskrip atau tulisan tangan memperoleh tempat yang baik pada masa kini.
Di samping pada sastra, perhatian pada sejarah juga sudah membudaya di kalangan bangsa Arab, bahkan sejak sebelum Islam. Cerita tentang peperangan dan kemenangan serta silsilah merupakan pengetahuan bersama anggota kelompok sosial. Mereka yang menguasai materi ini akan mendapatkan kedudukan terhormat dalam komunitas tersebut. Sebaliknya, mereka yang tidak mengetahui sisilah dirinya dan garis keturunan keluarganya serta melupakan sejarah kemenangan sukunya akan menjadi bahan cemoohan warga lain. Dengna demikian, kemenangan demi kemenangan yang diraih umat Islam akan menjadi cabang ilmu yang berkembang pesat.
Bagian sejarah yang paling penting adalah riwayat Nabi Muhamad SAW. Sebagian besar sejarawan periode Abbasiyah mempelajari dan menulis tentang sejarah hidup Nabi Muhammad SAW. (sirah). Salah satu sirah yang terkenal ialah yang ditulis oleh Muhammad bin Ishaq (w. 150 H/767 M). Ia mengungsi dari Madinah antara lain karena para ulama di sana lebih memusatkan perhatian pada aspek hukum daripada sejarah yang lebih objektif. Di Bagdad, Muhammad bin Ishaq mendapat perlindungan dan dukungan dari Khalifah Abu Ja'far al-Mansur untuk enyiapkan sejarah hidup Rasulullah SAW. yang lengkap. Bukunya mengenai sejarah hidup Nabi Muhammad SAW. Meruapakan buku tertua. Akan tetapi, karya penting Ibnu Ishaq ini hanya dapat dibaca melalui ringkasannya yang disusun oleh Ibnu Hisyam (218 H/834M), yang dikenal dengan nama Sirah Ibn Hisyam.
Langkah penting Ibnu Ishaq dan Ibnu Hisyam ini dilanjutkan oleh ilmuan lain, yitu al-Waqidi (1874). Ia disponsori oleh Yahya al-Barmaki, menteri Khalifah Harun ar-Rasyid. Salah satu karya utamanya ialah Tarikh al-Kabir, kitab yang melukiskan peperangan dan penaklukan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Murid dan asisten al-Waqidi, yaitu Ibnu Sa'ad (w.854), kemudian melengkapi lebih jauh dengan berbagai data dalam rincian kitabnya Tabaqat al-Kubra, sebanyak delapan jilid. Dua jilid pertama membentangkan sejarah hidup Nabi Muhammad SAW., dan enam jilid berikutnya memperinci riwayat para sahabat dan tabiin.
Hampir setiap khalifah, bahkan pembesar suku terkemuka mempunyai seorang ahli sejarah (mu'arrikh) yang mencatat dan menyusun sejarah mereka masing-masing. Dengan demikian, cukup banyak karya sejarah yang menguraikan para khalifah dan pembesar ketika itu. Tradisi penulisan sejarah di kalangan umat Islam mencapai tingkat kedewasaannya pada abad ke-9. Di antara penulis yang terkemuka adalah al-Baladuri (892), at-Tabari tentang sejarah Islam atau orang Arab, melainkan mengulas sejarah manusia secara menyeluruh. Penulis sejarah lain yang termasyhur adalah Abu Raihan al-Biruni (973-1048) yang menulis kitab Tahqiq Ma Lil-Hind, yaitu sebuah buku yang menguraikan sejarah bangsa India.
3. Kemajuan di Bidang Ilmu Pengetahuan
Masa pemerintahan dinasti Abbasiyah merupakan masa kejayaan umat Islam dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pada zaman ini umat Islam telah banyak melakukan kajian dan penelitian sehingga ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang pesat. Hal ini terjadi karena melalui upaya penerjemahan berbagai karya orang-orang Yunani Kuno, di samping melakukan penelitian sendiri.
Para ahli sering mendiskusikan hasil temuannya dengan ahli lainnya, kemudian hasilnya ditelaah sehingga mencapai kesimpulan. Dari hasill inilah pengetahuan berkembang tidak hanya di kalangan umat Islam, tetapi di luar wilayah Islam, seperti Eropa dan sekitarnya.
Uamat Islam pada masa itu menyadari bahwa hanya dengan cara belajar serius, ilmu akan berkembang dan akan memberi makna untuk kemaslahatan umat manusia, Mereka bersandar pada Al-Qur'an bahwa hanya orang yang memiliki ilmu pengetahuan akan ditingkatkan derajatnya oleh Allah SWT., seperti yang tertulis dalam Al-Qur'an Surat Al-Mujadilah ayat 11 sebagai berikut :
يَرْ فَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوا مِنْكُم وَالَّذِيْنَ اُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍ المجادلة : ١١
"Allah akan mengangkat (derajay) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadilah : 11)Ilmu sangat dihargai oleh Islam, itu sebabnya menuntut ilmu hukumnya wajib. Orang yang lalai menuntut ilmu niscaya akan tertinggal jauh dengan yang lainnya. Oleh karena itu, penghargaan Islam pada ilmu begitu tinggi, sampai-sampai melarang seseorang mengerjakan suatu perkara tanpa dengan ilmunya. Inilah yang diterapkan oleh para khalifah pada zaman Abbasiyah dalam mencari ilmu pengetahuan. Mereka (para khalifah) menyadari bahwa keberlangsungan pemerintahannya akan lancar apabila dibekali dengan ilmu.
Dalam proses itu, tampaknya keterlibatan para khalifah tidak dapat diabaikan karena mereka memberikan motivasi kuat kepada para ilmuwan untuk melakukan kajian-kajian di berbagai bidang ilmu pengetahuan, sehingga para ilmuwan dengan tenang melakukan riset (penelitian) ilmiah. Pada masa itu, para ilmuwan yang terlibat kebanyakan bukan berasal dari bangsa Arab, tetapi umumnya berasal dari bangsa Persia yang telah memiliki tradisi ilmiah cukup lama. Para ilmuwan saat itu diberi gaji (upah) yang memadai, sehingga mereka dalam mengadakan risetnya penuh dengan ketenangan. Mereka tidak lagi memikirkan kebutuhan pokok sehari-hari, sebab sudah ditanggulangi oleh para khalifah. Dengan demikian, wajar apabila perkembangan ilmu pengetahuan pada masa itu berkembang dengan pesat dan dapat memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya.
4. Perkembangan Ilmu Filsafat, Astronomi, dan ke-Dokteran
Adapun perkembangan pengetahuan dan kebudayaan dapat kita klasifikasikan menurut disiplin ilmu masing-masing. Di bawah ini akan diuraikan secara umum mengenai perkembangan ilmu pengetahuan beserta para tokoh ilmuwannya, seperti filsafat, astronomi, dan kedokteran.
a. Dalam bidang filsafat
Setelah kitab-kitab filsafat Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada masa pemerintahan khalifah Harun Al-Rasyid dan al-Makmun, kaum Muslimin sibuk mempelajari ilmu filsafat, bahkan menafsirkan dan mengadakan perubahan serta perbaikan sesuai dengan ajaran Islam. Dari kegiatan tersebut, lahirlah para filsuf Islam yang pada akhirnya menjadi kegiatan bintangnya dunia filsafat.
Di antara filosofis tern\kenal pada waktu itu adalah sebagai berikut,
1) Abu Ishak al-Kindi. Ia merupakan seorang filsuf Arab terkenal. Karyanya lebih dari 231 judul.
2) Abu Nashr al-Faraby. Ia memiliki karya sebanyak 12 buah.
3) Ibnu Sina, Selain sebagai filsuf, ia juga terkenal antara lain al-Qanun fi al-Thalibb.
4) Ibn Bajah (wafat tahun 523 H).
5) Ibn Thufail (wafat tahun 581 H).
6) Al-Ghazali. Ia diberi gelar Hujjat al-Islam. Di antara karyanya yang terkenal adalah Ihya Ulum al-Din, Maqasid al-Falasifah, al-Munqiz Min al-Dhalal, dan di Tahafut al-Falasifah.
7) Ibnu Rusydi. Di Barat ia dekanal dengan nama Averoes. Di antara karyanya yang terkenal ialah Thafut al-Tahafut.
b. Dalam bidang ilmu astronomi
Kaum Muslimin pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah mempunyai modal yang besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Mereka mengakaji dan menganalisis berbagai aliran ilmu perbintangan dari berbagai suku bangsa (Yunani, India, Persia, Kaldan) dan ilmu Falak Jahiliyah. Ilmu bintang memegang peranan penting dalam menentukan garis politik para khalifah dan amir. Di antara para ahli ilmu perbintangan (astronomi) yang terkenal pada waktu itu yaitu :
1) Al Farghani (Al-Faraganus)
2) Al-Batani
3) Rayhan al-Biruni
4) Abu Mansur al-Falaky
c. Dalam bidang kedokteran
Salah satu ilmu yang sangat menarik perhatian umat Islam adalah ilmu kedoketeran. Lembaga pelatiahan dan pengobatan peninggalan zaman Bizantium di Antioka dan Harran di Suriah serta di Iskandariyah Mesir yang sudah melembah ketika itu, kemudian dibangkitkan kembali. Di wilayah Timur ada sekolah khusus kedoketeran di Jundishapur Susiana, warisan masa keemasan Sasaniah. Salah seorang dokter yang terkenal dari lembaga ini, Jirjis bin Jibril al-Bokhtisho, pernah merawat Khalifah al-Mansur di bagdad dan terus melanjutkan praktiknya di ibukota Dinasti Abbasiyah itu. Khalifah Harun ar-Rasyid sendiri pernah mengundang Mankah, seorang dokter terkenal keturunan India, ke Bagdad. Bukan hanya khalifah dan keluarganya juga mempunyainya. Bahkan, secara umu keluarga-keluarga Muslim yang terpandang dan kaya mempercayakan kesehatan mereka kepada dokter-dokter non-Muslim. Akan tetapi, pada masa berikutnya dokter-dokter Muslim menjadi lebih dominan.
Dengan semakin banyaknya kitab kedokteran yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, bermunculanlah dokter Muslim yang secara terus-menerus mendalami dan mengembangkannya. Di antara para dokter tersebut adalah Muhammad bin Zakaria ar-Razi (Rhazes), yang hidup antara tahun 865925. Ia berjasa besar dalam mempelajari dan mengobati penyakit campak (small-pox) dan cacar (measles). Ia juga menulis buku al-Hawi yang berisikan catatan tentang berbagai jenis penyakit dan cara-cara pengobatannya. Di samping itu, dikenal juga Ali Abbas yang wafat 944. Ia menyusun sejenis ensiklopedia kedokterang yang disebutnya kitab al-Maliki. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan judul The Whole Medical Art. Buku ini menjadi buku rujukan di Barat hingga menjelang zaman modern. Ketenaran buku ini hanya bisa ditandingi oleh karya Ibnu Sina yang berjudul al-Qanun fi at-Tibb (Canon of Medicine).
Ilmu kedokteran bukan hanya diterapkan untuk pribadi dan golongan elit, melainkan juga diterapkan melalui berbagai rumah sakit yang tersedia. Sultan Ahmad bin Tulun mendirikan sebuah rumah sakit umu di Kairo pada 872 M. Khalifah Harun ar-Rasyid juga pernah mendirikan rumah sakit megah di Kota Bagdad. Pada abad berikutnya, di Bagdad terdapat lima buah rumah sakit. Beberapa dasawarsa kemudian terdapat klinik berjalan (Semacan Puskesmas Keliling). Rumah sakit tidak hanya tempat untuk merawat orang sakit, tetapi juga berfungsi sebagai sekolah tinggi ilmu kedokteran atau perobatan ini merupakan bagian sistem pendidikan Islam yang berkembang pesat pada masa itu.
Dengan demikian, ilmu kedokteran berkembang sejak Daulah Abbasiyah I dan mencapai puncak-puncaknya pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah II, III, dan IV.
Daulah Abbasiyah telah melak\hirkan banyak dokter kenamaan. Banyak dokter asing yang dipakai untuk praktik dan sebagai guru. Begitu juga rumah sakit besar dan sekolah tinggi kedokteran banyak didirikan. Di antranya adalah Sekolah Tinggi Kedokteran di Jundishapur. Sekolah Tinggi Kedokteran di Harran, Syiria dan Sekolah Tinggi Kedokteran di Bagdad.
Di antara mereka yang telah lulus dalam pendidikan dokter terkenal ialah sebagai berikut.
1) Abu Zakaria Yuhama ibn Masiwaih, seorang ahli farmasi di rumah sakit Jundhisafur, Iran.
2) Sabut ibn Sahal, direktur Rumah Sakit Jundhishafur.
3) Abu Zakaria al-Razy, kepala Rumah Sakit di Bagdad.
4) Ibn Sina, seorang filsuf dan ahli kedokteran. Di antara karyanya yang terkenal dalam bidang kedokteran adalah al-Qanum fi'il-Thibb.
0 Response to "Dinasti Abbasiyah Bab I"
Posting Komentar